• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika selalu ada. Bumi ini selalu berjalan. Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika selalu ada. Bumi ini selalu berjalan. Pembangunan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Edisi 3, Agustus 2013

Memotret, Menjaga Alam

Ular-ular Batang Toru

Sensasi Motret Satwa Malam

Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut

Berbagi “rumah” dengan Katak Pohon Bergaris

Tropidolaemus wagleri, Dekat dan Berbahaya

Telur Reptil Malang di Ladangku?

(2)

Salam konservasi!

Pembimbing

Ketua Departemen Biologi FMIPA USU

Konsultan Kontribusi

Mistar Kamsi, Giyanto, Munawar Kholis, Joko Guntoro

Penanggung Jawab

Posma Tarida Tua

Pemimpin Redaksi

Akhmad Junaedi Siregar

Editor

Chairunas Adha Putra

Administrasi

Desy Hikmatullah

Kontributor

Khairul Umri, Tengku Gilang Pradana, Herclus Tampubolon, Trisi Sanjaya,

Siska Handayani

Disainer

Herpetologer Mania

Diterbitkan oleh Herpetologer Mania Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup

(BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU

Redaksi menerima tulisan & foto dengan mengirimkannya ke e-mail

herpetologermania@gmail.com.

Daftar Isi

Salam Herpet,

D

inamika selalu ada. Bumi ini selalu berjalan. Pembangunan

yang saat ini telah berlari barang tentu merubah lingkungan di sekitarnya. Sebagai pecinta lingkungan dan memiliki sedikit pengetahuan tentang konservasi, kita telah melihat bagaimana bumi ke depannya. Ada kekhawatiran yang mendalam pada keberlangsungan bumi yang hijau.

Kenapa hal ini terjadi? Kalau kami berpendapat, tidak lain adalah keserakahan manusia semata. Ini soal konsumsi yang tinggi dan nafsu yang kuat. Manusia telah meninggikan standarnya dengan mengonsumsi komoditi yang lebih banyak dari biasanya. Banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi yang kadang-kadang bukanlah sesuatu yang sangat penting sekali. Hal inilah yang menggerakkan bumi, tambang-tambang dibuka, properti memakan lahan yang luas, plastik semakin menggunung, hutan semakin terdesak, dan perusahaan pabrikan otomotif semakin menggila.

Sebenarnya jika kesederhanaan hidup dan kesadaran individual terhadap lingkungan baik, niscaya kerusakan lingkungan akan sangat lambat. Manusia sebagai bagian dari kelas hewan jika tidak menggunakan hasrat dan keserakahannya akan sama seperti hewan, tidak merusak alam. Karena belum ada peneliti manapun yang menuduh hewan merusak lingkungan.

Ada beberapa kegiatan manusia yang ramah lingkungan seperti kegiatan wisata fotografi, pertanian organik, daur ulang, dan sebagainya. Edisi ini hadir dengan nuansa fotografi yang kental, di mana beberapa kontributor bercerita tentang fotografi herpetologi. Tentunya ini adalah bahagian dari usaha menjaga lingkungan yang lebih baik.

Nah, selamat menikmati edisi ke-3 Herpetologer Mania. Redaksi

I

lmu pengetahuan itu sangatlah luas.

Ketika universitas mengerucutkan skup studi menjadi jurusan-jurusan, di dalamnya akan muncul juga ragam bidang-bidang penelitian. Bidang itu kemudian menghadirkan minat-minat khusus, judul-judul, sub judul yang tiada habisnya. Ilmu pengetahuan itu adalah samudera luas yang sampai kapanpun tidak akan menemukan titik akhir.

Oleh karena itu, peneliti dan pecinta lingkungan harus memprioritaskan studi-studi yang bersifat dekat dengan manusia, itu ditandai dari kemanfaatannya terhadap manusia saat ini. Hal ini sesuai dengan ajaran bahwa sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat.

Herpetofauna adalah satu bidang yang menarik untuk dikaji. Dan saat ini belum luas dipahami manfaatnya. Nah di sinilah terletak tantangan peneliti dan pecinta amfibi dan reptil untuk menggali manfaatnya diciptakan. Bukankah sesuatunya itu ada karena ada manfaatnya? Mari sama-sama berbuat untuk alam yang indah ini!

Nursahara Pasaribu

(Ketua Dept. Biologi FMIPA USU)

4. Telur Reptil Malang di Ladangku? 6. Ular-ular Batang Toru

8. Tropidolaemus wagleri, Dekat dan Berbahaya 10. Memotret, Menjaga Alam

12. Sensasi Motret Satwa Malam

15. Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut 18. Berbagi “rumah” dengan Katak Pohon

Bergaris Hal.

(3)

Kontributor Mania

Roy Ubaidillah Hasby

Sebagai penggiat fotografi, Roy Ubaidillah Hasby menemukan objek fotografi yang bisa membawanya bermeditasi dengan alam. Awalnya Roy memulai karir foto di bidang fotografi produk perhiasan dengan bekerjasama dengan disainer Eropa yang tinggal di Bali. Pria kelahiran Ampenan, 23 Mei 1978 ini, kini menjelma sebagai fotografer profesional yang mulai dikenal banyak orang. Beliau juga mengembangkan sayap dengan membuka fotografi pernikahan, tentunya bekerja sama dengan beberapa wedding organizer Bali. Jiwanya yang ternyata melekat dengan alam, sehingga terpikir mendirikan website burung bernama Birdsofbali.com.

Apa yang Roy rasakan tentang khasiat meditasi di alam, diceritakannya di edisi ini. Ada beberapa tips dan aturan tentunya menurut beliau. Untuk itu, silahkan buka lembaran berikutnya.

Arfah Nasution

Jika kita memiliki waktu panjang, kenapa tidak berbuat lebih. Begitulah yang mungkin bisa digambarkan kepada Arfah Nasution ketika melakukan penelitian perilaku sosial induk anak orangutan di KHBTBB. Gadis kelahiran Medan, 21 September 1990 ini mencatat dan mendokumentasikan temuan ular-ular di Hutan Batang Toru. Beliau tak mencari sudah menemukan sekitar enam jenis ular, apalagi kalau sengaja melakukan penelitian, tentu saja daftar jenis ular yang dimilikinya akan bertambah signifikan. Tak ingin, foto-fotonya hanya dinikmati sendiri, mahasiswi semester akhir di Dept. Biologi USU ini meluangkan waktunya sedikit untuk corat-coret di komputer. Baca laporannya di edisi ini.

Boy Sandi

Memimpin sebuah organisasi pecinta alam adalah sebuah amanah besar. Di dalamnya ada tanggung jawab yang tinggi, karena ketua umum merupakan salah satu setir paling berpengaruh dalam sebuah organisasi. Boy adalah ketua umum Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi FMIPA USU saat ini.

Sebagai pecinta alam yang concern terhadap penelitian-penelitian lingkungan hidup, Biopalas memiliki berbagai divisi, termasuk divisi fauna. Beliau harus memastikan setiap divisi itu berjalan dengan baik dan sesuai dengan visi misi yang telah disepakati. Tapi tidaklah selalu Boy hanya memerintah seenaknya, dalam kesempatan herping beliau turun langsung ke lapangan. Di sana timnya menemukan ular viper yang dalam cerita masyarakat lokal sangatlah berbisa. Nah, simak ceritanya di edisi ini.

Rachmi

Saat ini Rachmi masih duduk di bangku kuliah Dept. Biologi FMIPA USU. Mahasiswi kelahiran 12 Desember 1991 ini memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap fotografi. Latar belakangnya yang juga adalah mahasiswa biologi, beliau dipertemukan dengan organisasi yang berkegiatan dalam dokumentasi sains, namanya Bengkel Fotografi Sains. Dan kini, Rachmi menjabat sebagai koordinator perkumpulan itu untuk periode 2012-2013.

Dalam satu kegiatan hunting bersama, Rachmi mengunjungi Hetts Bio Lestari dan memulai petualangan barunya yakni menjadikan satwa reptil sebagai model foto, padahal dia masih canggung dengan hewan berbisa. Ikuti ceritanya di edisi ini.

Rahmad Adi

Menelusuri alam seperti menelusuri buku-buku yang terkembang. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang mesti dipelajari. Oleh karena itu, mendokumentasi alam sepertinya adalah bahagian dari ibadah. Rahmad Adi telah banyak memasuki hutan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai bagian dari tugasnya sebagai staf Wildlife Conservation Society. Menurutnya, ada banyak cerita perjalanan yang bisa dikisahkan. Ada banyak cara pula untuk berkisah. Rahmad Adi memiliki cara sendiri, yakni mengisahkan dengan kamera.

Pria kelahiran 21 Agustus 1984 ini berbagi kepada pembaca tentang sesuatu yang ditemukannya di tanah Leuser, khususnya herpetofauna. Silahkan membuka halaman berikutnya untuk menikmati foto-fotonya.

Eka Septayuda

Semenjak 2004 yang lalu, Eka Septayuda sudah menjadi bahagian dari perlindungan harimau bersama WWF Riau. Sebagai seorang yang memiliki keahlian memasang kamera jebak, barang tentu beliau juga akan berhadapan dengan alam beserta isinya. Tak ketinggalan dengan amfibi dan reptil. Lajang kelahiran Cilegon, 17 September 1984 ini mengamati herpetofauna di “pondok” tempatnya mangkal. Apa yang beliau lihat, buka halaman berikutnya.

(4)

Observasi

M

eski gersang, tapi kehidupan amfibi dan reptil masih saja kelihatan di sini. Bunglon, cicak, katak, ular dan kadal bukanlah sesuatu hal baru. Satwa-satwa itu menjalin hubungan yang baik dengan lingkungannya sebagai media untuk mencari makan, istirahat dan berbiak. Kedatangan saya sebagai petani boleh dianggap menjadi pendatang baru yang paling berkuasa. Saya ingin mengubah semuanya dengan keinginanku sendiri dengan memulai pembajakan tanah. Seringkali saya melukai kadal (Mabuya multifasciata) yang bersembunyi di dalam tanah dan anak katak (Kaloula pulchra) yang beristirahat di siang hari. Yang tak kalah terkejut adalah ketika membalik sarang reptil di antara akar-akar ilalang yang rapat. Di situ ada sembilan telur dengan dua ukuran yang berbeda. Satu kelompok sebesar telur cicak dan satu lagi lebih kecil dan lebih muda. Bagi saya ini jenis telur yang meragukan, tapi karena sering melihat kadal di dalam tanah, kupikir ini adalah telurnya. Tapi kenapa ada dua ukuran yang berbeda jauh? Entahlah.

Hal yang paling menarik dari telur-telur itulah adalah ketika akar-akar ilalang menembus cangkangnya. Bagi saya ini termasuk keteledoran reptil dalam menyimpan telur-telur. Memang kelas reptil merupakan peralihan antara yang menjaga telur dengan yang tidak

Telur Reptil Malang

di Ladangku?

Di penghujung April yang

lalu, di ladang sempit yang

saya kelola sendiri, keringatku

mengucur deras mengayun

cangkul. Ilalang (Imperata

cilindrica) menusuk kakiku

yang bertelanjang bulat.

Saya ingin membalik tanah,

menyuburkan tanaman,

ingin mandiri dan memenuhi

kebutuhan dasar sayur-sayuran

dari tanah gersang itu.

Teks & foto: Akhmad Junaedi Siregar

(5)

sama sekali. Ada beberapa jenis ular dan buaya yang melindungi telurnya, selebihnya mereka membiarkan telur itu bekerja sendiri dan dituntun alam. Beberapa kelas reptil memiliki fakta yang menarik, misalnya jenis kelamin dari telur kura-kura dipengaruhi oleh kehangatan dari lingkungan di sekelilingnya, bukan dari peleburan kromosom jantan betina sedari awal.

Ada satu kecenderungan menurut para ahli bahwa semakin kecil satwa, maka semakin banyak telur yang dihasilkan. Ini menggambarkan bahwa hewan yang kecil biasanya menjadi mangsa hewan besar, jadi harus banyak generasinya agar lestari. Hukum tersebut juga bisa dihubungkan dengan reptil yang tidak menjaga telurnya biasanya memiliki telur dengan jumlah relatif banyak ketimbang yang menjaga telurnya agar persen hidupnya terjaga.

Kejadian-kejadian seperti ini mungkin sedang lama terjadi. Di ladang kecil ini, reptil dewasa masih banyak seperti biasa. Jadi sebenarnya tak ada masalah berarti yang sedang terjadi. Cangkang telur yang ditembus akar ilalang adalah hal biasa. Bagian dari probabilitas alami. Mungkin saya saja yang kemaruk dari penemuan cangkang

malang itu. Bronchocela cristatella

Calotes versicolor Hemydactylus frenatus

(6)

Observasi

H

utan tersebut adalah habitat

terakhir bagi populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Yel, 2007). Selain orangutan, Batang Toru adalah habitat bagi harimau Sumatera, tapir, kambing hutan, owa, kucing batu, siamang, beruang madu, berbagai jenis burung, serangga, dan lainnya.

Dari kajian herpetofauna, khususnya reptil, kawasan hutan Batang Toru memiliki keanekaragaman reptil yang cukup tinggi. Jenisnya antara lain Ophisaurus wagneri, Phyton reticulates, Cuora amboinensis, Megophrys nasuta, Huia sumatera, dll. Di sini saya akan berbagi pengalaman tentang perjumpaan

Banyak orang beranggapan bahwa Batang Toru adalah salah satu

kabupaten yang terletak di Tapanuli Selatan yang terkenal hanya dengan

tambang emasnya. Namun sesungguhnya, berbicara tentang Batang

Toru tidaklah melulu tentang tambang logam mulia itu. Kawasan Hutan

Batang Toru terdiri dari dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang

terbentang di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan

Tapanuli Selatan. Hutan Batang Toru merupakan harta karun Tapanuli

yang memiliki kekayaan dan fungsi ekologis yang sangat penting.

Teks dan foto oleh Arfah Nasution ular ketika melakukan penelitian di Stasiun Pemantauan Flora Fauna SOCP-Yel Batang Toru. Saya sendiri sebenarnya masih sangat “buta” dunia ular.

Stasiun pemantauan flora fauna SOCP-YEL --dikenal juga dengan nama Camp Mayang-- termasuk dalam kawasan hutan lindung, berada di hutan Batang Toru blok barat Kabupaten Tapanuli Utara seluas area lebih kurang 12 km. Berdasarkan pemantauan herpetofauna yang telah dilakukan oleh SOCP-YEL, ditemukan 4 famili ular, yaitu dari famili Colubridae, Elapidae, Typhlophiidae, dan Viperidae (Yel, 2012).

Februari 2013 lalu, saya melakukan penelitian selama tiga bulan di Stasiun Pemantauan Flora dan Fauna SOCP-YEL

Batang Toru. Penelitian ini sama sekali tidak berhubungan dengan ular atau pun herpetofauna, melainkan perilaku sosial orangutan. Namun waktu itu, saya sempat beberapa kali membantu teman saya yang sedang melakukan penelitian amfibi dan juga berkesempatan herping bersama pengamat herfetofauna berpengalaman, Mistar Kamsi. Dalam kegiatan herping yang saya ikuti, kami menemukan beberapa jenis ular, yaitu Trimeresurus albolabris, Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus

Trimeresurus albolabris lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “ulok naoto” (ular bodoh) karena ular ini bisa bertengger di atas pohon yang sama selama berbulan-bulan. Trimesurus albolabris adalah spesies ular dari famili Viperidae. Bandotan (Viperidae) adalah ular dengan taring panjang bergantung, memiliki bisa yang bervariasi antar spesies. Biasanya bisa mengandung protein pemecah sel darah yang menyebabkan pendarahan internal. Trimesurus albolabris yang kami jumpai ini baru berganti kulit sehingga sangat sensitif dan cukup agresif. Dengan kondisinya yang seperti itu saya cukup takut untuk mengabadikannya dengan lensaku. Namun dengan bantuan Mistar Kamsi, akhirnya saya mendapatkan foto yang lumayan bagus.

Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus adalah spesies ular dari famili Colubridae. Colubridae merupakan spesies ular yang paling sering kami jumpai. Suku ini adalah famili terbesar (2/3 dari seluruh spesies) di dunia. Sebagian besar ular bertaring belakang tidak terlalu berbahaya bagi manusia karena taringnya terletak jauh di belakang sehingga tidak terlalu berfungsi. Xenochrophis trianguligerus atau ular segitiga merah memiliki banyak variasi warna sehingga lebih akurat dengan menghitung jumlah sisik.

Sewaktu melakukan pencarian orangutan terkadang kami bertemu dengan beberapa jenis ular, seperti Calliophis bivirgatus, Trimeresurus hageni, dan

(7)

Calamaria margaritophora. Calliophis bivirgatus adalah spesies ular dari famili Elapidae yang semuanya berbisa. Elapidae memiliki taring yang terletak di bagian depan rahang atas sehingga dapat menyuntikkan bisa melalui serangan tiba-tiba dan mematikan. Sepintas ular ini mirip Calamaria schlegeli, namun sebenarnya antara Calamaria schlegeli dan Calliophis bivirgatus jelas berbeda. Kuncinya ada pada ekor, Calliophis bivirgata memiliki ekor berwarna merah, sedangkan Calamaria schlegeli tidak. Warna kepala juga berbeda, Calliophis bivirgata memiliki tanda “panah” di bagian kepalanya, sedangkan Calamaria schlegeli batas warna merah kepala dan leher melingkar rapi. Sisik Calamaria sp. cenderung memendarkan cahaya, warna tubuh mengilat dan berwarna seperti pelangi ketika terkena cahaya. Sangat berbahaya apabila kita tertukar dalam mengidentifikasi ular ini karena Calamaria schlegeli adalah ular Colubridae yang tidak berbisa, sementara Calliophis bivirgata adalah ular Elapidae yang memiliki bisa mematikan. Ular yang dulu memiliki nama Maticora bivirgata ini kami temukan ketika siang hari sehingga tidak begitu agresif.

Trimeresurus hageni kami temukan di lantai hutan. Dia begitu tenang

dan tidak menunujukkan pergerakan sedikit pun, seperti ular yang sudah mati. Mungkin karena sifatnya yang nokturnal (aktif malam hari) sehingga ketika kami menemukannya di siang hari ular tersebut tidak begitu aktif. Berbeda dengan Trimeresurus albolabris, (hagen’s pit viper) memiliki tekstur kulit yang kuat. Trimeresurus hageni merupakan endemik Asia Tenggara, persebarannya di Indonesia hanya terbatas di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Calamaria margaritophora merupakan ular dari kelompok Colubridae. Awalnya saya mengira bahwa ular ini merupakan anakan, namun ternyata ular endemik Sumatera ini memang memiliki ukuran yang relatif kecil dengan panjang maksimum 36 cm.

Hutan Batang Toru masih menyimpan banyak misteri keragaman herpetofauna khususnya ular yang belum banyak digali dan dikaji. Saya yakin dengan

penelitian yang berkelanjutan, serius, dan fokus akan diperoleh keanekaragaman ular yang lebih besar. Dengan melakukan penelitian berarti kita telah ikut bertindak dalam pelestarian herpetofauna serta menambah khazanah dalam ilmu pengetahuan. Hutan Batang Toru menyimpan kekayaan alam yang bermanfaat bagi seluruh lapisan makhluk hidup. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai manusia menjaga kelestarian hutan yang menjadi habitat berbagai jenis flora maupun fauna dan menyangga kehidupan makhluk hidup.

Terima kasih kepada semua teman-teman Herpetologer Mania yang banyak membantu saya dalam mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang semua hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Untuk itu, kepada Agus Jati, Syahputra Putra, Riza Marlon, Roy Hasby, Muhammad Iqbal, Aristyawan Cahyo Adi dan Akhmad Junaedi Siregar, transfer ilmunya tentunya sangat bermanfaat.

Pustaka:

Ensiklopedia Dunia Hewan: Reptil

Laporan Hasil Monitoring Flora Dan Fauna Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru, Tapanuli Utara-Sumatera Utara (SOCP-YEL). Unpublished report.

(8)

Survei

U

lar bulan, demikian

penduduk lokal menyebutnya adalah ular

Tropidolaemus wagleri. Ular ini memiliki keunikan tersendiri yakni tidak agresif di siang hari dan akan aktif pada malam hari (nocturnal). Taksonomi menggolongkannya ke dalam suku Viveridae yang secara umum memiliki bisa yang berbahaya bahkan menyebabkan kematian. Racun yang dihasilkan dapat merusak sistem saraf (neuraorokxin) dan sistem peredaran darah manusia. Bisanya cenderung digunakan untuk melemahkan mangsa ketimbang membela diri.

Penelitian yang membawa bendera Herpetologer Mania kali ini beruntung menemukan jenis ini. Kami berjumpa di jalur yang biasa dilewati penduduk. Ternyata mereka ada bersama dengan lingkungan yang dekat dengan manusia. Warnanya didominasi hijau muda yang mulus dan disisipi warna kuning sebagai batas warna hijau. Sekilas, bagian depan terlihat menyeramkan. Ini memang predator sejati.

Tropidolaemus wagleri,

Dekat dan Berbahaya

Penduduk lokal, teman kami cerita-cerita sewaktu mengadakan herping

pada 27-30 Juni 2013 yang lalu di Desa Cinta Rakyat, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara membuat kami merinding. “Kawan kami tergigit

ular bulan, lalu beberapa detik racunnya langsung bereaksi”, terangnya.

Teks oleh Boy Sandi, foto oleh Chairunas Adha Putra

1

3

(9)

1. Tropidolaemus wagleri 2. Rana hosii

3. Kegiatan mengukur morfometri obyek temuan. 4. Kemah tim Herpetologer Mania.

5. Kegiatan herping.

6. Lansekap penelitian.

4

5

(10)

Observasi

Memotret, Menjaga Alam

Melalui mata kamera kita dapat melindungi satwa. Memotret adalah salah satu cara mengapresiasi keindahan satwa di alamnya. Hal demikian itu, setidaknya mengurangi apresiasi satwa dengan cara memilikinya sendiri.

Teks & foto oleh Rahmad Adi (WCS-IP)

S

ebagai bahagian dari anggota

yang tergabung dari badan yang bermisi menyelamatkan satwa lindung, perjalanan ini memakan waktu berhari-hari di Taman Nasional Gunung Leuser. Selama itu pula banyak momen penting yang seharusnya diabadikan. Di antaranya adalah lokasi perjalanan ekstrim di pegunungan, sungai-sungai, air terjun serta belukar-belukar di selimuti lumut. Tentunya di dalamnya ada keanekaragaman yang bersembunyi, salah satunya yang kusukai adalah herpetofauna.

Media foto adalah cara termudah menceritakan alam. Ada peristiwa dan kejadian yang bisa terekam. Terkadang, ada saatnya kita membiarkan foto yang berbicara, seperti halnya yang dilakukan pelestari alam. Beberapa kelompok seperti IWP (Indonesia Wildlife Photography), RWP(Riau Wildlife Photography) serta dari Herpetologer Mania telah memulai pendekatan konservasi melalui karya fotografi.

Bagaimana dengan amfibi dan reptil? Amfibi dan reptil ternyata termasuk satwa

1. Philautus Aurifasciatus/ katak emas, dalam kantung

Nephenthes sp., di jalur

pendakian Pegunungan Perkison TNGL, 2800 mdpl. 2. Dendragma baulengeri/bunglon

gunung api. Foto diambil pada Juli 2013, di TNGL, Aceh Tenggara, 2600 mdpl. 3. Lansekap TNGL bagian Aceh

Tenggara, Provinsi Aceh.

1

2

(11)

yang memiliki ancaman yang tinggi. Bagian tubuhnya banyak digunakan menjadi bahan baku aksesoris. Katakanlah itu berupa tas atau sepatu, hidangan kuliner bagi pencinta makanan reptil, serta ada yang tak kalah menariknya saat ini, banyak kalangan anak muda yang mememelihara reptil dan amfibi sebagai bahan pencitraan.

Kiranya, fotografi bisa menjadi alternatif untuk menggantikan keinginan orang-orang yang menikmati amfibi reptil dengan cara yang kurang tepat. Jadi mari kita apresiasi mereka yang sudah hobi fotografi alam. Apalagi sebagian di antara mereka sudah meluncurkan buku-buku kumpulan dari karya-karya foto.

Selamat berkarya dan enjoy the adventure!

4. Mimobdella buetikoferi/lintah merah ditemukan di TNGL, antara pegunungan Perkison menuju Bendahara

5. Bufo juxtasper/kodok biduk di TNGL, Aceh tenggara.

Awetan penyu hijau (C

helonia mydas) meram

aikan pada perayaaan Dies

Natalis USU pada 8 Juni 2012 ya

ng lalu di Pendopo US

U.

Image

5

4

(12)

Tips Herpet

B

anyak cara yang dilakukan

masyarakat perkotaan tentunya untuk mengurangi dampak stress pada diri mereka, antara lain mereka menyempatkan diri mereka seperti pergi berlibur ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Selain itu, ada juga yang menyempatkan diri mereka untuk pergi melakukan beberapa aktifitas seperti pergi ke tempat-tempat hiburan malam. Namun yang paling langka dijumpai adalah pergi bermeditasi ke alam liar yang jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan hanya guna untuk memotret satwa.

Memotret satwa di alamnya tentulah hal yang sangat jarang dilakukan di perkotaan seperti Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan hijau di ibukota dan menurun drastisnya satwa yang sangat sulit sekali perjumpaanya dengan kita tentunya. Bagi penduduk yang berdomisili di Jakarta sendiri, alternatif lain adalah dengan berlibur ke kawasan Bogor dan sekitarnya yang dapat mengapresiasikan meditasi kita dengan memadukan meditasi dan fotografi bersama satwa di alamnya.

Sensasi Motret

Satwa Malam

Teks dan foto: Roy Ubaidillah Hasby*

Di antara kesibukan kita akan

pekerjaan, muncullah beragam

kendala seperti menumpuknya

deadline pekerjaan, kemacetan kota

yang sudah tidak bisa terbendung

lagi untuk jalan keluarnya, beragam

permasalahan perekonomian

semakin hari semakin membuat

kepala seakan ingin pecah, dan

rumitnya keinginan manusia.

Terkadang hal ini menimbulkan

dampak negatif, yaitu stress. Apabila

tingkatan stress pada individual

sudah memuncak, kebanyakan sisi

negatif berpikir manusia pun mulai

tidak sejalur dengan kemauan hati

dan nurani individualnya.

Namun, terkadang masyarakat umum yang mengenal fotografi itu sendiri seakan kurang memahami fotografi satwa liar. Yang selalu menjadi polemik adalah, jika kita ingin terjun ke dunia fotografi alam liar tentulah harus memiliki perlengkapan kamera yang super mahal dengan beragam tipe. Termasuk dengan lensa super tele yang harganya membuat penggemar fotografi enggan untuk terjun ke dunia alam liar. Di dunia fotografi alam liar, tak haruslah kita memiliki perlengkapan super mahal dan banyak seperti anggapan umum itu. Cukup dengan menggunakan kamera DSLR atau pun poket pun kita dapat melakukan aktifitas super murah meriah dan bermanfaat.

Dengan bermodalkan niat, kesabaran dan juga kamera seadanya kita dapat memulai aktifitas alam. Paling menggoda adalah melakukan aktifitas fotografi malam hari. Peralatan senter atau pun head lamp sebagai penerangan, kamera, flash eksternal jika memiliki jika tidak ada bisa menggunakan internal flash dari kamera dan juga tripod tentunya, kita dapat berwisata dan berbaur

(13)

dengan alam. Ada beberapa spot untuk melakukan fotografi satwa malam yang sangat memacu adrenalin kita. Salah satunya di kampung Loji Cijeruk, Bogor. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam melalui Ciawi. Hamparan persawahan di kaki bukit Gunung Salak sangatlah indah di kanan kiri perjalanan menuju lokasi. Saran terbaik untuk melakukan trip fotografi malam di lokasi ini adalah mengunjungi kawasan Loji dari Jakarta pada sore hari, sehingga setelah maghrib para fotografer dapat melakukan aktifitasnya langsung mengeksplor kawasan Loji pada malam hari. Satwa malam yang dapat dijumpa kebanyakan adalah microfauna, seperti aneka jenis siput, ngengat dan serangga lainnya. Sedangkan yang menjadi trend satwa fotografi malam di lokasi ini adalah beberapa jenis katak seperti Rana hosii (kongkang racun) atau katak pohon, serta katak tanduk. Satwa melata lain yangh dapat dijumpai di lokasi ini antara lain seperti bunglon, ular pucuk, ular siput, dan ular berbisa seperti green tree pit viper. Tak hanya kaum lelaki saja yang mencintai fotografi dan mengikuti sensasinya memotret satwa pada malam hari. Namun dari kaum hawa pun, ada yang menyempatkan waktunya untuk

berekspresi dengan satwa melalui rana cahaya.

Dengan media visualisasilah seharusnya kita mengagungkan karya yang maha Kuasa ini, dan tentunya tetap di alamnya. Bukan untuk dipelihara. Memang satwa-satwa pada malam hari kebanyakan memiliki keunikan luar biasa dibandingkan satwa-satwa yang mudah dijumpai pada siang hari. Namun, keunikan tersebut lebihlah indah berada

tetap di alamnya. Kebanyakan satwa yang dapat kita eksekusi melalui kamera kita adalah herpetofauna. Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani, “herpeton” berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin (poikilotermik). Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amfibi dan reptil berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili. Dari dua kategori reptil dan amfibi inilah kebanyakan dapat kita jumpai dengan mudah pada malam hari. Dan kelompok itu menjadikan fotografi malam menjadi sangat menarik. Caranya dengan berjalan menyusuri pinggiran sungai. Bermain dengan komposisi dan pencahayaan dalam lukisan cahaya sangatlah seru dan unik. Namun tentunya kita di sini juga memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi mereka. Salah satunya memperhatikan perilaku satwa tersebut. Jika dirasa satwa tersebut sudah berada di titik stress, sebaiknya kita menghentikan pola pencahayaan yang mengarah ke arah mata satwa, seperti katak misalnya. Jika kita mengeksplor sebuah foto katak, dan terus dihajar dengan flash ekternal, pupil

(14)

katak akan mengecil. Saat itu, sebaiknya diberikan jeda atau lebih baik kita mencari lagi jenis satwa lainnya. Beberapa tips dalam memotret satwa malam antara lain: 1. Sebaiknya kita menggunakan flash eksternal

(speedlight), gunanya untuk membuat foto lebih berdimensi dalam proses pencahayaanya.

2. Sebaiknya menggunakan mode manual. Manual dari setting-an kamera, kita akan lebih mengetahui keinginan akhir dari sebuah foto ketimbang menggunakan setting-an auto atau setting-an selain manual dari kamera. Dengan menggunakan bukaan F11 tentunya nampak belakang objek foto akan pekat dan objek depan akan lebih menonjol struktur warnanya. ISO yang kita gunakan adalah tidak lebih dari 320.

3. Usahakan headlamp tidak berada di bagian kepala, kita takutkan satwa melata seperti ular yang berada di dahan pepohonan di atas kepala tidak sempat kita lihat akan membahayakan kita. Kewaspadaan tentunya diperlukan dalam memotret satwa pada malam hari.

4. Usahakan menggunakan sepatu boat waterproof jika memungkinkan.

5. Tetap selalu menggunakan jasa pemandu lokal di

lokasi yang akan kita eksplor, Hal tersebut lebih baik ketimbang hanya dengan modal nekat sendiri. 6. Seandainya satwa seperti amfibi dirasa kurang

komposisinya karena keberadaanya kurang bagus misalnya, disarankan untuk memindahkan objek di sekitaran lokasi yang sekiranya kita dapat memperoleh sebuah komposisi foto yang bagus. Setelah foto barulah kita mengembalikan satwa tersebut ke posisi semula mereka berada.

7. Maksimal fotografer tidak lebih dari 5–6 di lokasi yang sama di diameter jarak 10 meter. Dalam artian untuk setiap spotting disarankan untuk tidak banyak orang karena faktor kesulitan kita mendekati objek dan juga faktor lainya.

Dari catatan kecil di atas, setidaknya kita kelak dapat sedikit pengetahuan mengenai kehidupan satwa malam dan dapat mengabadikanya walau hanya dari kamera standar kita. Abadikanlah mereka dengan hati dan kesabaran. Sehingga kelak foto-foto tersebut dapat menceritakan kelak ke anak cucu kita bahwa satwa-satwa ini pernah ada di muka bumi Indonesia sebelum punah.

*leader photography Satwa liar; SatwaKU SatwaMu.com

Tips Herpet

(15)

S

abtu sore, rombongan Ular Fun Foto Hunting yang diselenggarakan oleh KFAL & Herpetologer Mania tiba di Hetts Bio Lestari yang merupakan penangkaran ular terbesar di Indonesia untuk jenis Tropidolaemus wagleri atau

Kebersamaan yang

Menghilangkan Rasa Takut

Ular merupakan salah satu reptil berbahaya namun banyak orang yang

tertarik untuk memeliharanya. Selama ini mendengar kata “ular” selalu

identik dengan kelicikan, kejahatan, pokoknya yang buruk-buruk deh

seperti Voldemort dan Orochimaru dengan ularnya. Selo guys, kali ini

beda cerita.

Teks oleh Rachmi, foto oleh Rachmi & Khairul Umri jenis yang berbisa tinggi. Lokasinya terletak di Jl. Namu Pencawir No. 174 Desa Tuntungan Dua, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Sebenarnya tak sulit menemukan lokasi penangkaran ular ini, hanya sekitar 30 menit dari Kota Medan.

Begitu sampai di Hetts Bio Lestari, rombongan kami langsung disambut oleh aksinya king kobra, dan menjadi model para rombongan fotografer. “Motret ular, siapa takut?”

Dulunya saya takut ular, tapi kali ini malah ularnya menjadi objek fotografiku. Ketakutan terhadap ular hilang setelah pawangnya menjelaskan kepada kami bahwa “ular tak akan mengganggu, bila tak diganggu duluan”. Saya sendiri lebih menyukai memotret piton albino, warnanya soft banget, jinak, tapi sayangnya berat banget, jadi tak bisa foto berkalung ular.

“Kawasan penangkaran ular ini seluas ± 7000 meter persegi dan memiliki koleksi ± 2000 ekor ular”, kata pengelola penangkaran. Wow, banyak sekali ular-ular di sini! Di antaranya adalah Tropidolaemus wagleri, Condrophyton veridis, dll.

Beberapa pecinta reptil Kota Medan sekaligus bergabung bersama kunjungan kami. Mereka menceritakan bahwa umumnya pengalaman pertama motret ular terasa seram. Ular berdesis dan kelihatan sedikit agresif, apalagi melihat ular yang memiliki kepala segitiga full rasanya cukup memberi rasa gugup. Ular di sini tergolong berbisa tinggi, jadi harus lebih berhati-hati ketika memotret ular khusuhnya bagi pemula.

Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu fotografer adalah ketika

Hunting

(16)

pemberian pakan favorit ular tikus putih (mencit). Keganasan ular pun muncul saat itu, si ular membius mencit dan menelannya setengah badan sampai si mencit mengeluarkan kotoran dan air seni secara terpaksa. Wah, sungguh sangat sadis tingkah laku si ular ketika melahap mangsanya.

Ular juga salah satu hewan karnivora yang memerlukan asupan makanan berupa daging, sehingga harus diberikan pakan sesuai dengan ukuran kepala dan mulutnya, karena si ular tidak bisa mencabik-cabik atau mengunyah mangsanya.

Pemotretan terus berlanjut. Saking seriusnya, para fotografer sampai miring-miring kepala, nungging-nungging bahkan level yang paling parah adalah jreng, reng, terdengar bunyi: Tutttttttt ……! Ternyata salah satu dari fotografer yang motret sampai terkentut-kentut. Bisa saja karena rasa takut atau mungkin karena terlalu serius, hehehe. Tentu saja kejadian itu membuyarkan konsentrasi fotografer lain.

Seandainya ular bisa bicara, dia akan mengungkapkan siapa pelakunya. Itulah bahagian asyiknya foto ramai-ramai. Sampai kami sedang makan bakso pun, kejadian itu menjadi bahan candaan yang membuat kami terbahak-bahak. Ini adalah kebersamaan yang tidak kami dapatkan pada kegiatan lain.

Salam Fotografi & Herpetologer Mania.

Hunting

BIO

PALAS

(17)

Mapala Terbaik I Lomba Wana Lestari Tingkat

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

versi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

Selamat dan Sukses

atas Terpilihnya

BIO

PALAS

sebagai

dari

(18)

B

elakangan, jenis-jenis herpetofaunalah yang saya temukan di halaman rumah tempat tinggal saya dan kawan-kawan penggiat konservasi lingkungan. Di halaman rumah yang kami sebut dengan “pondok” yang berada di Perumahan Sidomulyo Jalan Rajawali 3 No. 37 Pekanbaru – Riau ini, saya menemukan beberapa katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax). Katak ini sering terlihat antara akar dan dedaunan dari pohon dan semak yang sengaja dibiarkan tumbuh oleh pemiliknya di bagian. Dan tidak jarang pula saya temukan di atas peralatan yang digunakan untuk mengurus taman. Kataknya terkadang muncul di daun kering dan berkamuflase mengikuti warna dari tubuh mungilnya. Mereka bernyanyi merdu memecah kesunyian malam ketika selesai hujan turun. Seakan-akan si mungil itu ingin para penghuni pondok merindukan kemerduan suara itu.

Katak pohon bergaris yang sering teramati adalah jenis dengan pola punggung berkulit halus, tanpa lipatan, tonjolan atau bintil-bintil pada kulitnya. Warnanya coklat muda kekuningan, bentuknya yang mungil dan sedikit moncong menjadi daya tarik saya untuk

Bufo sp, salah satu jenis

kodok yang umum ditemukan di sekitar “pondok”. Polypedates leucomystax, bersembunyi di daun kering di halaman “pondok”.

Berbagi “rumah” dengan

Katak Pohon Bergaris

Selama ini, bagi kebanyakan

orang ada anggapan bahwa untuk

dapat menemukan jenis satwa liar,

seseorang harus pergi ke dalam

hutan. Padahal cukup dengan

meluangkan waktu sebentar saja

dengan melihat secara cermat di

sekitar tempat tinggal, kita bisa

menemukan beberapa jenis satwa

tertentu dengan gampang di

pekarangan. Salah satu kelompok

satwa yang bisa ditemukan dengan

mudah di sekitar rumah adalah jenis

amfibi dan reptil atau yang secara

ilmiah disebut herpetofauna.

Teks dan foto : Eka Septayuda

(WWF Riau)

(19)

Event

Dendrelaphis pictus, salah satu

predator alami yang sering ditemukan di sekitar “pondok”.

mendokumentasikannya. Saya teringat dahulu katak ini biasanya saya temukan di sungai atau kubangan di hutan. Tapi kali ini saya justru menemukannya dengan mudah di samping rumah/pondok ini. Selain katak pohon bergaris, beberapa jenis lain yang mudah ditemukan di sini adalah Bufo spp, Mabuya sp. dan ular tambang (Dendrelaphis pictus).

Keberadaan beberapa jenis satwa dari kelompok herpetofauna di halaman pondok secara tidak langsung membuktikan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan satwa liar. Halaman rumah bisa menjadi habitat kecil bagi keberadaan kelompok herpetofauna seperti yang saya temukan di sekitar pondok. Semua tergantung manusia apakah mau berdampingan atau bahkan hanya ingin menguasai kehidupan sendiri. Kalau ingin berdampingan, maka sisakanlah sedikit ruang untuk kehadiran mereka.

Dari

Redaksi Herpetologer Mania

Selamat atas akan diadakannya:

Kongres PHI 2013

18-21 Oktober 2013

di Universitas Negeri Semarang

Semoga seminar, kongres, pelatihan penelitian dan

rangkaian acara yang akan yang dilakukan berjalan

dengan baik.

(20)

Didukung oleh

Amfibi & Reptil adalah bagian Ayat-ayat

Tuhan yang Mesti Dipelajari dan Dijaga

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bersifat korelasional (hubungan) untuk itu data yang dikorelasikan harus memiliki dua syarat yaitu data berdistribusi normal dan antara variabel X dengan

Murai (1999) SIG adalah sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan dukungan keluarga dengan pengendalian tekanan darah pada lanjut usia Penderita. hipertensi di Puskesmas Kalimanah

Sama halnya dengan masalah jumlah titik graf khususnya adalah graf sikel berambut, graf helm, graf helm tertutup, dan graf tangga yang mana banyak membutuhkan kadar dan ukuran

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4 Sebagai pengembangan dari hasil tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibuktikan bahwa syarat perlu dan syarat cukup keterbatasan dari perumaman operator integral

(d) Sumber keilmuan: Teks-teks wahyu, baik al-Qur’an maupun hadits sahih sebagai pengendali bangunan rumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam; Aqwal

Perkembangan E-dakwah Masjid Agung Kudus yang dibangun, akan menjadi salah satu media dakwah yang dapat diakses oleh semua orang yang menggunakannya, sekaligus