(Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia)
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Gerry Pamungkas
1110048000038
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
(Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia) Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Oleh :
GERRY PAMUNGKAS 1110048000038
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
Penegasan pertama kali yang menyebutkan Kejaksaan sebagai satu
Departemen dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang disahkan pada
tanggal 30 Juni 1961, yang mana sebelumnya kejaksaan berada satu atap dengan
kehakiman. Hal ini memantapkan kedudukan, organisasi, jabatan, tugas dan
wewenang Kejaksaan. Dikeluarkannya Undang-Undang Kejaksaan tersebut
dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis agar Kejaksaan lebih mampu dan
berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Kesimpulan dan saran dalam penulisan skripsi ini adalah kedudukan dan
peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan
dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah
Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang
penuntutan di lingkungan peradilan umum, Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh
kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara
atau instansi lain. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara bahwa ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” Pelaksanaan fungsi
pengacara negara oleh kejaksaan harus dilaksanakan dalam kerangka negara hukum
guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara
Indonesia, Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara hendaknya selalu berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Kata Kunci : Kejaksaan, Pengacara, Negara.
Pembimbing
: Ismail Hasani
Abu Tamrin
v
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in serta
kamu muslimmin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir
zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju
jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan
untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga
skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya
rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya
tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak
membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada
penulis guna menyempurnakan skripsi ini.
Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
vii
Hukum Kelembagaan Negara
3. Ismail Hasani,SH. MH. Dosen Pembimbing I, dan Abu
Tamrin,SH.,M.Hum. Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada
penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain
ucapan terima kasih dan doa semoga Allah SWT membalasnya.
4. Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan
utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Ayahanda Samadi dan Ibunda Sumiyati yang telah
mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak henti-hentinya
memberikan nasehat, dukungan baik moriil dan materiil yang tak
terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk
penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bias
menyelesaikan studi S1 ini.
6. Kakak-kakak tersayang, Widiyanto Nugroho,SH.,MH., Dini Mayasari,M.Si., Widyowati Rahayu,Amg., Mochammad Fitri Adhi,SH., Taufiqurahman,S.Kom., Cut Wardah,SH,.MH, Edy Prabudy,SH yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini..
viii
7. Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan
dukungan tanpa henti kepada penulis, teman-teman Ilmu Hukum 2010,
, Serigala, Kosan Pesanggarahan,.
8. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian
skripsi ini dan tidak dapat disebut satu persatu
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan
semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala
yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya.
Jakarta, Desember 2014
ix
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
1. Pembatasan Masalah ... 8
2. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1. Tujuan Penelitian ... 9
2. Manfaat Penelitian ... 9
D. Review (kajian) Studi Terdahulu ... 10
E. Metode Penelitian ... 12
1. Pendekatan Masalah ... 12
2. Sumber Data dan Kriteria Data ... 12
3. Metode Pengumpulan Data... 14
4. Metode Analisis ... 14
5. Kerangka Teori dan Definisi Operasional ... 15
x
1. Sebelum Reformasi ... 20
2. Masa Reformasi ... 24
B. Kedudukan dan Peranan Kejaksaan Republik Indonesia ... 30
1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia ... 30
2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia ... 32
3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia... 34
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI PENGACARA NEGARA OLEH
KEJAKSAAN ... 42
A. Syarat-Syarat Menjadi Jaksa ... 42
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ... 46
C. Pelaksanaan Fungsi Pengacara Negara Oleh Kejaksaan ... 53
BAB IV
INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKSANAKAN
TUGAS SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA ... 57
A. Independensi Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Sistem
Negara Hukum Di Indonesia ... 57
B. Independensi Fungsional Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan
Kinerja Dalam Penegakan Hukum ... 63
BAB V
PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
1 A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dalam
semangat globalisasi telah menghantarkan masyarakat pada perubahan
paradigma berfikir yang lebih baik, termasuk terhadap praktek-praktek
penyelenggaraan pemeritahan. Jika berbicara mengenai Kejaksaan, hal
pertama yang terpikir adalah tentang lembaga yang menangani
permasalahan-permasalahan pidana atau kejahatan. Hal-hal yang ditangani Kejaksaan
merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan perbuatan tindak pidana,
namun disisi lain masih banyak hal-hal yang belum banyak diketahui
masyarakat, seluk beluk aktivitas apa saja yang sebenarnya ditangani oleh
instansi tersebut.1
Dalam system peradilan pidana peranan kejaksaan sangat sentral karena
kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus
diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah
sesorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan
dan tuntutan yang dibuatnya. Sedemikian pentingnya posisi jaksa bagi proses
penegakan hokum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang
professional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
1
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2001), h. 92.
Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa
kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan
dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana, kejaksaan
juga memiliki peran lain dalam bidang hokum, perdata dan tata usaha Negara,
yaitu mewakili Negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan TUN.2
Istilah “Jaksa” sudah berabad-abad lamanya digunakan yang berasal dari
bahasa Sanskerta adhyaksa. Sebutan ini dipakai untuk gelar pendeta paling
tinggi di Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, dan terutama dipakai untuk
gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Menurut ejaan yang paling tua pada
zaman pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie / Perserikatan
Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (selanjutnya
disingkat VOC) diabad keenam belas ditulis sebagai “j-a-x-a”. Sejak zaman
itu sampai dengan pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1942, “jaxa” dan
kemudian “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi
Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate dan sejak zaman
pendudukan Militer Jepang pada tahun 1942-1945, “jaksa” pada masa itu
ditulis djaksa adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut
perkara-perkara pidana.3
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai
salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
2
Hamzah,Andi, 1990. Pengatur Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. h. 70.
3
Hamzah, Andi, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.3.
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan
hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh
Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala
Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga
Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam
pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi
filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta
juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.Sehingga,
Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus
dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Hukum Acara Pidana.
Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi
pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam
perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan
dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai
pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum
serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan
Undang-Undang.4
Penuntutan merupakan langkah penting dalam proses penindakan pidana
karena penuntutan itu dihubungkan penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa bertindak baik sebagai Jaksa
Pengacara Negara maupun sebagai pengacara masyarakat. Jaksa merupakan
pelindung kepentingan umum. Oleh karena itu sikap seorang Jaksa terhadap
tersangka/terdakwa dan orang-orang yang diperiksanya harus objektif dan
tidak memihak.5
Kejaksaan sebagai satu lembaga pemerintahan, dasarnya bukan hanya
Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat
UUD 1945), tetapi juga Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yaitu bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945,
hal mana sejalan dengan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pada tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disingkat KUHAP) diberlakukan, yang pada saat itu
menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi kejaksaan dalam bidang
4
Kejaksaan, PengertiaKejaksaan,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1, diakses Senin, 01 maret 2014. Jam 10.00 WIB
5
Andi Hamzah, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.10.
penyelidikan yang dialihkan kepada kepolisian. Dengan terjadinya pergeseran
peran jaksa terutama di bidang pidana yaitu tidak dapat melakukan
penyelidikan lagi, namun tugas jaksa tidak berarti menjadi lebih sedikit atau
ringan melainkan munculnya peran kejaksaan dalam bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara menurut dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu bahwa “Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara,
kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah. Yang pada akhirnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia tugas penyidikan itu dapat kembali dilakukan oleh Jaksa
terhadap perbuatan-perbuatan yang diindikasikan tindak pidana / melanggar
hukum.
Penambahan dari fungsi pidana ke perdata ini juga telah ditindaklanjuti
dengan kebijakan kejaksaan dengan dibentuknya suatu lembaga baru dalam
lingkungan organisasi kejaksaan agung melalui Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN),
organisasi ini juga dibentuk dalam tingkat Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri.
Faktor pendorong kejaksaan menjalankan fungsinya dibidang perdata dan tata usaha negara yaitu melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat, dimana terdapat permasalahan yang sangat rumit, misalnya tentang
penguasaan tanah/asset Negara yang dilakukan oleh masyarakat, disini pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk penyelesaian masalah pengembalian tanah/asset negara tersebut. Disinilah pemerintah dapat menggunakan jasa kejaksaan, dan dalam hal ini peranan kejaksaan sebagai jaksa pengacara pemerintah diharapkan dapat mengembalikan asset Negara tersebut, baik dengan penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi. Peran kejaksaan di bidang perdata diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin maju seiring dengan zaman, dimana dengan pemikiran hukum yang semakin maju masyarakat mengetahui, menuntut, dan mempertahankan hak-haknya.
Fakta lain yang dapat dirasakan saat ini dengan adanya peranan
kejaksaan di bidang perdata sangat memberikan kontribusi yang cukup besar kepada masyarakat luas juga. Kontribusi yang dimaksud yaitu didalam
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat guna menyelesaikan sengketa antar masyarakat maupun antar kelompok masyarakat, kejaksaan
dengan saran atau pendapat hukum yang diberikan dapat memberikan solusi kepada masyarakat dalam penyelesaian suatu masalah sehingga tidak perlu diselesaikan melalui proses pengadilan, sedang peranan Kejaksaan untuk pemerintah di bidang perdata dapat memberikan pendapat hukum atau bantuan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dimana permasalahan dimaksud dapat diselesakan melalui litigasi maupun non litigasi namun dari pada itu Kejaksaan di dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara negara harus tetap mampu menjaga keseimbangan/keserasian tugas di dalam Kejaksaan itu sendiri, yang dimaksudkan misalnya menghidari terjadinya conflict of interest (konflik kepentingan), sehingga tidak mengganggu fungsi utama kejaksaan di
bidang penuntutan.6 Sebagai contoh permasalahan yang didalamnya terdapat perbenturan kepentingan ini terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi dalam proses perkara
pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak
sebagai jaksa penuntut umum menuntut warga melakukan tindak pidana
penyerobotan berdasarkan laporan dari PT.Pelindo, namun majelis hakim
memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan perbuatan pidana dan
menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan
bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam sidang perkara
perdata.Setelah itu, pihak Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas
sebagai Jaksa Pengacara Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan
pemanggilan kepada satu-persatu warga (termasuk mantan Terdakwa yang
diputus lepas) untuk melakukan negosiasi mengenai objek tanah yang
disengketakan. Dalam contoh kasus tersebut sangat jelas terjadi "konflik
kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut
Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum pidana materiil secara
objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada kasus pokok yang sama
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili kepentingan keperdataan
PT. Pelindo.7
6
Djoko Prakoso, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), h. 9.
7
Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan Permasalahannya, http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php, diakses Senin, 01 maret 2014. Jam 10.00 WIB
Dengan munculnya peranan jaksa selain sebagai penuntut umum,
dimana harus mampu menjalankan peran pada masing-masing tugas yang
dihadapkan secara profesional, maka penulis memilih judul “Peran
Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara (Studi di Kejaksaan Agung RI)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Banyak peran dan tugas dari instansi Kejaksaan ini dalam penegakan
hukum di Indonesia, agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu
meluas, maka penelitian ini hanya dibatasi pada peran dan fungsi
Kejaksaan Agung beserta Independensi kejaksaan tersebut dalam
pelaksanaan tugasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah dan Pembatasan masalah yang
terlah diuraikan diatas, maka untuk lebih mengarah pada pokok
permasalahan penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia?
b. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan
Agung?
c. Apakah Kejaksaan Agung memeliki independensi dalam
melaksanakan tugas sebagai Jaksa Pengacara Negara?
d. Faktor apa yang mendukung independensi kejaksaan dalam
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan fungsi pengacara
Negara oleh Kejaksaan khususnya di Kejaksaan Agung.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji independensi Kejaksaan Agung
dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara Negara.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis, dapat memberikan atau menambah khazanah ilmu
pengetahuan kepada mahasiswa tentang Peranan Kejaksaan selain
sebagai penuntut umum didalam sistem peradilan pidana namun juga
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara
b. Secara Praktis, dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
maupun setiap orang yang membaca skripsi ini mengenai luasnya
ruang lingkup kerja Kejaksaan yang tidak hanya mempunyai peran
sebagai penuntut umum dalam fungsinya sebagai penegakkan hukum
di Indonesia dan memberikan wawasan mengenai struktur kerja
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti
berbeda. Dari penelitian ini penulis, menemukan sumber kajian yang lain yang telah terlebih dahulu membahas terkait Jaksa Pengacara Negara.Yang dibahas oleh :
1. IKA SETHIANINGRUM yang berjudul “Pelaksanaan Tugas Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata Terkait Upaya
Pemulihan dan Penyelamatan Kekayaan Negara” Pada Tahun 2011 di Kejaksaan Tinggi Riau).Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang 2012.
Yang dalam penelitiannya menitik beratkan pada proses pemulihan dan penyelamatan kekayaan Negara oleh Jaksa Pengacara Negara sebagaimana temaktub dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN).
2. ACHMAD BUSRO yang berjudul “Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Keuangan Dan Atau Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdatan.” Universitas Diponegoro Semarang 2011.
Yang dalam penelitiannya penulis melihat kinerja para Jaksa Pengacara Negara dalam proses pengembalian Keuangan dan atau Aset Negara yang berasal dari suatu tindak Pidana Korupsi maupun yang
berasal atas dasar kerugian Keperdataan yang dialami oleh Negara. 3. EVY LUSIA EKAWATI “Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam
Penanganan Perkara Perdata” Dalam bukunya menjelaskan Peranan Jaksa
Pengcara Negara dalam Nota Kesepahaman yang dibuat antara Kejaksaan
Negeri Yogyakarta dengan PLN wilayah Jogja dalam menekan jumlah
pelanggan PLN yang nakal dan menangangi tunggakan tagihan pelanggan
untuk selanjutnya dilakukan tindakan persuasif oleh Jaksa Pengacara
Negara.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, semakin jelaslah dasar hukum bagi
kejaksaan untuk bertindak dalam bidang keperdataan sebagai pihak
penggugat dan tergugat dalam pengembalian aset hasil korupsi dan bertindak
sebagai pengacara negara meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal
penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara.Maka penulis mengambil
kesimpulan terhadap kajian pustaka tersebut diatas, bahwa jaksa dapat
bertindak mewakili negara didalam maupun diluar pengadilan dengan surat
kuasa khusus.
Dan perbedaan dengan tema dan arah tujuan dalam penelitian ini ialah
Independensi seorang Jaksa selain sebagai Penuntut Umum namun juga
sebagai Jaksa Pengcara Negara yang dapat bertindak sebagai penggugat
ataupun tergugat dengan surat khusus dapat bertindak didalam maupun diluar
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) , pendekatan kasus (case
approach), pendekatan sejarah (history approach), pendekatan komparativ
(comparativ approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).8Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan-pendekatan tersebut akan mendapat informasi dari
berbagai aspek mengenai peran Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach).
2. Sumber Data dan Kriteria Data
Yang dimaksud dalam sumber data dalam penelitian ini adalah sumber dimana data diperoleh, berdasarkan jenis datanya, yaitu data sekunder. Maka dalam penelitian ini yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari:
1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
2) Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak
8
Pidana Korupsi.
3) Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai sejumlah keterangan atau fakta dengan cara
mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa buku-buku,
dokumen-dokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-undangan,
surat kabar dan sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan
permasalahan yang diteliti9 yaitu Independensi Jaksa Pengacara Negara.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan sebagainya yang memberi penjelasan akan permasalahan
yang diteliti10 Independensi Jaksa Pengcaara Negara di Kejaksaan
Agung.
3. Metode Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal
ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki validitas
dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal
beberapa jenis teknik pengumpulan data yaitu;
a. Observasi, yaitu suatu pengamatan yang khusus serta pencatatan yang
9
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),h.25.
10
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),26
sistematis yang ditujukan pasa satu atau beberapa fase masalah di dalam rangka penelitian, dengan maksud untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan metode ini diharapkan mendapat gambaran secara objektif keadaan yang diteliti yaitu langsung dari kantor Kejaksaan Agung.
b. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa dokumen. Data-data tersebut berupa arsip-arsip yang ada di Kejaksaan Agung dan juga buku-buku tentang pendapat, teori, hukum-hukum serta hal-hal lain yang sifatnya mendukung dalam penyusunan skripsi ini. 4. Metode Analisis
Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.11Penyusun menggunakan metode analisa kualitatif, yakni memperkuat analisa dengan melihat
kualitas data yang diperoleh. Data yang terkumpul, selanjutnya dianalisa menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari
teori atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisa bagaimana Independensi Kejaksaaan Agung dalam melakasanakan perannya sebagai Jaksa Pengacara Negara.
F. Metode Penulisan 1. Kerangka Teori
Untuk mengetahui tentang peran kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara
Negara (JPN), didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori
11
Hadi Sutrino, Metodelogi Research Untuk Penulisan Paper, Thesis dan Disertasi, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h.62.
yang belakangan merupakan reaksi atau umpan balik ataupun perbaikan
dari teori sebelumnya. Teori yang digunakan adalah teori negara hukum
(rechtsstaat), teori tujuan hukum dan teori penegakan hukum (law
enforcement).
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat),bukan Negara
kekuasaan belaka (machtsstaat). Franz Magnis Suseno,12mengatakan
kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar
hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan
negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.
Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah
ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang
dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat
dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di
lingkungan masyarakat tempat ia hidup.13
Eksistensi kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep
rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia.
Kehadiran kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah;
pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah
kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang
12
Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 295.
13
Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun
pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak
kesewenag-wenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan Republik
Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang
mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
penegakan hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian
hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas
penuntutan dalam proses peradilan.
Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto,
merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan
karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan
hukum yang diharapakan.14 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu
kiranya mendudukkan kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional
agar mandiri dan independen dalam perspektif teori negara hukum dan
teori pembagian kekuasaan.. Kemudian konsep negara hukum Indonesia
bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat
yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah konstruksi secara internal pada pembaca
yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan
tinjauan kepustakaan. Definisi Operasional ini dibuat untuk menghindari
14
Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 5.
pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam
penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa
definisi yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.15
b. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dalam ruang lingkup lembaga
kejaksaan yang diberi wewenang di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.16
c. Pengacara atau Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.17
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka akan diuraikan secara singkat sistematika penulisan yang akan dibahas dalam
skripsi ini dengan urian sebagai berikut :
15
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
16
AridonaBustari,Selayang Pandang Jaksa Pengacara Negara, http://datunkejaritakengon. blogspot.com/p/artikel-hukum.html,diakses 22 Desember 2014
17
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia, pada bab ini
akan dibahas mengenai sejarah lahirnya Kejaksaan Republik
Indonesia, Tempat dan kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia,
peran Kejaksaan Republik Indonesia dan susunan organisasi dan
tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Bab III : Pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan, pada bab ini
akan dibahas mengenai dasar hukum Kejaksaan sebagai jaksa
pengacara Negara, Syarat-syarat Kejaksaan sebagai jaksa
pengacara Negara dan fungsi, tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagai jaksa pengacara Negara. Hambatan Kejaksaan sebagai
jaksa pengacara negara dalam penyelesaian kasus dan Upaya
Kejaksaan sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelesaian
kasus.
Bab IV: Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara, pada bab ini akan dibahas mengenai
independensi kejaksaan dalam kaitan dengan tata hukum Indonesia
(kelembagaan) dan independensi kejakasaan secara fungsional.
19
A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia 1. Sebelum Reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada
zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari
bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Menurut W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat
negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam
Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). 18Dhyaksa adalah hakim yang
diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan.
Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi
yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini
didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa
adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi
(oppenrrechter).19
Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan
menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga
18
W.F. Stutterheim, “Sejarah”, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
19
H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_
adalah seorang adhyaksa.20 Pada masa pendudukan Belanda, badan yang
ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar
Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan
sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad
(Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten
Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan
Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung
antara lain :21
a. Mempertahankan segala peraturan Negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya
dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen
yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh
20
Krom dan Van Vollenhoven, “Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia”,
http://lotus bougenville.wordpress.com/2010/06/16/kejaksaan-agung/, diakses Sabtu, tanggal 09
Agustus 2014. 21
EtymZuafria. Amd,“Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/2010_05_01_archive
Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :22
a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran b. Menuntut Perkara
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah
Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
22
Just another WordPress, “Sejarah Kejaksaan RI Sebelum Reformasi”, http://cabjaribrandan.
Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai
perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun
waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya,
hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh
dua) periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan
sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta
tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga juga mengalami
berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar
pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, undang-undang ini menegaskan
Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai
penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan
dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang
diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan
dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut
Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga
mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara
institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
2. Masa Reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa
reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kehadiran
undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap
sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 2 Ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan
Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses
perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan
hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang
Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana
putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga
negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan.
Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan
kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan
secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa
dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan
tugas profesionalnya.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
a. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) Melakukan penuntutan;
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
4) Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan
atas nama negara atau pemerintah.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) Pengamanan peredaran barang cetakan;
4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan dapat
sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal
yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi
tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal
33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum
dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34
menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan
hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab.
Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini
mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi
korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap
tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja
dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian Republik Indonesia
dan badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain :
1) Modus operandi yang tergolong canggih
2) Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau
3) Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan
berbagai peraturan
4) Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
5) Manajemen sumber daya manusia
6) Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
7) Sarana dan prasarana yang belum memadai
8) Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan
penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan
pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur beban
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi
yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan
undang-undang ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para
koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam undang-undang
tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan
penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh undang-undang
ini.
Akhirnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa
melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan
luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai
(extraordinary crime).
Sehingga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan
pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk
penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 (empat)
Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni
Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan
Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan
penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian
dan Kejaksaan Republik Indonesia. Sementara khusus untuk penuntutan,
tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK
menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain
B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia
Mengenai kedudukan dan peranan kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral,
didalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di Pengadilan.
1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia
Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan
fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan
oleh kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.23
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
Pasal 2 :
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-
Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu dan tidak
terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan
negeri.
Pasal 4
(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara
Republik Indonesia.
23
Wijatobone,“KedudukanKejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimali
sasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasi-hukum/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus
(2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia
UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara
hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahtraan bagi
setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu,
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut
setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.
Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut harus
dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka
dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi profesi Jaksa dalam
melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga
penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN.
Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses
pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan
adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut
menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta
melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis
Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa.
Dasar hukum pelaksanaan kedudukan dan peranan Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan
badan-badan penegak hukum dan keadilan dijabarkan pada Pasal 5 Ayat
(1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu :
Pasal 5 Ayat (1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. Jaksa Agung;
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai
berikut :
1) Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan
tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan
agar berdaya guna dan berhasil guna;
2) Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan
penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif
yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan
tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4) Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan
instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta
melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan
oleh Presiden;
5) Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang
terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia,
peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban
umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta
pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban
masyarakat dan negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
6) Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha
negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di
dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden;
7) Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan
kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana
mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;
8) Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara
bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani
perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
9) Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan
melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
10) Membentuk Satuan Tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari
instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana
tertentu sesuai dengan kebutuhan;
11) Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga
pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan
organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul
terutama yang menjadi tanggung jawabnya.
Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang
wakil Jaksa Agung.
b. Wakil Jaksa Agung;
Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu :
1) Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan
organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis
operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna;
2) Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan
tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan
Kejaksaan di daerah;
3) Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan;
4) Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa
Agung.
Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung
c. Jaksa Agung Muda Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan keuangan,
kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan
penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan
perundang-undangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi
tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan
administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka
memperlancar pelaksanaan tugas.
d. Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab
langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang
melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik,
ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung
represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban
dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan
hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu
pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta
fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum
yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan
wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan
tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung.
f. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu
pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta
fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan
wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
g. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur
pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara
perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan
dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang
perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara
dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung.
h. Jaksa Agung Muda Pengawasan;
Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan
semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
i. Pusat;
1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur
penunjang kegiatan Kejaksaan
2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
j. Kejaksaan di Daerah :
Kejaksaan di daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas
dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi
dan Kejaksaan Negeri diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendayagunaan aparatur negara.
1) Kejaksaan Tinggi