• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggali nilai pengorbanan diri dari Paulus berdasarkan 2 Korintus 9:6-15 sebagai sumber inspirasi bagi pelayanan katekis di zaman sekarang - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Menggali nilai pengorbanan diri dari Paulus berdasarkan 2 Korintus 9:6-15 sebagai sumber inspirasi bagi pelayanan katekis di zaman sekarang - USD Repository"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

i

MENGGALI NILAI PENGORBANAN DIRI DARI PAULUS BERDASARKAN 2 KORINTUS 9:6-15 SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

BAGI PELAYANAN KATEKIS DI ZAMAN SEKARANG

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Juli Sunarti NIM: 141124026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada almarhum tercinta bapakku Matius Jumat yang setengah perjalanan skripsiku meninggalkan kupergi untuk selamanya

dan sekarang menjadi pendoa bagi keluarga.

Kepada yang tercinta ibuku Terina, kakak Petrus, kakak Yanti, kakak Mantio, adik Pelipus, adik Yosafat dan adik Romero, yang telah mendukung dan mendoakan selama menempuh pendidikan hingga selesai. Tidak lupa juga skripsi

ini kupersembahkan kepada pihak bidikmisi yang telah membiaya perkuliahan hingga selesai, serta semua sahabat yang selalu memperhatikan melalui kasih, doa

(5)

v MOTTO

“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka

berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “MENGGALI NILAI PENGORBANAN DIRI

DARI PAULUS BERDASARKAN 2 KORINTUS 9:6-15 SEBAGAI SUMBER INSPIRASI BAGI PELAYANAN KATEKIS DI ZAMAN

SEKARANG”. Aneka keprihatinan dan tantangan yang dialami oleh katekis dalam melaksanakan tugas dan pelayanan, sehingga semangat melayani semakin menurun. Dalam sebuah kemajuan Gereja katekis memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar, maka tidak mungkin Gereja dapat hidup dan berkembang tanpa peran katekis di dalamnya. Oleh karena itu, dalam tugas pewartaan, katekis perlu menemukan sosok yang dapat memberi inspirasi dalam melaksanakan tugas pelayanan mereka. Bertolak dari keprihatinan tersebut, skripsi ini bermaksud untuk memberi inspirasi bagi katekis dalam melaksanakan tugas dan panggilan sebagai pewarta agar tetap semangat dalam melayani.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah inspirasi macam apa yang dapat digali dari pengorbanan diri dari Rasul Paulus berdasarkan 2 Korintus 9:6-15 untuk meningkatkan pelayanan katekis di zaman sekarang. Persoalan ini dikaji dengan menggunakan studi pustaka terhadap kisah pelayanan Rasul Paulus guna memperoleh inspirasi-inspirasi pelayanan terutama pelayanan dalam 2 Korintus 9:6-15 yang kiranya dapat berguna bagi para katekis untuk meningkatkan semangat pelayanan dalam melaksanakan tugas pewartaan mereka.

(9)

ix

ABSTRACT

This undergraduate thesis is titled "DIGGING THE SELF-SACRIFICE VALUE OF PAUL BASED ON 2 CORINTHIANS 9: 6-15 AS THE SOURCE OF INSPIRATION FOR CATECHIST SERVICE TODAY". Many concerns and challenges are catechistically natural in carrying out their duties and services, so that the spirit of service decreases. In a progress the Catechist Church has very large roles and responsibilities, so it is impossible for the Church to live and develop without the role of catechists in it. Therefore, in the preaching of catechists, it is necessary to find a figure who can inspire them to carry out their ministry duties. Starting from these concerns, this thesis intends to inspire catechists in carrying out their duties and calls as evangelists to keep their spirit in service.

The main problem in this undergraduate thesis is what kind of inspiration can be extracted from the self sacrifice of the Apostle Paul based on 2 Corinthians 9: 6-15 to improve catechistical services today. This issue is examined by using a literature study of the ministry of the Apostle Paul to obtain ministry inspirations, especially ministry in 2 Corinthians 9: 6-15 which may be useful for catechists to increase the spirit of service in carrying out their proclamation.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang berlimpah penulis haturkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat, cinta, dan kasih setia yang selalu menyertai dan mendampingi, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

MENGGALI NILAI PENGORBANAN DIRI DARI PAULUS

BERDASARKAN 2 KORINTUS 9:6-15 SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

BAGI PELAYANAN KATEKIS DI ZAMAN SEKARANG”.

Skripsi ini ditulis berdasarkan pengalaman keprihatinan pelayanan katekis yang banyak dihadapkan dengan berbagai tantangan zaman. Dengan berbagai tantangan tersebut banyak katekis tidak mau berkorban diri, mereka melaksanakan tugas hanya sebatas kewajiban, tidak memandang bahwa tugas tersebut merupakan tugas yang mulia. Dalam Evangelii Gaudium penulis mengambil beberapa tantangan zaman yakni: konsumerisme, globalisasi ketidakpedulian, klerikalisme dan relativisme. Penulis juga mengambil tantangan zaman dalam

(11)

xi

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Bernadus. Agus Rukiyanto, SJ selaku Kaprodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan perhatian dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

2. St. Eko Riyadi, Ph.D. selaku dosen pembimbing utama yang selalu memberikan perhatian, meluangkan waktu untuk mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan, memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa HS, S.Ag., M.Si selaku dosen penguji kedua dan dosen pembimbing akademik yang telah mendukung dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini

4. Y. H. Bintang Nusantara, SFK, M.Hum selaku dosen penguji ketiga yang telah bersedia membaca, memberikan masukan serta mendampingi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

(12)

xii

6. Seluruh staf dosen dan karyawan, Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang telah mendidik dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan studi di Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dengan baik. 7. Ibu, kakak, adik dan semua keluarga yang memberikan semangat, motivasi,

dukungan moral dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf perpustakaan Kolese St. Ignatius Kotabaru dan perpustakaan Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang murah hati dalam meminjamkan buku dan melayani dengan baik selama ini.

9. Teman-teman angkatan 2014 (teristimewa Sr. Maxima PI, Sr. Elisa PPYK, Sr. Theodora ADM, dan Sr. Helmi FMM) yang selalu memberikan semangat, motivasi, dorongan serta bantuan kepada penulis selama perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

10. Ibu kost Retno Wulan yang telah menerima dengan baik untuk tinggal di kostnya selama awal perkuliahan hingga selesai dan teman-teman kost (Sesi, Cika, Nita, Riana Nana, Arni, Agnes, Niken, Lusi, Maria, Ivon, Ayu, Elis, Wiwit, Silvia, Fika, Santi, Lestari, Vera dan Nova) yang dengan caranya sendiri telah membantu penulis selama hidup bersama dalam satu kost

11. Seluruh warga kampus Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang telah menemani, memberikan semangat, serta dukungan doa dari awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

(13)
(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. TANTANGAN ZAMAN MODERN DAN SOSOK KATEKIS YANG DIBUTUHKAN ... 9

A.Tantangan Zaman Menurut Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium ... 10

(15)

xv

2. Globalisasi Ketidakpedulian ... 13

3. Klerikalisme ... 15

4. Relativisme ... 17

B. Tantangan Zaman dalam Direktorium Formatio Iman ... 19

1. Sekularisasi dan Sekularisme ... 19

2. Pendangkalan Hidup dan Budaya Instan ... 20

3. Krisis Iman dan Moral: Ateisme dan Relativisme ... 22

4. Merebaknya Kemiskinan ... 23

C.Sosok Katekis di Zaman Sekarang ... 24

1. Sosok Katekis ... 24

2. Kepribadian Seorang Katekis ... 32

3. Spiritualitas Katekis ... 34

D.Rangkuman ... 40

BAB III. KEUTAMAAN HIDUP DAN KARYA KERASULAN PAULUS 42

A.Identitas Paulus ... 43

1. Paulus dari Tarsus ... 43

2. Orang Farisi ... 45

3. Penganiaya Orang Kristen ... 46

4. Paulus Menuju Damsyik ... 47

5. Pemberitaan Injil Paulus ... 49

B. Karya Kerasulan Paulus ... 52

C.Tafsiran Atas 2 Korintus 9:6-15 ... 56

(16)

xvi

2. Struktur Teks ... 57

3. Penjelasan Teks ... 59

D.Keutamaan Kerasulan Paulus ... 66

1. Menabur Banyak ... 66

2. Memberi dengan Rela ... 67

3. Tahan Uji ... 68

BAB IV. INSPIRASI RASUL PAULUS BAGI PELAYANAN KATEKIS ZAMAN SEKARANG ... 69

A.Menggali Inspirasi dari Rasul Paulus Berdasarkan 2 Kor 9:6-15 ... 70

1. Memberi dengan Rela ... 70

2. Melayani dengan Tulus ... 72

3. Hidup dalam Doa ... 75

4. Berani Berkorban ... 76

5. Bersyukur dalam Segala Hal ... 78

B. Refleksi Kateketis ... 80

C.Usulan Program Retret untuk Meningkatkan Semangat Pelayanan Katekis Paroki St. Alfonsus Nandan Yogyakarta ... 83

1.Latar Belakang Program ... 83

2.Matriks Usulan Program Retret ... 85

3.Contoh Persiapan Program Retret ... 90

BAB V. PENUTUP ... 104

A.Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 107

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci Ams : Amsal Ef : Efesus Flp : Filipi Gal : Galatia

Kis : Kisah Para Rasul 1Kor : 1Korintus

2Kor : 2Korintus Mat : Matius Mrk : Markus Rm : Roma Ul : Ulangan Yoh : Yohanes

B.Singkatan Dokumen

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner

Gereja, 7 Desember 1965

(18)

xviii

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes

Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

EG : Evangelii Gaudium, Anjuran Apostolik Paus Fransiskus tentang

Sukacita Injil, 24 November 2013.

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II mengenai Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965. KHK : Kitab Hukum Kanonik, susunan atau kodifikasi peraturan

kanonik dalam Gereja Katolik, 25 Januari 1983.

RM : Redemptoris Missio, Ensiklik Bapa Suci Yohanes Paulus II

tentang Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

C.Singkatan Lain

APP : Aksi Puasa Pembangunan

Art : Artikel Bdk : Bandingkan

BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional

Hal : Halaman

LAI : Lembaga Alkitab Indonesia

(19)

xix Lih : Lihat

Kan : Kanon

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

M : Masehi

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(21)

diperolehnya, Paulus menjadi “jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya

dengan aku diantara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat

istiadat nenek moyangku” (Gal 1:14). Bahkan, ia berani menyatakan bahwa “tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat” (Flp 3:6).

Paulus merupakan sosok yang menginspirasi bagi seorang pewarta. Dalam mewartakan Injil Paulus rela dipenjara dan dianiaya, rela melakukan perjalanan yang berbahaya demi mewartakan Injil kepada segala bangsa. Semangat Paulus tak pernah padam bahkan setelah beberapa kali didera dan diterpa bahaya maut (lih. 2 Kor. 11:23-30; Kis 27:27). Sesungguhnya ia dapat mengasihi Kristus sedemikian rupa karena Yesus terlebih dahulu mengasihi dia. Perjumpaan dengan Kristus di perjalanan menuju Damsyik mengubah seluruh hidupnya, dan melalui sentuhan kasih Kristus ia menjadi manusia baru (lih Kis 9:1-19, 22:1-16, 26:9-18). Paulus tidak lagi hidup menurut pengertian dan kehendaknya sendiri, namun menurut ajaran dan kehendak Kristus. Keseluruhan jiwa dan kehendaknya begitu terarah kepada Kristus. Semangat Paulus dalam mewartakan Injil dapat menjadi inspirasi bagi para katekis untuk melakukan tugas dan perwartaannya di tengah-tengah arus zaman yang terus berkembang.

(22)

manusia berubah, khususnya di era sekarang perubahan itu semakin cepat. Semua kemajuan dan perubahan ini bukan tidak membawa masalah. Masalah yang cenderung dihadapkan pada manusia dalam tantangan zaman ini adalah hidup materialisme dan hedonisme. Inovasi produk-produk untuk kebutuhan hidup manusia terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Orang muda maupun dewasa diperkenalkan dengan barang-barang yang berteknologi.

(23)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa katekis, penulis menemukan tantangan-tantangan yang para katekis alami saat ini. Tantangan tersebut antara lain gaji yang rendah sedangkan kebutuhan ekonomi terus meningkat, sebagian orang tidak tertarik berkumpul untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, enggan untuk mengikuti pertemuan lingkungan misalnya ketika ada pendalaman adven, pendalaman APP, dan ketika pendalaman BKSN, begitu juga jika lingkungan menanggung tugas koor di gereja sedikit yang ikut mengambil bagian di dalamnya. Berbagai tantangan tersebut membuat mereka terkadang merasa putus asa bahkan ingin menyerah. Dalam tantangan tersebut para katekis perlu menyadari tugas dan tanggungjawab mereka sebagai pewarta. Memang sulit memilih bila dihadapkan dengan situasi yang sulit, namun karena mereka adalah seorang pewarta bagaimanapun keadaan dan kondisi bahkan ditolak sekalipun mereka tetap mewartakan. Ketika mewawancarai katekis penulis mendengar kisah satu ibu yang membuat penulis merasa sedih sekaligus terharu, yakni ibu ini mengatakan bahwa dalam pelayanan yang ia berikan seringkali ia tidak mendapatkan upah yang layak sedangkan ia harus memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan keluarga semakin hari terus meningkat. Namun, meskipun demikian ibu ini terus melayani dan mewartakan.

(24)

Paulus dalam melayani jemaat, terutama dalam hal pemberitaan Injil. Dari teladan Paulus ini, para katekis belajar untuk melayani Gereja zaman ini.

Penulis meyakini bahwa nilai pengorbanan diri Paulus sangat menginspirasi dalam pewartaan Injil. Berdasarkan latar belakang dan fakta-fakta di lapangan yang penulis temui, penulis ingin mengangkat masalah itu menjadi judul skripsi yaitu:

“MENGGALI NILAI PENGORBANAN DIRI DARI PAULUS BERDASARKAN 2

KOR 9:6-15 SEBAGAI SUMBER INSPIRASI BAGI PELAYANAN KATEKIS DI

ZAMAN SEKARANG.”

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana riwayat kerasulan Paulus? Apa nilai-nilai utama yang dihayatinya dalam kerasulannya?

2. Apakah tantangan-tantangan katekis dalam pelayanan pemberitaan Injil di zaman sekarang?

(25)

C.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Menguraikan riwayat kerasulan Paulus, nilai-nilai yang dihayati terutama nilai pengorbanan diri.

2. Menjelaskan sosok katekis dan tantangan-tantangan pelayananya di zaman sekarang.

3. Memaparkan pengorbanan diri sebagai nilai yang perlu diperjuangkan oleh seorang katekis dengan mengambil inspirasi dari kerasulan Paulus.

D. Manfaat Penulisan

Adapun beberapa manfaat penulisan sebagai berikut:

1. Menambah wawasaan dan pengetahuan baru bagi para katekis tentang sosok yang memberikan inspirasi bagi pelayanan katekis di zaman sekarang lewat sosok diri Paulus.

(26)

3. Memberi inspirasi kepada para katekis dalam usaha menghayati dan mencintai tugas dan panggilannya sebagai pewarta sehingga bersemangat dalam melayani dan mewartakan di tengah-tengah umat.

E. Metode Penulisan

Untuk mengembangkan kerangka pemikiran dalam tulisan ini, penulis mengadakan riset kepustakaan. Dalam artian, metode yang digunakan oleh penulis dalam mengembangkan tulisan ini adalah metode analisis deskriptif, yakni penulis memaparkan hasil yang diperoleh dari studi pustaka.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran lebih jelas, penulis menyampaikan pokok-pokok sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Dalam bab I ini, penulis akan menjabarkan pendahuluan berupa latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

(27)

BAB III: Dalam bab III ini, penulis akan membahas tentang riwayat Rasul Paulus, karya kerasulan Paulus dan tafsiran atas 2 Kor 9:6-15

BAB IV: Pada bab IV ini, penulis akan menemukan inspirasi dari karya kerasulan Paulus bagi pelayanan katekis di zaman sekarang berdasarkan teks 2 Kor 9:6-15.

(28)

BAB II

TANTANGAN ZAMAN MODERN DAN SOSOK KATEKIS YANG DIBUTUHKAN

Kemajuan sebuah Gereja tergantung dari orang yang berperan di dalamnya. Gereja tidak bisa berkembang sendiri tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya; antara lain katekis. Dalam perkembangan Gereja, kehadiran para katekis telah memberi dampak positif bagi terwujudnya visi dan misi Gereja. Melihat kontribusi begitu penting dari para katekis, Gereja dengan tegas mengakui dan mengapresiasi keberhasilan pelayanan mereka. Terutama pada waktu awal evangelisasi, kehadiran para katekis mempercepat perkembangan Gereja baik dari segi teritorial maupun dari segi jumlah umat. Karena pelayanan sangat vital bagi Gereja, para katekis perlu dipersiapkan dengan baik melalui berbagai usaha terus-menerus agar mampu melaksanakan tugas dan pelayanan dalam situasi zaman yang dihadapi. Oleh karena itu dalam bab ini penulis akan menguraikan tantangan-tantangan zaman, sosok katekis, kepribadian, dan spritualitas katekis di zaman sekarang sehingga katekis dapat semakin menyadari peranan mereka dalam sebuah kemajuan Gereja.

(29)

Bagian kedua membahas tentang tantangan arus zaman dalam Direktorium Formatio Iman. Bagian ketiga membahas sosok katekis di zaman sekarang, yang meliputi pembahasan tentang sosok katekis, kepribadian seorang katekis, dan spiritualitas katekis.

A. Tantangan Zaman Menurut Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium

Dewasa ini banyak orang beralih dari gaya hidup tradisional menjadi modern. Bahkan banyak dari antara mereka mulai meninggalkan nilai-nlai kebudayaan Indonesia. Norma dan adat istiadat mulai terkikis. Banyak juga gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Zaman yang terus berkembang ini membuat manusia semakin dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan-tantangan tersebut dapat menghambat perkembangan iman dan spiritualitas di zaman sekarang. Manusia perlu mengenali berbagai tantangan tersebut agar mampu menghadapinya. Terutama untuk para pemberita Injil. Mereka harus peka dan tanggap terhadap situasi zaman.

(30)

1. Konsumerisme

Konsumerisme merupakan sebuah “cara hidup (a way of life), dengan kata lain sebuah gaya hidup yang terpenuhi dengan mengomsumsi secara berlebihan” (Soedjatmiko Haryanto, 2008: 29). Ada orang dengan tingkat konsumsi yang melampaui batas. Manusia terkadang dipandang sebagai barang yang dapat diperjualbelikan dan dapat ditukar, sehingga lahir dalam diri manusia sifat dan tindakan manipulasi sesama. Manusia tidak lagi dianggap sebagai makhluk yang berharga, manusia dipandang tidak mempunyai kehendak bebas. Ia diterima oleh orang sekitar karena ia berguna, setelah tidak lagi berguna maka ia akan dibuang. Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menyebutkan gaya hidup seperti ini

sebagai “budaya sekali pakai lalu dibuang” (EG, art. 53).

Paus Fransiskus mengatakan tentang bahaya besar dalam dunia sekarang ini dalam artikel berikut;

Bahaya besar dalam dunia sekarang ini, yang diliputi oleh konsumerisme, adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan sembrono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang. Ini merupakan bahaya yang sangat nyata bagi kaum beriman. Banyak orang menjadi korban, dan berakhir dengan rasa benci, marah, dan lesu. (EG, art. 2).

(31)

untuk mencari kebahagiaan masing-masing tanpa mempedulikan kebutuhan sesama di sekitar. Gaya konsumtif seperti ini mengabaikan orang miskin dan terlantar. Semua yang dia miliki adalah untuk dirinya sendiri, untuk kepuasan jasmaninya semata. Gaya hidup seperti ini bukanlah gaya hidup yang terpuji, banyak orang menjadi korban bahkan berakhir dengan rasa benci. Hal seperti ini membuat hidup manusia berada dalam ruangnya masing-masing.

Artikel dalam Evangelii Gaudium oleh Puas Fransiskus berikut mengatakan:

Mekanisme ekonomi dewasa ini meningkatkan konsumsi berlebihan, namun jelas bahwa konsumerisme tak terkendali yang bergandengan dengan ketidaksetaraan terbukti dua kali lipat merusak struktur sosial. Kesenjangan sosial akhirnya menimbulkan kekerasan, yang tidak pernah dan tidak akan mampu dipecahkan oleh perlombaan senjata. Perlombaan senjata hanya memberikan harapan palsu kepada mereka yang menuntut peningkatan keamanan, meskipun sekarang ini kita tahu bahwa persenjataan dan kekerasan, alih-alih memberikan solusi, justru menciptakan konflik-konflik baru yang lebih serius. (EG, art. 60).

(32)

semakin bersaing dalam berbagai hal, maka tidak jarang timbul konflik yang berlebihan dan orang bermusuhan satu sama lain.

2. Globalisasi Ketidakpedulian

Kata “Globalisasi” berasal bahasa Inggris globalizatio yang berarti suatu proses pelebaran pada elemen-elemen baru baik gaya hidup, pemikiran teknologi maupun informasi tanpa ada batasan negara atau mendunia. Globalisasi bisa diartikan sebagai suatu proses di mana batas-batas di dalam suatu negara akan bertambah sempit karena terdapat kemudahan di dalam melakukan interaksi antar negara di bidang perdagangan, informasi, gaya hidup dan dalam bentuk interaksi yang lainnya.

Globalisasi juga bisa diartikan menjadi suatu proses di mana di dalam kehidupan sehari-hari, ide-ide dan informasi akan menjadi tolak ukur standar pada seluruh dunia. Proses tersebut itu diakibatkan karena berkembang pesatnya teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dan aktivitas ekonomi yang telah memasuki pasar dunia, (http://pengertian.website/pengertian-globalisasi-pengaruh-dan-dampaknya/ diunggah pada 21 Juni 2018).

Paus Fransiskus dalam artikel EG berikut ini mengatakan:

(33)

stabilitas hubungan antar-pribadi dan merintangi ikatan-ikatan keluarga (EG, art. 67).

Dalam artikel di atas, Paus Fransiskus menegaskan bahwa globalisasi tidak selalu membawa dampak yang baik bagi perkembangan pribadi manusia. Globalisasi dapat membawa dampak kemerosotan. Oleh karena itu, orang lebih menyukai hal-hal yang lahiriah semata, langsung, terlihat, dan cepat, sehingga timbul kedangkalan hidup dan hanya bersifat sementara. Hal tersebutlah yang membuat globalisasi berdampak tidak baik. Selain itu, globalisasi juga membuat hubungan antar pribadi melemah, ikatan-ikatan keluarga pun tidak lagi dipandang sebagai hal yang sangat berharga dan dibangun terus-menerus. Globalisasi cenderung dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Orang tidak lagi saling bertukar pikiran atau pendapat karena orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Gaya hidup seperti ini membuat orang tidak lagi menganggap relasi dan komunikasi yang sudah lama terjalin sebagai hal yang berharga yang perlu dipertahankan. Karena sibuk dengan dunianya masing-masing mereka tidak lagi peka terhadap kebutuhan sesama di sekitar.

Paus Fransiskus dalam EG mengutarakan bahwa “untuk mempertahankan

antusiasme demi cita-cita egois itu, telah mengembangkan globalisasi

(34)

mematikan perasaan kita dan kita bergairah ketika pasar menawarkan sesuatu untuk dibeli. Budaya ketidakpedulian seperti inilah yang membuat manusia semakin egois, kasih kepada sesama yang membutuhkan diabaikan sehingga hanya mementingkan kesenangannya belaka.

3. Klerikalisme

Pada hakikatnya, klerikalisme merupakan sikap yang memisahkan klerus (para pelayan tertahbis) dari umat, memandang umat sebagai bawahan yang harus siap mendengar keputusan yang telah diambil, serta cenderung otoriter. Dari sudut kaum awam, klerikalisme adalah “sikap menempatkan para pelayan tertahbis sebagai tuan yang selalu harus diikuti kehendak dan keinginannya” (http://daiwithin16.blogspot.com/2015/10/klerikalisme.html, diunggah pada 21 Juni 2018). Dalam tulisan berikut Prakosa Heru (2015: 33) mengatakan bahwa:

klerikalisme tidak lebih daripada keyakinan dan prilaku yang dominan di antara kaum klerus sedemikian rupa sehingga mereka melihat diri sebagai pihak yang berbeda, terpisah dan tak tersentuh oleh norma-norma, aturan-aturan dan konsekuensi-konsekuensi yang berlaku bagi setiap orang di dalam masyarakat Gerejani.

(35)

mengatakan bahwa klerikalisme dapat menimbulkan “sikap merasa diri lebih

daripada yang lain dan paling paham tentang sabda dan kehendak Allah”.

Paus Fransiskus dalam artikel EG mengatakan hal sebagai berikut:

Kesadaran kaum awam akan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai anggota Gereja yang telah menerima rahmat baptis dan penguatan membuat mereka siap untuk terlibat dalam melayani sesama umat dalam dunia pewarta. Namun dalam beberapa kasus, kaum awam tidak diberi pembinaan yang perlu untuk mengemban tanggung jawab-tanggung jawab yang penting, hal ini terjadi karena dalam Gereja partikular mereka tidak mendapatkan ruang untuk berbicara dan bertindak karena klerikalisme berlebihan yang menjauhkan mereka dari pengambilan keputusan (EG, art. 102).

Dalam artikel di atas dijelaskan bahwa kaum awam tidak diberikan pembinaan yang memadai sesuai dengan peran mereka. Tidak hanya itu, dijelaskan juga bahwa kaum awam tidak mendapatkan ruang dalam pengambilan keputusan karena masih ada anggapan bahwa kaum tertahbislah yang memegang peranan penting dalam Gereja sehingga kaum awam (termasuk para katekis) tidak diberi ruang untuk mendapatkan pembinaan yang layak dan pengambilan keputusan yang bebas, sehingga pengetahuan mereka pun tidak berkembang dengan begitu baik. Hal seperti ini dapat menyebabkan orang tidak mau terlibat aktif dalam membangun Gereja.

(36)

martabat paling luas dan mendasar disebut dalam Lumen Gentium art 30 “Segala sesuatu yang telah dikatakan tentang Umat Allah sama-sama dimaksudkan bagi kaum

awam pria maupun wanita, mengingat kedudukan dan perutusan mereka”. Dalam penjelasan tersebut dikatakan bahwa kaum awam juga memiliki kedudukan dan perutusan yang juga sama melayani sebagai umat Allah. Kaum awam juga memberi sumbangan untuk kesejahteraan seluruh Gereja. Konsekuensi bagi peran kaum awam merupakan tugas kerasulan yang sungguh amat dibutuhkan Gereja demi tugas perutusan Gereja dunia. Di banyak daerah jumlah imamnya sedikit sehingga tanpa para awam, Gereja tidak bisa hadir dan aktif.

4. Relativisme

Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk dan sub bentuk. Relativisme adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling salah (Shomali, Mohammad, 2005: 31). Dalam Evangelii Gaudium Paus Fransiskus

menjelaskan bahwa “sikap hidup relativisme melakukan tindakan seakan-akan Allah

(37)

Pengaruh relativisme saat ini sedang melanda umat manusia seluruh dunia, bahkan telah menyusup ke dalam Gereja. Paham relativisme yang telah menyusup ke dalam Gereja tanpa disadari adalah orang Kristiani zaman sekarang semakin malas membaca Kitab Suci. Orang Kristiani sekarang lebih suka mendengarkan khotbah dari pada membaca Kitab Suci sendiri. Dampak tersebut membuat orang Kristiani tidak dapat membedakan manakah ajaran dari sinkritisme (mencampur aduk ajaran Kristiani dengan ajaran lainnya, misalnya ilmu kebatinan, perdukunan, dan lain sebagainya). Orang Kristiani malas menelaah Kitab Suci secara langsung, maka hanya menelan secara langsung setiap ajaran, tanpa peduli apakah suatu ajaran berdasarkan ajaran Kitab Suci atau perkataan manusia. Dari contoh ini dapat dilihat bahwa adanya relativisme: para pemimpin Kristiani menyerukan bahwa membawa Kitab Suci penting, sedangkan orang Kristiani sendiri menganggap tidak penting.

Paus Fransiskus dalam EG mengatakan:

(38)

Kemajuan zaman yang terus berubah membuat kehidupan manusia juga berubah. Setiap pribadi manusia ingin membangun kebenarannya sendiri-sendiri tanpa bekerjasama dengan orang lain, sehingga apa yang dicita-citakan secara bersama-sama tidak tercapai. Dalam artikel di atas dijelaskan bahwa kehidupan orang Kristiani terancam mengarah pada kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan. Orang tidak bebas dalam beragama sehingga timbul rasa benci bahkan juga tindakkan kekerasan. Ancaman ini mengarah pada kaum muda yang menjadi masa depan Gereja.

B. Tantangan Zaman dalam Direktorum Formatio Iman

Menimbang zaman adalah melihat secara kritis segala keadaan dan perkembangan zaman yang menjadi konteks hidup umat dan masyarakat dalam menghayati dan menghidupi imannya. Direktorium Formatio Iman secara khusus membahas tantangan arus zaman yang tidak mudah untuk disikapi. Pada bagian ini penulis akan memaparkan beberapa tantangan arus zaman menurut Direktorium Formatio Iman.

1. Sekularisasi dan Sekularisme

(39)

manusia yang selaras dengan kehendak Sang Pencipta. Sekularisasi tidak selalu berdampak baik bagi kehidupan rohani manusia. Pada akhirnya sekularisasi melahirkan suatu pandangan dan prilaku bahwa karena otonom segala ciptaan tidak tergantung dari Allah dan manusia bisa menggunakan sedemikian rupa tanpa relasi dengan Allah. Paham ini merupakan suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi duniawi tanpa keterbukaan dengan yang Ilahi (Direktorium Formatio Iman, 2014: 11). Inilah yang disebut dengan sekularisme yang berarti manusia bertindak sekehendak dirinya sendiri tanpa menghiraukan Allah. Ia hidup dan bertindak sesuai keinginan dan kepentingannya sendiri. Manusia berperilaku seolah-olah Allah tidak ada. Dari hal tersebut manusia melihat bahwa semua bisa dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa campur tangan Allah, hal ini bersifat negatif. Manusia hidup dan bertindak sesuai keinginan dan kepentingan sendiri. Allah Sang Pencipta tidak diperhitungkan dalam menentukan keputusan-keputusan hidupnya.

2. Pendangkalan Hidup dan Budaya Instan

(40)

ini. Akibatnya manusia tidak menghargai hidup sebagai anugerah; hidup mudah sekali dikurbankan demi kepentingan-kepentingan duniawi.

Kedangkalan yang dimunculkan oleh budaya instan melahirkan pula manusia atau masyarakat tanpa nilai dan akar sehingga muncullah budaya kematian. Dengan munculnya budaya kematian, kultur dan sistem tidak menghargai nilai sehingga solidaritas dan penghargaan kepentingan umum diabaikan dan orang yang lemah cenderung disingkirkan dan bahkan diabaikan (Direktorium Formatio Iman, 2014: 12). Budaya seperti ini cenderung mementingkan kepentingan sendiri dan kepentingan bersama diabaikan. Dengan sikap egosentris seperti ini yang mengandalkan kekuatan sendiri maka Allah tidak mendapat tempat dalam segi kehidupan.

Budaya instan melahirkan budaya konsumerisme di mana setiap individu memiliki kebutuhan atau keinginannya sendiri. Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebih atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan (Direktorium Formatio Iman Edisi Revisi, 2018: 15).. Cara hidup seperti ini melihat bahwa apa yang sediakan oleh dunia dibeli untuk dimiliki. Dasar pembelian tersebut tidak berdasarkan kebutuhan semata-mata akan tetapi karena gaya hidup dan trend. Apa yang dibeli dan dimiliki

(41)

tidak lagi peduli terhadap sesamanya, semua hanya demi kepentingannya sendiri demi egonya semata. Tidak lagi ada tempat bagi orang lain, apalagi bagi kaum kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Masalah ini menimbulkan krisis iman dan moral. 3. Krisis Iman dan Moral: Ateisme dan Relativisme

(42)

moral di mana manusia bertindak semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai hal.

4. Merebaknya Kemiskinan

(43)

C. Sosok Katekis di Zaman Sekarang

Katekis memiliki tugas dan peranan penting dalam kemajuan Gereja. Katekis adalah seorang yang diutus dengan cara khusus untuk melaksanakan/memberikan pelayanan kepada umat. Oleh karena itu pada bagian ini penulis akan memaparkan sosok katekis, kepribadian seorang katekis, dan spiritualitas katekis. Dengan demikian diharapkan bahwa para katekis dapat menyadari dan menghayati tugas dan panggilan mereka sebagai pelayan umat.

1. Sosok Katekis

Berbicara mengenai sosok berarti menjelaskan identitas seseorang. Seseorang dapat dikenal dari identitas dirinya. Pemaparan berikut mau menjelaskan sosok (pribadi) seorang katekis dan spiritualitas katekis. Tulisan berikut berhubungan dengan usaha menggambarkan sosok katekis yang diharapkan oleh umat beriman pada zaman sekarang. Gambaran ini dimaksudkan untuk menyemangati pelayanan para katekis dan sekaligus meningkatkan keyakinan mereka sebagai orang-orang yang dipanggil untuk mencintai dan melayani umat beriman. Berikut akan dijelaskan dua bagian pokok mengenai sosok katekis:

a. Siapa Katekis

(44)

dan tugasnya, banyak di antara mereka yang merasa kebingungan. Ada yang memahami secara umum bahwa katekis itu guru Agama Katolik yang mengajar di sekolah. Pada dasarnya katekis bukan hanya sekedar mengajar di sekolah, tetapi lebih dari itu. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes 17 memaparkan bahwa katekis adalah orang-orang yang berani memberikan sumbangan istimewa bagi perkembangan Gereja. Hal tersebut ditegaskan sebagai berikut:

Demikian pula pantas dipuji barisan, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner di antara para bangsa, yakni barisan para katekis baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja (Ad, art. 17)

(45)

Berbicara mengenai katekis “di tanah-tanah misi”, Magisterium Gereja menganggapnya sebagai hal yang penting dan memberinya tempat khusus. Ensiklik

Redemptoris Missio, misalnya, melukiskan para katekis sebagai “pekerja-pekerja khusus, saksi-saksi langsung, para pewarta yang mewakili kekuatan utama komunitas-komunitas Kristiani, khususnya dalam Gereja-gereja muda” (RM, 73). Jelas dikatakan bahwa katekis adalah mereka yang memiliki pekerjaan khusus, pelayan, menjadi saksi secara langsung, menjadi sumber kekuatan kolompok-kelompok tertentu, menjadi penginjil dan tulang punggung komunitas Kristiani terutama bagi Gereja-gereja yang masih muda.

Dalam Kitab Hukum Kanonik, (KHK, Kan 785) katekis disebutkan sebagai

“kaum awam pengikut Kristus yang mendapat pendidikan khusus dan menonjol

(46)

CEP (1997: 17) menjelaskan bahwa katekis adalah “seorang awam yang ditunjuk secara khusus oleh Gereja, sesuai dengan kebutuhan setempat, untuk memperkenalkan Kristus, dicintai dan diikuti oleh mereka yang belum mengenal-Nya dan oleh kaum beriman itu sendiri”. Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa katekis adalah mereka yang memperkenalkan Kristus, dengan ditunjuk secara khusus oleh Gereja sesuai dengan kebutuhan. Mereka inilah yang memperkenal Kristus kepada mereka yang belum mengenal sampai orang tersebut sungguh-sungguh mencintai sampai pada mengimani-Nya.

Suhardo (1972: 10) dalam bukunya mengatakan bahwa katekis adalah “orang beriman yang secara khusus mendapat tugas untuk memberikan kesaksiannya atas imannya sendiri dalam masyarakat ke arah apa yang diimaninya, yaitu Kristus yang telah menderita sengsara, wafat dan bangkit”. Dalam penjelasan tersebut jelas dikatakan bahwa katekis adalah mereka yang mendapatkan tugas untuk memberikan kesaksian iman mereka di tengah-tengah masyarakat. Kesaksian iman tersebut mengenai keseluruhan hidup dan karya pelayanan Kristus sampai wafat-Nya di kayu salib. Dengan memberi kesaksian iman, seorang katekis diharapkan dengan sungguh-sungguh mengimani Dia yang telah menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi manusia. St. Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (CT, 66) menyatakan bahwa:

(47)

tahun kepada katekese bagi anak-anak dan orang-orang dewasa di negeri mereka sendiri (CT, 66).

Artikel di atas menjelaskan bahwa katekis adalah mereka yang beragama Kristen atau dalam perjalanan waktu masuk agama Kristen. Para ketekis mendapatkan pendidikan yang memadai yang menjadi bekal mereka. Pewartaan para katekis ditujukan kepada anak-anak maupun orang dewasa. Pendidikan yang katekis dapatkan bisa langsung dari para misionaris maupun langsung dari katekis itu sendiri. Mereka diberi tugas sesuai dengan peran mereka dan mereka bertanggungjawab atas tugas yang dipercayakan kepada mereka. Dengan kata lain katekis adalah seorang

pendidik yang memberikan atau melaksanakan “pendidikan keagamaan dan latihan

bagi kehidupan seturut Injil” (CT 62).

(48)

b. Syarat Menjadi Katekis

Syarat menjadi seorang katekis pada dasarnya adalah memiliki orientasi menjadi seorang pewarta iman apa pun latar belakang keahliannya. (Prasetya, 2007: 40-42) memaparkan bahwa keberadaan dan jati diri katekis tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sudah sepantasnya para katekis berupaya untuk mengembangkan aneka keutamaan yang mendukung tugasnya sebagai katekis, khususnya dalam sikap dan semangat keteladananan. Keberadaan katekis dalam umat Katolik memiliki tujuan untuk menjamin kualitas hidup dan memerankan tugas perutusan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dalam artian, katekis yang bermutu baik dalam hidup rohani maupun kepribadiannya akan membawa umat beriman membangun intimitas dengan Kristus sendiri.

Prasetya (2007: 41) dalam bukunya memaparkan beberapa kriteria atau syarat demi menjamin kualitas hidup dan tugas perutusan sebagai katekis. Syarat-syarat tersebut dapat dilihat sebagai berikut: pertama, memiliki hidup rohani yang mendalam, maksud di sini ialah seorang katekis harus memiliki hidup rohani yang dalam dan terbuka akan Sabda Allah, baik melalui doa, membaca dan merenungkan Kitab Suci, menghidupi devosi-devosi maupun dengan cara-cara yang lain. Kedua,

(49)

diharapkan menjadi pribadi yang sungguh diterima oleh umat, baik di lingkungan tempat ia tinggal dan di manapun ia berada. Keempat, mempunyai pengetahuan yang memadai, maksudnya ialah seorang katekis dalam mewartakan tidak hanya sekedar mau melainkan harus sungguh-sungguh memiliki pengetahuan yang memadai, misalnya mengetahui tentang Kitab Suci, teologi moral, liturgi, dan sebagainya. Kelima, mempunyai ketrampilan yang cukup, maksudnya ialah dalam mewartakan seorang katekis diharapkan memiliki berbagai ketrampilan dalam menggunakan sarana-sarana yang diperlukan yang dapat mendukung tugas perutusannya.

CEP (1997: 45) menjelaskan bahwa seorang katekis dituntut untuk memenuhi tuntutan tugasnya, bertanggung jawab dan dinamis, bekerja dengan penuh semangat dan sukacita di dalam tugas dan pelayanan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian untuk menjamin kualitas hidup sosok seorang katekis dan perannya sebagai pewarta, CEP juga mengolongkan ke dalam beberapa kemampuan yang hendak dimiliki oleh seorang katekis adalah sebagai berikut:

1) Memiliki Kedewasaan Manusiawi

Seorang katekis diharapkan memiliki kemampuan dasar sebagai manusia yang dapat dikembangkan. Yang diharapkan adalah seorang pribadi dengan kematangan sebagai manusia yang sesuai dengan perannya yang penuh tanggung jawab dalam komunitas Gerejawi.

(50)

Para katekis harus memiliki hidup rohani yang mendalam agar bisa mendidik orang lain dalam iman. Aspek ini merupakan hal yang sangat penting dari sosok katekis. Kehidupan rohani mereka didasarkan pada persekutuan dalam iman dan cinta dengan pribadi Yesus yang memanggil dan mengutus mereka dalam tugas perutusannya. Cara terbaik untuk memiliki kedewasaan rohani adalah melalui kehidupan sakramen dan kehidupan doa yang tekun.

3) Memiliki Semangat Pastoral

Dalam semangat tanggung jawab pastoral yang unggul, para katekis dituntut untuk mampu mewartakan pesan Kristiani dan mengajarkannya, memimpin orang lain dalam komunitas dan doa liturgis, dan menjalani berbagai pelayanan pastoral lainnya. Kualitas yang perlu dikembangkan dalam tugas ini adalah semangat tanggung jawab pastoral dan kepemimpinan; sikap murah hati, dinamis dan kreatif (CEP, 1997: 52). Dengan demikian para katekis dapat menyadari tugas dan perannya sebagai pewarta sehingga dapat menjalankan penuh dengan kesadaran dan kesungguhan.

4) Memiliki Semangat Misioner

(51)

5) Sikap terhadap Gereja

Pada hakikatnya Gereja bersifat misoner dan diutus untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Dalam arti, kegiatan kerasulan bukan sesuatu yang bersifat pribadi atau terpisah, melainkan selalu dilaksanakan dalam persekutuan dengan Gereja lokal dan universal. Karya para katekis merupakan bagian dari Gereja dan mengambil bagian dalam rahmat-Nya.

2. Kepribadian Seorang Katekis

Lalu Yosep (2009: 19) mengatakan “kepribadian (identity) berarti keseluruhan sikap, sifat, dan watak, meliputi seluruh pembawaan dan mutu diri seseorang, termasuk keseluruhan kekuatan dan kelemahan, kecenderungan dan cita-cita serta cara bagaimana semua unsur itu diintegrasikan dan diselaraskan dalam diri seseorang.” Kepribadian yang dimaksud tersebut terus berkembang ke arah yang seimbang (kepribadian yang baik) atau merosot ke arah yang buruk. Manusia berpribadi matang (dewasa) kalau ia mampu berdiri sendiri sesuai dengan sikap yang dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya terhadap hati nuraninya, tetapi juga terhadap masyarakat.

(52)

dengan Tuhan. Penjelasan berikut ini dapat memberi pengertian lebih jelas mengenai kepribadian seorang katekis:

a. Terhadap dirinya sendiri, seorang katekis hendaknya: bersikap jujur, menerima diri apa adanya, tidak angkuh, tetapi juga tidak rendah diri. Ia perlu tahu menahan diri, misalnya tidak terlalu banyak bicara, dan sabar mendengarkan. Katekis berusaha juga menjadi seorang yang kreatif, inovatif dan mandiri.

b. Terbuka terhadap sesama dan masyarakat. Terbuka dalam hal ini yakni terbuka terhadap sesama, jujur dan rendah hati, memiliki kepekaan dan komitmen, suka mendengarkan dan penuh pengertian, ramah, serta komunikatif.

c. Terhadap situasi, konteks dan lingkungan hidup. Dalam hal ini katekis harus bersikap kritis, tidak terbawa arus, tetapi terbuka, bisa menyesuaikan diri, cekatan membaca tanda zaman serta mencintai lingkungan hidup.

d. Terhadap tugas, seorang katekis hendaknya: mencintai ethos kerja dan tugas serta terpanggil untuk itu. Seorang katekis juga berusaha untuk menjadi profesional dalam menjalankan tugas.

e. Terhadap Tuhan, seorang katekis hendaknya: percaya pada Tuhan dalam situasi apa saja, senantiasa bersyukur pada Tuhan dalam untung dan malang, senantiasa berharap pada Tuhan dan penuh semangat optimis.

(53)

Dengan kata lain, hidup katekis harus mendekati hidup Kristus. Hal tersebut harus sungguh-sungguh dipahami oleh setiap katekis, karena walaupun ia pandai mengajar tetapi hidupnya sendiri belum beres, tidak menyerupai hidup Kristus, maka ia tidak akan sukses dalam membina masyarakat ke arah kemajuan seperti yang dikehendaki oleh Kristus.

3. Spiritualitas Katekis

Heuken (2002: 11) mengatakan bahwa spiritualitas adalah “istilah yang menandakan ‘kerohanian’ atau ‘hidup rohani’. Kata ini menekankan segi

kebersamaan, bila dibandingkan dengan kata yang lebih tua, yaitu ‘kesalehan’, yang

menandakan hubungan perorangan dengan Allah.” Spiritualitas dapat disebut cara

mengamalkan seluruh kehidupan sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidup ini semata-mata seperti Tuhan menghendakinya.

Dalam hal ini Lalu Yosep (2009: 21) mendefinisikan spiritualitas sebagai berikut: Spiritualitas dapat diartikan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan aneka perwujudan dalam sikap dan perbuatan, hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus dengan mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih, usaha mengintegrasikan segala segi kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus Kristus. Dan spritualitas juga diartikan sebagai pengalaman iman Kristiani secara konkret (Lalu Yosep, 2009: 21).

(54)

Allah. Seorang yang memiliki spirit melakukan segala sesuatu berdasarkan kekuatan Roh Kudus. Dalam dirinya ia menyadari bahwa satu-satunya yang ia imani ialah Yesus Kristus. Ia mengungkapkan imannya lewat sikap dan pebuatannya dalam hidup sehari-hari. Katekis adalah misionaris. Paus Yohanes Paulus II berkata, “Misionaris

sejati adalah santo” (RM, art. 90). Sama seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidup mereka, katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidupnya. Itu berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya ucapan kata saja, melainkan juga melalui seluruh aspek kehidupannya. Spiritualitas katekis tidak jauh berbeda dari setiap orang Kristen lainnya. Sebagai kelompok fungsionaris Gereja, katekis mempunyai perilaku khusus yang menandai martabat dan fungsinya. Spiritualitasnya menyangkut hubungan pribadi antara katekis itu sendiri dengan Allah yang nampak dalam kehidupan sehari-hari. Berikut akan dijelaskan beberapa bagian spiritualitas katekis dalam majalah Rohani tahun XXIX No 2 Februari. h.33 (Sarjumanarsa, 1982: 33):

a. Sedia Diutus

(55)

dikehendaki oleh Tuhan Yesus sendiri. Semua orang yang dipertemukan dengan Tuhan Yesus disatukan dengan diri-Nya. Maka apa yang ada dalam diri Tuhan Yesus juga akan melimpah kepadanya. Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Oleh karenanya, seorang katekis yang dipersatukan dengan-Nya digerakkan untuk menjadi manusia yang layak seperti Yesus. Tidak hanya dalam cita-cita saja melainkan menjadi nyata dalam kepribadiannya, keluarganya maupun dalam sepak terjangnya.

Demikian pula seorang katekis sebagai fungsionaris Gereja dipanggil untuk berkembang dalam kehidupan rohani yang khusus. Katekis akan mengusahakan diri membawa dan menampilkan hal-hal kerohanian dalam hidupnya yang terbatas dan duniawi. Khususnya kehidupan doa, latihan rohani, membaca Kitab Suci dan devosi nampak menonjol. Katekis sedia diutus oleh Gereja karena ia merasa terpanggil untuk mengikuti cara hidup Tuhan Yesus yang juga sedia diutus oleh Bapa-Nya yang ada di surga. Seorang katekis yang mengaku dirinya sebagai utusan Gereja tentu saja menghayati pesan dan perintah Yesus ini dengan seksama. Sebagaimana Allah nampak dalam diri Yesus, Yoh 14:9 demikian Tuhan Yesus nampak dalam Gereja yang berkumpul. Mat 18:20. Oleh karena itu, keterlibatan katekis dengan pesan dan perintah Yesus yang mengutusnya terungkap dalam keterlibatannya yang formal dengan pengutusan Gereja.

b. Semangat Menggereja

(56)
(57)

tersebut. Maka dari itu katekis memiliki dalam dirinya suatu semangat dan cita-cita untuk menggerakkan seluruh kegiatan Gereja dalam mengkomunikasikan imannya.

c. Menjadi Murid

Berkaitan dengan spiritualitas katekis, pesan dan tugas dari Yesus ada dua pokok yang penting yaitu menjadi murid dan mengajar. “Menjadi murid dan mengajar adalah dua kegiatan yang berlawanan tetapi saling melengkapi. Tidak pernah ada murid tanpa pengajaran dan tidak ada pengajaran tanpa murid” (Sarjumunarsa, 1982: 35). Berkaitan dengan tugas sehari-hari, katekis lebih banyak dikaitkan dengan kegiatan mengajar. Jadi ia lebih menyatakan dirinya sebagai guru yang harus mengajar banyak orang yang ikut dalam kegiatan katekese. Semua orang Kristen pada dasarnya adalah murid di depan Tuhan Yesus. Maka dari itu seorang katekis betapapun dalam dan luas pengetahuannya, betapapun lama ia telah mengajar, namun sebagai murid Yesus ia turut belajar pada-Nya.

(58)

Yesus melalui Gereja. Maka dari itu sebagai fungsionaris yang diutus oleh Gereja ia mengambil bagian dalam kegembalaan dan magisterium Gereja. “Kewibaaan katekis tidak datang dari kuasa dan kemampuannya sendiri melainkan dari Tuhan Yesus sendiri” (Sarjumunarsa, 1982: 36).

d. Berakar dan Berbuah

Dalam hal ini, Tuhan Yesus memberikan patokan yang sederhana, “Dari buahnya kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Patokan menekankan hasil

terakhir dari seluruh spiritualitas dalam bentuk karya yang nyata. “Katekis akan berhasil mengembangkan spiritualitasnya dalam dua segi kehidupan Gereja, yaitu semakin berakarnya dan semakin berkembangnya Gereja” (Sarjumunarsa, 1982: 36). Bagi katekis sendiri berakarnya iman umat diwujudkannya dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, katekis yang tinggal bersama-sama dengan umat setempat merupakan ukuran apakah spiritualitasnya sudah dalam. Hanya mereka yang sanggup menyatakan hidup yang layak dapat menjadi katekis yang baik. Katekis semacam itu

sanggup menjalankan spiritualitas yang ditulis oleh Paulus “bersukacitalah dengan

orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis” (Rm 12:15).

(59)

D. Rangkuman

Dari berbagai tantangan zaman yang telah penulis uraikan di atas, diharapkan katekis dapat mengambil sikap yang benar dan tepat terhadap pelayanan mereka di zaman sekarang ini. Tantangan-tantangan zaman yang ada tidak membuat para katekis mundur dari pelayanannya, melainkan tetap maju dan semangat dalam pelayanan yang mereka berikan. Tantangan-tantangan tersebut harus disikapi secara bijaksana dan kritis oleh katekis agar dalam pelayanan yang mereka lakukan kasih Allah dapat tersalurkan kepada banyak orang.

Selain itu, di atas juga sudah dipaparkan siapa itu katekis, kepribadian seorang katekis dan spiritualitas katekis. Spiritualitas di sini dijelaskan dalam empat bagian. Pertama sedia diutus. Kedua semangat menggereja. Ketiga menjadi murid. Keempat berakar dan berbuah. Dalam uraian di atas diharapkan para katekis semakin menyadari dan menghayati siapa itu diri mereka, spiritualitas yang mereka miliki, sehingga mereka selalu siap melayani, memiliki spiritualitas mendalam, teguh pendiriannya, selalu bersemangat dalam melayani, tangguh serta tanggap terhadap situasi zaman.

(60)
(61)

BAB III

KEUTAMAAN HIDUP DAN KARYA KERASULAN RASUL PAULUS

Paulus merupakan sosok yang sangat menginspirasi bagi pewarta. Keseluruhan hidup dan karyanya merupakan cerminan pelayanan katekis di zaman sekarang. Paulus banyak melakukan pengorbanan diri, antara lain: ia yang dahulu merupakan seorang penganiaya sekarang menjadi pelayan (pewarta). Dulu dia seorang yang keras dan sekarang lemah lembut. Dia yang dulu mapan dan orang yang terkemuka di Tarsus tapi sekarang dia mau menjadi orang terkecil. Dengan terbuka ketika menuju jalan Damsyik dan tersungkur di tanah, dia terbuka akan Kristus yang pernah ia aniaya. Keseluruhan hidup dan karya Paulus ini menarik untuk dipelajari dan didalami oleh para katekis agar katekis dapat melihat bagaimana Paulus dapat menjadi sumber inspirasi bagi karya dan pewartaan mereka di zaman sekarang.

(62)

A.Identitas Paulus 1. Paulus dari Tarsus

Kisah Para Rasul mengatakan bahwa Paulus berasal dari Tarsus, “Aku adalah orang Yahudi, dari Tarsus, warga dari kota yang terkenal di Kilikia…” (Kis 21:39;

22:3). Paulus lahir di Tarsus, provinsi Kilikia, di luar wilayah Palestina, wilayah Asia Kecil sebelah selatan yang sekarang termasuk negara Turki. Tarsus bukanlah suatu wilayah pedesaan, melainkan suatu kota, bahkan kota besar dan maju dalam perdagangan dan kebudayaan Yunani (Seto Marsunu, 2008: 14). Purwa Hadiwardaya mengatakan bahwa Tarsus merupakan sebuah kota perdagangan yang ramai dan kota tempat studi filsafat dan budaya (Purwa Hadiwardoyo, 2008: 12). Selain itu, Tarsus juga terkenal sebagai kota yang amat memajukan pendidikan dan budaya Yunani (Hari Kustono, 2008: 10). Dari beberapa sumber di atas, jelas dikatakan bahwa Paulus berasal dari Tarsus. Tarsus bukanlah sembarang kota, melainkan kota yang besar pengaruhnya bagi perkembangan Paulus terutama dalam bidang pendidikan.

(63)

menyerahkan mereka kepada pengadilan Mahkamah Agama Yahudi (Kis 8:3) (Hari Kustono, 2008: 9).

Orang tua Paulus adalah seorang Yahudi perantau. Dari orang tuanya Paulus mewarisi kewarganegaraan Roma. Kewarganegaraan ini memainkan peran penting dalam konflik yang dialaminya dengan para penguasa lokal tempat ia mewartakan Injil (Kis. 16:37; 22:28; 25:10). Karena statusnya itu, Paulus mempunyai kemudahan untuk memasuki kota dan wilayah kekaisaran Romawi yang mengitari Laut Tengah ketika dia menjalani karya misinya.

Di kota Yunani itu memang banyak orang-orang Yahudi perantau. Sekalipun perantau dan tinggal di kota berkebudayaan Yunani, mereka tetap taat pada iman leluhur mereka tanpa harus tinggal sebagai kelompok tertutup. Dalam keluarganya, tentu saja ia dididik dalam agama Yahudi sehingga ia menjadi seorang Yahudi yang taat. Dalam hal ini Hari Kustono (2008: 12) mengatakan:

Pada masa kecilnya, Paulus dididik di lingkungan budaya Yunani (helenis), apalagi Tarsus terkenal sebagai kota yang amat memajukan pendidikan dan budaya Yunani. Meskipun begitu Paulus tetap berpegang kuat pada imannya sebagai orang Yahudi. Jelas bahwa pendidikan Paulus cukup memadai sebagai pewarta Kristus, apalagi dia menguasai bahasa Aram, bahasa Ibrani, dan bahasa Yunani dengan baik.

(64)

persoalan baginya karena bahasa yang ia kuasai cukup memadai. Paulus juga merupakan seorang Yahudi yang taat pada imannya.

2. Orang Farisi

Paulus dikirim untuk belajar ke Yerusalem oleh orang tuanya. Ia belajar pada Gamaliel (Kis 22:30) yang merupakan ahli waris pemikiran Rabi Hillel dan menjadi wakil utama dari aliran kaum Farisi yang lebih lunak dan manusiawi dalam menerapkan Hukum Taurat. Bea (1975: 10) mengatakan bahwa dalam Kisah Para Rasul, Rabi Gamaliel dikenal sebagai seorang tokoh yang bijaksana, saleh, dan sangat dihormati oleh rakyat (Kis 5:34). Bagi orang Yahudi, hukum Taurat adalah hukum yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat pilihan-Nya (Seto Marsunu, 2008: 15). Hukum inilah yang menjadi dasar hidup bagi orang Yahudi. Orang-orang Farisi berusaha untuk sepenuhnya menaati Hukum Taurat. Dalam tulisan berikut Eko Riyadi (2017: 11) mengatakan bahwa:

Paulus bukanlah orang Yahudi sembarangan. Ia adalah seorang Yahudi muda yang berwibawa. Hal ini didukung oleh pengakuan Paulus tentang siapa dirinya. Ia adalah orang Yahudi yang lahir di Tarsus, tetapi dibesarkan di Yerusalem dan dididik di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang sehingga ia menjadi orang yang giat bekerja bagi Allah (Kis 22:3), bahkan ia hidup sebagai seorang Farisi menurut aliran yang paling keras dalam agama Yahudi (Kis 26:5). Seperti halnya orang-orang Farisi yang lain, Paulus berpengang pada hukum Taurat dan hukum nenek moyang.

(65)

yang bernama Gamaliel. Berkat pendidikan yang diperolehnya, Paulus menjadi jauh lebih maju, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat. Bahkan ia

berani menyatakan bahwa “tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak

bercacat” (Flp 3:6). Karena itu, Paulus yang telah menjadi pengikut Kristus dengan

tegas menyatakan diri sebagai orang Farisi menurut mazhab yang paling keras dalam agama Yahudi (Kis. 26:5; Flp. 3:4-6). Sebagai seorang Farisi, Paulus dengan tegas dan keras mempertahankan nilai-nilai keagamaan Yahudi (Seto Marsunu, 2016: 14). Ia dididik untuk menerapkan hukum keagamaan Yahudi dalam situasi konkret dan untuk setia pada hukum itu. Kepada Jemaat Galatia, ia menyatakan diri sebagai orang fanatik dalam agama Yahudi (Gal. 1:14).

3. Penganiaya Orang Kristen

(66)

mereka ke dalam penjara. Paulus sendiri menggambarkan tindakannya itu dengan berkata:

Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati. Dalam rumah-rumah ibadat aku sering menyiksa mereka dan memaksanya untuk menyangkal imannya dan dalam amarah yang meluap-luap aku mengejar mereka, bahkan sampai ke kota-kota asing (Kis 26:10-11).

Dari ayat Kitab Suci yang diambil dari Kisah Para Rasul di atas jelas dikatakan bahwa Paulus mengatakan kejahatan-kejahatannya terhadap para pengikut Kristus. Begitu berkobar-kobar kebencian Paulus terhadap pengikut Kristus, sampai-sampai ia ingin memusnahkan mereka, dengan penuh semangat ia menyiksa mereka bahkan dia juga setuju kalau para pengikut Kristus itu dihukum mati. Paulus adalah seorang yang taat pada agama Yahudi dan ia merasa apa yang dilakukannya itu benar, walaupun kemudian hal ini membuatnya paling hina di antara semua rasul dan tidak pantas disebut rasul (1Kor 15:9).

4. Paulus Menuju Damsyik

(67)

sebelum ia bisa menangkap dan memenjarakan para pengikut Kristus, Yesus terlebih dahulu menampakkan diri kepadanya. Dalam Kisah Para Rasul berikut dapat dilihat bagaimana perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit:

Dalam perjalannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit dan mengelilingi dia. Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: Saulus, Saulus,

mengapa engkau menganiaya Aku? Jawab Saulus: “Siapakah Engkau, Tuhan?” Katanya: Akulah Yesus yang kauaniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus

kauperbuat” (Kis 9:3-6).

Dalam peristiwa tersebut di atas jelaslah bahwa Yesus menampakkan diri secara langsung kepada Saulus. Saulus seketika itu juga rebah karena pancaran cahaya yang menyinarinya. Cahaya yang memancar itu sangat menyilaukan (Kis 22:6). Cahaya tersebut menyebabkan Saulus rebah ke tanah dan kemudian ia mendengar satu suara. Tampaknya ada dua unsur peristiwa di sini: cahaya dan suara.

“Cahaya yang memancar dari langit barangkali memang dimengerti sebagai tanda kehadiran yang Ilahi. Orang menyebutnya sebagai kemuliaan Allah yang terpancar

dan dikenali oleh manusia” (Eko Riyadi, 2012: 46).

Bea (1975: 16) mengatakan “berkat kejadian di Damsyik itulah Paulus

menjadi pelayan Kristus yang tak kenal lelah.” “Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut”…

(68)

pemahaman dan anggapannya tentang Yesus. Hari Kustono (2008: 19) menambahkan bahwa perubahan dari Paulus sebagai penganiaya umat Kristen menjadi pengikut Kristus tidak dapat disamakan dengan perubahan dari orang kafir menjadi orang beriman, atau dari tak bermoral menjadi bermoral, atau dari agama tertentu ke agama lain. Paulus menggambarkannya sebagai karya Allah yang tanpa dapat dijelaskan persisnya, yang ternyata telah masuk ke dalam dirinya dan mengubah hidupnya dari dalam sebagai bagian dari anak-anak Allah yang merdeka.

5. Pemberitaan Injil Paulus

(69)

terus-menerus merasa “berhutang Injil” kepada berbagai lapisan manusia (Rm 1:14). Dalam surat pertama Paulus kepada jemaat di Korintus dicatat: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu

adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor

9:16).

(70)

Akwila dan Priska yang disebut tukang kemah (Kis 18:2; Rm 16:4), Aristarkhus (Kis 19:29), dan Trofimus (Kis 20:4).

Eko Riyadi (2017: 15) menuliskan pola pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus yang dicermati dalam Kisah Para Rasul, yakni setiap memasuki sebuah kota, Paulus masuk ke dalam rumah ibadat orang Yahudi (Sinagoga) dan memberitakan kabar sukacita tentang Yesus yang wafat di salib dan bangkit dari kematian. Dalam pemberitaan Injil tersebut tidak semua orang mau menerimanya, banyak orang menolak bahkan menyerang Paulus. Paulus mencatat peristiwa berat yang dialaminya yakni: dipenjara, didera, disesah, dilempari batu, mengalami kapal karam, terkantung-kantung di tengah laut (2 Kor 11:24-25). Meskipun mengalami berbagai rintangan dan hambatan dalam pewartaan, Paulus banyak menumbahkan benih-benih iman dalam diri orang-orang yang takut akan Allah.

(71)

menyapa jemaatnya. Surat-surat tersebut antara lain: surat kepada jemaat di Filipi, surat kepada jemaat di Efesus, surat kepada jemaat di Kolese, dan surat kepada jemaat di Filemon. Masing-masing isi pokok dari surat tersebut berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi dan situasi jemaat yang dituju.

B.Karya Kerasulan Paulus

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karya diartikan sebagai suatu pekerjaan atau hasil perbuatan. Sedangkan kerasulan sendiri diambil dari kata rasul yang artinya orang yang menerima wahyu Tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Dari pengertian tersebut karya kerasulan yang dilakukan oleh Paulus berarti segala pekerjaan dan perbuatan Paulus sebagai bentuk perutusan yang disampaikan kepada

manusia. “Bagi Paulus mewartakan berarti membawa orang ke hadapan peristiwa keselamatan Allah sendiri” (Jacobs Tom, 1985: 38). Dalam suratnya kepada jemaat di

Korintus, Paulus mengatakan “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16). Dari pernyataannya tersebut jelaslah bahwa memberitakan Injil merupakan sebuah keharusan bagi Paulus. Oleh karena itu pada bagian ini penulis akan memaparkan beberapa karya kerasulan yang dilakukan oleh Paulus.

Karya kerasulan Paulus pasti berkaitan dengan karya misinya. Pada masa karyanya, Paulus dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kesulitan. Dia sendiri

(72)

dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut, dilempari dengan

batu, tiga kali mengalami karam kapal,” … (2 Kor 11:23-28). Akan tetapi Paulus tidak pernah menyerah dalam keadaan sesulit apapun. Paulus menyadari tugas perutusan yang diberikan oleh Yesus untuk memberitakan Injil. Bahkan Paulus sendiri tahu sejak awal bahwa banyak penderitaan yang akan ia alami oleh karena nama Yesus. Dalam tulisannya, Bea (1975: 13) mengajak untuk melihat karya missioner Paulus dari dekat, misalnya: kegiatan yang total demi kebenaran, kejujuran radikal untuk membela keyakinannya, daya kerja yang tidak kenal letih dalam usaha melaksanakan rencana-rencananya serta pandangan luas yang mendorong dia melintasi batas-batas kota atau wilayah. Sifat-sifat manusiawi dari Paulus tersebut memang sudah ada dalam kepribadiannya. Allah sendiri yang telah memberikan sifat dan bakat tersebut sejak Paulus diciptakan (Bea, 1975: 13).

(73)

diminta lagi untuk berkotbah pada hari Sabat berikutnya. Ketika berkotbah pada hari Sabat berikutnya, banyak orang datang bahkan hampir seluruh kota berkumpul untuk mendengarkan firman Allah (Kis 13:42-44). Melihat orang banyak tersebut timbullah rasa iri hati dalam diri orang Yahudi. Mereka membantah ajaran Paulus dan menghasut perempuan-perempuan terkemuka di tempat itu, sehingga Paulus dan Barnabas diusir dari tempat tersebut (Kis 13:45.50). Setelah itu Paulus dan Barnabas melanjutkan perjalanan ke Ikonium. Akan tetapi di tempat tersebut lagi-lagi orang Yahudi menolak mereka. Bukan hanya menolak, mereka juga membuat suatu gerakan bersama dengan para pemimpin untuk menyiksa mereka dan melempari mereka dengan batu (Kis 14:2.5). Peristiwa tersebut membawa mereka ke Listra dan Derbe (Kis 14:6), tetapi musuh-musuh yang membenci mereka dari Antiokhia dan Ikonium terus mengejar mereka (Suharyo, 2003: 26).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan quixalud dalam pakan buatan; dosis terbaik penambahan quixalud dalam pakan buatan dan dosis optimum penambahan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan ibu-ibu rumah tangga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang tentang fenomena poligami serta

Hal ini berarti lansia laki- laki mempunyai tingkat keseimbangan lebih baik dengan kriteria risiko jatuh rendah, sedangkan lansia perempuan mempunyai tingkat

Dalam penelitian ini akan ditentukan codec yang terbaik untuk digunakan pada jaringan baik internal maupun eksternal dengan dengan melihat hasil pengukuran QoS

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan

Kekeruhan yang ada pada air yang diambil dari keempat titik dapat digambarkan dengan grafik rataan kekeruhan pada gambar 6.dari grafik tersebut dapat dilihat

Simulasi dilakukan dengan memodifikasi panjang throat section steam ejector dan memvariasikan kondisi operasi tekanan dan temperatur dari suction (evaporator) dan

Kesimpulan bahwa Dukungan sosial (dukungan informasional, dukungan penghargaan dan dukungan emosi) berpengaruh terhadap kelengkapan pemberian imunisasi dasar di Wilayah