PERANAN KETERANGAN SAKSI A CHARGE SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PERADILAN PIDANA
SKRIPSI
Oleh:
YOHENDA TRI A. NPM.0671010082
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
KaruniaNya. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Peranan Keterangan Saksi A Charge Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Peradilan Pidana”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk
itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, M.P. selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;
2. Bapak Hariyo Sulistyantoro, S.H., M.M. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;
3. Bapak Sutrisno S.H., M.Hum. selaku Pudek I dan Dosen Wali yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menempuh studi di Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;
4. Bapak Subani, S.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;
5. Bapak Hariyo Sulistyantoro, S.H., M.M. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang selalu memberikan pengarahan dan dukungan selama Penyusunan
skripsi;
6. Ibu Mas Anienda TF., SH., MH. selaku Dosen Pendamping yang selalu
memberikan bimbingan dan nasehatnya sehingga skripsi ini dapat
7. Kedua orang tua yang selalu memberi semangat tanpa henti dan telah
mendukung secara moril maupun materiil;
8. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Rois, H. Misbahul Munir, Yudi
Prasetiyo, Aseptya Nur Achmad, Sigit Priyambodo, serta segenap dosen, staff
juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur yang tidak kami sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa skripsi ini akan berguna bagi
rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum, maka saran serta kritik yang
membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
Surabaya, 6 Mei 2011
Penulis
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS KUKUM
Nama Mahasiswa : Yohenda Tri A.
NPM : 0671010082
Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya/ 2 Februari 1988
Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
PERANAN KETERANGAN SAKSI A CHARGE SEBAGAI SALAH SATU
ALAT BUKTI DALAM PERADILAN PIDANA
ABSTRAKSI
Saksi A Charge merupakan salah satu alat bukti yang utama di dalam
pembuktian peradilan pidana. Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana
alat bukti yang pertama kali di periksa adalah saksi A Charge. Mengingat peranan
dan Fungsinya yang sangat penting maka pemerintah menjamin hak dan
kewajiban seorang saksi A Charge dan memberikan perlindungan yang
sebagaimana telah di atur di dalam Undang-Undang Perlindungan saksi dan Korban. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kewajiban dan hak-hak saksi A Charge dalam peradilan pidana menjadikan sejumlah rumusan masalah yakni
pertama, bagaimanakah peranan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana,
dan yang kedua adalah bagaimanakah perlindungan hukum saksi A Charge dalam
proses peradilan pidana. Pada penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa
peranan saksi A Charge dalam proses pembuktian sangat penting, Boleh
dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti
keterangan saksi A Charge. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu di
dasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi A Charge sekurang-kurangnya di
samping pembuktian yang lain, masih selalu di perlukan pembuktian dengan alat
bukti dengan keterangan saksi A Charge. Seyogyanya perlindungan-perlindungan
hukum bagi saksi A Charge di perlukan untuk melindungi hak-hak individunya.
Tetapi dalam Penegakan hukum dalam perlindungan saksi A Charge, seringkali
tidak mendapat perlindungan hukum dan bahkan malah dijadikan tersangka.
Dengan demikian perlunya kebijakan hukum tetang perlindungan saksi A Charge
dimasa yang akan datang diperlukan harmonisasi hukum baik itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dibentuk dalam satu sistem hukum, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan hukum dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan pedoman
dalam menjalankan perlindungan saksi A Charge.
Kata Kunci: Saksi A Charge, Pemeriksaan Saksi A Charge, Perlindungan Saksi A
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………. vi
ABSTRAKSI ………... viii
DAFTAR ISI ……… ix
DAFTAR LAMPIRAN ……… xi
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1
1.2 Perumusan Masalah ………. 4
1.3 Tujuan Penelitian ………. 4
1.4 Manfaat Penelitian ……… 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ………. 5
1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 5
1.5 Kajian Pustaka ……….. 5
1.5.1 Alat Bukti ……….. 5
1.5.2 Definisi Saksi ………. 6
1.5.3 Sistem Pembuktian ………. 8
1.5.4 Proses Pemeriksaan Saksi Dalam Persidangan ………….. 12
1.6 Metode Penelitian ………. 17
1.6.1 Jenis Penelitian ………... 17
1.6.2 Sumber Data ………... 17
1.6.3 Metode Pengumpulan Data ……… 19
1.6.4 Metode Analisa Data ……….. 19
BAB II PERANAN SAKSI A CHARGE DALAM PERADILAN
PIDANA……….. 22
2.1 Keterangan Saksi A Charge yang Bernilai Alat Bukti …………. 22
2.2 Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan Pidana ….. 28
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI A CHARGE DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ………... 36
3.1 Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge ... 36
3.2 Lembaga Perlindungan Saksi ………... 46
BAB IV PENUTUP ... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Saran ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadual Penelitian
Lampiran 2 Daftar Biaya Penelitian
Lampiran 3 Perlindungan Saksi dan Korban
Lampiran 4 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Lampiran 5 Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan dan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Hukum diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan
melindungi segenap komponen dalam masyarakat. Dalam konsideran
Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1981 butir C tentang hukum acara pidana,
disebutkan bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana
dimaksudkan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk
meningkatkan pembinaan sikap para penegak hukum keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi
terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.1
Salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia adalah hak atas rasa
aman dari bahaya yang mengancam keselamatan dirinya. Hak tersebut merupakan
hak yang paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang.
Dengan demikian, mereka merasa aman melaksanakan kewajiban tanpa diliputi
rasa takut. Apabila hak tersebut telah diperoleh maka masyarakat akan merasa
harkat dan martabatnya sebagai manusia dihormati, mereka akan lebih leluasa
melaksanakan kewajibannya sebagai Warga Negara terutama demi tegaknya
hukum. Keberhasilan penegakan hukum dalam suatu negara akan ditentukan oleh
kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, dalam arti masyarakat secara suka rela
mematuhi hukum.2
1
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, Hlm. 227
2
Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses
peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar,
melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami
kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.3
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling
utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana
yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua
pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan
saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Menjadi saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga
negara. Kesadaran orang menjadi saksi merupakan tanda bahwa orang tersebut
telah taat dan sadar hukum. Sebaliknya, orang yang menjadi saksi setelah
dipanggil ke suatu pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak
kewajiban itu, maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Ketentuan undang-undang-undang-undang yang mengancam dengan pidana
terhadap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya untuk datang
3
sebagai saksi sedangkan ia telah dipanggil secara sah menurut Undang-Undang itu
adalah Pasal 224 KUHP.4 adapun perumusannya adalah sebagai berikut:
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut Undang-Undang dengan sengaja tidak memenuhi atau kewajiban yang menurut Undang-Undang selaku demikian harus dipenuhinya, diancam:
1. Dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan
bulan.
2. Dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Saksi merupakan kunci dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses
persidangan, hal ini tergambar jelas dalam pasal 184-185 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menempatkan
keterangan saksi diurutan pertama di atas alat bukti lainya, urutan ini merujuk
pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di
persidangan. Mengingat peran dan fungsinya yang sangat penting maka
Pemerintah menjamin hak dan kewajiban seorang saksi dan memberikan
perlindungan khusus terhadap saksi tersebut yang diatur, dijamin dan dituangkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakannya tidak semudah
yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan keterangan saksi. Hal
ini terbukti bahwa masih banyak korban kejahatan, seperti kasus kekerasan dalam
rumah tangga, kejahatan terhadap anak, kejahatan terhadap perempuan dan
kejahatan kejahatan lain dimana saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan
kejahatan yang dilakukan terhadap diri korban itu sendiri.5
4
Hal-hal yang esensial terhadap perlindungan hukum terhadap saksi adalah
agar mereka bebas dari tekanan pihak luar yang mencoba mengintimidasi
berkenaan dengan kesaksiannya dalam suatu perkara pidana. Dengan demikian
mereka telah secara sadar dan suka rela bersedia menjadi seorang saksi dalam
suatu perkara sekaligus berani mengatakan yang sebenarnya tanpa diliputi rasa
takut, maka mereka telah mematuhi dan melaksanakan kewajibannya sebagai
warga Negara yang baik dan taat hukum. 6
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka didapatlah rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peranan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum saksi A Charge dalam proses
peradilan pidana ?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian penelitian :
1. Untuk mengetahui peranan saksi A Charge dalam proses peradilan
Pidana.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi mereka yang memberikan
keterangan saksi.
6
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pembangunan Hukum, Khususnya dalam peranan dan kewajiban serta hak-hak
saksi dalam Peradilan pidana.
1.4.2Manfaat Praktis
Sebagai sarana pengetahuan umum kepada masyarakat yang di panggil
sebagai saksi di pengadilan, sehingga dapat membantu dan memberikan
masukan serta tambahan pengetahuan tentang peranan keterangan saksi dalam
pembuktian tindak pidana.
1.5Kajian Pustaka
1.5.1Alat bukti
Menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dan di dalam Pasal 185 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya atau biasanya di sebutkan satu saksi
bukan saksi (Unus testis nulis testis). Dengan demikian fungsi alat bukti dalam
pembuktian dalam sidang pengadilan sangat penting sekali sehingga sering kita
pidana baik denda maupun penjara.7 Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana membatasi bahwa alat bukti yang sah diantaranya ialah:
1. keterangan saksi.
2. keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. keterangan terdakwa.
Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan. Memahami saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami
sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu.8
1.5.2Definisi Saksi
Saksi menurut Undang – Undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri.9 Dalam hal ini yang dapat memberikan keterangan di
dalam Peradilan Pidana yaitu :
7
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 19
8
Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro Semarang. 2008. Hlm. 12
9
1. Saksi A De Charge adalah saksi yang diajukan Terdakwa, dengan
harapan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri.
2. Saksi A Charge adalah saksi yang memberatkan Terdakwa, biasanya
saksi ini merupakan korban dari tindak Pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa atau yang diajukan Penuntut Umum.
3. Saksi De Auditu adalah saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami
sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain. Saksi ini hanya untuk
memperkuat keterangan dari saksi korban.
4. Saksi Ahli adalah Saksi ini tidak memihak kepada siapapun karena
tugasnya hanya memberi keterangan sesuai dengan profesi yang
menjadi bidang tugasnya, Kehadiran saksi ini biasanya atas
permintaan hakim dan jaksa penuntut umum kepada seorang ahli
untuk mengungkap kebenaran sesuai dengan bidang ilmunya
masing-masing.
Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi A Charge dapat dikatakan
sah adalah :
1. Syarat formil :
a. Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik
sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160
ayat (3) dan (4) KUHAP)
b. Seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai
usia 15 tahun atau lebih atau sedah menikah. Sedangakan
dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan di anggap
sebagai keterangan biasa (pasal 171 butir a KUHAP).
2. Syarat materil
a. Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa
pidana (pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP).
b. Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari
kesaksiannya itu (pasal 1 butir 27 KUHAP).
c. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus
testis nullus tertis (pasal 185 ayat (2) KUHAP)10
1.5.3Sistem Pembuktian
Hukum pidana menganut sistem pembuktian Negative wettelijk ada dua
hal yang merupakan syarat :
a. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan
oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Negatif, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan
oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, belum
cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah
diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.11
Dengan demikian antara alat-alat bukti dengan keyakinan hakim
diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Pasal 183 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya di sebut KUHAP) mensyaratkan
10
Ibit, hlm. 297-301
11
adanya dua alat bukti yang sah dan yang ditetapkan Undang-Undang dan
keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan
terdakwalah yang melakukannya. Sehingga meskipun terdapat empat, lima atau
enam saksi yang diajukan Penuntut Umum, akan tetapi hakim pidana tidak
meyakini bahwa tindakan pidana itu telah terjadi dan dilakukan oleh terdakwa,
maka hakim pidana akan membebaskan terdakwa atau akan melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu, sistem KUHAP
menganut sistem Negative wettelijk, tidak mengizinkan hakim pidana untuk
menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan oleh
Undang-Undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh pasal 184 KUHAP.12 Alat
bukti berupa pengetahuan hakim atau keyakinan hakim tidak merupakan alat
bukti yang di tetapkan oleh Undang-Undang, hal ini dapat dilihat dalam Pasal
184 yang menyatakan Alat bukti yang sah Yaitu :
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keteranganterdakwa.
Asas Negatif Wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat
(4) KUHAP, bahwa berdasarkan “pengakuan salah yang diucapkan terdakwa”,
hakim tidak boleh menghukum terdakwa. “pengakuan salah yang di ucapkan
terdakwa” tanpa alat bukti lain, merupakan alat pembuktian yang tidak lengkap
(onvoldoendebewijs).13 Untuk lebih jelasnya pasal 189 ayat (4), dikutip sebagai
berikut :
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Walaupun hakim yakin, bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan oleh penuntut umum, akan tetapi keyakinan hakim ini hanya
dilandaskan oleh satu alat bukti yang berupa keterangan terdakwa, maka
putusan demikian merupakan tindakan yang melanggar asas dari pada bukti
minimum yang di minta oleh Undang-Undang (de leer van het minimum bewjis)
sebagaimana termuat di dalam 183 KUHAP.14
Adalah lain halnya ajaran pembuktian yang dikenal dengan Conviction
Intime. Ajaran ini disandarkan semata-mata atas keyakinan belaka, dan tidak
terikat kepada aturan-aturan, hingga keyakinan menurut aliran ini sangat
subjektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. System ini tidak dianut
dalam peradilan umum atau tidak dianut dalam KUHAP. Contoh dari sestem ini
dipergunakan dalam peradilan yuri.
Lain lagi ajaran pembuktian yang dikenal dengan Positif Wettelijk. Ajaran
ini didasarkan semata-mata kepada alat bukti yang ditetapkan oleh
undang-undang dalam menentukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tanpa
adanya keyakinan hakim.
13
Ibit, hlm. 15
14
Dengan demikian misalnya jika peraturan menetapkan, bahwa dalam
pembuktian dipergunakan dua alat bukti saja, sudah cukup untuk menentukan
apakah kesalahan terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan, maka hakim harus menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa,
tanpa adanya unsure keyakinan hakim. Contoh: dalam suatu kasus perkara
pidana telah diperiksa dua orang saksi yang mengatakan bahwa terdakwa telah
melakukan tindakan pidana, maka hakim mesti menghukum terdakwa,
meskipun ia tidak yakin. Ajaran ini hanya dipergunakan dalam hokum acara
perdata
Ada ajaran yang hampir-hampir mirip dengan ajaran Negatif Wittelijk,
yaitu yang dikenal dengan Conviction Raisonee. Ajaran ini disandarkan
semata-mata atas keyakinan atas dasar pertimbangan akal (pikiran) dan hakim tidak
terikat kepada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Dengan
demikian hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti lain yang diluar ketentuan
perUndang-Undangan.
Hakekat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa
dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi hakim akan kebenaran peristiwa
tersebut. Sengketa perdata dibawa kepersidangan dengan maksud untuk
memperoleh keputusan yang seadil-adilnya, sedangkan perkara pidana dibawa
ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas
perbuatan terdakwa. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara pembuktian
hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana dan dalam perkara perdata tidak
disebut sebagai syarat akan adanya keyakinan hakim itu.
1.5.4Proses Pemeriksaan Saksi Dalam Persidangan
Tata cara pemeriksaan saksi menurut KUHAP :
1. Penuntut umum menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa.
2. Petugas membawa saksi masuk keruang sidang dan mempersilakan
saksi duduk di kursi pemeriksaan.
3. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang:
a. Identitas saksi seperti; nama, umur, alamat, pekerjaan, agama,
dan lain-lain.
b. Apakah saksi kenal dengan terdakwa; apabila perlu hakim
dapat meminta saksi untuk mengamati wajah terdakwa dengan
seksama guna memastikan jawabannya.
c. Apakah saksi memiliki hubungan darah; sampai derajat berapa
dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri
dengan terdakwa, atau apakah saksi terikat hubungan kerja
dengan terdakwa.
4. Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang
dalam keadaan sehat walafiat dan siap diperiksa sebagai saksi.
5. Hakim ketua meminta saksi untuk bersedia mengucapkan sumpah
6. Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya. Lafal
sumpah dipandu oleh hakim dan pelaksanaan sumpah dibantu oleh
petugas juru sumpah.
7. Tata cara pelaksanaan sumpah yang lazim dipergunakan Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan
Agama,Pengadilan Militer adalah:
a. Saksi dipersilakan berdiri agak tegak ke depan.
b. Untuk saksi yang beragama Islam, cukup berdiri tegak. Pada
saat melafalkan sumpah; petugas berdiri dibelakang saksi dan
mengangkat Alquran diatas kepala saksi. Untuk saksi yang
beragama Kristen/Katolik petugas membawakan Injil (Alkitab)
disebelah kiri saksi. Pada saat saksi melafalkan sumpah/janji,
tangan kiri saksi diletakkan di atas Alkitab dan tangan kanan
saksi diangkat dan jari tengah jari telunjuk membentuk huruf
”V” (victoria) untuk yang bergama kristen atau mengacungkan
jari telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk yang bergama
Katolik. Sedangkan untuk agama lainnya lagi, menyesuaikan.
c. Hakim meminta agar saksi mengikuti kata-kata (lafal sumpah)
yang diucapkan oleh hakim.
d. Lafal sumpah saksi adalah sebagai berikut: ”saya bersumpah
(berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya
e. Untuk saksi yang beragama Islam, lafal sumpah tersebut
diawali dengan ucapan/kata: ”Wallahi...” atau ”Demi Allah...”,
untuk saksi yang beragama Katholik/Kristen Protestan lafal
sumpah (janji) tersebut diakhiri dengan ucapan/kata,
”...Semoga Tuhan menolong saya”. Untuk saksi yang beragama
Hindu lafal sumpah diawali dengan ucapan/kata, ”Om atah
Parama Wisesa ...”, untuk saksi yang bergama Budha lafal
sumpah diawali dengan ucapan/kata ”Demi sang Hyang Adi
Budha...”
8. Hakim ketua mempersilakan duduk kembali dan mengingatkan
bahwa saksi harus memberi keterangan yang sebenarnya, sesuai
dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya atau apa yang
didengarnya sendiri. Jika perlu hakim juga dapat mengingatkan
bahwa apabila saksi tidak mengatakan yang sesungguhnya, ia dapat
dituntut karena sumpah palsu. Hakim ketua mulai memeriksa saksi
dengan mengajukkan pertanyaan yang berkaitan dengan tindak
pidana yang didakwakan pada terdakwa.
9. Setelah hakim ketua selesai mengajukan pertanyaan pada saksi,
hakim anggota, penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum juga
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada saksi. Adapun
urutan kesempatan tersebut adalah: pertama hakim ketua memberi
kesempatan pada hakim anggota I untuk bertanya pada`saksi. Setelah
penuntut umum, dan yang terakhir kesempatan diberikan pada
terdakwa atau penasihat hukum.
10. Pertanyaan yang diajukkan pada saksi diarahkan untuk mengungkap
fakta yang sebenarnya, sehingga harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Materi pertanyaan diarahkan pada pembuktian unsur-unsur
perbuatan yang didakwakan.
b. Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit bahasa dan
penyampainnya harus dipahami oleh saksi.
c. Pertanyaan tidak boleh bersifat menjerat atau menjebak saksi.
d. Pertanyaan tidak boleh besifat pengkualifikasian delik.
e. Hindari pertanyaan yang bersifat pengulangan dari pertanyaan
yang sudah pernah ditanyakan dalam rangka memberi
penekanan terhadap suatu fakta tertentu atau penegasan
terhadap keterangan yang bersifat ragu-ragu. Hal-hal tersebut
diatas pada dasarnya bersifat sangat merugikan terdakwa atau
pemeriksaan itu sendiri, sehingga apabila dalam pemeriksaan
saksi, hal tersebut terjadi maka pihak yang mengetahui dan
merasa dirugikan atau merasa keberatan dapat mengajukkan
”keberatan/interupsi” pada hakim ketua dengan menyebutkan
alasannya. Sebagai contoh pertanyaan penuntut umum bersifat
menjerat terdakwa maka penasihat hukum dapat protes,
pertanyaan penuntut umum menjerat saksi”. Satu contoh lagi,
jika pertanyaan penasihat hukum berbelit-belit maka penuntut
umum dapat mengajukan protes, misalnya dengan katakata:
”keberatan ketua majelis... pertanyaan penasihat hukum
membingungkan saksi”. Atas keberatan atau interupsi tersebut
hakim ketua langsung menanggapi dengan menetapkan bahwa
interupsi/keberatan ditolak atau diterima. Apabila
interupsi/keberatan ditolak maka pihak yang sedang
mengajukkan pertanyaan dipersilahkan untuk melanjutkan
pertanyaannya, sebaliknya apabila interupsi/keberatan diterima,
maka pihak yang mengajukkan pertanyaan diminta untuk
mengajukan pertanyaan yang lain.
11. Selama memeriksa saksi hakim dapat menunjukkan barang bukti
pada saksi guna memastikan kebenaran yang berkaitan dengan
barang bukti tersebut.
12. Setiap saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua
menanyakan kepada terdakwa, bagaimana pendapatnya tentang
keterangan tersebut.15
15
1.6Metodologi Penelitian
1.6.1Jenis Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan bagaimana
peranan serta kewajiban dan hak-hak saksi dalam peradilan pidana. Bertalian
dengan rumusan masalah yang dikaji, dan hukum sebagai kaidah atau norma,
maka tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yang fokusnya adalah hukum positif. Dalam pengertian lain
sering disebut dengan penelitian kepustakaan (leberary research) dengan
pustaka utamanya adalah peraturan perUndang-Undangan.16
1.6.2Sumber Data
Penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif. Penelitian pada pokok
intinya dilakukan dengan melalui studi kepustakaan. Sumber data penelitian ini
di dapat dari :
a. Data Sekunder : yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
b. Data Primer : data yang diambil langsung dari lapangan yakni
mengamati proses persidangan pidana yang menghadirkan saksi A
Charge.
Bahan Hukum Primer adalah Bahan Hukum yang diperoleh Dari
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Peraturan Perundang-Undangan
yang di pakai dalam sripsi ini terdiri dari :
16
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003
Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak
Pidana Pencucian Uang
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
4. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No. 2 Tahun
2010 Tentang Standar Oprasional Prosedur Permohonan dan
Pelaksanaan Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Bahan Hukum Sekunder adalah Bahan Hukum yang diperoleh dari
literatur, jurnal, makalah, dan hasil seminar-seminar hukum. Literatur yang
dipakai dalam skripsi ini terdiri dari :
1. Pengantar Hukum Acara Pidana.
2. Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
3. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.
4. Penyelidikan dan Penyidikan.
5. Pidana dan Pemidanaan.
6. Hukum Acara Pidana Indonesia.
Bahan Hukum Tersier adalah Bahan Hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum
Sekunder. Adapun petunjuk yang dipakai dalam skripsi ini terdiri dari :
1. Kamus Bahasa Indonesia.
2. Kamus Hukum.
1.6.3Metode Pengumpulan Data
Data sekunder adalah : Bahan-bahan hukum (legal material) yang
diperoleh dari Perundang-Undangan, putusan Hakim ataupun Ensiklopedi
selanjutnya dengan melakukan kategorisasi sebagai langkah pengklasifikasian
bahan hukum secara selektif. Keseluruhan bahan hukum dikelompokkan
berdasarkan kriteria yang ditentukan secara universal, cermat, tepat dan ketat
sesuai dengan pokok masalah. Langkah selanjutnya adalah menganalisis bahan
hukum tersebut yang hasilnya lalu ditulis dengan menggunakan sistem kartu
(card system).
Data Primer : Bahan-bahan Hukum yang diperoleh dari lapangan melalu
Observasi/melihat langsung proses persidangan pidana di Pengadilan Negeri
Surabaya Pada Tanggal 19 Januari 2011 yang menghadirkan saksi A Charge.
1.6.4Metode Analisis Data
Bahan-bahan hukum yang telah ditulis dengan menggunakan sistem kartu
dilakukan pengolahan dengan menyusun dan mengklasifikasikan secara
sistematis dan kuantitatif sesuai dengan pokok bahasannya dan selanjutnya
Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan
manggunakan metode pengkajian deduksi deskriptif. Metode berpikir deduksi
adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu
untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Pengkajian deskriptif analitik adalah untuk menelaah konsep-konsep yang
mencakup pengertian-pengertian hukum, norma-norma hukum dan sistem
hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Hal ini sangat berkaitan dengan
tugas ilmu hukum normatif (dogmatik) yaitu untuk menelaah, mensistemasi,
menginterpretasikan dan mengevaluasi hukum positif yang berlaku bagi
pengkajian tentang pokok masalah.
1.7Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi menjadi
beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut
nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lain.
Bab I, Pendahuluan. Di dalamnya menguraikan tentang latar belakang
masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dirumuskan
permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penelitian sebagai
harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian Kajian Pustaka
yang merupakan landasan dari penulisan skripsi, kemudian diuraikan beberapa
konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya diuraikan
tentang metode penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap
masalah, sumber bahan hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan tentang peranan saksi A Charge dalam Peradilan
pidana. Secara umum dalam bab ini terdapat Dua subbab, yakni yang pertama
mengenai Keterangan Saksi A Charge Yang Bernilai Alat Bukti dan subbab yang
kedua adalah mengenai Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan
Pidana.
Bab III, menguraikan tentang Perlindungan Hukum Saksi A Charge Dalam
Proses Pradilan Pidana. Bab ini terdiri dari Dua subbab, yang pertama adalah
Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge, dan subbab yang kedua adalah
Lembaga Perlindungan Saksi.
Bab IV, Berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III diatas tentang
jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya
ditarik Kesimpulan dan Saran dalam bab IV sebagai penutup.
BAB II
PERANAN SAKSI A CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA
2.1 Keterangan Saksi A Charge Yang Bernilai Alat Bukti
Dari tata urutan alat-alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1). Maka akan didengar atau menjadi saksi
utama (Kroon Getudie) ialah saksi A Charge. Saksi A Charge ialah orang yang
dirugikan akibat terjadi kejahatan atau pelanggaran tersebut atau saksi pelapor.
Oleh karena itu, adalah wajar jika ia di dengar sebagai saksi yang pertama-tama
dan ia merupakan saksi utama atau kroon getuige.17 Akan tetapi, dalam
prakteknya tidak menutup kemungkinan saksi lain didengar keterangannya
terlebih dahulu, misalnya terjadi tindak pidana pencurian di sebuah rumah yang di
tinggal oleh pemiliknya, sedangkan tetangga di sebelah rumah itu mengetahui
kejadian tindak pidana tersebut. Maka tetangga itu bisa melaporkan dan menjadi
saksi yang di dengar pertamakali dan mendapatkan perlindungan hukum, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 108 ditentukan bahwa :
1. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
2. Setiap orang yang mengetahui permufkatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau peyidik.
4. Laporan atau pengaduan yang diajukan tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengaduan.
17
5. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus di catat oleh peyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
6. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyidik atau penyelidik
harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pemeriksaan keterangan saksi A Charge harus didasarkan luas dan mutu
keterangan saksi yang harus di peroleh atau di gali oleh penyidik dan penuntut
umum dalam pemeriksaan. Untuk mengetahui mutu dan luas keterangan saksi
yang diperlukan, harus di ujikan cara pemeriksaan kepada landasan hukum.
Keterangan saksi yang bernilai yudisial atau landasan hukum, berpatokan kepada
penjelasan pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di
hubungkan dengan pasal 116 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana:
1. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak
pidana yang di periksa.
2. Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yudisial. Patokan
menentukannya merujuk pada pasal 1 butir 27, sebagai berikut :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai satu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu.
Dari rujukan pasal 1 butir 27 di tegaskan lagi pada pasal 185 ayat (1), sebagai
berikut :
Dalam penegasan di atas penyidik dapat mengarahkan pemeriksaan saksi A
Charge ke arah yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 27 :
a. “yang Ia dengar”, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran orang lain.
b. “yang ia lihat sendiri”, berarti pada saat kejadian ataupun rentetan
kejadian peristiwa pidana yang terjadi, sunggu-sungguh disaksikan oleh
mata kepala sendiri.
c. “Di alami sendiri oleh saksi”, saksi ini adalah yang menjadi korban
peristiwa pidana tersebut.18
Sejumlah penelitian yang di lakukan oleh Komisi Nasional Perempuan
mengingatkan bahwa dalam pemberian keterangan sebagai saksi perlu di
perhatikan, hal-hal yang penting misalnya :
c. Unreliable witness.
Penelitian yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa
adanya saat-saat dimana saksi di persuasi untuk menyampaikan
keterangan untu memperkuat posisi jaksa, terutama jika saksi
menghadapi ancaman pidana juga.
d. Witness as product of bullying and harassment
Kemungkinan adanya metode tertentu oleh penyidik dalam meminta
keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan,
yang diajukan dalam yang waktu yang panjang tanpa jeda yang layak.
18
e. Lying witness
Tidak menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal
yang sebenarnya, walaupun ia ada di bawah sumpah, baik karena ia telah
disuap ataupun karena ia diintimidasi pihak tertentu.
f. Silent witness
Saksi yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak
memberikan jawaban yang sesungguhnya (asas Non-self incrimination),
baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain dalam kasus peyertaan
yang melibatkan dirinya.
g. Incompetent witness
Saksi dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat
bukti yang sah di pengadilan karena saksi tersebut Infant, mental diseas
atau mental defect.
h. Turn-coat witness
Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia
melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan penasehat
hukum. Di beberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat
menarik kembali saksi a de charge yang diajukannya sendiri, karena
dengan mengajukan sang saksi berarti ia telah memastikan akan
kreadibilitas saksi.19
Pada prinsipnya menjadi seorang saksi merupakan suatu kewajiban hukum
(legal obligation) bagi setiap orang. Akan tetapidi dalam Pasal 168 Kitab
Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengecualian di bebaskan kewajiban
menjadi saksi misalnya seorang yang masih dibawah umur (belum berumur 15
yahun) dan seorang yang hilang ingatan atau mereka yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Mereka yang
wajib menjadi saksi atau boleh memberikan keterangan tidak dibawah sumpah.
Disamping itu seseorang yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi
karena adanya hubungan darah (keluarga) atau perkawinan (semenda) dengan
terdakwa.20 Orang-orang ini tidak dapat didengar keterangannya atau dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Orang-orang tersebut adalah :
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah
sampai derajat ketiga dengan terdakwa atau yang bersama-sama sebagi
terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagi terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak (bibi atau paman dari terdakwa), juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara
(keponakan) terdakwa sampi derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakawa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagi terdakwa.
Dalam penilaian seorang saksi hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lain.
2. Persesuaian atara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
20
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu diberikan.
(pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Acara Pidana)
Menilai keterangan saksi dengan menghubungkan dengan keterangan saksi
lain, yang mungkin saling bertentangan, kemudian menghubungkan dengan alat
bukti lain, serta keterangan kausal (hubungan sebab akibat) saksi dengan alat
bukti lain, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Keterangan saksi yang tidak
disumpah bersesuaian satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti menurut
pasal 185 ayat (7) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.21
Satu hal yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang
didakwakan, jika terdakwa mungkir atas dakwaan yang di dakwakannya, maka
hakim tidak boleh memberikan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada
keterangan seorang saksi A Charge. Keterangan saksi A Charge harus dikuatkan
dengan satu alat bukti yang lain, misalnya dengan keterangan terdakwa atau
keterangan saksi ahli atau alat bukti yang sah menurut Undang-Undang hal ini
sesuai dengan asas unus testis nulus testis.22
Untuk keterangan saksi yang bernilai alat bukti yang berdiri sendiri- sendiri
tetapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga dapat di simpulkan
bahwa terjadi suatu tindak pidana maka keterangan ini dapat di sebut keterangan
21
saksi berantai. Jadi tidak setiap kejadian tindak pidana atau keadaan dapat di
saksikan oleh seorang saksi secara lengkap, akan tetapi keterangan seorang saksi
A Charge yang berdiri sendiri-sendiri, dapat di gunakan sebagai alat bukti yang
sah, jika keterangan Saksi A Charge tersebut ada hubungannya satu dengan yang
lain atau saling berhubungan, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
tindak pidana.23
2.2Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan Pidana
Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat
dalam penempatannya dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu
perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan
pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus di akui bahwa
terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi
dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat kejaksaan
sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama
menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas
bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan
hukum dan keadilan.24
Dalam sudut pandang penyidikan kedudukan saksi A Charge dalam proses
peradilan pidana dapat di lihat dari bukti permulaan, yang mana bukti permulaan
tersebut ada di dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggaal 18 Februari
23
Ibid, hlm. 22
24
1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan
keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara :
1. Laporan Polisi;
2. Berita acara pemeriksaan polisi;
3. Laporan hasil penyidikan;
4. Keterangan saksi/saksi ahli;
5. Barang bukti.
Tujuan dari bukti permulaan ini untuk menjamin hak asasi seorang yang akan di
periksa karena diduga melakukan tindak pidana. Dari dugaan tersebut yang
merupakan unsur dari bukti permulaan maka penyidik akan mencari keterangan
dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri, berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, untuk kepentingan penyidikan maka
penyidik dapat melakukan penangkapan atas kecurigaan terhadap seseorang untuk
di periksa. Apabila di dapati tertangkap tangan tanpa harus menunggu perintah
dari penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan
seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan dan
penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan
penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar
orang atau kelompok yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Selain itu
penyelidik dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut
kepada penyidik. Dalam hal ini pasal 105 Kitab Undang-undang Hukum Acara
dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Dalam hal penyidikan
akan di temukan Bukti-bukti permulaan dan harus di dasarkan pada asas praduga
tak bersalah.
Dalam hal kegiatan penyelidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti
permulaan tersebut, seorang penyidik diberikan kewenangan-kewenangan untuk
melakukan tindakan tertentu kepada saksi A Charge, sehingga memungkinkan
untuk mnyelesaikan penyelidikan itu dan siap untuk diserahkan kepada penuntut
umum.25 Penyidik berwenang memanggil kepada saksi-saksi yang dianggap perlu
untuk diperiksa dan pemanggilan itu harus dilakukan :
1. Dengan surat panggilan yang sah dan di tandatangani oleh penyidik yang
berwenang dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas.
2. Memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya
panggilan dan hari pemeriksaan (Pasal 112 ayat (1)).
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi dengan
tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun mengenai cara
pemeriksaan, sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang serupa dan
pengatiannya di dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang
bersamaan.26 berikut ini uraian tata cara pemeriksaan saksi :
1. Dalam memberikan keterangan harus terlepas dari segala macam
tekanan baik berbentuk apapun dan dari siapa pun. Hal ini serupa dengan
25
Resti Siti Aningsih, Fungsi Dan Kedudukan Saksi dalam Peradilan Pidana,Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008,hlm. 9
26
pemeriksaan tersangka dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) KUHAP,
yang bunyinya :
Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tantapa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
2. Pemeriksaana saksi dapat dilakukan pada tempat kediaman saksi. Karena
saksi yang tidak memenuhi pemanggilan penyidik di sebabkan alasan
yang patut dan wajar.
3. Seorang saksi yang hendak di periksa, tetapi bertempat tinggal di luar
jangkauan hukum peyidik, pemeriksaan saksi yang bersangkutan dapat
di delegasikan pada pejabat penyidik di wilayah hukum tempat tinggal
saksi. Hal ini terdapat pada Pasal 119 KUHAP, sebagai berikut :
Dalam hal tersangka atau saksi yang harus di dengan keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
4. Saksi diperiksa tanpa sumpah, pemeriksaan saksi ditingkat penyidikan,
saksi diperiksa tanpa disumpah. Lain halnya pemeriksaan saksi di muka
persidangan pengadilan. Sebelum di periksa atau di dengar
keterangannya, saksi bersumpah atau berjanji lebih dahulu.
5. Saksi diperiksa sendiri-sendiri, Undang-undang tidak melarang untuk
mempertemukan saksi. Namun, prinsip cara pemeriksaan mereka harus
sendiri-sendiri dengan bergiliran satu-persatu, demi kemurnian
6. Keterangan yang dikemukakan saksi pemeriksaan penyidik, dicatat
dengan teliti oleh penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan. Prinsip ini
di dasarkan pada Pasal 117 ayat (2), sebagai berikut :
Dalam hal tersangka memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Dalam pasal 117 ayat (2) tidak di sebutkan saksi tetapi di dalam
pemeriksaan tersangka dan saksi tidak ada perbedaan dalam
perncatatannya.
7. Berita acara yang berisi keterangan saksi ditandatangani oleh penyidik
dan saksi. Dalam penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan, harus di
perhatikan dua hal :
a. Saksi menandatangani Berita Acara Pemeriksaan setelah terlebih
dahulu isi dari Berita Acara Pemeriksaan tersebut di setujuinya.
Hal ini terdapat di dalam Pasal 118 ayat (1), sebagai berikut :
Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberikan keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
b. Undang-undang memberikan kemungkinan kepada saksi tidak
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Hal ini terdapat pada
pasal 118 ayat (2), sebagai berikut :
Setelah penyidik mendapatkan dan menyakini bukti-bukti bahwa terjadi
tindak pidana maka penyidik wajib segera menyerahan berkas perkara tersebut
kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam
waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas, maka penyidikan
dianggap telah selesai. Dalam hal penyidikan dan penulisan Berkas Acara Perkara
atau BAP kedudukan saksi A Charge yang merupakan sumber dari informasi
terjadinya tindak pidana akan di lindungi menurut undang-undang.
Jika dilihat dari penuntut umum kedudukan saksi A Charge dalam proses
peradilan dapat dilihat dari pembuatan surat dakwaan. Surat dakwaan tersebut di
dasarkan pada Berita Acara Penyidikan yang diberikan oleh penyidik. surat
dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu
dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal proses pembuatan surat
dakwaan penuntut umum telah menyakini bukti-bukti dan saksi telah ada dan
merupakan suatu tindakan tindak pidana maka penuntut umum harus segera
melimpahkan surat dakwaan kepada pengadilan untuk secepatnya memeriksa
terdakwa, di adili dan di putus oleh majelis hakim yang berjumlah 3 orang.
Setelah majelis hakim di tetapkan maka selanjutnya di tetapkan hari sidang.
alamatkan tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terahir apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui.
Hakim di dalam memutuskan terdakwa bersalah atau tidak didasarkan pada
keterangan saksi A Charge dan alat bukti yang sah sebagaimana di atur di dalam
undang-undang dan di dasarkan pada keyakinan hakim itu sendiri, hal ini sesuai
dengan system pembuktian yang ada di Indonesia yaitu Sistem Negatif Wetteljk.
Dengan demikian keyakinan hakim dan alat bukti yang sah menurut
undang-undang harus ada hubungan sebab akibat (Causal). Pasal 183 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan
yang ditetapkan Undang-Undang dan keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu
benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Hal ini juga di atur
di dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman pasal 6
ayat (2) yang mana bunnyinya :
Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbutan yang didakwakan atas dirinya.
Oleh karena itu, sistem KUHAP menganut sistem Negative wettelijk, tidak
mengizinkan hakim pidana untuk menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti
lain yang tidak ditetapkan oleh Undang-Undang, dalam hal ini yang ditetapkan
oleh pasal 184 KUHAP.
Apabila hakim sudah menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa
maka hakim telah menyakini berdasarkan keterangan saksi A Charge atau
fakta-fakta di dalam persidangan dan alat bukti yang sah menurut undang-undang
putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang
merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak
dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme
tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih
adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI A CHARGE DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA
3.1 Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge
Pelaksanaan perlindungan saksi A Charge tidak terlepas dengan beberapa
persoalan yakni; penegakkan hukum perlindungan saksi A Charge, kapan
dilakukan perlindungan saksi A Charge, bentuk-bentuk perlindungan saksi A
Charge dan tata cara perlindungan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana.
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi A Charge yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri
terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, Penegak hukum
dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan saksi A Charge disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun
psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
perlindungan bagi saksi A Charge yang sangat penting keberadaannya dalam
proses peradilan pidana.27
Kesaksian memang dibutuhkan dalam setiap pengadilan pidana, termasuk
pengadilan militer. Saksi A Charge yang dimintai keterangan dalam penyidikan
maupun persidangan, pada dasarnya sangat membantu berjalannya rangkaian
27
proses peradilan. Apalagi hasil yang diharapkan dari proses pengumpulan
keterangan saksi A Charge untuk memastikan peradilan yang jujur.
Dalam penegakan perlindungan saksi A Charge khususnya perlindungan
hukum bagi saksi A Charge itu sendiri saat ini telah diatur oleh Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas
dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran hak asasi
manusia, adalah satu kesatuan integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem
peradilan pidana terpadu. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang
disahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, diharapkan akan menolong negara ini
keluar dari persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan, seperti sulitnya
memberantas korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap
perempuan dan belum lagi tentang perlindungan hukum yang hanya mampu
menyentuh bagi kalangan konglomerat, pejabat, dan lain sebagainya. Sehingga
diperlukan perlindungan hukum sebagai payung hukum bagi para saksi A Charge
dan korban di masa mendatang. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,
merupakan salah satu jawaban dari persoalan di atas.28
Perlindungan terhadap saksi A Charge harus diberikan bila menginginkan
proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Hal ini dapat diperhatikan
bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-kasus pidana maupun
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan
disebabkan adanya ancaman baik fisik atau psikis maupun upaya kriminalisasi
terhadap saksi A Charge ataupun keluarganya yang membuat masyarakat takut
memberi kesaksian kepada penegak hukum.
Dalam bentuk perlindungan saksi A Charge ada dua bentuk model
perlindungan yang bisa diberikan kepada saksi A Charge yaitu Pertama
procedural rights model dan Kedua the service model.
1) Procedural rights model
Model ini memungkinkan saksi A Charge berperan aktif dalam
proses peradilan tindak pidana. “saksi A Charge diberikan akses yang
luas untuk meminta segera dilakukan penuntutan, saksi A Charge juga
berhak meminta dihadirkan atau didengarkan keterangannya dalam
setiap persidangan dimana kepentingan saksi A Charge terkait di
dalamnya. Hal tersebut termasuk pemberitahuan saat pelaku tindak
pidana dibebaskan. Model ini memerlukan biaya yang cukup besar
dengan besarnya keterlibatan saksi A Charge dalam proses peradilan,
sehingga biaya administrasi peradilanpun makin besar karena proses
persidangan bisa lama dan tidak sederhana.
2) The service model.
Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap
saksi A Charge yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya
pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti
rugi serta restitusi. Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada
saksi A Charge menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak hukum
benar-benar diterima saksi A Charge. Model yang bisa diterapkan di
Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena di Negara Indonesia
paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena itu, kedua model
itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus diukur sejauh
mana saksi A Charge bisa terlibat dalam proses peradilan.29
Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi A
Charge. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban telah memuat perlindungan yang harus diberikan kepada saksi dan
korban. Namun dalam hal ini harus ada ketentuan yang lebih rinci, seperti yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, misalnya tentang penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lex
specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan cakupan kasus yang
dilindungi.30
KUHAP Memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus, rinci dan
lengkap tentang hak-hak saksi – termasuk saksi A Charge – dalam proses
peradilan pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum yang ada di Indonesia
tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan saksi. Adapun
beberapa pasal dalam KUHAP yang dianggap memberikan perlindungan pada
saksi A Charge yang terdapat di dalam Pasal :
29
1. Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka dan atau saksi kepada
penyidik diberikan tanta tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk
apapun.
2. Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita
acara yang di tandatangani oleh penyidik, dan oleh yang member
keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.
3. Pasal 166: Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan
kepada terdakwa maupun kepada saksi.
4. Pasal 177 : jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia,
hakim ketua siding menunjukan seorang juru bahasa yang bersumpah
atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus
diterjemahkan.
5. Pasal 178 : jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat
membaca dan menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
6. Pasal 229 : saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam
rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak
mendapat penggantian biaya menurut aturan perundang-undangan yang
berlaku.
7. Pasal 98 : korban suatu tindak pidana dapat mengajukan genti kerugian
pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya,
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai berikut
:
1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta
bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
serta dukungan keamanan.
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4) Mendapat penerjemah.
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya.
7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan.
9) Mendapatkan identitas baru.
10) Mendapatkan tempat kediaman baru.
11) Penggantian biaya transportasi.
12) Mendapatkan penasihat hukum.
13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Dalam pelaksanaannya di dalam lapangan atau di dalam perlindungan saksi
A Charge tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, karena saksi A Charge merupakan unsur dari
Saksi dan Korban.
Dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban. Dan di dalam pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2004
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, juga berhak untuk
mendapatkan:
1) Bantuan medis;
Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tetang Perlindungan Saksi
dan Korban, Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak
mengajukan ke pengadilan berupa:
1) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
2) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan, dan
ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir.
Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang
sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi A Charge
dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan
di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada
berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi A Charge dan/atau
korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.31
Saksi A Charge, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya. Seorang saksi A Charge yang juga tersangka dalam kasus yang
sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
31
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan
tersebut tidak berlaku terhadap saksi A Charge, korban, dan pelapor yang
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa
perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi
A Charge dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan
syarat sebagai berikut:
1) Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
2) Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
3) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban; 4) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau
korban.
Pasal 29 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan
bahwa Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan;
3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara
tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Bagi saksi A Charge dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saksi A Charge dan/atau korban baik
atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit menegaskan
bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima
permohonan saksi A Charge dan/atau korban, saksi A Charge dan/atau korban
menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan saksi A Charge dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat
dan ketentuan perlindungan saksi A Charge dan korban memuat:
1) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk memberikan
kesaksian dalam proses peradilan;
2) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
3) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk tidak berhubungan
dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, selama ia berada dalam perlindungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ;
4) Kewajiban saksi A Charge dan/atau korban untuk tidak
memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah
perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ;
5) Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban
memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi A Charge dan/atau korban,
termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti