1
I. PENDAHULUAN
Sumber penerimaan Pemerintah bertumpu pada tiga aspek utama: pajak, hutang dan PAD, non-pajak. Di negara-negara yang menganut desentralisasi fiskal, pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menarik pajak daerah. Di Indonesia, desentralisasi fiskal terwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah Daerah (Pemda) agar dapat mengelola keuangannya dengan baik dan dapat mengurangi bahkan melepaskan ketergantungannya secara financial kepada pemerintah pusat.
Untuk meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah pusat terus berupaya melakukan penguatan kewenangan perpajakan daerah (local taxing power). Dalam UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
2
TABEL 1. Penerimaan PBB-P2 Kabupaten dan Kota tahun 2012
(dalam Rp. Milyar)
Kab. dan Kota 2011 Agregat 2012
Medan 198,30 39% 275,10
Pekanbaru 38,54 6% 40,84
Palembang 62,58 22% 76,20
Bandar Lampung 32,61 20% 39,00
Depok 84,15 22% 102,80
Semarang 143,00 13% 161,30
Yogyakarta 34,80 27% 44,10
Surabaya 498,60 15% 571,10
Pontianak 15,36 -4% 14,70
Balikpapan 52,68 8% 56,67
Samarinda 17,08 33% 22,74
Gorontalo 3,89 -7% 3,60
Palu 6,36 15% 7,31
Deli Serdang 58,24 40% 81,60
Bogor 139,00 2% 141,10
Sukoharjo 108,85 -77% 25,08
Sidoarjo 106,85 4% 111,30
Gresik 59,49 3% 61,50
Total 1660,38 11% 1836,04
Sumber: Data olahan Ditjen Pajak Kementrian Keuangan dalam Slamet (2013)
3
perjalanan. (2) Belanja modal adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, maupun pembangunan non fisik spiritual termasuk penataran, training.
Pemerintah Indonesia yang menganut prinsip keseimbangan fiskal menyakini bahwa peningkatan belanja daerah akan meningkatkan pendapatan pajak daerah dan sebaliknya (Junaidi, 2012). Hal ini mengacu pada asumsi rasionalitas penuh yang dikemukakan oleh Coleman tahun 1990. Model keuangan yang dikembangkan mengasumsikan bahwa perilaku ekonomi bertindak secara purposif menuju tujuan, dengan tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau preferensi. Namun, pendekatan ini tidak mempertimbangkan darimana sumber daya diperoleh sehingga model ini melihat darimana sumber daya atau sumber pendapatan seharusnya tidak mempengaruhi bagaimana pendapatan itu akan dibelanjakan.
Dalam konteks keuangan daerah, seluruh pos pendapatan daerah (PAD, Transfer, PPb) diperlakukan dengan sama pada proposi tertentu dimana kesemuanya akan dimanfaatkan untuk membiayai belanja pemerintah. Dalam hal terjadi peningkatan belanja, maka diasumsikan setiap pos pendapatan daerah juga naik secara proporsional, begitu pula sebaliknya. Namun, ada bukti kuat bahwa dalam penyelenggaraan Pemda memperlakukan sumber pendapatannya secara berbeda. Bukti-bukti empiris secara internasional menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada Dana Transfer (DAU dan DBH) ternyata berhubungan negatif dengan hasil pemerintahannya (PAD) (Mello dan Barenstrein, 2001). Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri daripada dana transfer yang diterima dari pusat. Bukti empiris yang menunjukan respon pemerintah daerah untuk transfer dan pendapatan sendiri (pajak) telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti seperti Barnett (1991), Stine (1994), Gamkhar and Oates (1996), Bruno and Frank (1998), Deller dan Maher (2005). Hasil analisisnya tidak jauh berbeda, dimana pengeluaran pemerintah lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dari transfer daripada perubahan dari pendapatan asli daerahnya. Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebut flypaper effect.
Oleh karena fenomena ini tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan rasional penuh, Hines dan Thaler (1995) menyarankan untuk menjelaskan
4
propensity to consume (MPC) antara pendapatan yang berasal dari gaji reguler dengan yang berasal dari bonus. Mental accounting ini pada awalnya diarahkan untuk menjelaskan perilaku konsumen (Thaller, 1985; 2008) tetapi kemudian sangat berpengaruh di berbagai pembahasan perilaku ekonomi yang lain seperti tabungan, kredit dan manajemen hutang (Prelec & Loewenstein, 1998; Okada, 2001; Soman dan Chema, 2002) dan perilaku investor di pasar modal (Odean 1998; Lim, 2006).
Meskipun teori mental accounting dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana individu dan rumah tangga dalam mengambil keputusan keuangan, untuk beberapa hal penulis percaya bahwa teori ini dapat diterapkan pada aras kelembagaan seperti Pemda. Konsep mental accounting mengacu pada cara di mana individu dan rumah tangga, mencatat, meringkas, menganalisis dan melaporkan hasil transaksi dan kejadian keuangan lainnya (Thaler, 1998). Sebuah komponen penting dari mental accounting yang melibatkan kategorisasi: pengeluaran dan dana dikelompokkan ke dalam kategori yang tidak subtitutes sempurna, sehingga melanggar asumsi kesepadanan (fungibility) yang mendasari teori pilihan rasional. Tergantung pada asal-usulnya, pendapatan dihabiskan dengan lebih mudah atau lebih ketat atas penghasilan yang didapatkan. Seperti perusahaan dan individu, pemerintah juga memperoleh pendapatan dari sumber yang berbeda. Penerapan konsep mental accounting menunjukkan bahwa sifat sumber mempengaruhi penggunaannya. Pemerintah memperlakukan Transfer, PPb dan PAD dengan berbeda {Bruno and Frank, 1998}.