1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan masa depan Bangsa. Anak
adalah generasi penerus cita-cita kemerdekaan dan kelangsungan hajat hidup
Bangsa dan Negara. Oleh karena itu anak harus dipersiapkan dengan baik supaya
menjadi modal pembangunan dan awal kunci kemajuan bangsa di masa depan.
Jika anak-anak tadi dipersiapkan dengan baik, mereka akan mampu membuat
perubahan dan menyelesaikan masalah secara lebih kreatif, inovatif, dan
konstruktif, sehubungan itu dibutuhkan adanya lingkungan yang baik pula yaitu
terwujudnya kota layak anak. Mewujudkan Kota Layak Anak merupakan hak
yang dimiliki anak, hal ini secara tegas dituangkan dalam Undang-undang nomor
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan secara normatif, konstitusional hak
anak sudah dijamin dan diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 yakni pasal 28
ayat (2), pasal 31 ayat (1). Sebagai wujud upaya pemenuhan hak anak, pemerintah
Kota Salatiga harus segera mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak
Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak
Anak. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima Kabuaten/Kota yaitu Jambi,
Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2007
2
pemerintahan kota, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota
Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA.1
Dasar hukum kebijakan KLA adalah Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PERMEN
PP/PA) No. 2 Tahun 2009 tentang Kota Layak Anak yang kemudian mengalami
revisi menjadi PERMEN PP/PA No. 11 tahun 2011 tentang Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak. PERMEN baru tersebut mengalami banyak
perkembangan dibanding yang sebelumnya karena permasalahan tentang anak di
Indonesia makin hari dirasakan juga semakin kompleks. Peraturan Menteri ini
mencakup tentang tujuan, sasaran, pemantauan, evaluasi dan hal-hal yang
mendasari dan bagaimana seharusnya program kota layak anak dilakukan.
Pengembangan KLA di Indonesia dengan dimensi spasial kabupaten/kota yang
besar terbilang jauh lebih kompleks dibanding dengan pengembangan sebuah
‟kota‟ yang layak bagi anak di negara lain. Hal ini disebabkan oleh struktur
administrasi dan wilayah yang besar di Indonesia. Namun dengan fakta dan
kondisi yang ada tersebut tidaklah mengurangi semangat negara Indonesia,
terbukti dari target pemerintah untuk kurun waktu 2010-2014, KPP-PA telah
menargetkan pembentukan seratus kabupaten/kota layak anak di seluruh
Indonesia.2 Dari target yang ada sampai dengan saat ini, sudah terbentuk 75
kabupaten/kota layak anak di Indonesia dan salah satu kota yang menerapkannya
adalah Kota Salatiga.
1
Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.
2
3
Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dikembangkan oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam rangka
mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia. Untuk
mencapai tujuan tersebut, telah ditetapkan berbagai peraturan terkait
pengembangan KLA, yaitu Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Nomor 2 Tahun 2009 yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011
tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Panduan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 14 Tahun 2011
tentang Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak. Kesadaran itu diwujudkan dengan
kebijakan, melalui peraturan daerah, atau peraturan wali kota. Indikator
keberhasilan KLA merupakan tersedianya pemenuhan atas hak-hak anak di segala
bidang sebagai warga kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak No. 12 Tahun 2011 Tentang Indikator
Kabupaten/ Kota Layak Anak dijelaskan tentang indikator Kabupaten Layak Anak
yang mana setiap kabupaten/kota dapat dikategorikan sebagai KLA apabila telah
memenuhi hak anak yang diukur dengan Indikator KLA.3
Sejak tahun 2008 Kota Salatiga telah menerbitkan berbagai keputusan
sebagai upaya mewujudkan salatiga sebagai kota layak anak, bahkan saat ini juga
3
4
sedang disusun perda perlindungan perempuan dan anak yang merupakan hak
inisiatif,4 DPRD Kota Salatiga. Ketika tahun 2009 pemerintah Kota Salatiga telah
menyusun strukur organisasi dan tata kerja baru menggantikan SOTK 2008.
SOTK yang dibentuk tahun 2009 tersebut terdapat SKPD yang secara teknis
mengampu program dan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu
Badan pemberdayaan Masyarakat, perempuan, KB dan ketahanan pangan.
Melalui SKPD inilah selanjutnya program dan kegiatan yang berkaitan dengan
kota layak anak yang sebelumnya pada tahun 2008 telah diinisiasi oleh
BAPPEDA, selanjutnya beralih ke Badan pemberdayaan Masyarakat, perempuan,
KB dan ketahanan pangan. Namun demikian dalam pelaksanaanya tetap terjalin
koordinasi antara Bappeda dengan Badan pemberdayaan Masyarakat, perempuan,
KB dan ketahanan pangan dalam upaya mewujudkan Salatiga sebagai Kota Layak
Anak. Kegiatan utama yang dilaksanakan pada tahun 2009 adalah pembentukan
forum anak Kota Salatiga pada bulan Desember 2009.
Forum Anak Kota Salatiga yang terbentuknya diawali dengan pertemuan
selama 3 hari mulai tanggal 26-28 desember 2009 ini merupakan embirio dari
keberadaan forum anak Kota Salatiga (RUMANKSA). Melalui forum ini
diharapkan keterlibatan anak dalam pelaksanaan pembangunan daerah semakin
terasa, sehingga setiap produk kebijakan daerah akan selalu memperhatikan dan
menjamin hak-hak anak sebagai warga negara. Tahun 2010 terdapat beberapa
agenda atau kegiatan dalam rangka persiapan Kota Salatiga Layak Anak sekaligus
juga sebagai optimalisasi kelembagaan forum anak Kota Salatiga. Di tahun 2011
4
5
terdapat beberapa agenda atau kegiatan dalam rangka persiapan Kota Salatiga
layak anak sekaligus juga sebagai optimalisasi kelembagaan Forum Anak Kota
Salatiga. Mengawali di tahun 2012 Forum Anak Kota Salatiga (RUMANKSA)
melakukan audiensi bertujuan untuk memperkenalkan keberadaan Forum Anak
Kota Salatiga sebagai wadah partisipasi.
Adanya kebijakan KLA sebagai sebuah kebijakan sosial dilandasi
keinginan untuk lebih mewujudkan hak anak secara sistematis yang itu
diintegrasikan dalam sebuah sistem pembangunan yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan (stakeholder) mulai dari aparatur pemerintah yang
berwenang, masyarakat, dunia usaha, dan termasuk kalangan anak itu sendiri.
Dalam Kebijakan tersebut ditetapkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan
kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA)
dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan
seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak. Secara normatif yuridis
pengembangan KLA terdapat dalam World Fit for Children, Keputusan Presiden
No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Undang-Undang Dasar
1945 (Pasal 28b, 28c), Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015, UU No 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Permenneg PP No 2 tahun 2009
tentang Kebijakan KLA.5
Oleh karenanya, melindungi dan menjadikan mereka generasi yang
tangguh merupakan sebuah keniscayaan. Kebijakan kota layak anak dilatar
belakangi dengan sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan
5
6
komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang
terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan
kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Inti dari KLA adalah terciptanya
Kabupaten/Kota, dimana anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta
terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi, kenyataannya yang terjadi di Salatiga
jauh dari harapan artinya pemerintah Kota Salatiga masih belum perduli terhadap
perkembangan dan masa depan anak. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
kasus eksploitasi, kekerasan, dan tindak pidana terhadap anak. Lebih dari satu
anak di Salatiga berada didalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak. Selain
banyaknya kasus eksploitasi serta kekerasan terhadap anak, hal ini diperparah dari
tahun ke tahun, jumlah pekerja anak di salatiga cenderung meningkat. Disamping
itu anak-anak juga dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, mereka bekerja dengan jam
kerja yang sangat panjang, mereka bekerja pada area yang sangat membahayakan
dan membunuh masa depan anak, yang disebut sebagai jenis-jenis pekerjaan
buruk.
Uraian diatas menunjukkan bahwa diperlukan adanya kebijakan
pemerintah mengenai kabupaten dan Kota Layak Anak (KLA) yang
mengintegrasikan sumber daya pembangunan untuk memenuhi hak anak.
Lahirnya kebijakan KLA, diharapkan dapat menciptakan keluarga yang sayang
anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak,
kelurahan dan desa layak anak dan Kecamatan atau Kota yang layak bagi anak
sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang
dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan psikologisnya.
7
Salatiga yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak-hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi,
strategi, dan intervensi pembangunan, dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan, dalam upaya pemenuhan hak-hak anak pada suatu
dimensi wilayah kota.6
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan kota layak anak diwujudkan di Kota
Salatiga?
2. Kendala Apa saja yang mempengaruhi Kebijakan Kota Layak Anak di
Kota Salatiga?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak di Kota
Salatiga adalah
1. Menjelaskan tentang pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Kota
Salatiga.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor kebijakan Kota Layak Anak di Kota
Salatiga dan mengetahui konsep KLA di Kota Salatiga.
6
8
4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat
secara praktis.
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau
memberikan solusi dalam bidang hukum kebijakan publik terkait dengan
kebijakan pemerintah Kota Salatiga mewujudkan Kota Layak Anak.
Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin
mengetahui tentang Kota Layak Anak.
Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin
mengkaji secara mendalam tentang Kebijakan pengembangan Kota Layak
Anak berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan diatas.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian
dalam rangka meningkatkan kualitas dalam penataan terhadap aspek
penting dalam Kebijakan Kota Layak Anak.
Sebagai masukan (Input) bagi perencanaan Kota Layak Anak Salatiga.
Untuk melakukan evaluasi dan pemantauan tentang keberhasilan
pelaksanaan pembangunan Kota Layak Anak bagi pemerintah Kota
9
5. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah rangkaian dari cara atau kegiatan pelaksanaan
penelitian dan didasari oleh pandangan filosofis, asumsi dasar, dan ideologis serta
pertanyaan dan isu yang dihadapi. Sebuah penelitian memiliki rancangan
penelitian tertentu. Rancangan ini menjelaskan prosedur atau langkah-langkah
yang harus dijalani, waktu penelitian, kondisi data dikumpulkan, sumber data
serta dengan cara apa data tersebut dibuat dan diolah. Tujuan dari rancangan ini
adalah menggunakan metode penelitian yang baik dan tepat, dirancang kegiatan
yang bisa memberikan jawaban yang benar terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam
penelitian.7
5.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan pendekatan sosiologis.
Penelitian empiris adalah mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku
nyata dan gejala sosial yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu penelitian hukum empiris disebut juga dengan
penelitian hukum sosiologis. Penelitian ini menggali pola perilaku yang hidup
dalam masyarakat sebagai gejala yuridis.8 Metode pendekatan penelitian ini
7
http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html di akses tanggal 1 Agustus 2014 ukul 02.15 8
10
bersifat sosiologis, yaitu pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan
perilaku hukum orang (manusia dan badan hukum) dan masyarakat serta
efektivitas berlakunya hukum positif di masyarakat.9
5.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Salatiga. Pemilihan tempat dan
lokasi didasarkan pada disebutnya Kota Salatiga sebagai Kota Layk Anak.
5.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dibutuhkan berupa :
5.3.1. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan Kota layak
anak yaitu :
1. UUD 1945 Hasil Amandemen.
2. UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindugan Anak.
3. UU No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia.
4. Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On
The Rights Of The Cild (Kovensi Hak-Hak Anak).
5. PERMEN PP/PA No. 11 tahun 2011 tentang Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak.
9
http://bag-pde.malangkab.go.id/downloads/PEDOMAN%20PENULISAN%20SKRIPSI.pdf di akses tanggal 1 Agustus 2014 ukul
11
6. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/313/2008 Tentang
Forum Komunikasi Anak Kota Salatiga.
7. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/05/314/2009 Tentang
Tim Kota Layak Anak.
8. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/315/2009 Tentang Forum
Komunikasi Anak Kota Salatiga, Keputusan walikota ini
merupakan revisi dari keputusan Walikota Salatiga nomor
46305/313/2008 Tentang Tim Forum Komunikasi Anak Kota
Salatiga, karena adanya perubahan Susunan Organisasi dan Tata
Kerja (SOTK) dan secara teknis permasalahan perlindungan anak
diampu oleh badan pemberdayaan masyarakat, perempuan, KB.
9. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/316/2009 tentang tim
pelayanan terpadu terhadap tindak kekerasan berbasis gender dan
anak.
10.Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/411/2010 tentang
tugas dan sekretariat Kota Layak Anak
11.Keputusan Walikota Salatiga Nomor 400/206/2012 tentang gugus
Tugas dan Kelompok Kerja Kota Layak Anak.
5.3.2. Bahan Hukum Primer yaitu data yang diperoleh langsung dalam
kehidupan masyarakat dengan cara wawancara, interview dan
sebagainya. Sumber data primer adalah kata-kata dan tindakan orang
yang diamati atau diwawancarai. Pencatatan sumber data utama
12
usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya yang
dilakukan secara sadar, terarah dan senantiasa bertujuan memperoleh
informasi yang diperlukan, yang diperoleh secara langsung dari
responden yaitu terhadap Bappermas dan forum anak Salatiga.
5.3.3. Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya
dengan kebijakan publik dan kota layak anak yaitu Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
5.4. Teknik Pengumpulan Sampel
a. Populasi atau universe menurut Soerjono Soekanto10 adalah ”sejumlah manusia atau unit yang mempunyai cirri-ciri atau karakteristik yang sama”. Peneliti mengambil populasi dalam penelitian kali ini yaitu,keseluruan satuan kerja di lingkungan
Pemerintah Kota Salatiga.
b. Sampel menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad11 adalah
contoh dari suatu populasi atau sub-pupolasi yang cukup besar
jumlahnya dan sampel harus dapat mewakili populasi atau sub-populasi”. Pengambilan sampel dalam data empiris yakni:
1.Kepala Bappermas Pemerintahan Kota Salatiga;
2. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Pemerintahan Kota Salatiga;
3.Ketua Forum Anak Kota Salatiga;
10
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. hlm. 172
11
13
5.5. Unit Amatan dan Unit Analisa
Penentuan unit analisa dan unit amatan sangat penting dilakukan agar jelas
siapa yang hendak diteliti. Perumusan yang jelas akan mempermudah dalam
pengumpulan data. Satuan analisis adalah keberadaan atau populasi yang
terhadapnya dibuat kesimpulan atau kerampatan empirik. Berdasarkan pengertian
tersebut maka unit analisa penelitian ini adalah menganalisa semua data data yang
bersumber dari hasil wawancara terhadap kepala bappermas, kepala bidang
perlindungan perempuan dan perlindungan anak dan forum anak kota salatiga
yaitu Rumanksa. Unit amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk
memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan
analisis. Dalam penelitian ini yang dijadikan unit amatan adalah data tertulis
berupa peraturan perundang undangan maupun peraturan daerah dan peraturan
walikota mengenai Kota layak anak.
5.6. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu
analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah
diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan
yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara
berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik
14
6. Sistematika Penulisan
6.1. Bab I Pendahuluan
Pendahuluan berisi latar belakang mengenai permasalahan penelitian yang
dilanjutkan dengan perumusan masalah dan penjabaran tujuan dan kegunaan
penelitian serta sistematika penulisan.
6.2. Bab II Pembahasan
Bab ini berisi tentang teori-teori dan penelitian terdahulu yang melandasi
penelitian ini, kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis, pelaksanaan kebijakan
Kota layak anak serta faktor atau kendala kebijakan Kota layak anak di salatiga.
6.3. Bab III Penutup
Sebagai bab terakhir, bab ini akan menyampaikan secara singkat
kesimpulan yang diperoleh dalam pembahasan. Selain itu, bab ini juga berisi