• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH KEPALA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH KEPALA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI MAKASSAR"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH KEPALA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI MAKASSAR

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum

Universitas Bosowa Makassar

Oleh:

ALIF HARDIANSAL PUTRA STAMBUK : 4513060006

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR MAKASSAR

2017

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirobbil’alaamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH KEPALA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 5 MAKASSAR.

Penulis menyadari akan kekurangan , kesalahan , dan maupun kejanggalan baik mengenai bentuk, isi, maupun sistematika penyusunannya, yang dikarenakan oleh terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.

Namun demikian, berkat adanya bantuan dan patisipasi dari semua pihak yang sangat besar artinya bagi penulis, pada akhirnya penilis dapat juga menyelesaikan penyusunan skripsi ini, walaupun masih jauh dari apa yang diharapkan, namun inilah kemampuan maksimal yang dapat penulis ketengahkan. Oleh karena itu, krtik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penilis harapkan demi penyempurnaannya di masa-masa yang akan datang.

Untuk itulah, maka dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya, terutama kepada :

(6)

1. Terimakasih kepada Ibuku tercinta Suharwaningsih atas segala curahan kasih sayang menjadi manusia yang bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, Bangsa dan Negara;

2. Adik-adik ku Fajrin hardiansal putra dan Tantry hardiansal putri yang senantiasa memberi semangat, dorongan dan menemani penulis selama menyusun skripsi ini;

3. Terima kasih untuk yang tercinta dan yang paling nyebelin endu ku seble Rafika januardini yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, dan memberi semangat kepada penulis;

4. Terima kasih terhadap dukungan yang diberikan oleh Papi dan mami Sugito selama penulis menempuh kuliah dan penelitian.

5. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Univeritas Bosowa, beserta seluruh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa;

6. Bapak Dr. H. Abdul Salam Siku, SH.,MH. Selaku pembimbing I, dan Bapak Basri Oner, S.H., M.H. Selaku pembimbing II, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala waktu, bimbingan, arahan, dan saran kepada Penulis demi terselesaikannya skripsi ini;

7. Bapak Ahmad Yani, S.H. Selaku narasumber di kejaksaan negeri Makassar dan Bapak Haedar, S.H., M.H selaku Kasi pemeriksa yang banyak memberikan bantuan dalam pengumpulan data untuk skripsi ini.

8. Bapak Mustarai selaku staff kearsipan di pengadilan negeri Makassar yang telah memberi saran dan semangat mengenai skripsi ini.

(7)

9. Bapak dan ibu dosen, serta seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Bosowa yang telah banyak memberikan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik;

10. Terimakasih kepada Bapak Kapolsek Kecamatan Makassar Saiful Alam dan jajarannya yang telah menerima penulis sebagai peserta KKN di Polsek Makassar yang telah memberikan pengalaman dan momen tak terlupakan;

11. Teman-teman KKN TEMATIK angkatan 2013 yang berjuang bersama menjadi pioneer dari KKn di instansi-instansi;

12. Teman-teman sekampus terkhususnya kepada Anak-anak dari gang LuckNut A. Muhammad Al-qadry, Aldino ngangun, A. muh asnan yusfin, Kasianto, Chaeruddin, Ghozali haryangga, Heru raynaldo , Syahrul, Leo justicia, Juraid, dan Nurul muchlisa dengan ikut serta membantu dalam memberikan semangat kepada penulis yang akhirnya penulis selesai dalam penulisan skripsi ini

13. Seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa Penulis tak akan pernah luput dari khilaf dan salah. Begitupun dengan karya tulis ini, masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang positif dari berbagai pihak demi kesempurnaan karya tulis ini.

(8)

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa menilai amal perbuatan kita sebagai ibadah. Dan semoga semua yang telah kita kerjakan dengan niat baik mendapatkan berkah, Amin , amin Ya Rabbal’alamin

Makassar, 26 July 2017

penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Dan Kegunaan Penilitian ... 6

1.4 Metode Penilitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kepala Sekolah, Tugas dan Kewewenangnya ... 9

2.2 Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 13

2.3 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ... 17

2.4 Aparatur Sipil Negara Tugas dan Wewenangnya ... 21

2.5 Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana Jabatan ... 25

2.6 Penyalahgunaan Wewenang... 29

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar ... 34

(10)

3.2 Dakwaan Penuntut Umum Terhadap Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri

5 Makassar ... 42

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 66

4.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 72

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, program pendidikan perlu untuk ditetapkan sebagai elemen sentral pengembangan sumberdaya manusia. Peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah strategis dalam peningkatan sumberdaya manusia yang ada di Indonesia.

Maka, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang gratis dan bermutu kepada setiap warga Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai.

Amanat konstitusi ini diperkuat lagi dengan penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi pada Pasal 34, Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, Wajib belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Untuk itu, pertama-tama, kebutuhan tenaga pendidikan harus tercukupi, dan kualitas tenaga pendidikan perlu terus ditingkatkan baik dari segi kompetensi, sikap-mental dan etika profesi.Saat ini, pendidikan di Indonesia sangat memprihatikan disebabkan faktor ekonomi yang dialami oleh banyak

(12)

masyarakat yang kurang mampu, dengan demikian pemerintah sangat mengedepankan pendidikan di Negara ini.Untuk itu program wajib belajar 9 tahun yang direncanakan oleh pemerintah untuk menyukseskannya dengan berbagai upaya, dengan salah satu programnnya adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dibiayai Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).

Karena, BOS adalah program nasional dan memiliki misi yang sangat mulia untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun maka agar pelaksanaan BOS tepat sasaran, tepat guna dan tepat waktu, maka dengan kegiatan sosialisasi, monitoring dan evaluasi yang baik serta sanksi tegas yang diharapkan penyimpangan dan penyelewengan dalam pelaksaaan program dapat dihindarai.

Namun, pada kenyataannya sejak program BOS ini berjalan, masih banyak praktik-praktik Pungutan Liar yang terjadi di sekolah-sekolah.Salah satunya dalam kasus Penerimaan Siswa Baru (PSB), pungutan tersebut merupakan bentuk Korupsi yang merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa.Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya.Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola.Oleh sebab itu, secara nasional disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.

(13)

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pejabat (aparatur sipil negara) . Tidak banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi penegak hukum.

Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah pungutan liar (pungli). Pungutan liar dilarang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 huruf e yang berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ironisnya, lembaga Pendidikan yang sekiranya merupakan lembaga yang dituntut melahirkan insan-insan yang bebudi pekerti luhur pun tak luput dari epidemik pungutan liar ini.

Akhir-akhir ini pungutan liar di sekolah dengan berbagai modus operandinya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat dan hal ini sulit dicegah karena melibatkan stakeholderspada lembaga tersebut. Padahal telah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

(14)

(Permendikbud)Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Di antara alasan yang sering dijadikan tameng dalam melancarkan aksi penyimpangan dimaksud antara lain “demi meningkatkan kualitas, untuk menambah fasilitas (sarpras) sekolah, studi tour dan sebagainya” dan hal itu notabene melibatkan komite sekolah sebagai jurus untuk memuluskan aksi tersebut.

Hal ini merupakan konsekwensi logis dari upaya mencapai standart mutu pendidikan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi pengelola lembaga-lembaga pendidikan untuk berkreasi guna menunjukkan eksistensinya di kancah nasional.

Pungutan yang diberlakukan pihak sekolah antara lain untuk keperluan seragam, operasional, bangunan, buku, dana koordinasi, internet, koperasi, amal jariyah, formulir pendaftaran, perpisahan guru, praktek, Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), administrasi rapor, ekstrakurikuler, sumbangan pengembangan institusi, uang pangkal dan pungutan liar lainnya. Selain pungutan liar, masyarakat juga menyampaikan keluhan terhadap proses penerimaan siswa baru (PSB) yang tidak tersosialisasi dengan baik. Mereka mengeluhkan kurangnya informasi tentang persyaratan dan jangka waktu pelaksanaan PSB. Selain itu, mereka juga mengeluhkan mengenai PSB Online yang tidak transparan, proses seleksi diskriminatif, adanya titipan anak pejabat.

(15)

Di Makassar sendiri akhir-akhir ini marak diberitakan mengenai kasus pungli yang menyeret nama Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar seperti yang dilangsir media cetak Berita Kota kasus pungli yang melibatkan kepala sekolah SMA 5 makassar mencapai angka sebesar Rp 940 juta, untuk 148 siswa yang melakukan pendaftaran penerimaan Siswa Baru melalui jalur offline, dan seperti yang dilangsir dari media cetak Fajar orang tua siswa diberikan patokan harga dari Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta.

Sungguh mengerikan dan ironis tentang masalah yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-tengat gencarnya upaya pemberantasan buta huruf, menggencarkan wajib sekolah sembilan tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu. Nyatanya, masih banyak lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas Padahal menuntut ilmu secara formal mencermati fenomena di atas sebagai bentuk keprihatinan atas bobroknya pengawasan dan kinerja lembaga pendidikan yang telah sampai pada titik keputusan, maka saya tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian skripsi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar ?

2. Bagaimanakah Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terhadap Penyalahgunaan Wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar ?

(16)

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a. Skripsi ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:

(1) Untuk mengetahui bagaimanakah penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.

(2) Untuk mengetahui bagaimanakah dakwaan jaksa penuntut umum terhadap tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.

b. Adapun kegunaan dari penelitian skripsi ini yaitu:

(1) Manfaat praktis

Untuk mendapatkan data dan informasi serta masukan mengenai upaya yang dilakukan oleh pihak berwajib dalam meminimalisir terjadinya Pungutan Liar serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pendidikan di Kota Makassar.

(2) Manfaat teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum dalam menerapkan hukum dalam permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

1.4 Metode Penelitian A. Pendekatan Masalah

Dalam membahas masalah-masalah penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis yaitu pendekatan dengan menggunakan bahan-bahan aturan hukum yang mengatur mengenai permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini

(17)

B. Lokasi Penelitian

Untuk kepentingan pengumpulan data,Penulis mengambil lokasi penelitian di Kejaksaan Negeri Makassar. Alasan pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa kasus penyalahgunaan wewenang yang dikaji diproses oleh Kejaksaan Negeri Makassar oleh karena penulis mengaggapap bahwa lembaga dan tempat tersebut dapat memberikan data-data yang dibutuhkan dalam rangka penulisan dan penyusunan proposal dan Skripsi.

C. Jenis dan Sumber Data (1) Data primer

Jenis data primer yang digunakan adalah wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan pembahasan masalah dalam skripsi ini khususnya Jaksa dari Kejaksaan Negeri Makassar

(2) Data sekunder

Data sekunder yang digunakan, diperoleh dari buku-buku hukum, kamus hukum, undang-undang, teori-teori hukum, tesis, dan bahan dari internet serta bahan-bahan yang didapatkan dari berbagai instansi yang terkait dalam pembahasan skripsi ini.

D. Tehnik pengumpulan data

Agar suatu karya ilmiah dapat teruji secara ilmiah dan objektif, maka dibutuhkan sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih mendalam gejala- gejala tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran karya ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis teknik penelitian, yaitu:

(18)

(1) Penelitian Pustaka

Dalam penilitian pustaka, penulis mengumpulkan data melalui cara, membaca referensi buku, koran, jurnal ilmiah, dan beberapa literatur lainnya yang memilikiketerkaitan dengan materi pembahasan khususnya dokumen yang memuat penyelesaian perkara ini di pengadilan seperti berita acara penyidik, penuntut umum, dan dakwaan jaksa penuntut umum.

(2) Penelitian Lapangan

Dalam hal ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan objek yang terkait dengan penelitian, dalam hal ini melakukan teknik interview (wawancara) secara langsung dengan para pihak terkait.

E. Analisis data

Keseluruhan data yang diperoleh nantinya baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu uraian menurut mutu dan uraian serta sifat gejala data primer yang berhubungan dengan teori dalam data sekunder nantinya, kemudian ditulis secara deskriptif yaitu menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh pada tugas akhir skripsi ini.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kepala Sekolah Tugas dan Wewenangnya a. Pengertian kepala sekolah

Secara etimologi kepala sekolah adalah guru yang memimpin sekolah. Berarti secara terminology kepala sekolah dapat diartikan sebagai tenaga fungsional guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.

Kepala Sekolah adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Pola kepemimpinananya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan kemajuan sekolah. Oleh karena itu dalam pendidikan modern kepemimpinan kepala sekolah merupakan jabatan strategis dalam mencapai tujuan pendidikan.

b. Wewenang kepala sekolah

Soewadji Lazaruth menjelaskan 3 fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator pendidikan, supervisor pendidikan, dan pemimpin pendidikan.

Kepala sekolah berfungsi sebagai administrator pendidikan berarti untuk meningkatkan mutu sekolahnya, seorang kepala sekolah dapat memperbaiki dan mengembangkan fasilitas sekolahnya misalnya gedung, perlengkapan atau peralatan dan lain-lain yang tercakup dalam bidang administrasi pendidikan. Lalu jika kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pendidikan berarti usaha peningkatan mutu dapat pula dilakukan dengan cara peningkatan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui rapat-rapat, observasi kelas,

(20)

perpustakaan dan lain sebagainya. Dan kepala sekolah berfungsi sebagai pemimpin pendidikan berarti peningkatan mutu akan berjalan dengan baik apabila guru bersifat terbuka, kreatif dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Suasana yang demikian ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah. Itulah pendapat Soewadji Lazaruth dalam bukunya Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya, yang kurang lebih sama dengan pendapat E.

Mulyasa dalam bukunya Menjadi Kepala Sekolah Profesional, seperti di bawah ini.

Menurut E. Mulyasa, kepala sekolah mempunyai 7 wewenang utama, yaitu:

1) Kepala Sekolah Sebagai Educator (Pendidik)

Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.

2) Kepala Sekolah Sebagai Manajer

Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat

(21)

melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti:

MGMP/MGP tingkat sekolah, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.

3) Kepala Sekolah Sebagai Administrator

Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

4) Kepala Sekolah Sebagai Supervisor

Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.

Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.

(22)

Sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim mengemukakan bahwa menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka.

Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.

5) Kepala Sekolah Sebagai Leader (Pemimpin)

Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh- suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Mulyasa menyebutkan kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin sifat-sifat sebagai barikut : jujur; percaya diri; tanggung jawab;

berani mengambil resiko dan keputusan; berjiwa besar; emosi yang stabil, dan teladan.

(23)

6) Kepala Sekolah Sebagai Inovator

Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan sekolah, dan mengembangkan model model pembelajaran yang inofatif. Kepala sekolah sebagai inovator akan tercermin dari cara cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional, objektif, pragmatis, keteladanan

7) Kepala Sekolah Sebagai Motivator

Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif, dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).

2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Pengertian tindak pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana.

Sebelum mengkaji tentang tindak pidana korupsi, terlebih dahulu perlu dipahami tentang pengertian tindak pidana itu sendiri.Istilah tindak pidana (delik) berasal

(24)

dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.

Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.Sayangnya sampai kini belum ada keseragaaman pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Pembentuk undang -undang Indonesia telah menerjemahkan perkataan strafbaar feit sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.

Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut ini penulis kemukakan beberapa pandanganbeberapa ahli hukum berikut ini :

Menurut POMPE (P.A.F. Lamintang,1997:182) perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai :

“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaran de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de benhartigining van het algemeen welzijn”

Akan tetapi, SIMONS (P.A.F. Lamintang, 1997:185) telah merumuskan

“strafbaar feit” itu sebagai suatu :

“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

(25)

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

Alasan dari SIMONS (P.A.F. Lamintang, 1997:185) merumuskan seperti uraian di atas adalah karena :

1) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang- undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

2) agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang – undang, dan

3) setiapstrafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang – undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechmatige handeling”.

Van Hammel (Moeljatno, 2008:61) merumuskan sebagai berikut :

“straafbar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan”.

Van HATTUM (P.A.F. Lamintang, 1997:184), mengemukakan bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurutnya, perkataan strafbaar itu berarti voor straf in aanmerking komend atau straf verdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan strafbaar feit seperti yang terlah digunakan dalam Undang-Undang Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu :

“tindakan, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is”.

(26)

Perkataan eliptis di atas adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar elips di dalam bahasa Belanda yang menurut Van de WOESTIJNE (P.A.F.

Lamintang, 1997:184) mempunyai pengertian sebagai :

“perbuatan menghilangkan sebagian dari suatu kalimat yang dianggap tidak perlu untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat – tepatnya” atau sebagai “de weglating van een zinsdeel, dat voor de juiste begrip van de gedachte neit noodzakelijk wordt geacht.”

Istilah tindak pidana juga sering digunakan dalam perundang-undangan (Moeljatno, 2008:60), meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada

“perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak -gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak- tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”.

b. Unsur-unsur tindak pidana

Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana.Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis menguraikan unsur-unsur tindak pidana.

unsur-unsur subjektif.Yang dimaksud dengan unsu-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur -unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah:

1) kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

(27)

3) macam – macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain – lain;

4) merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5) perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedang yang dimaksud dengan unsur- unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur - unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2) kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” di dalam penyalahgunaan wewenang menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3) kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai berikut.

Perlu kita ingat bahwa unsur weederrechtelijk itu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang – undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.

2.3 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian tindak pidana korupsi

Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio.

Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.

(28)

Pengertian korupsi dalam Kamus Peristilahaan (M.D.J.Al Barry, 1996:208) diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan negara dan rakyat.

Dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut “Korupsi”

(dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan – badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M.Chalmers (Evi Hartanti, 2007:9), menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang,yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi:

“financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi)”

Selanjutnya ia menjelaskan:

“the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum)”.

Dikatakan pula:

“disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship sacrafices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is ususally considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yanf merugikan kepentingan dan kesejahteraan

(29)

umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi)”

Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah:

“electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan uang, janji dengan jabatan ataupun hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan)”

Di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary (Surachmin & Suhandi Cahaya, 2011:10):

“Corruption an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and and the rights of others. The act of an official of fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others” yang artinya” Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Dalam suatuperbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran- kebenaran lainnya”.

Menurut Transparency International, korupsi merupakan:

“korupsi sebagai perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka”.

b. Unsur-unsur tindak pidana korupsi

Tindak pidana korupsi atau yang disebut juga suatu perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu golongan merupakan suatu tindakan yang

(30)

sangat merugikan orang lain, bangsa dan negara. Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi bila dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat (1) undang-undang No.31 tahun 1999 selanjutnya dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi “TPK” yang menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 ( satu milyar rupiah).”Pasal 2 ayat (2) UU Pidana Korupsi menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi Sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat Dijatuhkan. Yang dimaksud dengan “keadaaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana tersebut dilakukan terhadap dana dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi Ada 3 unsur tindak pidana korupsi, antara lain:

1) Setiap orang adalah orang atau perseorangan atau termasuk korporasi.

Dimana korporasi tersebut artinya adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, terdapat pada ketentua umum Undang-undang No.31 tahun1999 pasal 1 ayat (1).

(31)

2) Melawan hukum, yang dimaksud melawan hukum adalah suatu tindakan dimana tindakan tersebut bertentangan dengan perturan perundang- undangan yang berlaku. Karena di dalam KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) Buku kesatu, aturan umum Bab 1 (satu). Batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan pasal 1 ayat (1) suatu perbuatan tidak dapat 25 dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undanganpidana yang telah ada.

3) Tindakan, yang dimaksud tindakan dalam pasal 1 ayat (1) Undang- undang No.31 tahun 1999 adalah suatu tindakan yang dimana dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam ketentuan ini menyatakan bahwa keterangan tentang tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melakukan tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat jelas merugikan Negara.

2.4 Pengertian Aparatur Sipil Negara dan Wewenangnya a. Pengertian aparatur sipil Negara

(32)

Dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, antara lain untuk mewujudkan aparatur sipil Negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, dimana ASN sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil Negara.

Manajemen aparatur sipil Negara diarahkan berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, yang dimaksud dengan system merit adalah, kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan.

Untuk menjalankan kedudukannya tersebut, maka Pegawai ASN berfungsi sebagai:

1) Pelaksana kebijakan publik yg dibuat pejabat pembina ; 2) Pelayan Publik yang berkualitas dan profesional;

3) Perekat dan pemersatu Bangsa.

Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

(33)

Aparatur Sipil Negara itu terdiri dari:

1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah pegawai tetap seperti yang sekarang ada

2) Pegawai Pemerintah adalah pegawai yang diangkat berdasarkan kontrak.

Jenis pegawai ini dapat disebutkan seperti tenaga fungsional (Guru, Dokter dsb) dan tenaga profesional (seperti: Auditor, Perencana, Pengawas, dsb)

b. Wewenang aparatur sipil Negara

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dinyatakan bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, Presiden bertindak selaku pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Dalam konsep Hukum Administrasi Negara, Presiden sebagai kepala Pemerintah berdampak bahwa Presiden mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Presiden memegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN.

Dalam menjalankan tugas tersebut, Presiden dibantu oleh para Menteri di tingkat Pemerintah Pusat dan Gubernur, Bupati dan walikota di tingkat Pemerintah daerah, yang berkedudukan sebagai aparatur pemerintah di bawah Presiden. Pelaksanaan tugas-tugas umum Pemerintahan dilaksanakan melalui tata kerja yang saling berkaitan dan berkesinambungan, dimana hal itu disebut sebagai suatu “birokrasi Pemerintah”. Pada dasarnya tugas yang dibebankan kepada aparatur pemerintah melalui birokrasi pemerintah, dilaksanakan oleh para pegawai

(34)

negeri baik yang berkedudukan di Pemerintah Pusat maupun di Pemerintah Daerah.

Aparatur sipil negara sebagai pejabat yang berwenang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kegiatan “Mengatur” dan “Mengurus” dalam rangka menyelenggarakan urusan Pemerintahan (bestuurszorg). Kewenangan Mengatur, diberikan kepada seorang Pejabat yang berwenang untuk membentuk kebijakan dalam bentuk regulasi/regeling (dalam rangka pelaksanaan undang- undang). Selanjutnya Kewenangan Mengurus, diberikan kepada seorang pejabat yang berwenang untuk membentuk kebijakan dalam bentuk penetapan/beschiking (dalam rangka merealisasi undang-undang menjadi nyata/konkrit).

PNS sebagai aparatur pemerintah tidak saja milik satu daerah melainkan sebuah aset pemerintah yang menjadi perekat Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Layaknya penugasan pegawai pada instansi kejaksaan, kepolisian, atau militer, PNS juga harus diputar ke luar daerah untuk bisa mendapatkan wawasan luas mengenai Indonesia. "Salah satu praktiknya adalah kepala daerah yang memiliki kewenangan penuh untuk menunjuk beberapa jabatan strategis, seperti kepala dinas, tanpa harus mempertimbangkan kompetensi calon yang akan mendudukinya," demikian pendapat Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Sadu Wasistiono. Salah satu solusi yang diberikan adalah pemerintah harus meningkatkan pengawasan kebijakan kepegawaian di daerah. Jangan sampai, primordialisme bisa berlangsung karena berbalut semangat otonomi daerah.

(35)

Karena itu Presiden sebagai kepela Pemerintahan berfungsi sebagai pelaksana manajemen Aparatur yang berada di bawahnya. Manajeman ASN dalam hal ini dimaksudkan sebagai pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Pembina ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat, selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya serta fungsional keahlian utama, kepada :

a. Menteri dan kementerian;

b. Pimpinan Lembaga di LPNK;

c. Sekretaris Jenderal di secretariat Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural;

d. Gubernur di Provinsi;

e. Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota.

2.5 Pengertian dan Jenis-Jenis Penyalahgunaan Wewenang

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian penyalahgunaan wewenang adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dalam hal mana perbuatan tersebut dilakukan karena adanya kesempatan, sarana atau kedudukannya sebagai pejabat.

KUHP sebagai hukum pidana materil telah mengatur ketentuan hukum terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Penting untuk dipahami

(36)

bahwa korupsi adalah manifestasi penyalahgunaan wewenang, mengingat telah diuraikan sebelumnya bahwa modus kejahatan korupsi berhubungan dengan public contract dan public service.

Secara spesifik aturan tentang penyalahgunaan wewenang diatur dalam:

a. Pasal 210 KUHP

Pemberian atau janji tidak harus berupa materi, dapat pula berupa jasa yang mempunyai nilai bagi yang menerima. Berdasarkan Yurisprudensi MA no. 81/K/Kr/1962 tanggal 1 Desember 1962, dalam pertimbangan hukumnya, pejabat adalah setiap orang yang diangkat oleh penguasa yang dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian dari tugas negara atau bagian-bagiannya.

Tujuan pemberian janji adalah agar hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara dapat memutuskan sesuai keinginan pihak yang memebri sesuatu atau janji.

b. Pasal 387 KUHP

Pelaku Tipikor bukanlah seorang pejabat atau PNS melainkan pemborong bangunan atau ahli bagunan atau penjual bahan bangunan.

Maksudnya ialah seorang pemborong atau ahli bangunan sewaktu membangun telah berbuat tidak sebagaimana harusnya.Demikian pula dengan penjual bahan bangunan menyerahkan kualitas lebih rendah dari harga perjanjian.

(37)

c. Pasal 415 KUHP

Merupakan ketentuan khusus dari pasal 372 KUHP yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau telah dengan sengaja membantu penggelapan oleh orang lain misalnya bawahannya.

d. Pasal 416 KUHP

Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum dengan sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku / daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi. Merupakan kekhususan pasal 263 KUHP

e. Pasal 417 KUHP

Masih dalam pengertian sama mengenai modus korupsi , yaitu dengan : (1) Menggelapkan

(2) Menghancurkan

(3) merusak/ membuat tidak dapat dipakai, yang dilakukan karena jabatannya.

f. Pasal 418 KUHP

Dalam hal pihak penerima hadiah, seorang pejabat patut mengetahui dan menduga bahwa karena tugas dan pekerjaannya maka pemberian hadiah terjadi.Hadiah atau janji diberikan untuk melakukan sesuatu menurut pikiran si pemberi.

(38)

g. Pasal 419 KUHP

Pemberian janji dimaksudkan untuk menggerakkan supaya pejabat penerima melakukan / tidak melakukan sesuatu dalam jabatannyayang bertentangan dengan kewajibannya.

h. Pasal 420 KUHP

Pasal ini ditujukan pada hakim yang menerima hadiah atau janji, yang diketahui bahwa diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya. Perbedaannya dengan 210 KUHP adalah: sasaran yang berbeda kepada seorang hakim yang telah menerima pemberian disebut penyogokan pasif atau passive omkoping, sedangkan yang lain kepada orang yang memberi, disebut dengan penyogokan aktif atau active omkoping.

i. Pasal 423 KUHP

Pasal ini ditujukan pada seorang pejabat dengan maksud memperkaya diri sendiri secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, memaksa membayar atau menerima pembayaran dengan potongan untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.Perbuatan ini selanjutnya dikenal dengan pemerasan dengan subyek pelaku adalah pejabat. (ketentuan khusus dari 355 KUHP)

j. Pasal 425 KUHP

Pelanggaran norma pidana materil yang dimaksud dalam pasal ini adalah padawaktu menjalankan tugas seorang pejabat:

(1) menerima / memotong pembayaran seolah-olah hutang

(39)

(2) meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan seolah-olah merupakan hutang pada dirinya

(3) menggunakan tanah negara yang diatasnya ada hak pakai dengan merugikan yang berhak

k. Pasal 435 KUHP

yang dimaksud dalam pasal ini adalah terjadinya tindak pidana pada keikutsertaan pejabat dalam pemborongan, penyerahan , persewaan , dimana seharusnyaia ditugasi mengawasi kegiatan tersebut.

Maka dapat disimpulkan, bahwa dalam KUHP terdapat batasan sempit tentang subyek pelaku tindak pidana, yakni :

(1) Setiap orang : sebagaimana dalam pasal 209,210, KUHP

(2) Seorang pemborong, ahli bangunan, penjual bahan bangunan : sebagaimana dalam pasal 378 KUHP

(3) Seorang pejabat atau orang lain: Pasal 415,416,417 KUHP (4) Seorang pejabat : Pasal 418, 419,423, 425,435 KUHP (5) Seorang Hakim : Pasal 420 KUHP

(6) Seorang Pengacara : Pasal 420 KUHP 2.6 Penyalahgunaan Wewenang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1997:1128), arti penyalahgunaan wewenang adalah: “perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menyalahgunakan kekuasaan yang membuat keputusan”.

(40)

Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi.

Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi.Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi.Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas.Makin ting gi jabatannya, makin besar kewenangannya.

Tindakan hukum terhadap orang-orang tersebut dipandang sebagai tindakan yang tidak wajar.Kondisi demikian merupakan sebuah kesesatan publik yang dapat merugikan organisasi secara menyeluruh.Dalam keadaan di mana masyarakat lemah karena miskin, buta hukum, buta administrasi, korupsi berjalan seperti angin lewat.

Pemerintah pada suatu negara merupakan salah satu unsur atau komponen dalam pembentukan negara yang baik.Terwujudnya pemerintahan yang baik adalah manakala terdapat sebuah sinergi antara swasta, rakyat dan pemerintah

(41)

sebagai fasilitator, yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan demokratis.

Proses pencapaian negara dengan pemerintahan yang baik memerlukan alat dalam membawa komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional. Alat pemerintahan tersebut adalah aparatur pemerintah yang dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sekarang disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.

Pembentukan disiplin, etika dan moral ditingkat pejabat pengambil keputusan, sangat diperlukan untuk menangkal kebijakan yang diambil penuh dengan nuansa kepentingan pribadi dan golongan/kelompok.Kalau itu yang terjadi, tanpa disadari bahwa itu merupakan penyalahgunaan wewenang jabatan, yang disebut abuse of power. Perwujudan tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut sebagian besar berdampak pada terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

Adakalanya tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut disebabkan karena kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, akan tetapi apabila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang berakibat pada kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka sesungguhnya itu adalah tindak pidana.

Persolan korupsi yang terjadi dari penyalahgunaan jabatan, terkait dengan kompleksitas masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup, kebutuhan

(42)

serta kebudayaan dan lingkungan sosial.Masalah kebutuhan atau tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial ekonomi, masalah struktur atau sistem ekonomi, masalah sistem atau budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi atau prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik.

Dengan demikian, kasus tindak pidana korupsi dengan modus penyalahgunaan wewenang jabatan bersifat multidimensi dan kompleks.

Sekalipun tindak pidana korupsi bersifat multidimensi dan kompleks, akan tetapi ada satu hal yang merupakan penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi khususnya dalam birokrasi, yaitu kesempatan dan jabatan atau kekuasaan. Seseorang akan cenderung menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, apabila mempunyai kesempatan.

Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan ini merupakan sebagai salah satu unsur penting dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Unsur penting yang dimaksudkan adalah “penyalahgunaan wewenang, yang dapat menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara”.Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan khususnya dalam pengelolaan dan peruntukkan keuangan negara oleh aparatur negara, sesungguhnya itu merupakan tindak pidana korupsi oleh karena sifatnya merugikan perekonomian negara dan keuangan negara.

(43)

Artinya bahwa sekalipun itu dipandang hanya sebagai kebijakan publik yang sifatnya administratif, akan tetapi apabila sudah berakibat pada merugikan perekonomian negara dan keuangan negara, maka sesusngguhnya itu adalah merupakan tindak pidana.

Mencermati apa yang dikemukakan di atas, maka penyalahgunaan kewenangan dalam kekuasaan atau jabatan dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan karena perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang tercela, oleh karena orang cenderung melaksanakan sesuatu tidak sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan.

Akan tetapi malahan sebaliknya, yaitu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan tindak pidana korupsi.Dalam ketentuan perundang-undangan mengatur tentang bagaimana perbuatan atau tindakan penyalahgunaan kewenangan itu harus bersifat merugikan keuangan negara, maka tindakan ini rentan dan seringkali ditemui di kalangan aparatur negara atau pegawai negeri sipil.

Mengingat peranan dan kedudukan pegawai negeri adalah aparatur negara yang juga memegang kekuasaan, maka tidaklah berlebihan bahwa dalam diri pegawai negeri terdapat potensi untuk menyalahgunakan kedudukan, kewenangan atau kekuasaannya.

(44)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Penyalahgunaan Wewenang Oleh Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar

Pada pembahasan ini penulis akan memaparkan dan menganalisis unsur-unsur penyalahgunaan wewenang pada nomor register perkara: PDS- 05 /R.4.10/Ft.1/04/2017/MKS Surat Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Makassar.

Salah satu hal pokok yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 adalah bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan Pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B dan Pasal 12 C. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 untuk pertama kali diperkenalkan satu tindak pidana korupsi yang baru yang sebelumnya sudah ada terselip dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi tidak ada disebutkan dengan rinci dan jelas.23 Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:

(45)

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum:

2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur :

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2. Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);

3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;

4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.

(46)

Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan

“yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Berdasarkan batasan gratifikasi di atas, hampir dapat dipastikan semua Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara di negeri ini telah melakukan dan/atau menerima “SUAP” selama ia melakukan tugas sebagai pelayanan publik.

Namun menurut hemat penulis, tidak semua “Gratifikasi” dapat memenuhi unsur dapat diancam pidana sebagaimana disebut di atas. Sepanjang “gratifikasi”

tersebut terjadi tidak bertentangan atau berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, sekalipun “gratifikasi” tersebut berhubungan dengan jabatannya baik sebagai Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara, gratifikasi tersebut tidak memenuhi unsur dapat diancam dengan pidana. Karena unsur “berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya” adalah merupakan unsur yang integral atau satu kesatuan unsur yang tidak dapat dipisahkan.

Jadi kata kunci pemberian suap dalam pengertian “gratifikasi” adalah jika gratifikasi itu terjadi yang bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Ancaman pidana suap dalam gratifikasi, memang sangat diperlukan karena tidak sedikit pegawai

(47)

negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima janji atau menawarkan janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugas yang seharus dilakukannya sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Akan tetapi justifikasi terhadap yang namanya gratifikasi menurut penulis harus lebih ditafsirkan dengan ekstra hatihati, karena menyangkut rasa keadilan yang hidup di masyarakat, dengan kata lain gratifikasi yang bisa dikenakan ancaman pidana sebagaimana tertulis di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “gratifikasi yang berindikasi suap”.

Dalam skripsi ini penulis juga mencermati rumusan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang kurang jelas tentang batasan nilai hadiah yang boleh diterima pejabat negara atau pegawai negeri (gratifikasi), di mana hal ini merupakan salah satu kelemahan yang ada pada UU No. 20 Tahun 2001 khususnya tentang gratifikasi, dan menurut penulis juga akan mengalami kesulitan dalam implementasinya. Sementara ini walaupun batas minimum untuk gratifikasi belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menfkominfo pada tahun 2005 bahwa dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan kedalam kelompok gratifikasi.

Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi.

Menurut Pasal 12B ayat 1 yang berbunyi : “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,……”. Mencantumkan kata “dianggap” dalam rumusan pada ayat (1) mengandung makna bahwa rumusan korupsi suap menerima gratifikasi ayat (1)

(48)

ini pada dasarnya bukan suap, tetapi dianggap saja, dianggap suap. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi, melainkan pengertian harfiah ialah pemberian dalam arti luas (penjelasan Pasal 12B).

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa dilihat dari formulasinya,

“gratifikasi” bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik. Yang dijadikan delik bukan gratifikasinya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi. Menurut penulis, sebaiknya istilah gratifikasi dalam formulasi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebaiknya diperjelas kualifikasi deliknya dengan sebutan “tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi”, sehingga dalam implementasi hukumnya nanti tidak mengalami kesulitan.

Mengenai ketentuan pembuktian bahwa gratifikasi atau hadiah yang diterima pegawai negeri adalah bukan suap. Pada Pasal 12 B disebutkan bahwa jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa itu bukan suap dilakukan oleh si penerima gratifikasi. Tetapi, jika nilai gratifikasi yang diterima kurang dari Rp 10 juta, maka pembuktian bahwa itu bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.

Beban pembuktian terhadap penerima gratifikasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12B ayat 1 huruf a adalah beban pembuktian terbalik yakni yang wajib membuktikan bahwa seseorang tidak melakukan korupsi dalam bentuk gratifikasi adalah si penerima gratifikasi sendiri. Dan sistem pembuktian terbalik juga terdapat dalam Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 berlaku pada tindak pidana

(49)

korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih. Bunyi Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 adalah :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Sedangkan beban pembuktian terhadap penerima gratifikasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12B ayat 1 huruf b yang intinya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10 juta, beban pembuktiannya ada pada Jaksa Penuntut Umum artinya dengan dengan sistem beban pembuktian biasa, yakni beban pembuktiannya berada pada Jaksa Penuntut Umum sesuai KUHAP.

Maka menururt penulis jika dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan terdakwa Muhammad Yusran selaku Kepala Sekolah Menengah atas Negeri 5 Makassar. Perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana gratifikasi yang terdapat pada pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang mana terdakwa selaku kepala sekolah yang menjadi Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintahan.

(50)

2. Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas); terdakwa yang menerima uang setelah memberitahukan kepada para orang tua siswa bahwa anak mereka telah diterima di sma negeri 5 makassar, para orang tua yang menerima penyampaian tersebut kemudian mendatangi sekolah dan bertemu dengan terdakwa dan memberikan sejumlah uang dengan cara antara lain diberikan dengan disaksikan oleh orang tua siswa lain dan juga yang tanpa dilihat dengan menyelipkan amplop dalam berkas pendaftaran.

3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; terdakwa menerima pemberian uang tersebut karena berhubungan selaku jabatannya sebagai kepala sekolah di sma negeri 5 makassar.

4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Bahwa setelah menerima uang sekian banyak dengan nominal Rp. 400.000.000.- (empat ratus juta rupiah) atau setidaknya sekitar jumlah itu, terdakwa tidak melaporkan penerimaan tersebut dan bahkan telah menggunakan uang tersebut sebanyak Rp. 70.306.000.- (tujuh puluh juta tiga ratus enam ribu rupiah) untuk keperluan pribadi.

Sehingga dari hasil analisis penulis bahwa terdakwa lebih tepat didakwa denga pasal 12B Jo pasal 17 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(51)

Seperti yang penulis kutip dari hasil wawancara bersama jaksa yang menangani kasus Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Makassar ini bahwa “pemberian yang dilakukan karena adanya hubungannya dengan jabatannya” tutur jaksa penuntut umum Ahmad Yani,S.H.

Karena anak dari orang tua siswa yang anaknya tidak diterima atau tidak lulus dalam penerimaan online kemudiaan mencari cara dengan bertemu kepala sekolah agar anaknya dapat diterima di SMA Negeri 5, kepala sekolah pun merespon dengan cara membuka jalur offline dan menambahkan kelas dengan ketentuan, ketentuan ini tanda kutip dengan memberikan sesuatu yang judulnya sumbangan yang mana dalam pemikiran para orang tua siswa pemberian tersebut diberikan dengan maksud agar anak mereka dapat diterima oleh sekolah tersebut.

Maka hasil analisa penulis bahwa terdakwa selaku Kepala Sekolah SMA Negrei 5 Makassar dan sebagai penanggungujawab dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yang menerima pemberian hadiah berupa uang sumbangan dari orang tua siswa kelas smart (kelas tambahan atau jalur offline) padahal diduga bahwa hadiah berupa uang dalam bentuk sumbangan tersebut diberikan oleh orang tua siswa kelas smart kepada terdakwa sebagai karena terdakwa telah menerima anak-anak mereka sebagai siswa baru TA 2016/2017 secara offline atau kuota tambahan , dengan membuka kembali 3 kelas tambahan atau kelas smart padahal terdakwa mengetahui tidak ada PPDB TA. 2016/2017 di SMA Negeri 5 Makassar melalui jalur offline.

Referensi

Dokumen terkait