• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spiritualitas pelayanan ibu Teresa dari Kalkuta sebagai teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spiritualitas pelayanan ibu Teresa dari Kalkuta sebagai teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Judul ini dipilih berdasarkan pada fakta yang ada bahwa masih banyak katekis yang kurang memahami dan menghayati semangat pelayanannya bagi kaum miskin. Katekis cenderung lebih menutup diri terhadap kaum miskin karena menurut mereka melakukan pelayanan yang bersifat liturgis jauh lebih penting untuk dilaksanakan dibandingkan dengan melayani kaum miskin.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana para katekis dapat dibantu untuk semakin menyadari dan menghayati spiritualitas pelayanan bagi kaum miskin dengan belajar dari pelayanan yang dilakukan oleh Ibu Teresa. Dengan begitu katekis diharapkan semakin memahami dan menghayati makna panggilannya dalam melayani kaum miskin.

Dalam menanggapi persoalan tersebut, penulis merasa perlu adanya proses pengenalan lebih dekat akan sosok Ibu Teresa beserta karya-karyanya dalam melayani kaum miskin. Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan riwayat hidup Ibu Teresa dan proses perjalanan karya pelayanannya, mulai dari panggilan pertamanya untuk menjadi suster biara Loreto sampai saat dia menerima panggilan kedua yang sering dia sebut sebagai “panggilan dalam panggilan”. Pengenalan lebih dekat terhadap sosok Ibu Teresa diharapkan memberikan inspirasi bagi katekis untuk meneladan karya-karya pelayanan Ibu Teresa. Selain itu juga penulis ingin memberikan penyadaran kepada katekis untuk semakin memahami arti pelayanan bagi kaum miskin, bahwa melayani kaum miskin itu bukanlah hanya kegitan sosial belaka yang wajib dilakukan untuk membantu sesama kita yang miskin, tetapi menyadarkan katekis untuk melihat Kristus yang hadir dalam diri kaum miskin, pelayanan yang dilakukan bukan semata-mata pelayanan sosial kemanusiaan, tetapi pelayanan kepada Kristus sendiri yang hadir bersama kaum miskin.

Pada bagian akhir penulis mengusulkan sebuah program katekese umat model

Shared Christian Praxsis yang berjudul “Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa sebagai

(2)

ABSTRACT

The title of this small thesis is “THE SPIRITUALITY OF MOTHER TERESA AS AN EXAMPLE FOR CATECHIST THEIR MAKING TO SERVE THE POOR”. The title was chosen based on the fact that many catechists do not understand and appreciate the spirit of their service to the poor. Catechist ten to be more closed to the poor. For them to serve the poor is not an obligation that is needed to be implemented. Chatechists ten to be more concerned with their own lives and give prioritize services that are liturgical, thus set aside the service for the poor.

The main issue in small this thesis is how the catechist can be helped to become more aware and appreciate the service to the poor by learning from the service that had been performed by Mother Teresa. By doing so, catechist are expected to increasingly understand and appreciate the meaning of their vocation, which in turn catechists are also able to appreciate and do the service for the poor.

In response to these issues, the writer felt the need for a closer identification process with the figure of Mother Teresa and all her works and service for the poor. This writing firs describes the life history of Mother Teresa and the way she followed the call. From the first time she entered the convent and became a Loreto’ sister until she received a second call that is often referred to as a “call within a call” and gave her whole life there. Introduction closer to the figure of Mother Teresa’s exsample and her services toward the poor. In addition, the writer also wold like to provide an awareness for catechists to further understand the meaning of the service to the poor: that serving the poor is not merely social activities that must be done in order to help the poor, but rather catechists realization that Chris loves the poor and is present and struggle in the life of the poor. Therefore, the service to the poor does not just merely humanitarian social service, but a Christian act and service to Christ himself who is present in the life of the poor.

(3)

SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN

SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Marantika Br Tarigan

NIM: 071124030

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, kakak-kakak, adikku

dan kepada semua orang yang mencintai kaum miskin.

(7)

MOTTO

“Bersukacitalah dalam pengharapan,

sabarlah dalam kesesakan

dan bertekunlah dalam doa.”

(Rm 12:12)

(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Judul ini dipilih berdasarkan pada fakta yang ada bahwa masih banyak katekis yang kurang memahami dan menghayati semangat pelayanannya bagi kaum miskin. Katekis cenderung lebih menutup diri terhadap kaum miskin karena menurut mereka melakukan pelayanan yang bersifat liturgis jauh lebih penting untuk dilaksanakan dibandingkan dengan melayani kaum miskin.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana para katekis dapat dibantu untuk semakin menyadari dan menghayati spiritualitas pelayanan bagi kaum miskin dengan belajar dari pelayanan yang dilakukan oleh Ibu Teresa. Dengan begitu katekis diharapkan semakin memahami dan menghayati makna panggilannya dalam melayani kaum miskin.

Dalam menanggapi persoalan tersebut, penulis merasa perlu adanya proses pengenalan lebih dekat akan sosok Ibu Teresa beserta karya-karyanya dalam melayani kaum miskin. Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan riwayat hidup Ibu Teresa dan proses perjalanan karya pelayanannya, mulai dari panggilan pertamanya untuk menjadi suster biara Loreto sampai saat dia menerima panggilan kedua yang sering dia sebut sebagai “panggilan dalam panggilan”. Pengenalan lebih dekat terhadap sosok Ibu Teresa diharapkan memberikan inspirasi bagi katekis untuk meneladan karya-karya pelayanan Ibu Teresa. Selain itu juga penulis ingin memberikan penyadaran kepada katekis untuk semakin memahami arti pelayanan bagi kaum miskin, bahwa melayani kaum miskin itu bukanlah hanya kegitan sosial belaka yang wajib dilakukan untuk membantu sesama kita yang miskin, tetapi menyadarkan katekis untuk melihat Kristus yang hadir dalam diri kaum miskin, pelayanan yang dilakukan bukan semata-mata pelayanan sosial kemanusiaan, tetapi pelayanan kepada Kristus sendiri yang hadir bersama kaum miskin.

Pada bagian akhir penulis mengusulkan sebuah program katekese umat model

Shared Christian Praxsis yang berjudul “Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa sebagai

teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayananan bagi Tuhan melalui

(11)

ABSTRACT

The title of this small thesis is “THE SPIRITUALITY OF MOTHER TERESA AS AN EXAMPLE FOR CATECHIST THEIR MAKING TO SERVE THE POOR”. The title was chosen based on the fact that many catechists do not understand and appreciate the spirit of their service to the poor. Catechist ten to be more closed to the poor. For them to serve the poor is not an obligation that is needed to be implemented. Chatechists ten to be more concerned with their own lives and give prioritize services that are liturgical, thus set aside the service for the poor.

The main issue in small this thesis is how the catechist can be helped to become more aware and appreciate the service to the poor by learning from the service that had been performed by Mother Teresa. By doing so, catechist are expected to increasingly understand and appreciate the meaning of their vocation, which in turn catechists are also able to appreciate and do the service for the poor.

In response to these issues, the writer felt the need for a closer identification process with the figure of Mother Teresa and all her works and service for the poor. This writing firs describes the life history of Mother Teresa and the way she followed

the call. From the first time she entered the convent and became a Loreto’ sister until she received a second call that is often referred to as a “call within a call” and gave

her whole life there. Introduction closer to the figure of Mother Teresa’s exsample and her services toward the poor. In addition, the writer also wold like to provide an awareness for catechists to further understand the meaning of the service to the poor: that serving the poor is not merely social activities that must be done in order to help the poor, but rather catechists realization that Chris loves the poor and is present and struggle in the life of the poor. Therefore, the service to the poor does not just merely humanitarian social service, but a Christian act and service to Christ himself who is present in the life of the poor.

Finally , this writing proposes a model of human catehetical program Shared

Christian Praxsis, entitled “Spirituality of mother Teresa as an Exemplary Services For Chatechist in Delivering Services for God through Their Services to The Poor,” as

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah yang maha berbelas kasih

dan kepada Bunda maria yang penuh cinta di mana atas berkat dan penyertaannya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”.

Dalam skripsi ini penulis mengangkat keprihatinan yang selama ini terjadi

di kalangan katekis di mana mereka masih sulit untuk melayani kaum miskin. Penulis

menyadari bahwa banyak orang yang dapat dijadikan teladan dalam melayani kaum

miskin tetapi penulis memilih Ibu Teresa karena Ibu Teresa merupakan sosok yang

teguh dalam panggilan dan begitu mencintai kaum miskin, dan dia selalu menegaskan

bahwa karya-karya yang dia lakukan bukan sekedar kegiatan sosial tetapi dia

melakukan itu semua karena Yesus, dia melihat Yesus dalam diri orang miskin. Oleh

karena itu penulis sebagai calon katekis merasa tergugah oleh sosok Ibu Teresa yang

begitu sederhana dan penuh cinta dalam melayani kaum miskin.

Banyak pelajaran hidup yang penulis dapat dalam menyelesaikan skripsi

ini dan penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini berkat bantuan dan

dukungan dari banyak pihak yang telah memberikan perhatian, dorongan, motivasi

dan inspirasi bagi penulis. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Dr. Bernardus Agus Rukiyanto, S.J., selaku dosen utama yang telah meluangkan

banyak waktu, perhatian dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis serta

(13)

2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen penguji kedua dan sebagai dosen

pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, pikiran

untuk membimbing penulis selama studi sampai pada pertanggungjawaban skripsi

ini.

3. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung., S.J., M.Ed., sebagai kaprodi IPPAK dan

dosen penguji ketiga yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada

penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini serta kesediaanya membimbing

sekaligus memeriksa skripsi dan menguji penulis.

4. Bapak-Ibu dosen dan Segenap staf prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang

telah mendampingi dengan setia serta menjadi rekan selama penulis melaksanakan

studi di IPPAK-USD Yogyakarta.

5. Yakobus Naya Leoema yang dengan setia menemani, memperhatikan dan selalu

memberi dorongan serta semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-temanku Tarmilla Br Tarigan, Paskarada Gerada, Hermi Marbun, Santri

Dor, Niken Pratiwi, Ade Mardiana, Rosita Dangin, Yuniarti Ninu, Karolina

Ohuiliun, Deslita Angelina Br Tarigan yang telah mendukung dan menyemangati

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Grup Labo Piga Bagi Kam Eina yang beranggotakan Imalia Br Sembiring,

Tarmilla Br Tarigan, Alan Dwinta Karo Sekali, Roy Yoseph Gomgom Sinambela,

Harry Dwi Saputra Ginting, Dedi Silva Sinulingga, Mahendra Barus, Jefry Pinem

yang selalu menyemangati penulis selama proses penulisan sampai

terselesaikannya skripsi ini.

8. Semua rekan-rekan seangkatan 2007 yang telah memberikan perhatian dan

(14)
(15)

DATAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

BAB II. IBU TERESA DAN SPIRITUALITAS PELAYANANNYA ... 8

A. Riwayat hidup Ibu Teresa ... 8

B. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa ... 13

1. Pengertian Spiritualitas ... 13

2. Spiritualitas Pelayanan ... 14

3. Ciri-ciri Pelayanan ... 15

4. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa ... 16

C. Karya dan Pelayanan Ibu Teresa ... 18

1. Mengajar anak-anak miskin di Motijhil ... 18

(16)

3. Shisu Bhavan ... 22

4. Sealdah Stasion ... 23

5. Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni ... 23

6. Prem Daan ... 24

7. Shantinagar/ Rumah bagi Orang-orang Berkusta ... 25

8. Membangun Klinik Kesehatan ... 25

9. Protima Sen School ... 26

D. Hambatan yang dialami oleh Ibu Teresa pada Awal Karyanya ... 26

1. Perubahan Gaya Hidup ... 26

2. Tiadanya Bekal ... 27

3. “Ladang” yang Amat Berbeda ... 28

4. Memulai dengan Sendirian ... 28

E. Pandangan Ibu Teresa Terhadap Penderitaan ... 29

F. Cinta Kasih Ibu Teresa ... 31

1. Mencintai Kristus dengan Melayani Sesama ... 31

2. Melayani dengan Berbagi Kehidupan ... 33

G. Teladan Hidup Ibu Teresa ... 34

1. Ibu Teresa Teladan dalam Keheningan ... 34

2. Ibu Teresa Teladan dalam Doa ... 35

3. Ibu Teresa Teladan dalam Iman ... 36

4. Ibu Teresa Teladan dalam Cinta ... 36

5. Ibu Teresa Teladan dalam Melayani ... 37

6. Ibu Teresa Teladan dalam Perdamaian ... 39

BAB III. SEMANGAT PELAYANAN KATEKIS BAGI KAUM MISKIN ... 40

A. Pengertian Katekis ... 41

C. Kemampuan yang perlu dimiliki Katekis ... 48

(17)

2. Mampu Menjadi Teladan ………. ... 49

3. Mampu berefleksi dan Kehidupan Rohani yang Mendalam ……….. . 50

4. Mampu Menjadi Pemimpin ... 51

D. Peran Katerkis dalam Tugas Perutusannya ... 52

1. Panggilan dan Perutusan Katekis ……… 52

2. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya ………. .. 53

a. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di Sekolah ... 54

b. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di Paroki ... 54

c. Peran Katekis dalam Tugas Perutusannya di dalam Struktur Pemerintahan ... 55

E. Pelayanan Katekis bagi Kaum Miskin ... 56

1. Pengertian Kaum Miskin ... 56

2. Gereja dan Kaum Miskin... 57

3. Peran Katekis dalam Pelayanan bagi Kaum Miskin ... 60

F. Ibu Teresa sebagai Teladan bagi Katekis dalam Mewujudkan Semangat Pelayanan bagi Kaum Miskin ... 62

BAB IV. USAHA MENINGKATKAN SEMANGAT PELAYANAN KATEKIS BAGI KAUM MISKIN BERDASARKAN TELADAN PELAYANAN IBU TERESA BAGI KAUM MELALUI KATEKESE UMAT ... 69

A. Arti Katekese Umat ... 70

B. Tujuan Katekese Umat ... 71

C. Shared Christian Praxis Sebagai Suatu Alternatif Model Katekese Umat 71 1. Pengertian Shared Christian Praxis ... 72

a. Praxis ... 73

b. Christian ... 74

c. Shared ... 75

2. Langkah-langkah Shared Christian Praxis ... 76

a. Langkah 0: Pemusatan Aktivitas ... 76

b. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Peserta (Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta) ... 77

c. Langkah II: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup peserta (Mendalami Pengalaman Hidup Peserta) ... 77

(18)

Lebih Terjangkau (Menggali Pengalaman Iman Kristian) ... 78

e. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta (Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Peserta Konkret) ... 79

f. Langkah V : Keterlibatan Baru demi Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini (Mengusahakan Suatu Aksi Konkret) ... 80

D. Usaha Meningkatkan Pelayanan Katekis bagi Kaum Miskin Berdasarkan Teladan Pelayanan Ibu Teresa Melalui Katekese Umat ... 81

1. Latar Belakang Program Katekese Umat ... 81

2. Alasan Pemilihan Tema ... 81

3. Rumusan Tema dan Tujuan Katekese Umat ... 82

4. Penjabaran Usulan Program Katekese Model SCP ... 85

5. Petunjuk Pelaksanaan Program ... 89

6. Contoh Persiapan Katekese Umat ... 89

BAB V. PENUTUP ... 104

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108

LAMPIRAN ... 110

Lampiran 1: Lagu “Bahasa Cinta”dan “Kasih Pasti Lemah Lembut” ... (1)

Lampiran 2: Film “Mother Teresa” ... (2)

Lampiran 3: Matius 22:34-40 ... (3)

Lampiran 4: Cerita “Aku Haus” ... (4)

Lampiran 5: Cerita “Pino Siapa Saudaramu?” ... (5)

(19)

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Daftar singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama

Republik Indonesia dalam Rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal.

8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes

Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman,

tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

RN : Rerum Novarum, Ensiklik Paus Leo XIII mengenai kondisi

kelas kerja dan nasib para buruh, Mei 1891.

C. Singkatan Lain

ASG : Ajaran Sosial Gereja

Bdk : Bandingkan

DokPen : Dokumentasi dan Penerangan

FABC : Faderation of Asian Bishop Conferences

Hal : Halaman

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

KAS : Keuskupan Agung Semarang

(20)

KOPTARI : Konferensi Tarekat Religius Indonesia

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

MASRI : Majelis Antar Serikat Religius Indonesia

MAWI : Majelis Waligereja Indonesia

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

SCP : Shared Christian Praxsis

St : Santa

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibu Teresa merupakan sosok wanita yang tangguh dan tekun dalam

menjalankan setiap tugas pelayanannya meskipun banyak permasalahan yang

dihadapinya tetapi dia tetap tenang dan menyerahkan semuanya kepada Allah.

Dalam melaksanakan tugas pelayanan Ibu Teresa tidak hanya berbicara saja

melainkan dia mewartakan Kristus dengan perbuatan yaitu dengan menghadirkan

kasih Kristus dalam kehidupan orang miskin, menderita, tertindas dan cacat. Sosok

seperti Ibu Teresa sulit ditemukan pada saat ini karena memang tidak mudah

menemukan orang yang benar-benar mencintai kaum miskin. Hal ini sungguh

berbeda dengan Ibu Teresa karena Ibu Teresa melihat kemiskinan sebagai fakta

hidup untuk mempraktekkan kasih Allah.

Ibu Teresa hadir di Kalkuta bukan hanya sekedar untuk merealisasikan

tugasnya sebagai seorang biarawati tetapi di sana ia menemukan kehidupan sebagai

seorang yang percaya kepada Kristus yang sesungguhnya. Di Kalkuta ia melihat

dunia yang sesungguhnya, dunia yang majemuk bukan hanya dari segi agama, tetapi

juga persoalan. kondisi yang seperti itu membuat hati Ibu Teresa tidak tenang dan

selalu ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Ibu Teresa merupakan pribadi yang

memiliki semangat dalam melayani dan juga mampu mengambil bagian dalam

sengsara dan penderitaan Kristus, yang tetap senasib dengan orang yang menderita

(22)

sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari

saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ibu

Teresa mengatakan bahwa apa yang Ibu Teresa lakukan bersama para suster

Misionaris Cinta Kasih, mereka melakukannya demi Yesus, mereka berjumpa

dengan Yesus 24 jam sehari melalui kaum miskin, mereka merasa bahwa

perjumpaan mereka bersama Kristus melalui kaum miskin sangat mebahagiakan

karena bagi mereka kaum miskin begitu menarik hati. Kaum tidak membutuhkan

rasa simpati dan belas kasihan, tetapi mereka membutuhkan cinta kasih dan

perhatian yang tulus (Hartono, 1998: 12). Di sini dapat dilihat bahwa Ibu Teresa

sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani kaum miskin, dia

begitu bahagia ketika dia bisa melayani mereka. Ibu Teresa melakukan semuanya itu

bukan karena rasa kasihan tetapi karena cinta kasihnya kepada Kristus dan dia

wujudkan melalui mereka yang miskin dan menderita.

Ibu Teresa memiliki sepiritualitas kerohanian yang sungguh

mengutamakan Allah. Ibu Teresa tidak pernah memandang perbedaan sosial, agama

dan budaya. Dia mencintai semua orang yang miskin dan menderita tanpa

memperhatikan orang itu dari kalangan apa, cara hidupnya juga sangat sederhana,

cintanya kepada Tuhan mengalahkan semuanya. Dia selalu percaya bahwa Tuhan

selalu meyertai dia, sehingga dia tidak pernah takut dalam menjalankan

pelayanannya, dia percaya bahwa Tuhan pasti akan selalu memberi jalan kepadanya

di saat dia mengalami kesusahan karena dia melakukan apa yang diajarkan oleh

Yesus sendiri. Sikap dan pandangan Ibu Teresa ini sungguh-sungguh dapat

memberikan inspirasi dan teladan bagi siapa saja yang ingin melayani kaum miskin

(23)

Ibu Teresa pernah mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh

Krispurwana Cahyadi (2010: 220) bahwa “Tuhan memanggil kita bukan untuk

sukses, dia memanggil kita untuk setia”. Ini menunjukkan bahwa kesuksesan itu

bukanlah hal yang utama dalam hidup ini tetapi kesetiaan pada jalan kita menapaki

kehidupan ini, bersama Dia yang memanggil kita yang paling penting. Menemukan

orang yang setia pada jalan Allah memang tidak mudah karena banyak adalah orang

yang ingin sukses dan terkenal tanpa harus bersusah payah mengikuti apa yang

sudah diminta oleh Allah kepadanya.

Menolong orang-orang yang miskin dan menderita merupakan sesuatu

yang wajib bagi Ibu Teresa karena ia melihat bahwa Tuhan ada di dalam diri

mereka, sehingga tidak ada kata menyerah dalam memberikan kasih bagi mereka

yang sudah mendekati ajalnya, mereka yang dianggap sampah oleh pemerintah dan

juga masyarakat, serta mereka yang sudah tak dianggab oleh orang yang ada di

sekitar mereka. Semuanya dibawa dan dirawat oleh Ibu Teresa sehingga mereka

yang tadinya merasa ditinggalkan dan tidak dianggab oleh orang lain benar-benar

dapat merasakan cinta kasih dan kedamaian yang diberikan oleh Ibu Teresa. Soal

pluralitas yang menjadi latar medan pelayanannya, Ibu Teresa berkata bahwa

agama, suku, ras dan budaya tidak menjadi penghalang baginya untuk mewujudkan

kasih Allah bagi kaum miskin karena Iman harus dikonkritkan dalam kebersamaan

hidup, kebersamaan dalam hal suka maupun duka. Hal yang utama dalam beragama

bukanlah (dokrin dan praktek) secara eksklusif, namun bagaimana keterbukaan

sikap dan pemikiran untuk melihat orang lain, sebagai bagian dari rencana usaha

penyelamatan Kristus. Ibu Teresa tidak berdialog dengan agama lain dalam tataran

(24)

Zaman sekarang ini pribadi seperti Ibu Teresa tidak mudah untuk

ditemukan karena pada kenyataannya banyak orang lebih mementingkan

kehidupannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku bagi katekis di mana penulis

mendengar dan melihat bahwa banyak katekis yang begitu khawatir akan

kehidupannya sehingga banyak katekis yang menutup mata untuk melayani kaum

miskin. Banyak katekis yang merasa mereka tidak mampu melayani kaum miskin.

Selain itu banyak katekis yang begitu mengutamakan pelayanan-pelayanan yang

bersifat liturgis sehingga mengesampingkan pelayanan mereka bagi kaum miskin,

bagi mereka melayani kaum miskin bukan kewajiban yang harus mereka lakukan.

Penulis merasa tertarik dengan semangat pelayanan Ibu Teresa karena di

dalam melaksanakan pelayanannya dia selalu percaya dan berserah pada Tuhan. Ibu

Teresa tidak pernah merasakan bahwa Tuhan tidak menyayanginya atau Tuhan

meninggalkannya meskipun dia sedang mengalami banyak masalah dalam

hidupnya. Sumua masalah yang dialaminya dia jadikan sebagai jalan untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan. Semakin banyak masalah yang dialaminya

semakin dia dekat dengan Tuhan. Baginya masalah itu adalah anugrah yang harus

disyukuri karena semakin banyak masalah Allah semakin cinta dengan kita.

Semangat pelayanan Ibu Teresa ini dapat dijadikan sebagai inspirasi dan

teladan bagi siapa saja yang ingin melayani Tuhan melalui kaum miskin, tak

terkecuali bagi katekis. Katekis sebagai murid Kristus sudah seharusnya menyadari

hukum yang pertama dan utama yaitu kasih kepada Allah dan sesama terutama

sesama yang menderita. Katekis diajak untuk semakin menanggapi panggilan Allah

dengan berkarya melayani Allah melalui sesama yang miskin dan menderita. Oleh

(25)

“SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI

TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN”. Harapan penulis, spiritualitas dan karya

Ibu Teresa dapat dijadikan teladan bagi katekis dalam melaksanakan tugas

pelayanannya bagi kaum miskin serta katekis semakin menyadari bahwa mencintai

dan melayani kaum miskin merupakan tugas yang penting dan tidak boleh dilupakan

atau diabaikan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas pelayanan Ibu Teresa?

2. Apa yang dimaksud dengan pelayanan Katekis?

3. Bagaimana spiritualitas Ibu Teresa dijadikan sebagai inspirasi dan teladan bagi

katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami spiritualitas pelayanan Ibu Teresa bagi kaum miskin.

2. Untuk mengetahui tugas pelayanan katekis bagi kaum miskin.

3. Untuk mengetahui karya-karya dan jalan hidup Ibu Teresa katekis semakin

termotivasi untuk melayani kaum miskin.

4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi

Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan

(26)

D. Manfaat Penulisan

1. Meningkatkan pemahaman spiritualitas Ibu Teresa bagi katekis dalam melayani

kaum miskin.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi katekis untuk meningkatkan semangat

pelayanan dalam perkembangan zaman dewasa ini dan sebagai acuan untuk

menjadikan katekis lebih peka dengan situasi tersebut.

3. Katekis menghayati spiritualitas pelayanannya bagi kaum miskin dengan

meneladani pelayanan Ibu Teresa.

E. Metode Penulisan

Skripsi ini disusun dengan memakai metode deskriptif analisis yang

menggambarkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk menemukan jalan

pemecahan yang memadai atas sebuah studi pustaka dari berbagai buku refrensi

karangan ilmiah yang berkaitan dengan tema yang diangkat oleh penulis.

F. Sistematika Penulisan

Penulis memilih judul skripsi ”SPIRITUALITAS PELAYANAN IBU

TERESA DARI KALKUTA SEBAGAI TELADAN BAGI KATEKIS DALAM MEWUJUDKAN SEMANGAT PELAYANAN BAGI KAUM MISKIN” yang akan diuraikan dalam lima bab sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang penulisan

skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan

dan sistematika penulisan.

(27)

Teresa yang terbagi dalam tujuh bagian pokok yakni riwayat hidup Ibu Teresa,

spiritualitas pelayanan Ibu Teresa, karya dan pelayanan Ibu Teresa, hambatan yang

dialami Ibu Teresa pada awal karyanya, pandangan Ibu Teresa terhadap penderitaan,

cinta kasih Ibu Teresa dan teladan hidup Ibu Teresa.

Bab III menjelaskan mengenai semangat pelayanan katekis bagi kaum

miskin berdasarkan teladan pelayanan Ibu yang terbagi dalam empat bagian pokok

yakni pengertian katekis, spiritualitas katekis, kemampuan katekis, peran katekis

dalam tugas perutusannya, pelayanan katekis bagi kaum miskin, Ibu Teresa sebagai

teladan bagi katekis dalam mewujudkan semangat pelayanan bagi kaum miskin.

Bab IV merupakan sumbangan pendampingan bagi katekis dalam usaha

meningkatkan pelayanan katekis bagi kaum miskin berdasarkan teladan pelayanan

Ibu Teresa melalui katekese umat, dengan menggunakan model Shared Christian

Praxsis.

Bab V merupakan bagian akhir dari penulisan yang terdiri dari

kesimpulan dan saran.

(28)

BAB II

IBU TERESA DAN SPIRITUALITAS PELAYANANNYA

Tokoh seperti Ibu Teresa merupakan sosok yang sulit ditemukan pada

abad ini karena banyak karya-karya yang dia lakukan bagi kaum miskin. Karya

pelayanan yang ia berikan bagi kaum miskin di Kalkuta mampu membuka mata

dunia untuk mengenal lebih jauh sosok Ibu Teresa. Pribadi Ibu Teresa membuat hati

setiap orang yang mengenalnya luluh dan simpatik akan apa yang ia lakukan bagi

kaum miskin. Untuk lebih mengenal sosok dan spiritualitas pelayanan Ibu Teresa

maka dalam bab ini akan diuraikan tentang riwayat hidup Ibu Teresa, spiritualitas

pelayanan Ibu Teresa, karya dan pelayanan Ibu Teresa, hambatan yang dialami Ibu

Teresa dan teladan hidup Ibu Teresa.

A. Riwayat Hidup Ibu Teresa

Buku yang berjudul Ibu Teresa (Langford, 2010: 10-16) menjelaskan

mengenai sejarah singkat riwayat hidup Ibu Teresa.

Ibu Teresa lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje, (saat ini di

Macedonia) Yugoslavia dari suatu keluarga Albania sebagai yang bungsu dari tiga

bersaudara putra-putri Bapak Nicholas Bojaxhiu dan Ibu Drane Bojaxhiu. Ia

dibabtis dengan nama Agnes Gonxa Bojaxhiu yang berarti kuncup bunga. Di

sekolah dasar dia tumbuh dalam ketertarikan besar akan misi di luar negeri, dan

ketika berusia 12 tahun Ibu Teresa telah memutuskan untuk membaktikan hidup

untuk membantu sesama (Langford, 2010: 10). Pada usia 14 tahun Ibu Teresa sudah

(29)

pada umur 18 tahun, bulan September 1928, Agnes masuk Biara Suster-suster

Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa sebagai kenangan akan St.

Theresia Kecil dari Lisieux yang sering disebut sebagai “Bunga Kecil” (Beding,

1989: 94).

Pada bulan Desember, Sr. Teresa meninggalkan Irlandia dan berangkat

ke India dan tiba di Kalkuta pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah mengucapkan

Kaul Pertamanya pada tanggal 24 Mei 1931, Sr. Teresa ditugaskan untuk mengajar

di sekolah lanjut atas untuk gadis-gadis Bengali yang dijalankan oleh suster Loreto

di Entally sebelah timur Kalkuta. Selama kira-kira 20 tahun Sr. Teresa mengajar di

sekolah itu, dia mengajar ilmu bumi dan sejarah. Bahkan Sr. Teresa sempat diangkat

menjadi kepala sekolah. Suster Teresa juga mengajar di sekolah lain yang

lingkungan sekolahnya berdekatan dengan biara Loreto yaitu St. Maria (Beding,

1989: 94).

Pada tanggal 10 September 1946, dalam perjalanan kereta api dari

Kalkuta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunan, Ibu Teresa menerima

“inspirasi”, “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang

tidak pernah dapat dijelaskan, dahaga Yesus akan cinta dan akan jiwa-jiwa

memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku”. Sejak itu, Ibu Teresa dipenuhi

hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa

-jiwa” dengan berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari

yang miskin (Langford, 2010: 11).

Pada bulan Februari 1948, Ibu Teresa menanggalkan pakaian biaranya

dan mengenakan sari India yang berwarna putih dengan pinggiran garis-garis warna

(30)

1948 Ibu Teresa keluar melewati gerbang Biara Loreto yang tenteram yang amat

dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin (Beding, 1989: 105).

Untuk pertama kalinya setelah keluar dari biara Loreto yang sangat

dicintainya Ibu Teresa memulai karya pelayanannya dengan mengajar anak-anak

miskin yang berada di kampung kumuh padat penduduk di Moti Jhil.

Kemampuannya sebagai guru digunakannya untuk mengajar anak-anak miskin

dengan menggunakan tanah sebagai papan tulis, dan sebatang pohon sebagai atap

dan tempat berteduh. Sebagai hadiah atas kehadiran anak-anak yang dia ajari Ibu

Teresa membagikan sabun kepada murid-muridnya (Langford, 2010: 12).

Pada bulan Februari 1949, keluarga Michael Gomes meminjaminya

sebuah ruangan di Creek Lane. Ibu Teresa pindah ke rumah itu hanya dengan

membawa tas kecil dan menata ruangan untuk tidur dan kerja, dengan sepasang

prabot untuk meja dan kursi. Setelah berita tentang Ibu Teresa tersebar orang-orang

yang mengenalnya mulai membantu karya perutusannya yang baru itu (Langford,

2010: 12).

Pada tanggal 7 Oktober 1950, kongregasi Misionaris Cinta Kasih

memperoleh pengakuan dari Gereja Katolik dengan persetujuan Paus Pius XII

(Krispurwana Cahyadi, 2003b: 177-178). Awal tahun 1960-an, Ibu Teresa mulai

mengutus para susternya ke bagian-bagian lain India. Dekrit Pujian yang

dianugerahkan kepada Kongregasi oleh Paus Paulus VI pada bulan Februari 1965

mendorong Ibu Teresa untuk membuka rumah penampungan. Sejak tahun

1970-1971 Ibu Teresa telah menambahkan rumah di India juga internasional yaitu

London, Australia, Venezuela, Yordan dan Amerika Serikat (Wellman, 2002: 204).

(31)

akhirnya di setiap benua. Pada tahun 1980 hingga 1990, Ibu Teresa membuka

rumah-rumah penampungan di hampir di seluruh negara-negara komunis, termasuk

Uni Soviet, Albania dan Kuba. Agar dapat menanggapi kebutuhan kaum miskin,

baik jasmani maupun rohani, Ibu Teresa melangkah lebih lanjut dengan mendirikan

lima komunitas religius tersendiri bagi pelayanan pada kaum miskin. Bersama para

Suster, yang didirikan pada tahun 1950, dia mulai dengan cabang pria,

Bruder-bruder Misionaris Cinta Kasih, berdiri 1966, kemudian para Suster Kontemplatif

pada tahun 1976, pada tahun 1979 didirikan Bruder-bruder Kontemplatif, dan yang

terakhir pada tahun 1984 didirikan Imam Misionaris Cinta Kasih untuk melayani

luka batin dan kemiskinan rohani dari mereka yang dilayani oleh para suster serta

Bruder (Langford, 2010: 15).

Mata dunia mulai terbuka terhadap Ibu Teresa dan karyanya. Pada 6

Januari 1970 Paus Pius VI menganugrahinya dengan Penghargaan Perdamaian Paus

Yohanes XXIII. Penghargaan ini telah dipersiapkan oleh almarhum Paus Yohanes

XXIII untuk menghormati para pencipta perdamaian (Wellman, 2002: 204). Ia juga

membentuk Kerabat Kerja Ibu Teresa dan Kerabat Kerja Sick and Suffering, yaitu

orang-orang dari berbagai kalangan agama dan kebangsaan dengan siapa ia berbagi

semangat doa, kesederhanaan, kurban silih dan karya sebagai pelayan cinta kasih.

Semangat ini kemudian mengilhami terbentuknya Misionaris Cinta Kasih awam

(Krispurwana Cahyadi, 2003c: 217).

Atas permintaan banyak imam, pada tahun 1981 Ibu Teresa juga

memulai Gerakan Corpus Christi bagi para imam sebagai “jalan kecil kekudusan”

bagi mereka yang rindu untuk berbagi karisma dan semangat dengannya

(32)

Pada tahun 1997, tarekat Misionaris Cinta Kasih hampir mencapai 4000

orang, tergabung dalam 610 cabang dan tersebar di 120 negara dari berbagai belahan

duniam (Wellman, 2002: 230). Pada bulan Maret 1997, Ibu Teresa memberikan

restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior Jenderal Misionaris

Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya,

ia kembali ke Kalkuta dan melewatkan minggu-minggu terakhir hidupnya dengan

menerima kunjungan para tamu dan memberikan nasehat-nasehat terakhir kepada

para biarawatinya (Langford, 2010: 14).

Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, hidup Ibu Teresa di

dunia ini berakhir. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St.

Thomas, gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di

India hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan

agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan

penghormatan terakhir mereka (Langford, 2010: 15).

Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara kenegaraan oleh

Pemerintah India pada tanggal 13 September sebelum akhirnya dimakamkan di

Rumah Induk Misionaris Cinta kasih. Segera saja makamnya menjadi tempat ziarah

dan tempat doa bagi banyak orang dari berbagai kalangan agama, kaya maupun

miskin (Wellman, 2002: 230).

Ibu Teresa mewariskan teladan iman yang kokoh, harapan yang tak

kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa. Jawaban atas panggilan Yesus,

“Mari, jadilah cahaya bagi-Ku,” menjadikannya seorang Misionaris Cinta Kasih,

seorang “ibu bagi kaum miskin”, sebagai simbol belas kasih terhadap dunia. 26

(33)

yang tersebar luas karena kekudusan dan karya-karyanya, Paus Yohanes Paulus II

memberikan persetujuan untuk dimulainya proses kanonisasi Ibu Teresa. Dengan

melewati proses panjang dan juga kerja keras pada tanggal 20 Desember 2002 Bapa

Suci Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan keputusan untuk mengesahkan

beatifikasi Ibu Teresa. Pada tanggal 19 Oktober 2003 dilaksanakan perayaan

beatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II di lapangan Basilika St. Petrus Vatikan.

(Krispurwana Cahyadi, 2004: 64).

B. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa 1. Pengertian Spiritualitas

KOPTARI (1987: 4) menyatakan bahwa spiritualitas adalah “kenyataan

konkret hidup yang mencakup keyakinan iman, keutamaan beserta perwujudannya”.

Definisi ini memberikan penjelasan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang

abstrak, akan tetapi sesuatu yang nyata dapat dilihat realitasnya dalam sikap dan

tindakan hidup sehari-hari. Di mana seseorang yang memiliki iman yang teguh dan

kuat akan dapat terlihat dari perilaku dan tindakannya dalam hidup di tengah-tengah

masyarakat.

Banawiratma (1990: 57-58) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan

“kekuatan atau Roh yang memberi daya tahan kepada seseorang atau kelompok

untuk mempertahankan, memperkembangkan, mewujudkan kehidupan”. Di mana

spiritualitas dapat memberikan semangat dan pengharapan dalam menjalani segala

rintangan untuk mencapai cita-cita seseorang atau kelompok. Semangat yang tak

kunjung padam meskipun begitu banyak hambatan yang dialami oleh seseorang

(34)

Dalam Ensiklopedia Gereja Katolik III, Heuken (1991: 106) mengatakan

bahwa spiritualitas berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata Spiritualitas berarti

kerohanian atau hidup rohani. Dengan begitu spiritualitas dapat dirumuskan sebagai

hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus sehingga orang dapat mengembangkan

iman, harapan dan cinta kasih atau sebagai usaha mengintegrasikan segala segi

kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus

Kristus atau sebagai pengalaman iman kristiani dalam situasi konkret

masing-masing orang. Hal tersebut selalu bertumpu pada iman akan Yesus melalui

perbuatan dan pengalaman iman dalam kehidupan sehari-hari.

Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa spiritualitas

merupakan semangat yang berasal dari Allah yang menyelimuti hidup seseorang

sehingga dalam segala prilakunya dapat terlihat bahwa Roh Allah yang berkarya dan

diwujudkan oleh manusia dalam tindakan yang nyata dengan mencintai Allah

melalui orang lain yang ada di sekitarnya terlebih mereka yang miskin dan kecil.

2. Spiritualitas Pelayanan

Spiritualitas pelayanan merupakan segala keyakinan iman, sikap dan

keutamaan maupun pilihan serta tindakan yang mendukung keterlibatan kita untuk

melayani kerajaan Allah yang hadir dalam kenyataan sosial masyarakat, kerajaan

Allah yang bergulat dan tumbuh dalam kenyataan sosial manusia (KOPTARI, 1987:

4-5). Spiritualitas pelayanan dapat dimengerti sebagai semangat yang berasal dari

Allah untuk melayani kerajaan Allah yang hadir dalam kenyataan hidup manusia.

Diletakkan di dalam konteks transendensi hidup manusia yang memberi makna dan

(35)

cinta, pengetahuan dan tindakan. Berdasarkan rahmatnya manusia mengalami

kepenuhan hidup, kebahagiaan, dan damai sejahtera, seperti yang disabdakan Yesus

sendiri (Yoh 10:10).

5. Ciri-Ciri Pelayanan Kristiani

Pelayanan Kristiani memiliki empat ciri yakni ciri pelayanan yang

pertama ialah ciri Religius. Dimana pelayanan Kristiani tidak berdasarkan

berbelaskasihan atau ketaatan kepada pemerintah, penguasa dan orang kaya

melainkan hormat kepada Allah pencipta yang membuat manusia sesuai dengan

citra-Nya sendiri. Ciri yang kedua ialah kesetiaan kepada Kristus dan Tuhan sebagai

Guru, di mana Gereja menyatakan diri sebagai murid Kristus oleh karena itu

pelayanan yang dilakukan oleh umat Kristiani harus konkrit dan mampu menimba

kekuatan dari suri teladan Kristus. Ciri ketiga ialah mengambil bagian dalam

sengsara dan penderitaan Kristus yang tetap senasib dengan semua orang yang

menderita. Kristus itu saudara semua orang, khususnya mereka yang malang, miskin

dan menderita. Ciri keempat adalah kerendahan hati dimana orang Kristiani tidak

(boleh) membanggakan pelayanannya karena manusia harus mengakui segala

keterbatasannya termasuk dalam pelayanan. Pelayanan Kristiani ialah menerima

dunia dan manusia seadanya dan berusaha menghayati sikap Kristus dihadapan

sesama (KWI, 1996: 451-452). Ciri-ciri pelayanan Kristiani harus bersumber pada

Yesus Kristus, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Suci, itu berarti bahwa setiap

orang Kristiani dipanggil untuk mengajar kesempurnaan cinta kasih dalam

pelayanan kepada Kerajaan Allah menurut norma dan teladan Yesus Kristus

(36)

4. Spiritualitas Pelayanan Ibu Teresa

Yesus adalah segala-galanya bagi Ibu Teresa sehingga dalam karya

pelyanannya Ibu Teresa selalu mengutamakan Yesus alasannya melayani orang

miskin adalah semata–mata karena Yesus sehingga Ibu Teresa sebagaimana yang

dikutip oleh Krispurwana Cahyadi (2003a: 58) senantiasa mengatakan:

Aku melakukannya karena Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan untuk Yesus. Itu berarti mencintai sesama sebagaimana cara Yesus sendiri mencintai kita semua sampai mengorbankan diri-Nya sendiri demi cinta-Nya kepada kita. Oleh karena itu, tidaklah mungkin seseorang terlibat dalam kerasulan aktif jika tidak memiliki semangat dan jiwa pendoa. Kita harus menyadari kesatuan dengan Kristus, sebagaimana dia satu dengan Bapa-Nya…dengannya kita belajar mencari Allah dan kehendak-Nya. Relasi dengan mereka yang miskin merupakan sarana yang efektif bagi penyucian diri kita dan sesama.

Hidup panggilan serta karya perutusan Ibu Teresa memang berakar dari

dalam diri Yesus sehingga Tuhan Yesus menjadi segalanya. Ibu Teresa begitu

memahami bahwa apapun yang dia lakukan dalam karyanya semata-mata karena

kasih Yesus yang begitu besar kepadanya. Bila Tuhan ditemukan, bahkan dibiarkan

berdiam dalam diri, seseorang semakin mampu mengerjakan perbuatan-perbuatan

kasih, Ibu Teresa sendiri sebagaimana yang dikutip oleh Krispurwana Cahyadi

(2003a: 60) mengatakan bahwa “pekerjaan yang kita lakukan tiada lain hanyalah

mencintai Yesus dalam tindakan saya melakukan ini karena saya percaya bahwa

saya melakukannya karena Yesus. Saya sangat yakin bahwa ini adalah

pekerjaan-Nya. Saya sangat yakin bahwa dialah pelakunya bukan saya”. Ketika Ibu Teresa

menerima panggilannya yang kedua yang dia sebut “panggilan dalam panggilan”

membuat Ibu Teresa rela meninggalkan biara Loreto yang sangat ia cintai. Seruan

Tuhan Yesus di salib “Aku haus” (Yoh 19:28) menjadi dasar panggilan hidup Ibu

(37)

Spiritualitas pelayanan Ibu Teresa berakar dari kata-kata Yesus “Aku

haus”. Dalam spiritualitas pelayanan Ibu Teresa, gambaran ketidak berdayaan Tuhan

yang menjadi pusat perhatiannya adalah saat peristiwa salib, terlebih ketika Tuhan

mengatakan “Aku haus” (Yoh 19:28). Bagi Ibu Teresa kata “Aku haus” bukan

hanya menunjukkan bahwa Yesus haus akan air tetapi menurut Ibu Teresa Yesus

senantiasa haus akan kasih dengan peristiwa salib Yesus ingin memperlihatkan

bahwa semua orang yang menderita senantiasa merasa haus. Yesus mengangkat

penderitaan umat manusia dan memperlihatkan betapa mereka yang menderita

senantiasa merasa haus dan dengan itu mengundang siapa saja untuk memberikan

rasa dahaga kepada mereka. Kehausan mereka adalah kehausan akan cinta kasih.

Persatuannya yang mendalam dengan Allah menghantarnya kepada banyak

keutamaan hidup rohani yang mengagumkan banyak orang. Pengalaman rohani Ibu

Teresa yang mendalam, menggerakkannya untuk melakukan pelayanan di

tengah-tengah orang miskin.

Dalam diri orang-orang miskin ini Ibu Teresa merasakan kasih Yesus,

oleh karena itu ia ingin untuk melayani Yesus yang nampak dalam diri orang-orang

miskin dan menderita (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 64). Ibu Teresa sangat

memahami bahwa Tuhan memanggil semua orang mencintai mereka yang miskin,

menderita dan hina. Karena Tuhan bersabda bahwa “sesungguhnya segala sesuatu

yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu

telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Oleh karena itu Ibu Teresa memahami

bahwa Yesus hadir secara tersamar melalui mereka yang miskin, sakit, kesepian dan

menderita. Dengan alasan itulah Ibu Teresa tidak pernah lelah atau merasa jijik

(38)

C. Karya dan Pelayanan Ibu Teresa

Sebelum memutuskan untuk keluar dari biara Loreto yang sangat

dicintainya Suster Teresa mengabdikan diri untuk biaranya dan patuh akan perintah

pimpinannya. Setelah suster pulang dari Darjeeling Suster Teresa diutus kembali

oleh pimpinannya sebagai pendidik di sekolah suster Teresa dan kembali

melanjutkan tugasnya mengajar di sekolah St. Maria dan sekolah Entally (Beding,

1989: 98).

Setelah kaul kekal Suster Teresa diangkat menjadi kepala sekolah di St.

Mary’s School dan juga mengajar di St. Teresa’s School sebuah sekolah yang

terletak di luar biara. Ketika suster Teresa merasakan bahwa Yesus memanggil dia

untuk kedua kalinya melayani orang miskin, melarat dan kelaparan suster Teresa

memilih untuk meninggalkan biara yang paling ia cintai supaya dengan leluasa dia

biasa melakukan karya pelayanannya bagi kaum miskin tanpa harus terikat dengan

aturan biara Loreto (Krispurwana Cahyadi, 2010: 27-28).

Setelah keluar dari biara Loreto banyak karya dan pelayan yang Ibu

Teresa berikan bagi kaum miskin yakni: mengajar anak-anak miskin di Motijhil,

mendirikan Misionaris Cinta Kasih, Shisu Bhavan, Sealdah Stasion, Nirmal Hriday

atau Wisma Hati Nan Murni, Prem Daan, Shantinagar/Rumah bagi Orang-Orang

Berkusta, Membangun Klinik Kesehatan, Protima Sen School.

1. Mengajar Anak-anak Miskin di Motijhil

Pekerjaan pertama Ibu Teresa setelah keluar dari Biara Loreto adalah

mengajar anak-anak miskin di kawasan kumuh Motijhil. Motijhil adalah sebuah

(39)

halaman terbuka di antara gubuk-gubuk. Tak ada papan tulis, tak ada bangku, tak

ada kursi, tak ada apa-apa hanya satu lapangan terbuka. Ibu Teresa menulis di tanah,

di lumpur dengan sebatang tongkat kecil, lalu Ibu Teresa mengajari anak-anak itu

bahasa Bengali dan mengajari mereka bernyanyi (Krispurwana Cahyadi, 2010: 32).

Pada hari kedua Ibu Teresa sudah mendapat meja, kursi dan sebuah

lemari. Dengan semangat yang luar biasa Ibu Teresa mengajar anak-anak, bagi Ibu

Teresa apa saja yang bisa dia lakukan hari ini akan dia lakukan tanpa harus

menunggu yang lain (Beding, 1989: 67).

2. Mendirikan Misionaris Cinta Kasih

Pada awal karyanya Ibu Teresa memulainya dengan sendiri, namun pada

tanggal 19 Maret 1949 datanglah kepadanya muridnya dulu di Entally Subashini

Das yang ingin bergabung dengannya. Kemudian, pada tanggal 26 Maret 1949

datang pula Magdalena, semakin hari pengikut Ibu Teresa semakin banyak dan pada

akhirnya sampai pada 11 orang (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 183).

Ketika dalam kelompok barunya itu banyak yang datang untuk

bergabung maka Ibu Teresa merasa perlu untuk memberi nama untuk kelompoknya

ini, oleh karena itu ia memberi nama Misionaris Cinta Kasih. Ibu Teresa menyadari

bahwa menyatakan cinta kasih merupakan tugas yang harus diembannya, atau misi

yang harus disangganya (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 175).

Pada tahun 1950 Ibu Tersesa mendirikan tarekat Misionaris Cinta Kasih

(Misionary of Charity). Tarekat Misionaris Cinta Kasih tidak hanya terdiri dari

Suster tetapi ada Bruder bahkan Imam yang bergabung di dalamnya. Dan ada juga

(40)

agama yang disahkan dan didirikan dengan berkat Bapa Suci, Paus Paulus VI ini

sangat membuat Ibu Teresa bahagia dan bangga. Pada tahun 1980 hingga 1990, Ibu

Teresa membuka rumah-rumah penampungan di hampir di seluruh negara-negara

komunis, termasuk Uni Soviet, Albania dan Kuba. Agar dapat menanggapi

kebutuhan kaum miskin, baik jasmani maupun rohani, Ibu Teresa melangkah lebih

lanjut dengan mendirikan lima komunitas religius tersendiri bagi pelayanan pada

kaum miskin. Bersama para Suster, yang didirikan pada tahun 1950, dia mulai

dengan cabang pria, Bruder-bruder Misionaris Cinta Kasih, berdiri 1966, kemudian

para Suster Kontemplatif pada tahun 1976, pada tahun 1979 didirikan Bruder-bruder

Kontemplatif, dan yang terakhir pada tahun 1984 didirikan komunitas Imam

Misionaris Cinta Kasih untuk melayani luka batin dan kemiskinan rohani dari

mereka yang dilayani oleh para suster serta bruder (Langford, 2010: 15).

Cara hidup Misionris Cinta Kasih memiliki kekhasan tersendiri yaitu

adanya kaul keempat, selain kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kaul

keempat mereka adalah kaul untuk memberikan pelayanan dengan sepenuh hati dan

tanpa pamrih kepada mereka yang termiskin dari yang miskin. Ibu Teresa, seperti

yang dikutip oleh Egan & Egan (2001: 26) mengatakan bahwa “dengan kaul

keempat kita menanggapi panggilan Kristus yaitu dengan memberikan pelayanan

sepenuh hati dan bebas kepada yang terpapa dari yang papa seturut kepatuhan.

Dengan demikian kita akan dapat memuaskan dahaga Yesus tanpa henti”.

Tiga kata dari kaul ini memiliki arti khusus bagi para biarawati dimana

sepenuh hati berarti hati berkobar oleh semangat dan cinta akan kehidupan. Bebas

berarti penuh kegembiraan tanpa rasa takut, tanpa mengharapkan imbalan apapun

(41)

menyediakan diri sepenuhnya untuk Yesus, oleh karena itu Dia akan hidup di dalam

kita dan melalui kita dalam kelembutan tanpa batas, dengan cinta kasih dan murah

hati bagi yang terpapa dari yang papa baik rohaniah maupun jasmaniah. Dewasa ini

mereka adalah para biarawan dan biarawati yang dapat pergi kemanapun,

satu-satunya syarat yang harus mereka patuhi yang diberikan oleh kongregasi ialah

pekerjaan yang mereka lakukan harus membumi mereka harus melayani “Terpapa

dari yang papa” (Egan & Egan, 2001: 26-27).

Untuk bergabung dengan tarekat Misionaris Cinta Kasih tentunya ada

syarat–syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat yang pertama usia paling tidak 18

tahun atau lebih, memiliki motivasi yang sungguh serta tulus, sehat jasmani dan

rohani, mampu menanggung dan menjalankan tugas berat, memiliki cukup

pengetahuan, juga memiliki kehendak kuat untuk mempelajari bahasa setempat,

memiliki kedewasaan dalam mengambil keputusan, memiliki kegembiraan dan rasa

humor yang sehat. Syarat ini dibuat oleh Ibu Teresa karena Ibu Teresa menyadari

bahwa karya pelayanan mereka bukanlah tugas yang mudah melainkan berat dan

penuh dengan perjuangan, tidak sembarang orang bisa melakukannya (Krispurwana

Cahyadi, 2003c: 188-189). Setelah terpenuhinya semua syarat yang telah ditentukan

maka dilakukan tahap pembinaan sebagai religious. Pertama mereka melalui tahap

aspiran selama enam bulan hingga satu tahun, pada tahap aspiran mereka belajar

bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dan mengikuti karya Tarekat untuk melihat

sejauh mana panggilannya sebagai anggota Misionaris Cinta Kasih. Setelah

melewati masa aspiran para calon anggota Misionaris Cinta Kasih menjalani masa

postulan selama enam bulan sampai satu tahun. Pada masa postulan mereka menguji

(42)

dengan panggilan hidup sebagai Misionaris Cinta Kasih. Setelah itu mereka

menjalani masa novisiat dimana mereka mempelajari Kitab Suci, dasar-dasar ajaran

Gereja serta sejarah Gereja (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 189-190).

Pada akhir masa Novis mereka mengucapkan kaul sementara, lalu

mereka disebut sebagai suster yunior. Masa yuniorat ini berlangsung selama lima

tahun. Setiap tahun mereka harus membaharui kaulnya. Pada tahun keenam anggota

Misionaris Cinta Kasih menjalani masa tersiat, sebelum mereka mengucapkan kaul

kekal (Krispurwana Cahyadi, 2003c: 191).

3. Shisu Bhavan

Ibu Teresa menyewa rumah untuk anak-anak terlantar rumah itu

dinamakan Shisu Bhavan. Shisu Bhavan adalah bangunan bertingkat dua, dalam

Shisu Bhavan selalu ada kegiatan meskipun Shisu Bhavan merupakan rumah untuk

anak-anak terlantar tetapi rumah ini juga merupakan pusat kegiatan Misionaris Cinta

Kasih. Tempat ini cukup berbeda dari ketenagaan rumah induk karena disinilah

orang-orang kelaparan diberi makan, dan orang-orang sakit dirawat serta disini

tempat untuk menampung ibu-ibu yang menunggu kelahiran anaknya yang tidak

memiliki tempat (Beding, 1989: 43).

Di pintu masuk Shisu Bhavan terdapat beberapa klinik harian di mana

orang miskin dapat membawa anak-anak mereka, selain itu juga disini ada tempat

untuk mengadopsi anak dan juga klinik untuk rawat jalan. Di shisu bhavan juga ada

tempat memasak untuk memberi makan 1.000 orang lebih setiap harinya dan

mereka biasanya para pengemis dan gelandangan yang datang setiap hari untuk

(43)

4. Sealdah Station

Sealdah Station adalah stasiun kereta api dari Estern Railway. Di dalam

stasiun itu sepuluh ribu orang memasak, makan, tidur dan meninggal dunia

beralaskan lantai batu ruang-ruang tunggu, sementara kereta-kereta api datang dari

pagi kemudian melangkahkan kaki di sela-sela orang banyak itu. Setiap hari Ibu

Teresa dan Misionaris Cinta Kasih membagi-bagikan bahan pangan berupa

campuran bulgur dan kedelai kepada para wanita yang mempunyai kompor dan bagi

mereka yang tidak mempunyai kompor Ibu Teresa memasak di tong-tong besar dan

dibagikan kepada mereka (Beding, 1989: 166).

5. Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni

Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni adalah rumah yang didirikan

oleh Ibu Teresa untuk menampung orang-orang yang sekarat, melarat dan

menghadapi ajalnya. Rumah ini diberi nama Wisma Hati nan Murni karena rumah

ini dipersembahkan kepada Hati Tak Bernoda Maria. Ibu Teresa mendirikan Nirmal

Hriday karena banyak orang yang tidak peduli akan penderitaan orang yang sekarat

yang meninggal di jalanan dan dijilati oleh anjing. Ibu Teresa menginginkan di akhir

hidup orang-orang yang melarat dan sekarat itu mereka bisa merasakan cinta,

perhatian dan kebahagiaan sehingga ketika ajal menjemput mereka bisa tersenyum

dan mengatakan terima kasih. Setiap orang yang mengunjungi Nirmal Hriday akan

memiliki suatu gambaran umum tentang tempat itu, tentang keindahan terhadap

sikap pasrah maut yang tak dapat dielakkan (Beding, 1989: 152).

Ibu Teresa menyebut kematian itu sebagai pulang ke rumah, ia berkata

(44)

berangkat langsung menuju Tuhan. Dan kalau mereka pergi, meraka akan bercerita

kepada-Nya tentang kita. Kami membantu mereka untuk mati dalam Tuhan. Kami

membantu mereka untuk minta maaf pada Tuhan, sesuai dengan iman-Nya

masing-masing” itulah yang dikatakan oleh Ibu Teresa. Beliau sangat mencintai dan

memperhatikan semua orang yang menderita termasuk orang yang sudah mendekati

ajalnyapun berusaha Ibu perhatikan agar mereka merasakan kedekatan mereka

dengan Tuhan tanpa harus memaksakan orang yang dirawatnya untuk menjadi

Katolik seperti dirinya. Ibu Teresa memberikan kebebasan kepada mereka untuk

berdoa sesuai dengan kepercayaannya. Bagi Ibu Teresa perbedaan bukan menjadi

halangan untuk mengasihi Tuhan melalui sesama yang menderita (Beding, 1989:

160).

6. Prem Daan

Prem Daan adalah rumah untuk menampung orang-orang sakit yang

mempunyai harapan untuk sembuh dan hidup lebih lama. Semula Prem Daan adalah

gedung yang dibangun untuk dijadikan Labolatorium Kimia, tetapi pada bulan April

1973 pabrik itu diserahkan kepada Ibu Teresa. Bagi Ibu Teresa itu merupakan

contoh yang bagus tentang praktek cinta kasih maka Ibu Teresa menamakan tempat

itu Prem Daan yang berarti “Anugrah Cinta” (Beding, 1989: 214). Di Prem Daan,

Ibu Teresa dan suster-susternya merawat orang-orang sakit, baik jiwa maupun

badan, orang-orang yang mengidap penyakit parah. Di Prem Daan ada ruangan

khusus untuk merawat orang-orang yang sakit ingatan. Prem Daan merupakan

tempat yang tenteram dimana orang-orang sakit dapat merasakan damai dan tidak

(45)

Prem Daan juga juga memiliki tempat untuk pusat rehabilitasi. Untuk orang-orang

miskin, mereka diajari untuk mengolah serabut kelapa menjadi barang-barang

kebutuhan rumah tangga seperti sikat, keset, tali dan kranjang. Sampah yang

sebelumnya menjadi masalah dalam masyarakat dapat Ibu Teresa olah menjadi

barang yang mempunyai nilai jual sehingga ini mampu menjadi biaya hidup bagi

orang miskin (Beding, 1989: 215-217).

7. Shantinagar

Shantinagar adalah salah satu rumah untuk penderita kusta, Shantinagar

yang berarti tempat ketentraman merupakan tempat yang dapat memberikan rasa

aman dan hidup secara layak dan bermartabat bagi penderita kusta. Selain sebagai

tempat perawatan orang-orang penderita kusta, Shantinagar juga memiliki

pondok-pondok kecil untuk orang-orang penderita kusta yang ingin tinggal bersama

keluarga mereka, pasien penderita kusta yang sudah menikah diijinkan untuk

membawa keluarganya dan tinggal bersama-sama. Di tempat ini penderita kusta

dapat hidup secara tenteram bersama keluarga mereka tanpa harus dijauhi oleh

orang-orang (Beding, 1989: 243).

8. Membangun Klinik Kesehatan

Berawal dari klinik keliling, Ibu Teresa menolong penyandang kusta ke

perkampungan-perkampungan. Melihat semakin hari penyandang kusta semakin

banyak berdatangan Ibu Teresa berusaha bekerja sama dengan pemerintah dan

dokter, mereka membangun sebuah lembaga perawatan yang baru jauh di luar kota

(46)

klinik untuk penyandang kusta ada juga klinik untuk anak-anak cacat fisik dan

mental, klinik untuk pasien AIDS dan TBC serta klinik untuk anak-anak yang

kekurangan gizi serta klinik mobil yang masih berkeliling setiap hari di daerah

Kalkuta (Vardey, 1997: 83).

9. Protima Sen School

Protima Sen School merupakan sekolah yang menolong anak-anak yang

di buang dan yang tidak bisa diatur dan dikendalikan oleh orang tua mereka lagi,

anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan, yang melakukan pencurian dan anak yang

sering berurusan dengan polisi. Di protima Sen School mereka dilatih untuk bekerja

untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan anak diajarkan untuk

mengembangkan bakat mereka (Beding, 1989: 80).

D. Hambatan yang Dialami Oleh Ibu Teresa pada Awal Karyanya

Buku Teresa dari Kalkuta, Krispurwana Cahyadi (2010: 29-32)

menyebutkan bahwa ada empat kendala yang dialami oleh Ibu Teresa pada awal

karyanya diantaranya adalah perubahan gaya hidup, tiadanya bekal, “ladang” yang

berbeda dan yang terakhir adalah semuanya dimulai dengan sendirian.

1. Perubahan Gaya Hidup

Ketika memutuskan untuk keluar dari biara Loreto tentunya hal pertama

yang langsung berubah dari kebiasaan-kebiasan yang sering Ibu Teresa lakukan

adalah perubahan gaya hidup. Kehidupan Ibu Teresa ketika menjadi suster Loreto

(47)

berangkat dari biara yang teratur, baik dari hidup dan karya semua teratur, dengan

pekerjaan sebagai pendidik dengan jadwal yang jelas, dan interaksi dengan orang

lain juga terbatas. Tentunya ini sangat jauh berbeda dengan karya pelayanan Ibu

bagi kaum miskin. Ketika Ibu Teresa berkarya di tengah-tengah orang miskin

tentunya tidak ada jadwal yang tertata dengan baik sehingga perubahan cara hidup

yang dia jalani begitu berbeda dengan sebelumnya. Hal ini membuat Ibu Teresa

sering merindukan biara Loreto dan membayangkan hidup teratur, terjamin, tentram

dan aman disana. Perubahan ini sangat tidak mudah untuk dia jalankan sehingga

perubahan ini menjadi pengalaman yang menyakitkan, pengalaman yang membawa

masuk ke dalam kekeringan dan kesepian rohani bagi Ibu Teresa (Krispurwana

Cahyadi, 2010: 30).

2. Tiadanya Bekal

Pada awal keluar biara Ibu Teresa tidak tahu apa yang akan dia lakukan

karena dia tidak punya uang dan juga pengalaman berkarya di kalangan kaum

miskin. Ibu Teresa hanya memiliki pengalaman sebagai guru yang bertugas untuk

mengajar anak-anak di sekolah. Ibu Teresa sadar bahwa kemampuannya mengajar

tidak bisa dia jadikan sebagai bekal untuk melayani kaum miskin karena kaum

miskin tidak hanya butuh pendidikan tapi banyak hal lain. Oleh karena itu Ibu

Teresa mulai belajar untuk merawat orang sakit dan membantu ibu yang melahirkan.

Dari situ Ibu Teresa belajar bahwa yang terpenting bukan bekal melainkan hati,

bukan uang, tetapi kasih. Tetapi untuk sampai kesitu tentunya mengalami proses

yang tidak mudah Ketika Ibu Teresa masih berada di dalam biara Loreto Ibu Teresa

(48)

3. “Ladang” yang Amat Berbeda

Dunia sekolah dan dunia kampung kumuh sangat berbeda, maka pertama

kali masuk kecurigaan dan penolakan dialaminya apa lagi Ibu Teresa orang Barat

dan suster, mengingat waktu itu konflik Hindu-Islam memanas. Tidak mudah

membuktikan bahwa dia datang dengan tulus dan sungguh, dengan kasih dan hati.

Banyak orang-orang menentang kehadiran Ibu Teresa dan bahkan ingin

mencelakainya, hal ini membuat Ibu Teresa takut dan cemas tetapi dia tidak pernah

mau mundur karena semuanya baru dimulai.

Pada awalnya Ibu Teresa tidak kuat untuk melihat darah dan merawat

orang-orang yang sakit, tetapi seiring dengan berjalannya waktu Ibu Teresa bisa

mengatasi masalahnya itu. Satu hal yang Ibu Teresa katakan yang membuatnya bisa

kuat melayani dan mencintai kaum miskin adalah karena dia melihat Tuhan di

dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Hal itulah yang memberikan

kekuatan untuk dia agar tetap bisa melayani, merawat dan mencintai orang yang

sedang menderita. Baginya dia mencintai dan mengasihi Allah melalui mereka.

Allahlah yang hadir secara tersamar melalui mereka yang menderita sehingga tidak

ada alasan utuk mengabaikan mereka (Krispurwana Cahyadi, 2010: 31).

6. Memulai dengan Sendirian

Orang pertama-tama melakukan sesuatu mencari teman tetapi apa yang

yang dilakukan oleh Ibu Teresa, dia melakukan semua dengan sendirian. Memang

ada pastor Jesuit yang membantu tetapi dapat dikatakan bahwa Ibu Teresa berjuang

sendiri, segalanya dia lakukan sendiri. Kemuian dan datang relawan dan kemudian

(49)

Teresa tidak mudah panggilan itu diterimanya. Akan tetapi dia menyadari bahwa

tidak ada panggilan yang mudah. Bagi Ibu Teresa kesulitan, tragedi merupakan jalan

panggilan. Justru kemiskinan dan kesulitan, salib dan derita, kesepian dan

kekeringan, penolakan dan kecurigaan, yang dialaminya semakin masuk ke dalam

ajakan panggilan Allah, dan tidak menjadikannya malahan mundur. Di tengah salib,

berkat memancar, ditengah tragedi, rahmat menyertai, namun semuanya itu akan

didapat jika umat beriman memberikan diri kepada Allah untuk ikut serta dalam

gerakan Yesus, memanggul salib dan masuk dalam derita. Konsekuensinya terlibat

dalam kecemasan, duka, sakit, luka dan penderitaan umat manusia (Krispurwana

Cahyadi, 2010: 32).

E. Pandangan Ibu Teresa terhadap Penderitaan

Setiap orang pasti pernah mengalami masalah dalam hidup dan masalah

itu memberikan penderitaan bagi orang yang mengalaminya. Sering sekali masalah

yang begitu berat membuat orang tidak mampu untuk bangkit lagi, hanya bisa

meratapi tanpa berbuat apa-apa. Dan yang paling menyedihkan adalah di saat orang

mengalami masalah dan penderitaan yang berkepanjangan orang merasakan Tuhan

jauh darinya, merasa Tuhan tidak peduli terhadap penderitaannya. Sering orang

merasa kecewa pada Tuhan ketika apa yang diharapkannya tidak jadi kenyataan. Ibu

Teresa sebagaimana yang dikutip oleh Egan & Egan (2001: 130) pernah

mengatakan bahwa ubahlah kata “masalah” menjadi “karunia” maka ketika kita

menghadapai masalah kita tidak terpuruk hanya disitu tetapi mampu menikmati

masalah itu dan menjadikannya sebagai karunia yang harus disyukuri. Bagi Ibu

Referensi

Dokumen terkait