ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Judul ini dipilih berdasarkan pada fakta yang ada bahwa masih banyak katekis yang kurang memahami dan menghayati semangat pelayanannya bagi kaum miskin. Katekis cenderung lebih menutup diri terhadap kaum miskin karena menurut mereka melakukan pelayanan yang bersifat liturgis jauh lebih penting untuk dilaksanakan dibandingkan dengan melayani kaum miskin.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana para katekis dapat dibantu untuk semakin menyadari dan menghayati spiritualitas pelayanan bagi kaum miskin dengan belajar dari pelayanan yang dilakukan oleh Ibu Teresa. Dengan begitu katekis diharapkan semakin memahami dan menghayati makna panggilannya dalam melayani kaum miskin.
Dalam menanggapi persoalan tersebut, penulis merasa perlu adanya proses pengenalan lebih dekat akan sosok Ibu Teresa beserta karya-karyanya dalam melayani kaum miskin. Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan riwayat hidup Ibu Teresa dan proses perjalanan karya pelayanannya, mulai dari panggilan pertamanya untuk menjadi suster biara Loreto sampai saat dia menerima panggilan kedua yang sering dia sebut sebagai “panggilan dalam panggilan”. Pengenalan lebih dekat terhadap sosok Ibu Teresa diharapkan memberikan inspirasi bagi katekis untuk meneladan karya-karya pelayanan Ibu Teresa. Selain itu juga penulis ingin memberikan penyadaran kepada katekis untuk semakin memahami arti pelayanan bagi kaum miskin, bahwa melayani kaum miskin itu bukanlah hanya kegitan sosial belaka yang wajib dilakukan untuk membantu sesama kita yang miskin, tetapi menyadarkan katekis untuk melihat Kristus yang hadir dalam diri kaum miskin, pelayanan yang dilakukan bukan semata-mata pelayanan sosial kemanusiaan, tetapi pelayanan kepada Kristus sendiri yang hadir bersama kaum miskin.
Pada bagian akhir penulis mengusulkan sebuah program katekese umat model
Shared Christian Praxsis yang berjudul “Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa sebagai
ABSTRACT
The title of this small thesis is “THE SPIRITUALITY OF MOTHER TERESA AS AN EXAMPLE FOR CATECHIST THEIR MAKING TO SERVE THE POOR”. The title was chosen based on the fact that many catechists do not understand and appreciate the spirit of their service to the poor. Catechist ten to be more closed to the poor. For them to serve the poor is not an obligation that is needed to be implemented. Chatechists ten to be more concerned with their own lives and give prioritize services that are liturgical, thus set aside the service for the poor.
The main issue in small this thesis is how the catechist can be helped to become more aware and appreciate the service to the poor by learning from the service that had been performed by Mother Teresa. By doing so, catechist are expected to increasingly understand and appreciate the meaning of their vocation, which in turn catechists are also able to appreciate and do the service for the poor.
In response to these issues, the writer felt the need for a closer identification process with the figure of Mother Teresa and all her works and service for the poor. This writing firs describes the life history of Mother Teresa and the way she followed the call. From the first time she entered the convent and became a Loreto’ sister until she received a second call that is often referred to as a “call within a call” and gave her whole life there. Introduction closer to the figure of Mother Teresa’s exsample and her services toward the poor. In addition, the writer also wold like to provide an awareness for catechists to further understand the meaning of the service to the poor: that serving the poor is not merely social activities that must be done in order to help the poor, but rather catechists realization that Chris loves the poor and is present and struggle in the life of the poor. Therefore, the service to the poor does not just merely humanitarian social service, but a Christian act and service to Christ himself who is present in the life of the poor.
SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN
SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Marantika Br Tarigan
NIM: 071124030
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, kakak-kakak, adikku
dan kepada semua orang yang mencintai kaum miskin.
MOTTO
“Bersukacitalah dalam pengharapan,
sabarlah dalam kesesakan
dan bertekunlah dalam doa.”
(Rm 12:12)
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Judul ini dipilih berdasarkan pada fakta yang ada bahwa masih banyak katekis yang kurang memahami dan menghayati semangat pelayanannya bagi kaum miskin. Katekis cenderung lebih menutup diri terhadap kaum miskin karena menurut mereka melakukan pelayanan yang bersifat liturgis jauh lebih penting untuk dilaksanakan dibandingkan dengan melayani kaum miskin.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana para katekis dapat dibantu untuk semakin menyadari dan menghayati spiritualitas pelayanan bagi kaum miskin dengan belajar dari pelayanan yang dilakukan oleh Ibu Teresa. Dengan begitu katekis diharapkan semakin memahami dan menghayati makna panggilannya dalam melayani kaum miskin.
Dalam menanggapi persoalan tersebut, penulis merasa perlu adanya proses pengenalan lebih dekat akan sosok Ibu Teresa beserta karya-karyanya dalam melayani kaum miskin. Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan riwayat hidup Ibu Teresa dan proses perjalanan karya pelayanannya, mulai dari panggilan pertamanya untuk menjadi suster biara Loreto sampai saat dia menerima panggilan kedua yang sering dia sebut sebagai “panggilan dalam panggilan”. Pengenalan lebih dekat terhadap sosok Ibu Teresa diharapkan memberikan inspirasi bagi katekis untuk meneladan karya-karya pelayanan Ibu Teresa. Selain itu juga penulis ingin memberikan penyadaran kepada katekis untuk semakin memahami arti pelayanan bagi kaum miskin, bahwa melayani kaum miskin itu bukanlah hanya kegitan sosial belaka yang wajib dilakukan untuk membantu sesama kita yang miskin, tetapi menyadarkan katekis untuk melihat Kristus yang hadir dalam diri kaum miskin, pelayanan yang dilakukan bukan semata-mata pelayanan sosial kemanusiaan, tetapi pelayanan kepada Kristus sendiri yang hadir bersama kaum miskin.
Pada bagian akhir penulis mengusulkan sebuah program katekese umat model
Shared Christian Praxsis yang berjudul “Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa sebagai
teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayananan bagi Tuhan melalui
ABSTRACT
The title of this small thesis is “THE SPIRITUALITY OF MOTHER TERESA AS AN EXAMPLE FOR CATECHIST THEIR MAKING TO SERVE THE POOR”. The title was chosen based on the fact that many catechists do not understand and appreciate the spirit of their service to the poor. Catechist ten to be more closed to the poor. For them to serve the poor is not an obligation that is needed to be implemented. Chatechists ten to be more concerned with their own lives and give prioritize services that are liturgical, thus set aside the service for the poor.
The main issue in small this thesis is how the catechist can be helped to become more aware and appreciate the service to the poor by learning from the service that had been performed by Mother Teresa. By doing so, catechist are expected to increasingly understand and appreciate the meaning of their vocation, which in turn catechists are also able to appreciate and do the service for the poor.
In response to these issues, the writer felt the need for a closer identification process with the figure of Mother Teresa and all her works and service for the poor. This writing firs describes the life history of Mother Teresa and the way she followed
the call. From the first time she entered the convent and became a Loreto’ sister until she received a second call that is often referred to as a “call within a call” and gave
her whole life there. Introduction closer to the figure of Mother Teresa’s exsample and her services toward the poor. In addition, the writer also wold like to provide an awareness for catechists to further understand the meaning of the service to the poor: that serving the poor is not merely social activities that must be done in order to help the poor, but rather catechists realization that Chris loves the poor and is present and struggle in the life of the poor. Therefore, the service to the poor does not just merely humanitarian social service, but a Christian act and service to Christ himself who is present in the life of the poor.
Finally , this writing proposes a model of human catehetical program Shared
Christian Praxsis, entitled “Spirituality of mother Teresa as an Exemplary Services For Chatechist in Delivering Services for God through Their Services to The Poor,” as
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah yang maha berbelas kasih
dan kepada Bunda maria yang penuh cinta di mana atas berkat dan penyertaannya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”.
Dalam skripsi ini penulis mengangkat keprihatinan yang selama ini terjadi
di kalangan katekis di mana mereka masih sulit untuk melayani kaum miskin. Penulis
menyadari bahwa banyak orang yang dapat dijadikan teladan dalam melayani kaum
miskin tetapi penulis memilih Ibu Teresa karena Ibu Teresa merupakan sosok yang
teguh dalam panggilan dan begitu mencintai kaum miskin, dan dia selalu menegaskan
bahwa karya-karya yang dia lakukan bukan sekedar kegiatan sosial tetapi dia
melakukan itu semua karena Yesus, dia melihat Yesus dalam diri orang miskin. Oleh
karena itu penulis sebagai calon katekis merasa tergugah oleh sosok Ibu Teresa yang
begitu sederhana dan penuh cinta dalam melayani kaum miskin.
Banyak pelajaran hidup yang penulis dapat dalam menyelesaikan skripsi
ini dan penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini berkat bantuan dan
dukungan dari banyak pihak yang telah memberikan perhatian, dorongan, motivasi
dan inspirasi bagi penulis. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr. Bernardus Agus Rukiyanto, S.J., selaku dosen utama yang telah meluangkan
banyak waktu, perhatian dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis serta
2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen penguji kedua dan sebagai dosen
pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, pikiran
untuk membimbing penulis selama studi sampai pada pertanggungjawaban skripsi
ini.
3. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung., S.J., M.Ed., sebagai kaprodi IPPAK dan
dosen penguji ketiga yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada
penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini serta kesediaanya membimbing
sekaligus memeriksa skripsi dan menguji penulis.
4. Bapak-Ibu dosen dan Segenap staf prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang
telah mendampingi dengan setia serta menjadi rekan selama penulis melaksanakan
studi di IPPAK-USD Yogyakarta.
5. Yakobus Naya Leoema yang dengan setia menemani, memperhatikan dan selalu
memberi dorongan serta semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-temanku Tarmilla Br Tarigan, Paskarada Gerada, Hermi Marbun, Santri
Dor, Niken Pratiwi, Ade Mardiana, Rosita Dangin, Yuniarti Ninu, Karolina
Ohuiliun, Deslita Angelina Br Tarigan yang telah mendukung dan menyemangati
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Grup Labo Piga Bagi Kam Eina yang beranggotakan Imalia Br Sembiring,
Tarmilla Br Tarigan, Alan Dwinta Karo Sekali, Roy Yoseph Gomgom Sinambela,
Harry Dwi Saputra Ginting, Dedi Silva Sinulingga, Mahendra Barus, Jefry Pinem
yang selalu menyemangati penulis selama proses penulisan sampai
terselesaikannya skripsi ini.
8. Semua rekan-rekan seangkatan 2007 yang telah memberikan perhatian dan
DATAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
BAB II. IBU TERESA DAN SPIRITUALITAS PELAYANANNYA ... 8
A. Riwayat hidup Ibu Teresa ... 8
B. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa ... 13
1. Pengertian Spiritualitas ... 13
2. Spiritualitas Pelayanan ... 14
3. Ciri-ciri Pelayanan ... 15
4. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa ... 16
C. Karya dan Pelayanan Ibu Teresa ... 18
1. Mengajar anak-anak miskin di Motijhil ... 18
3. Shisu Bhavan ... 22
4. Sealdah Stasion ... 23
5. Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni ... 23
6. Prem Daan ... 24
7. Shantinagar/ Rumah bagi Orang-orang Berkusta ... 25
8. Membangun Klinik Kesehatan ... 25
9. Protima Sen School ... 26
D. Hambatan yang dialami oleh Ibu Teresa pada Awal Karyanya ... 26
1. Perubahan Gaya Hidup ... 26
2. Tiadanya Bekal ... 27
3. “Ladang” yang Amat Berbeda ... 28
4. Memulai dengan Sendirian ... 28
E. Pandangan Ibu Teresa Terhadap Penderitaan ... 29
F. Cinta Kasih Ibu Teresa ... 31
1. Mencintai Kristus dengan Melayani Sesama ... 31
2. Melayani dengan Berbagi Kehidupan ... 33
G. Teladan Hidup Ibu Teresa ... 34
1. Ibu Teresa Teladan dalam Keheningan ... 34
2. Ibu Teresa Teladan dalam Doa ... 35
3. Ibu Teresa Teladan dalam Iman ... 36
4. Ibu Teresa Teladan dalam Cinta ... 36
5. Ibu Teresa Teladan dalam Melayani ... 37
6. Ibu Teresa Teladan dalam Perdamaian ... 39
BAB III. SEMANGAT PELAYANAN KATEKIS BAGI KAUM MISKIN ... 40
A. Pengertian Katekis ... 41
C. Kemampuan yang perlu dimiliki Katekis ... 48
2. Mampu Menjadi Teladan ………. ... 49
3. Mampu berefleksi dan Kehidupan Rohani yang Mendalam ……….. . 50
4. Mampu Menjadi Pemimpin ... 51
D. Peran Katerkis dalam Tugas Perutusannya ... 52
1. Panggilan dan Perutusan Katekis ……… 52
2. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya ………. .. 53
a. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di Sekolah ... 54
b. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di Paroki ... 54
c. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di dalam Struktur Pemerintahan ... 55
E. Pelayanan Katekis bagi Kaum Miskin ... 56
1. Pengertian Kaum Miskin ... 56
2. Gereja dan Kaum Miskin... 57
3. Peran Katekis dalam Pelayanan bagi Kaum Miskin ... 60
F. Ibu Teresa sebagai Teladan bagi Katekis dalam Mewujudkan Semangat Pelayanan bagi Kaum Miskin ... 62
BAB IV. USAHA MENINGKATKAN SEMANGAT PELAYANAN KATEKIS BAGI KAUM MISKIN BERDASARKAN TELADAN PELAYANAN IBU TERESA BAGI KAUM MELALUI KATEKESE UMAT ... 69
A. Arti Katekese Umat ... 70
B. Tujuan Katekese Umat ... 71
C. Shared Christian Praxis Sebagai Suatu Alternatif Model Katekese Umat 71 1. Pengertian Shared Christian Praxis ... 72
a. Praxis ... 73
b. Christian ... 74
c. Shared ... 75
2. Langkah-langkah Shared Christian Praxis ... 76
a. Langkah 0: Pemusatan Aktivitas ... 76
b. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Peserta (Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta) ... 77
c. Langkah II: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup peserta (Mendalami Pengalaman Hidup Peserta) ... 77
Lebih Terjangkau (Menggali Pengalaman Iman Kristian) ... 78
e. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta (Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Peserta Konkret) ... 79
f. Langkah V : Keterlibatan Baru demi Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini (Mengusahakan Suatu Aksi Konkret) ... 80
D. Usaha Meningkatkan Pelayanan Katekis bagi Kaum Miskin Berdasarkan Teladan Pelayanan Ibu Teresa Melalui Katekese Umat ... 81
1. Latar Belakang Program Katekese Umat ... 81
2. Alasan Pemilihan Tema ... 81
3. Rumusan Tema dan Tujuan Katekese Umat ... 82
4. Penjabaran Usulan Program Katekese Model SCP ... 85
5. Petunjuk Pelaksanaan Program ... 89
6. Contoh Persiapan Katekese Umat ... 89
BAB V. PENUTUP ... 104
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 108
LAMPIRAN ... 110
Lampiran 1: Lagu “Bahasa Cinta”dan “Kasih Pasti Lemah Lembut” ... (1)
Lampiran 2: Film “Mother Teresa” ... (2)
Lampiran 3: Matius 22:34-40 ... (3)
Lampiran 4: Cerita “Aku Haus” ... (4)
Lampiran 5: Cerita “Pino Siapa Saudaramu?” ... (5)
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Daftar singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam Rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal.
8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes
Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman,
tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
RN : Rerum Novarum, Ensiklik Paus Leo XIII mengenai kondisi
kelas kerja dan nasib para buruh, Mei 1891.
C. Singkatan Lain
ASG : Ajaran Sosial Gereja
Bdk : Bandingkan
DokPen : Dokumentasi dan Penerangan
FABC : Faderation of Asian Bishop Conferences
Hal : Halaman
IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KOPTARI : Konferensi Tarekat Religius Indonesia
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
MASRI : Majelis Antar Serikat Religius Indonesia
MAWI : Majelis Waligereja Indonesia
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
SCP : Shared Christian Praxsis
St : Santa
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibu Teresa merupakan sosok wanita yang tangguh dan tekun dalam
menjalankan setiap tugas pelayanannya meskipun banyak permasalahan yang
dihadapinya tetapi dia tetap tenang dan menyerahkan semuanya kepada Allah.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan Ibu Teresa tidak hanya berbicara saja
melainkan dia mewartakan Kristus dengan perbuatan yaitu dengan menghadirkan
kasih Kristus dalam kehidupan orang miskin, menderita, tertindas dan cacat. Sosok
seperti Ibu Teresa sulit ditemukan pada saat ini karena memang tidak mudah
menemukan orang yang benar-benar mencintai kaum miskin. Hal ini sungguh
berbeda dengan Ibu Teresa karena Ibu Teresa melihat kemiskinan sebagai fakta
hidup untuk mempraktekkan kasih Allah.
Ibu Teresa hadir di Kalkuta bukan hanya sekedar untuk merealisasikan
tugasnya sebagai seorang biarawati tetapi di sana ia menemukan kehidupan sebagai
seorang yang percaya kepada Kristus yang sesungguhnya. Di Kalkuta ia melihat
dunia yang sesungguhnya, dunia yang majemuk bukan hanya dari segi agama, tetapi
juga persoalan. kondisi yang seperti itu membuat hati Ibu Teresa tidak tenang dan
selalu ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Ibu Teresa merupakan pribadi yang
memiliki semangat dalam melayani dan juga mampu mengambil bagian dalam
sengsara dan penderitaan Kristus, yang tetap senasib dengan orang yang menderita
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ibu
Teresa mengatakan bahwa apa yang Ibu Teresa lakukan bersama para suster
Misionaris Cinta Kasih, mereka melakukannya demi Yesus, mereka berjumpa
dengan Yesus 24 jam sehari melalui kaum miskin, mereka merasa bahwa
perjumpaan mereka bersama Kristus melalui kaum miskin sangat mebahagiakan
karena bagi mereka kaum miskin begitu menarik hati. Kaum tidak membutuhkan
rasa simpati dan belas kasihan, tetapi mereka membutuhkan cinta kasih dan
perhatian yang tulus (Hartono, 1998: 12). Di sini dapat dilihat bahwa Ibu Teresa
sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani kaum miskin, dia
begitu bahagia ketika dia bisa melayani mereka. Ibu Teresa melakukan semuanya itu
bukan karena rasa kasihan tetapi karena cinta kasihnya kepada Kristus dan dia
wujudkan melalui mereka yang miskin dan menderita.
Ibu Teresa memiliki sepiritualitas kerohanian yang sungguh
mengutamakan Allah. Ibu Teresa tidak pernah memandang perbedaan sosial, agama
dan budaya. Dia mencintai semua orang yang miskin dan menderita tanpa
memperhatikan orang itu dari kalangan apa, cara hidupnya juga sangat sederhana,
cintanya kepada Tuhan mengalahkan semuanya. Dia selalu percaya bahwa Tuhan
selalu meyertai dia, sehingga dia tidak pernah takut dalam menjalankan
pelayanannya, dia percaya bahwa Tuhan pasti akan selalu memberi jalan kepadanya
di saat dia mengalami kesusahan karena dia melakukan apa yang diajarkan oleh
Yesus sendiri. Sikap dan pandangan Ibu Teresa ini sungguh-sungguh dapat
memberikan inspirasi dan teladan bagi siapa saja yang ingin melayani kaum miskin
Ibu Teresa pernah mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh
Krispurwana Cahyadi (2010: 220) bahwa “Tuhan memanggil kita bukan untuk
sukses, dia memanggil kita untuk setia”. Ini menunjukkan bahwa kesuksesan itu
bukanlah hal yang utama dalam hidup ini tetapi kesetiaan pada jalan kita menapaki
kehidupan ini, bersama Dia yang memanggil kita yang paling penting. Menemukan
orang yang setia pada jalan Allah memang tidak mudah karena banyak adalah orang
yang ingin sukses dan terkenal tanpa harus bersusah payah mengikuti apa yang
sudah diminta oleh Allah kepadanya.
Menolong orang-orang yang miskin dan menderita merupakan sesuatu
yang wajib bagi Ibu Teresa karena ia melihat bahwa Tuhan ada di dalam diri
mereka, sehingga tidak ada kata menyerah dalam memberikan kasih bagi mereka
yang sudah mendekati ajalnya, mereka yang dianggap sampah oleh pemerintah dan
juga masyarakat, serta mereka yang sudah tak dianggab oleh orang yang ada di
sekitar mereka. Semuanya dibawa dan dirawat oleh Ibu Teresa sehingga mereka
yang tadinya merasa ditinggalkan dan tidak dianggab oleh orang lain benar-benar
dapat merasakan cinta kasih dan kedamaian yang diberikan oleh Ibu Teresa. Soal
pluralitas yang menjadi latar medan pelayanannya, Ibu Teresa berkata bahwa
agama, suku, ras dan budaya tidak menjadi penghalang baginya untuk mewujudkan
kasih Allah bagi kaum miskin karena Iman harus dikonkritkan dalam kebersamaan
hidup, kebersamaan dalam hal suka maupun duka. Hal yang utama dalam beragama
bukanlah (dokrin dan praktek) secara eksklusif, namun bagaimana keterbukaan
sikap dan pemikiran untuk melihat orang lain, sebagai bagian dari rencana usaha
penyelamatan Kristus. Ibu Teresa tidak berdialog dengan agama lain dalam tataran
Zaman sekarang ini pribadi seperti Ibu Teresa tidak mudah untuk
ditemukan karena pada kenyataannya banyak orang lebih mementingkan
kehidupannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku bagi katekis di mana penulis
mendengar dan melihat bahwa banyak katekis yang begitu khawatir akan
kehidupannya sehingga banyak katekis yang menutup mata untuk melayani kaum
miskin. Banyak katekis yang merasa mereka tidak mampu melayani kaum miskin.
Selain itu banyak katekis yang begitu mengutamakan pelayanan-pelayanan yang
bersifat liturgis sehingga mengesampingkan pelayanan mereka bagi kaum miskin,
bagi mereka melayani kaum miskin bukan kewajiban yang harus mereka lakukan.
Penulis merasa tertarik dengan semangat pelayanan Ibu Teresa karena di
dalam melaksanakan pelayanannya dia selalu percaya dan berserah pada Tuhan. Ibu
Teresa tidak pernah merasakan bahwa Tuhan tidak menyayanginya atau Tuhan
meninggalkannya meskipun dia sedang mengalami banyak masalah dalam
hidupnya. Sumua masalah yang dialaminya dia jadikan sebagai jalan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Semakin banyak masalah yang dialaminya
semakin dia dekat dengan Tuhan. Baginya masalah itu adalah anugrah yang harus
disyukuri karena semakin banyak masalah Allah semakin cinta dengan kita.
Semangat pelayanan Ibu Teresa ini dapat dijadikan sebagai inspirasi dan
teladan bagi siapa saja yang ingin melayani Tuhan melalui kaum miskin, tak
terkecuali bagi katekis. Katekis sebagai murid Kristus sudah seharusnya menyadari
hukum yang pertama dan utama yaitu kasih kepada Allah dan sesama terutama
sesama yang menderita. Katekis diajak untuk semakin menanggapi panggilan Allah
dengan berkarya melayani Allah melalui sesama yang miskin dan menderita. Oleh
“SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI
TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Harapan penulis, spiritualitas dan karya
Ibu Teresa dapat dijadikan teladan bagi katekis dalam melaksanakan tugas
pelayanannya bagi kaum miskin serta katekis semakin menyadari bahwa mencintai
dan melayani kaum miskin merupakan tugas yang penting dan tidak boleh dilupakan
atau diabaikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas pelayanan Ibu Teresa?
2. Apa yang dimaksud dengan pelayanan Katekis?
3. Bagaimana spiritualitas Ibu Teresa dijadikan sebagai inspirasi dan teladan bagi
katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami spiritualitas pelayanan Ibu Teresa bagi kaum miskin.
2. Untuk mengetahui tugas pelayanan katekis bagi kaum miskin.
3. Untuk mengetahui karya-karya dan jalan hidup Ibu Teresa katekis semakin
termotivasi untuk melayani kaum miskin.
4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi
Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan
D. Manfaat Penulisan
1. Meningkatkan pemahaman spiritualitas Ibu Teresa bagi katekis dalam melayani
kaum miskin.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi katekis untuk meningkatkan semangat
pelayanan dalam perkembangan zaman dewasa ini dan sebagai acuan untuk
menjadikan katekis lebih peka dengan situasi tersebut.
3. Katekis menghayati spiritualitas pelayanannya bagi kaum miskin dengan
meneladani pelayanan Ibu Teresa.
E. Metode Penulisan
Skripsi ini disusun dengan memakai metode deskriptif analisis yang
menggambarkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk menemukan jalan
pemecahan yang memadai atas sebuah studi pustaka dari berbagai buku refrensi
karangan ilmiah yang berkaitan dengan tema yang diangkat oleh penulis.
F. Sistematika Penulisan
Penulis memilih judul skripsi ”SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU
TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN” yang akan diuraikan dalam lima bab sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang penulisan
skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan
dan sistematika penulisan.
Teresa yang terbagi dalam tujuh bagian pokok yakni riwayat hidup Ibu Teresa,
spiritualitas pelayanan Ibu Teresa, karya dan pelayanan Ibu Teresa, hambatan yang
dialami Ibu Teresa pada awal karyanya, pandangan Ibu Teresa terhadap penderitaan,
cinta kasih Ibu Teresa dan teladan hidup Ibu Teresa.
Bab III menjelaskan mengenai semangat pelayanan katekis bagi kaum
miskin berdasarkan teladan pelayanan Ibu yang terbagi dalam empat bagian pokok
yakni pengertian katekis, spiritualitas katekis, kemampuan katekis, peran katekis
dalam tugas perutusannya, pelayanan katekis bagi kaum miskin, Ibu Teresa sebagai
teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin.
Bab IV merupakan sumbangan pendampingan bagi katekis dalam usaha
meningkatkan pelayanan katekis bagi kaum miskin berdasarkan teladan pelayanan
Ibu Teresa melalui katekese umat, dengan menggunakan model Shared Christian
Praxsis.
Bab V merupakan bagian akhir dari penulisan yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
BAB II
IBU TERESA DAN SPIRITUALITAS PELAYANANNYA
Tokoh seperti Ibu Teresa merupakan sosok yang sulit ditemukan pada
abad ini karena banyak karya-karya yang dia lakukan bagi kaum miskin. Karya
pelayanan yang ia berikan bagi kaum miskin di Kalkuta mampu membuka mata
dunia untuk mengenal lebih jauh sosok Ibu Teresa. Pribadi Ibu Teresa membuat hati
setiap orang yang mengenalnya luluh dan simpatik akan apa yang ia lakukan bagi
kaum miskin. Untuk lebih mengenal sosok dan spiritualitas pelayanan Ibu Teresa
maka dalam bab ini akan diuraikan tentang riwayat hidup Ibu Teresa, spiritualitas
pelayanan Ibu Teresa, karya dan pelayanan Ibu Teresa, hambatan yang dialami Ibu
Teresa dan teladan hidup Ibu Teresa.
A. Riwayat Hidup Ibu Teresa
Buku yang berjudul Ibu Teresa (Langford, 2010: 10-16) menjelaskan
mengenai sejarah singkat riwayat hidup Ibu Teresa.
Ibu Teresa lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje, (saat ini di
Macedonia) Yugoslavia dari suatu keluarga Albania sebagai yang bungsu dari tiga
bersaudara putra-putri Bapak Nicholas Bojaxhiu dan Ibu Drane Bojaxhiu. Ia
dibabtis dengan nama Agnes Gonxa Bojaxhiu yang berarti kuncup bunga. Di
sekolah dasar dia tumbuh dalam ketertarikan besar akan misi di luar negeri, dan
ketika berusia 12 tahun Ibu Teresa telah memutuskan untuk membaktikan hidup
untuk membantu sesama (Langford, 2010: 10). Pada usia 14 tahun Ibu Teresa sudah
pada umur 18 tahun, bulan September 1928, Agnes masuk Biara Suster-suster
Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa sebagai kenangan akan St.
Theresia Kecil dari Lisieux yang sering disebut sebagai “Bunga Kecil” (Beding,
1989: 94).
Pada bulan Desember, Sr. Teresa meninggalkan Irlandia dan berangkat
ke India dan tiba di Kalkuta pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah mengucapkan
Kaul Pertamanya pada tanggal 24 Mei 1931, Sr. Teresa ditugaskan untuk mengajar
di sekolah lanjut atas untuk gadis-gadis Bengali yang dijalankan oleh suster Loreto
di Entally sebelah timur Kalkuta. Selama kira-kira 20 tahun Sr. Teresa mengajar di
sekolah itu, dia mengajar ilmu bumi dan sejarah. Bahkan Sr. Teresa sempat diangkat
menjadi kepala sekolah. Suster Teresa juga mengajar di sekolah lain yang
lingkungan sekolahnya berdekatan dengan biara Loreto yaitu St. Maria (Beding,
1989: 94).
Pada tanggal 10 September 1946, dalam perjalanan kereta api dari
Kalkuta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunan, Ibu Teresa menerima
“inspirasi”, “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang
tidak pernah dapat dijelaskan, dahaga Yesus akan cinta dan akan jiwa-jiwa
memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku”. Sejak itu, Ibu Teresa dipenuhi
hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa
-jiwa” dengan berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari
yang miskin (Langford, 2010: 11).
Pada bulan Februari 1948, Ibu Teresa menanggalkan pakaian biaranya
dan mengenakan sari India yang berwarna putih dengan pinggiran garis-garis warna
1948 Ibu Teresa keluar melewati gerbang Biara Loreto yang tenteram yang amat
dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin (Beding, 1989: 105).
Untuk pertama kalinya setelah keluar dari biara Loreto yang sangat
dicintainya Ibu Teresa memulai karya pelayanannya dengan mengajar anak-anak
miskin yang berada di kampung kumuh padat penduduk di Moti Jhil.
Kemampuannya sebagai guru digunakannya untuk mengajar anak-anak miskin
dengan menggunakan tanah sebagai papan tulis, dan sebatang pohon sebagai atap
dan tempat berteduh. Sebagai hadiah atas kehadiran anak-anak yang dia ajari Ibu
Teresa membagikan sabun kepada murid-muridnya (Langford, 2010: 12).
Pada bulan Februari 1949, keluarga Michael Gomes meminjaminya
sebuah ruangan di Creek Lane. Ibu Teresa pindah ke rumah itu hanya dengan
membawa tas kecil dan menata ruangan untuk tidur dan kerja, dengan sepasang
prabot untuk meja dan kursi. Setelah berita tentang Ibu Teresa tersebar orang-orang
yang mengenalnya mulai membantu karya perutusannya yang baru itu (Langford,
2010: 12).
Pada tanggal 7 Oktober 1950, kongregasi Misionaris Cinta Kasih
memperoleh pengakuan dari Gereja Katolik dengan persetujuan Paus Pius XII
(Krispurwana Cahyadi, 2003b: 177-178). Awal tahun 1960-an, Ibu Teresa mulai
mengutus para susternya ke bagian-bagian lain India. Dekrit Pujian yang
dianugerahkan kepada Kongregasi oleh Paus Paulus VI pada bulan Februari 1965
mendorong Ibu Teresa untuk membuka rumah penampungan. Sejak tahun
1970-1971 Ibu Teresa telah menambahkan rumah di India juga internasional yaitu
London, Australia, Venezuela, Yordan dan Amerika Serikat (Wellman, 2002: 204).
akhirnya di setiap benua. Pada tahun 1980 hingga 1990, Ibu Teresa membuka
rumah-rumah penampungan di hampir di seluruh negara-negara komunis, termasuk
Uni Soviet, Albania dan Kuba. Agar dapat menanggapi kebutuhan kaum miskin,
baik jasmani maupun rohani, Ibu Teresa melangkah lebih lanjut dengan mendirikan
lima komunitas religius tersendiri bagi pelayanan pada kaum miskin. Bersama para
Suster, yang didirikan pada tahun 1950, dia mulai dengan cabang pria,
Bruder-bruder Misionaris Cinta Kasih, berdiri 1966, kemudian para Suster Kontemplatif
pada tahun 1976, pada tahun 1979 didirikan Bruder-bruder Kontemplatif, dan yang
terakhir pada tahun 1984 didirikan Imam Misionaris Cinta Kasih untuk melayani
luka batin dan kemiskinan rohani dari mereka yang dilayani oleh para suster serta
Bruder (Langford, 2010: 15).
Mata dunia mulai terbuka terhadap Ibu Teresa dan karyanya. Pada 6
Januari 1970 Paus Pius VI menganugrahinya dengan Penghargaan Perdamaian Paus
Yohanes XXIII. Penghargaan ini telah dipersiapkan oleh almarhum Paus Yohanes
XXIII untuk menghormati para pencipta perdamaian (Wellman, 2002: 204). Ia juga
membentuk Kerabat Kerja Ibu Teresa dan Kerabat Kerja Sick and Suffering, yaitu
orang-orang dari berbagai kalangan agama dan kebangsaan dengan siapa ia berbagi
semangat doa, kesederhanaan, kurban silih dan karya sebagai pelayan cinta kasih.
Semangat ini kemudian mengilhami terbentuknya Misionaris Cinta Kasih awam
(Krispurwana Cahyadi, 2003c: 217).
Atas permintaan banyak imam, pada tahun 1981 Ibu Teresa juga
memulai Gerakan Corpus Christi bagi para imam sebagai “jalan kecil kekudusan”
bagi mereka yang rindu untuk berbagi karisma dan semangat dengannya
Pada tahun 1997, tarekat Misionaris Cinta Kasih hampir mencapai 4000
orang, tergabung dalam 610 cabang dan tersebar di 120 negara dari berbagai belahan
duniam (Wellman, 2002: 230). Pada bulan Maret 1997, Ibu Teresa memberikan
restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior Jenderal Misionaris
Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya,
ia kembali ke Kalkuta dan melewatkan minggu-minggu terakhir hidupnya dengan
menerima kunjungan para tamu dan memberikan nasehat-nasehat terakhir kepada
para biarawatinya (Langford, 2010: 14).
Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, hidup Ibu Teresa di
dunia ini berakhir. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St.
Thomas, gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di
India hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan
agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan
penghormatan terakhir mereka (Langford, 2010: 15).
Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara kenegaraan oleh
Pemerintah India pada tanggal 13 September sebelum akhirnya dimakamkan di
Rumah Induk Misionaris Cinta kasih. Segera saja makamnya menjadi tempat ziarah
dan tempat doa bagi banyak orang dari berbagai kalangan agama, kaya maupun
miskin (Wellman, 2002: 230).
Ibu Teresa mewariskan teladan iman yang kokoh, harapan yang tak
kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa. Jawaban atas panggilan Yesus,
“Mari, jadilah cahaya bagi-Ku,” menjadikannya seorang Misionaris Cinta Kasih,
seorang “ibu bagi kaum miskin”, sebagai simbol belas kasih terhadap dunia. 26
yang tersebar luas karena kekudusan dan karya-karyanya, Paus Yohanes Paulus II
memberikan persetujuan untuk dimulainya proses kanonisasi Ibu Teresa. Dengan
melewati proses panjang dan juga kerja keras pada tanggal 20 Desember 2002 Bapa
Suci Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan keputusan untuk mengesahkan
beatifikasi Ibu Teresa. Pada tanggal 19 Oktober 2003 dilaksanakan perayaan
beatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II di lapangan Basilika St. Petrus Vatikan.
(Krispurwana Cahyadi, 2004: 64).
B. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa 1. Pengertian Spiritualitas
KOPTARI (1987: 4) menyatakan bahwa spiritualitas adalah “kenyataan
konkret hidup yang mencakup keyakinan iman, keutamaan beserta perwujudannya”.
Definisi ini memberikan penjelasan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang
abstrak, akan tetapi sesuatu yang nyata dapat dilihat realitasnya dalam sikap dan
tindakan hidup sehari-hari. Di mana seseorang yang memiliki iman yang teguh dan
kuat akan dapat terlihat dari perilaku dan tindakannya dalam hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Banawiratma (1990: 57-58) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan
“kekuatan atau Roh yang memberi daya tahan kepada seseorang atau kelompok
untuk mempertahankan, memperkembangkan, mewujudkan kehidupan”. Di mana
spiritualitas dapat memberikan semangat dan pengharapan dalam menjalani segala
rintangan untuk mencapai cita-cita seseorang atau kelompok. Semangat yang tak
kunjung padam meskipun begitu banyak hambatan yang dialami oleh seseorang
Dalam Ensiklopedia Gereja Katolik III, Heuken (1991: 106) mengatakan
bahwa spiritualitas berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata Spiritualitas berarti
kerohanian atau hidup rohani. Dengan begitu spiritualitas dapat dirumuskan sebagai
hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus sehingga orang dapat mengembangkan
iman, harapan dan cinta kasih atau sebagai usaha mengintegrasikan segala segi
kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus
Kristus atau sebagai pengalaman iman kristiani dalam situasi konkret
masing-masing orang. Hal tersebut selalu bertumpu pada iman akan Yesus melalui
perbuatan dan pengalaman iman dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa spiritualitas
merupakan semangat yang berasal dari Allah yang menyelimuti hidup seseorang
sehingga dalam segala prilakunya dapat terlihat bahwa Roh Allah yang berkarya dan
diwujudkan oleh manusia dalam tindakan yang nyata dengan mencintai Allah
melalui orang lain yang ada di sekitarnya terlebih mereka yang miskin dan kecil.
2. Spiritualitas Pelayanan
Spiritualitas pelayanan merupakan segala keyakinan iman, sikap dan
keutamaan maupun pilihan serta tindakan yang mendukung keterlibatan kita untuk
melayani kerajaan Allah yang hadir dalam kenyataan sosial masyarakat, kerajaan
Allah yang bergulat dan tumbuh dalam kenyataan sosial manusia (KOPTARI, 1987:
4-5). Spiritualitas pelayanan dapat dimengerti sebagai semangat yang berasal dari
Allah untuk melayani kerajaan Allah yang hadir dalam kenyataan hidup manusia.
Diletakkan di dalam konteks transendensi hidup manusia yang memberi makna dan
cinta, pengetahuan dan tindakan. Berdasarkan rahmatnya manusia mengalami
kepenuhan hidup, kebahagiaan, dan damai sejahtera, seperti yang disabdakan Yesus
sendiri (Yoh 10:10).
5. Ciri-Ciri Pelayanan Kristiani
Pelayanan Kristiani memiliki empat ciri yakni ciri pelayanan yang
pertama ialah ciri Religius. Dimana pelayanan Kristiani tidak berdasarkan
berbelaskasihan atau ketaatan kepada pemerintah, penguasa dan orang kaya
melainkan hormat kepada Allah pencipta yang membuat manusia sesuai dengan
citra-Nya sendiri. Ciri yang kedua ialah kesetiaan kepada Kristus dan Tuhan sebagai
Guru, di mana Gereja menyatakan diri sebagai murid Kristus oleh karena itu
pelayanan yang dilakukan oleh umat Kristiani harus konkrit dan mampu menimba
kekuatan dari suri teladan Kristus. Ciri ketiga ialah mengambil bagian dalam
sengsara dan penderitaan Kristus yang tetap senasib dengan semua orang yang
menderita. Kristus itu saudara semua orang, khususnya mereka yang malang, miskin
dan menderita. Ciri keempat adalah kerendahan hati dimana orang Kristiani tidak
(boleh) membanggakan pelayanannya karena manusia harus mengakui segala
keterbatasannya termasuk dalam pelayanan. Pelayanan Kristiani ialah menerima
dunia dan manusia seadanya dan berusaha menghayati sikap Kristus dihadapan
sesama (KWI, 1996: 451-452). Ciri-ciri pelayanan Kristiani harus bersumber pada
Yesus Kristus, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Suci, itu berarti bahwa setiap
orang Kristiani dipanggil untuk mengajar kesempurnaan cinta kasih dalam
pelayanan kepada Kerajaan Allah menurut norma dan teladan Yesus Kristus
4. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa
Yesus adalah segala-galanya bagi Ibu Teresa sehingga dalam karya
pelyanannya Ibu Teresa selalu mengutamakan Yesus alasannya melayani orang
miskin adalah semata–mata karena Yesus sehingga Ibu Teresa sebagaimana yang
dikutip oleh Krispurwana Cahyadi (2003a: 58) senantiasa mengatakan:
Aku melakukannya karena Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan untuk Yesus. Itu berarti mencintai sesama sebagaimana cara Yesus sendiri mencintai kita semua sampai mengorbankan diri-Nya sendiri demi cinta-Nya kepada kita. Oleh karena itu, tidaklah mungkin seseorang terlibat dalam kerasulan aktif jika tidak memiliki semangat dan jiwa pendoa. Kita harus menyadari kesatuan dengan Kristus, sebagaimana dia satu dengan Bapa-Nya…dengannya kita belajar mencari Allah dan kehendak-Nya. Relasi dengan mereka yang miskin merupakan sarana yang efektif bagi penyucian diri kita dan sesama.
Hidup panggilan serta karya perutusan Ibu Teresa memang berakar dari
dalam diri Yesus sehingga Tuhan Yesus menjadi segalanya. Ibu Teresa begitu
memahami bahwa apapun yang dia lakukan dalam karyanya semata-mata karena
kasih Yesus yang begitu besar kepadanya. Bila Tuhan ditemukan, bahkan dibiarkan
berdiam dalam diri, seseorang semakin mampu mengerjakan perbuatan-perbuatan
kasih, Ibu Teresa sendiri sebagaimana yang dikutip oleh Krispurwana Cahyadi
(2003a: 60) mengatakan bahwa “pekerjaan yang kita lakukan tiada lain hanyalah
mencintai Yesus dalam tindakan saya melakukan ini karena saya percaya bahwa
saya melakukannya karena Yesus. Saya sangat yakin bahwa ini adalah
pekerjaan-Nya. Saya sangat yakin bahwa dialah pelakunya bukan saya”. Ketika Ibu Teresa
menerima panggilannya yang kedua yang dia sebut “panggilan dalam panggilan”
membuat Ibu Teresa rela meninggalkan biara Loreto yang sangat ia cintai. Seruan
Tuhan Yesus di salib “Aku haus” (Yoh 19:28) menjadi dasar panggilan hidup Ibu
Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa berakar dari kata-kata Yesus “Aku
haus”. Dalam spiritualitas pelayanan Ibu Teresa, gambaran ketidak berdayaan Tuhan
yang menjadi pusat perhatiannya adalah saat peristiwa salib, terlebih ketika Tuhan
mengatakan “Aku haus” (Yoh 19:28). Bagi Ibu Teresa kata “Aku haus” bukan
hanya menunjukkan bahwa Yesus haus akan air tetapi menurut Ibu Teresa Yesus
senantiasa haus akan kasih dengan peristiwa salib Yesus ingin memperlihatkan
bahwa semua orang yang menderita senantiasa merasa haus. Yesus mengangkat
penderitaan umat manusia dan memperlihatkan betapa mereka yang menderita
senantiasa merasa haus dan dengan itu mengundang siapa saja untuk memberikan
rasa dahaga kepada mereka. Kehausan mereka adalah kehausan akan cinta kasih.
Persatuannya yang mendalam dengan Allah menghantarnya kepada banyak
keutamaan hidup rohani yang mengagumkan banyak orang. Pengalaman rohani Ibu
Teresa yang mendalam, menggerakkannya untuk melakukan pelayanan di
tengah-tengah orang miskin.
Dalam diri orang-orang miskin ini Ibu Teresa merasakan kasih Yesus,
oleh karena itu ia ingin untuk melayani Yesus yang nampak dalam diri orang-orang
miskin dan menderita (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 64). Ibu Teresa sangat
memahami bahwa Tuhan memanggil semua orang mencintai mereka yang miskin,
menderita dan hina. Karena Tuhan bersabda bahwa “sesungguhnya segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu
telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Oleh karena itu Ibu Teresa memahami
bahwa Yesus hadir secara tersamar melalui mereka yang miskin, sakit, kesepian dan
menderita. Dengan alasan itulah Ibu Teresa tidak pernah lelah atau merasa jijik
C. Karya dan Pelayanan Ibu Teresa
Sebelum memutuskan untuk keluar dari biara Loreto yang sangat
dicintainya Suster Teresa mengabdikan diri untuk biaranya dan patuh akan perintah
pimpinannya. Setelah suster pulang dari Darjeeling Suster Teresa diutus kembali
oleh pimpinannya sebagai pendidik di sekolah suster Teresa dan kembali
melanjutkan tugasnya mengajar di sekolah St. Maria dan sekolah Entally (Beding,
1989: 98).
Setelah kaul kekal Suster Teresa diangkat menjadi kepala sekolah di St.
Mary’s School dan juga mengajar di St. Teresa’s School sebuah sekolah yang
terletak di luar biara. Ketika suster Teresa merasakan bahwa Yesus memanggil dia
untuk kedua kalinya melayani orang miskin, melarat dan kelaparan suster Teresa
memilih untuk meninggalkan biara yang paling ia cintai supaya dengan leluasa dia
biasa melakukan karya pelayanannya bagi kaum miskin tanpa harus terikat dengan
aturan biara Loreto (Krispurwana Cahyadi, 2010: 27-28).
Setelah keluar dari biara Loreto banyak karya dan pelayan yang Ibu
Teresa berikan bagi kaum miskin yakni: mengajar anak-anak miskin di Motijhil,
mendirikan Misionaris Cinta Kasih, Shisu Bhavan, Sealdah Stasion, Nirmal Hriday
atau Wisma Hati Nan Murni, Prem Daan, Shantinagar/Rumah bagi Orang-Orang
Berkusta, Membangun Klinik Kesehatan, Protima Sen School.
1. Mengajar Anak-anak Miskin di Motijhil
Pekerjaan pertama Ibu Teresa setelah keluar dari Biara Loreto adalah
mengajar anak-anak miskin di kawasan kumuh Motijhil. Motijhil adalah sebuah
halaman terbuka di antara gubuk-gubuk. Tak ada papan tulis, tak ada bangku, tak
ada kursi, tak ada apa-apa hanya satu lapangan terbuka. Ibu Teresa menulis di tanah,
di lumpur dengan sebatang tongkat kecil, lalu Ibu Teresa mengajari anak-anak itu
bahasa Bengali dan mengajari mereka bernyanyi (Krispurwana Cahyadi, 2010: 32).
Pada hari kedua Ibu Teresa sudah mendapat meja, kursi dan sebuah
lemari. Dengan semangat yang luar biasa Ibu Teresa mengajar anak-anak, bagi Ibu
Teresa apa saja yang bisa dia lakukan hari ini akan dia lakukan tanpa harus
menunggu yang lain (Beding, 1989: 67).
2. Mendirikan Misionaris Cinta Kasih
Pada awal karyanya Ibu Teresa memulainya dengan sendiri, namun pada
tanggal 19 Maret 1949 datanglah kepadanya muridnya dulu di Entally Subashini
Das yang ingin bergabung dengannya. Kemudian, pada tanggal 26 Maret 1949
datang pula Magdalena, semakin hari pengikut Ibu Teresa semakin banyak dan pada
akhirnya sampai pada 11 orang (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 183).
Ketika dalam kelompok barunya itu banyak yang datang untuk
bergabung maka Ibu Teresa merasa perlu untuk memberi nama untuk kelompoknya
ini, oleh karena itu ia memberi nama Misionaris Cinta Kasih. Ibu Teresa menyadari
bahwa menyatakan cinta kasih merupakan tugas yang harus diembannya, atau misi
yang harus disangganya (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 175).
Pada tahun 1950 Ibu Tersesa mendirikan tarekat Misionaris Cinta Kasih
(Misionary of Charity). Tarekat Misionaris Cinta Kasih tidak hanya terdiri dari
Suster tetapi ada Bruder bahkan Imam yang bergabung di dalamnya. Dan ada juga
agama yang disahkan dan didirikan dengan berkat Bapa Suci, Paus Paulus VI ini
sangat membuat Ibu Teresa bahagia dan bangga. Pada tahun 1980 hingga 1990, Ibu
Teresa membuka rumah-rumah penampungan di hampir di seluruh negara-negara
komunis, termasuk Uni Soviet, Albania dan Kuba. Agar dapat menanggapi
kebutuhan kaum miskin, baik jasmani maupun rohani, Ibu Teresa melangkah lebih
lanjut dengan mendirikan lima komunitas religius tersendiri bagi pelayanan pada
kaum miskin. Bersama para Suster, yang didirikan pada tahun 1950, dia mulai
dengan cabang pria, Bruder-bruder Misionaris Cinta Kasih, berdiri 1966, kemudian
para Suster Kontemplatif pada tahun 1976, pada tahun 1979 didirikan Bruder-bruder
Kontemplatif, dan yang terakhir pada tahun 1984 didirikan komunitas Imam
Misionaris Cinta Kasih untuk melayani luka batin dan kemiskinan rohani dari
mereka yang dilayani oleh para suster serta bruder (Langford, 2010: 15).
Cara hidup Misionris Cinta Kasih memiliki kekhasan tersendiri yaitu
adanya kaul keempat, selain kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kaul
keempat mereka adalah kaul untuk memberikan pelayanan dengan sepenuh hati dan
tanpa pamrih kepada mereka yang termiskin dari yang miskin. Ibu Teresa, seperti
yang dikutip oleh Egan & Egan (2001: 26) mengatakan bahwa “dengan kaul
keempat kita menanggapi panggilan Kristus yaitu dengan memberikan pelayanan
sepenuh hati dan bebas kepada yang terpapa dari yang papa seturut kepatuhan.
Dengan demikian kita akan dapat memuaskan dahaga Yesus tanpa henti”.
Tiga kata dari kaul ini memiliki arti khusus bagi para biarawati dimana
sepenuh hati berarti hati berkobar oleh semangat dan cinta akan kehidupan. Bebas
berarti penuh kegembiraan tanpa rasa takut, tanpa mengharapkan imbalan apapun
menyediakan diri sepenuhnya untuk Yesus, oleh karena itu Dia akan hidup di dalam
kita dan melalui kita dalam kelembutan tanpa batas, dengan cinta kasih dan murah
hati bagi yang terpapa dari yang papa baik rohaniah maupun jasmaniah. Dewasa ini
mereka adalah para biarawan dan biarawati yang dapat pergi kemanapun,
satu-satunya syarat yang harus mereka patuhi yang diberikan oleh kongregasi ialah
pekerjaan yang mereka lakukan harus membumi mereka harus melayani “Terpapa
dari yang papa” (Egan & Egan, 2001: 26-27).
Untuk bergabung dengan tarekat Misionaris Cinta Kasih tentunya ada
syarat–syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat yang pertama usia paling tidak 18
tahun atau lebih, memiliki motivasi yang sungguh serta tulus, sehat jasmani dan
rohani, mampu menanggung dan menjalankan tugas berat, memiliki cukup
pengetahuan, juga memiliki kehendak kuat untuk mempelajari bahasa setempat,
memiliki kedewasaan dalam mengambil keputusan, memiliki kegembiraan dan rasa
humor yang sehat. Syarat ini dibuat oleh Ibu Teresa karena Ibu Teresa menyadari
bahwa karya pelayanan mereka bukanlah tugas yang mudah melainkan berat dan
penuh dengan perjuangan, tidak sembarang orang bisa melakukannya (Krispurwana
Cahyadi, 2003c: 188-189). Setelah terpenuhinya semua syarat yang telah ditentukan
maka dilakukan tahap pembinaan sebagai religious. Pertama mereka melalui tahap
aspiran selama enam bulan hingga satu tahun, pada tahap aspiran mereka belajar
bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dan mengikuti karya Tarekat untuk melihat
sejauh mana panggilannya sebagai anggota Misionaris Cinta Kasih. Setelah
melewati masa aspiran para calon anggota Misionaris Cinta Kasih menjalani masa
postulan selama enam bulan sampai satu tahun. Pada masa postulan mereka menguji
dengan panggilan hidup sebagai Misionaris Cinta Kasih. Setelah itu mereka
menjalani masa novisiat dimana mereka mempelajari Kitab Suci, dasar-dasar ajaran
Gereja serta sejarah Gereja (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 189-190).
Pada akhir masa Novis mereka mengucapkan kaul sementara, lalu
mereka disebut sebagai suster yunior. Masa yuniorat ini berlangsung selama lima
tahun. Setiap tahun mereka harus membaharui kaulnya. Pada tahun keenam anggota
Misionaris Cinta Kasih menjalani masa tersiat, sebelum mereka mengucapkan kaul
kekal (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 191).
3. Shisu Bhavan
Ibu Teresa menyewa rumah untuk anak-anak terlantar rumah itu
dinamakan Shisu Bhavan. Shisu Bhavan adalah bangunan bertingkat dua, dalam
Shisu Bhavan selalu ada kegiatan meskipun Shisu Bhavan merupakan rumah untuk
anak-anak terlantar tetapi rumah ini juga merupakan pusat kegiatan Misionaris Cinta
Kasih. Tempat ini cukup berbeda dari ketenagaan rumah induk karena disinilah
orang-orang kelaparan diberi makan, dan orang-orang sakit dirawat serta disini
tempat untuk menampung ibu-ibu yang menunggu kelahiran anaknya yang tidak
memiliki tempat (Beding, 1989: 43).
Di pintu masuk Shisu Bhavan terdapat beberapa klinik harian di mana
orang miskin dapat membawa anak-anak mereka, selain itu juga disini ada tempat
untuk mengadopsi anak dan juga klinik untuk rawat jalan. Di shisu bhavan juga ada
tempat memasak untuk memberi makan 1.000 orang lebih setiap harinya dan
mereka biasanya para pengemis dan gelandangan yang datang setiap hari untuk
4. Sealdah Station
Sealdah Station adalah stasiun kereta api dari Estern Railway. Di dalam
stasiun itu sepuluh ribu orang memasak, makan, tidur dan meninggal dunia
beralaskan lantai batu ruang-ruang tunggu, sementara kereta-kereta api datang dari
pagi kemudian melangkahkan kaki di sela-sela orang banyak itu. Setiap hari Ibu
Teresa dan Misionaris Cinta Kasih membagi-bagikan bahan pangan berupa
campuran bulgur dan kedelai kepada para wanita yang mempunyai kompor dan bagi
mereka yang tidak mempunyai kompor Ibu Teresa memasak di tong-tong besar dan
dibagikan kepada mereka (Beding, 1989: 166).
5. Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni
Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni adalah rumah yang didirikan
oleh Ibu Teresa untuk menampung orang-orang yang sekarat, melarat dan
menghadapi ajalnya. Rumah ini diberi nama Wisma Hati nan Murni karena rumah
ini dipersembahkan kepada Hati Tak Bernoda Maria. Ibu Teresa mendirikan Nirmal
Hriday karena banyak orang yang tidak peduli akan penderitaan orang yang sekarat
yang meninggal di jalanan dan dijilati oleh anjing. Ibu Teresa menginginkan di akhir
hidup orang-orang yang melarat dan sekarat itu mereka bisa merasakan cinta,
perhatian dan kebahagiaan sehingga ketika ajal menjemput mereka bisa tersenyum
dan mengatakan terima kasih. Setiap orang yang mengunjungi Nirmal Hriday akan
memiliki suatu gambaran umum tentang tempat itu, tentang keindahan terhadap
sikap pasrah maut yang tak dapat dielakkan (Beding, 1989: 152).
Ibu Teresa menyebut kematian itu sebagai pulang ke rumah, ia berkata
berangkat langsung menuju Tuhan. Dan kalau mereka pergi, meraka akan bercerita
kepada-Nya tentang kita. Kami membantu mereka untuk mati dalam Tuhan. Kami
membantu mereka untuk minta maaf pada Tuhan, sesuai dengan iman-Nya
masing-masing” itulah yang dikatakan oleh Ibu Teresa. Beliau sangat mencintai dan
memperhatikan semua orang yang menderita termasuk orang yang sudah mendekati
ajalnyapun berusaha Ibu perhatikan agar mereka merasakan kedekatan mereka
dengan Tuhan tanpa harus memaksakan orang yang dirawatnya untuk menjadi
Katolik seperti dirinya. Ibu Teresa memberikan kebebasan kepada mereka untuk
berdoa sesuai dengan kepercayaannya. Bagi Ibu Teresa perbedaan bukan menjadi
halangan untuk mengasihi Tuhan melalui sesama yang menderita (Beding, 1989:
160).
6. Prem Daan
Prem Daan adalah rumah untuk menampung orang-orang sakit yang
mempunyai harapan untuk sembuh dan hidup lebih lama. Semula Prem Daan adalah
gedung yang dibangun untuk dijadikan Labolatorium Kimia, tetapi pada bulan April
1973 pabrik itu diserahkan kepada Ibu Teresa. Bagi Ibu Teresa itu merupakan
contoh yang bagus tentang praktek cinta kasih maka Ibu Teresa menamakan tempat
itu Prem Daan yang berarti “Anugrah Cinta” (Beding, 1989: 214). Di Prem Daan,
Ibu Teresa dan suster-susternya merawat orang-orang sakit, baik jiwa maupun
badan, orang-orang yang mengidap penyakit parah. Di Prem Daan ada ruangan
khusus untuk merawat orang-orang yang sakit ingatan. Prem Daan merupakan
tempat yang tenteram dimana orang-orang sakit dapat merasakan damai dan tidak
Prem Daan juga juga memiliki tempat untuk pusat rehabilitasi. Untuk orang-orang
miskin, mereka diajari untuk mengolah serabut kelapa menjadi barang-barang
kebutuhan rumah tangga seperti sikat, keset, tali dan kranjang. Sampah yang
sebelumnya menjadi masalah dalam masyarakat dapat Ibu Teresa olah menjadi
barang yang mempunyai nilai jual sehingga ini mampu menjadi biaya hidup bagi
orang miskin (Beding, 1989: 215-217).
7. Shantinagar
Shantinagar adalah salah satu rumah untuk penderita kusta, Shantinagar
yang berarti tempat ketentraman merupakan tempat yang dapat memberikan rasa
aman dan hidup secara layak dan bermartabat bagi penderita kusta. Selain sebagai
tempat perawatan orang-orang penderita kusta, Shantinagar juga memiliki
pondok-pondok kecil untuk orang-orang penderita kusta yang ingin tinggal bersama
keluarga mereka, pasien penderita kusta yang sudah menikah diijinkan untuk
membawa keluarganya dan tinggal bersama-sama. Di tempat ini penderita kusta
dapat hidup secara tenteram bersama keluarga mereka tanpa harus dijauhi oleh
orang-orang (Beding, 1989: 243).
8. Membangun Klinik Kesehatan
Berawal dari klinik keliling, Ibu Teresa menolong penyandang kusta ke
perkampungan-perkampungan. Melihat semakin hari penyandang kusta semakin
banyak berdatangan Ibu Teresa berusaha bekerja sama dengan pemerintah dan
dokter, mereka membangun sebuah lembaga perawatan yang baru jauh di luar kota
klinik untuk penyandang kusta ada juga klinik untuk anak-anak cacat fisik dan
mental, klinik untuk pasien AIDS dan TBC serta klinik untuk anak-anak yang
kekurangan gizi serta klinik mobil yang masih berkeliling setiap hari di daerah
Kalkuta (Vardey, 1997: 83).
9. Protima Sen School
Protima Sen School merupakan sekolah yang menolong anak-anak yang
di buang dan yang tidak bisa diatur dan dikendalikan oleh orang tua mereka lagi,
anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan, yang melakukan pencurian dan anak yang
sering berurusan dengan polisi. Di protima Sen School mereka dilatih untuk bekerja
untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan anak diajarkan untuk
mengembangkan bakat mereka (Beding, 1989: 80).
D. Hambatan yang Dialami Oleh Ibu Teresa pada Awal Karyanya
Buku Teresa dari Kalkuta, Krispurwana Cahyadi (2010: 29-32)
menyebutkan bahwa ada empat kendala yang dialami oleh Ibu Teresa pada awal
karyanya diantaranya adalah perubahan gaya hidup, tiadanya bekal, “ladang” yang
berbeda dan yang terakhir adalah semuanya dimulai dengan sendirian.
1. Perubahan Gaya Hidup
Ketika memutuskan untuk keluar dari biara Loreto tentunya hal pertama
yang langsung berubah dari kebiasaan-kebiasan yang sering Ibu Teresa lakukan
adalah perubahan gaya hidup. Kehidupan Ibu Teresa ketika menjadi suster Loreto
berangkat dari biara yang teratur, baik dari hidup dan karya semua teratur, dengan
pekerjaan sebagai pendidik dengan jadwal yang jelas, dan interaksi dengan orang
lain juga terbatas. Tentunya ini sangat jauh berbeda dengan karya pelayanan Ibu
bagi kaum miskin. Ketika Ibu Teresa berkarya di tengah-tengah orang miskin
tentunya tidak ada jadwal yang tertata dengan baik sehingga perubahan cara hidup
yang dia jalani begitu berbeda dengan sebelumnya. Hal ini membuat Ibu Teresa
sering merindukan biara Loreto dan membayangkan hidup teratur, terjamin, tentram
dan aman disana. Perubahan ini sangat tidak mudah untuk dia jalankan sehingga
perubahan ini menjadi pengalaman yang menyakitkan, pengalaman yang membawa
masuk ke dalam kekeringan dan kesepian rohani bagi Ibu Teresa (Krispurwana
Cahyadi, 2010: 30).
2. Tiadanya Bekal
Pada awal keluar biara Ibu Teresa tidak tahu apa yang akan dia lakukan
karena dia tidak punya uang dan juga pengalaman berkarya di kalangan kaum
miskin. Ibu Teresa hanya memiliki pengalaman sebagai guru yang bertugas untuk
mengajar anak-anak di sekolah. Ibu Teresa sadar bahwa kemampuannya mengajar
tidak bisa dia jadikan sebagai bekal untuk melayani kaum miskin karena kaum
miskin tidak hanya butuh pendidikan tapi banyak hal lain. Oleh karena itu Ibu
Teresa mulai belajar untuk merawat orang sakit dan membantu ibu yang melahirkan.
Dari situ Ibu Teresa belajar bahwa yang terpenting bukan bekal melainkan hati,
bukan uang, tetapi kasih. Tetapi untuk sampai kesitu tentunya mengalami proses
yang tidak mudah Ketika Ibu Teresa masih berada di dalam biara Loreto Ibu Teresa
3. “Ladang” yang Amat Berbeda
Dunia sekolah dan dunia kampung kumuh sangat berbeda, maka pertama
kali masuk kecurigaan dan penolakan dialaminya apa lagi Ibu Teresa orang Barat
dan suster, mengingat waktu itu konflik Hindu-Islam memanas. Tidak mudah
membuktikan bahwa dia datang dengan tulus dan sungguh, dengan kasih dan hati.
Banyak orang-orang menentang kehadiran Ibu Teresa dan bahkan ingin
mencelakainya, hal ini membuat Ibu Teresa takut dan cemas tetapi dia tidak pernah
mau mundur karena semuanya baru dimulai.
Pada awalnya Ibu Teresa tidak kuat untuk melihat darah dan merawat
orang-orang yang sakit, tetapi seiring dengan berjalannya waktu Ibu Teresa bisa
mengatasi masalahnya itu. Satu hal yang Ibu Teresa katakan yang membuatnya bisa
kuat melayani dan mencintai kaum miskin adalah karena dia melihat Tuhan di
dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Hal itulah yang memberikan
kekuatan untuk dia agar tetap bisa melayani, merawat dan mencintai orang yang
sedang menderita. Baginya dia mencintai dan mengasihi Allah melalui mereka.
Allahlah yang hadir secara tersamar melalui mereka yang menderita sehingga tidak
ada alasan utuk mengabaikan mereka (Krispurwana Cahyadi, 2010: 31).
6. Memulai dengan Sendirian
Orang pertama-tama melakukan sesuatu mencari teman tetapi apa yang
yang dilakukan oleh Ibu Teresa, dia melakukan semua dengan sendirian. Memang
ada pastor Jesuit yang membantu tetapi dapat dikatakan bahwa Ibu Teresa berjuang
sendiri, segalanya dia lakukan sendiri. Kemuian dan datang relawan dan kemudian
Teresa tidak mudah panggilan itu diterimanya. Akan tetapi dia menyadari bahwa
tidak ada panggilan yang mudah. Bagi Ibu Teresa kesulitan, tragedi merupakan jalan
panggilan. Justru kemiskinan dan kesulitan, salib dan derita, kesepian dan
kekeringan, penolakan dan kecurigaan, yang dialaminya semakin masuk ke dalam
ajakan panggilan Allah, dan tidak menjadikannya malahan mundur. Di tengah salib,
berkat memancar, ditengah tragedi, rahmat menyertai, namun semuanya itu akan
didapat jika umat beriman memberikan diri kepada Allah untuk ikut serta dalam
gerakan Yesus, memanggul salib dan masuk dalam derita. Konsekuensinya terlibat
dalam kecemasan, duka, sakit, luka dan penderitaan umat manusia (Krispurwana
Cahyadi, 2010: 32).
E. Pandangan Ibu Teresa terhadap Penderitaan
Setiap orang pasti pernah mengalami masalah dalam hidup dan masalah
itu memberikan penderitaan bagi orang yang mengalaminya. Sering sekali masalah
yang begitu berat membuat orang tidak mampu untuk bangkit lagi, hanya bisa
meratapi tanpa berbuat apa-apa. Dan yang paling menyedihkan adalah di saat orang
mengalami masalah dan penderitaan yang berkepanjangan orang merasakan Tuhan
jauh darinya, merasa Tuhan tidak peduli terhadap penderitaannya. Sering orang
merasa kecewa pada Tuhan ketika apa yang diharapkannya tidak jadi kenyataan. Ibu
Teresa sebagaimana yang dikutip oleh Egan & Egan (2001: 130) pernah
mengatakan bahwa ubahlah kata “masalah” menjadi “karunia” maka ketika kita
menghadapai masalah kita tidak terpuruk hanya disitu tetapi mampu menikmati
masalah itu dan menjadikannya sebagai karunia yang harus disyukuri. Bagi Ibu