• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN OPSIR CINA DALAM PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA DI BATAVIA ANTARA TAHUN 1910-1942.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN OPSIR CINA DALAM PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA DI BATAVIA ANTARA TAHUN 1910-1942."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HINDIA BELANDA DI BATAVIA ANTARA TAHUN 1910-1942

SKRIPSI

Diajukan untuk Mememnuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh:

CAHYA NURHAENI

0703877

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

HINDIA BELANDA DI BATAVIA ANTARA TAHUN

1910-1942

Oleh:

Cahya Nurhaeni

0703877

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Riska Ayu Putriyanti 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

CAHYA NURHAENI

0703877

KEDUDUKAN OPSIR CINA DALAM PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA DI

BATAVIA ANTARA TAHUN 1910-1942

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I,

Dr. Erlina Wiyanarti, M.Pd

NIP: 19620718 198601 2 001

Pembimbing II,

Moch. Eryk Kamsori, S.Pd

NIP: 19690430 199802 1 001

Diketahui oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd

(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ‘Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia

antara Tahun 1910-1942’. Masalah utama dalam skripsi ini adalah “bagaimana kedudukan

(5)

ABSTRACT

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….......i

KATA PENGANTAR...ii

UCAPAN TERIMAKASIH...iii

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1Latar Belakang………...1

1.2Rumusan Masalah………...…...7

1.3Tujuan Penelitian………...7

1.4Manfaat Penelitian………...8

1.5Metode dan Teknik Penulisan……….…………...8

1.6Struktur Organisasi Penulisan……….……10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13

2.1 Kajian Pustaka………...13

2.1.1 Sumber-sumber Berkaitan dengan Etnis Cina di Batavia.……...13

2.1.2 Sumber-sumber Berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Etnis Cina ...20

2.1.3 Sumber-sumber Berkaitan dengan Opsir Cina ………24

2.1.4 Penelitian Terakhir...30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 34

3.1 Persiapan Penelitian……….………36

3.2.1 Penentuan Tema Penelitian……….………..36

3.2.2 Mengurus Perizinan...37

3.2.3 Proses Bimbingan……….………....38

3.2 Pelaksanaan Penelitian……….………....39

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)……….……....39

(7)

3.2.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi)………..……….46

3.3.4 Laporan Hasil Penelitian (Historiografi)……...….……….……....47

BAB IV PERKEMBANGAN KEDUDUKAN OPSIR CINA DI BATAVIA AWAL ABAD 20 50

4.1 Etnis Cina di Batavia ………….……...51

4.1.1 Keadaan Batavia Awal Abad 20...49

4.1.2 Kehidupan Etnis Cina di Batavia Awal Abad 20...55

4.1.3 Berbagai Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Etnis Cina ...60

4.2 Perkembangan Opsir Cina di Batavia Awal Abad 20...76

4.2.1 Struktur Organisasi Lembaga ...……….……...83

4.2.2 Penarikan Pajak.……….……...90

4.2.3 Administrasi Pemerintahan...93

4.3 Perkembangan Terakhir Opsir Cina diakhir Pemerintahan Hindia Belanda...95

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDI 103

DAFTAR PUSTAKA………109 LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam,

dengan keinginan bersama menyatukan diri dalam satu bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika (satu di dalam keanekaragamannya). Berjuta-juta manusia hidup diseluruh kawasan Nusantara, terdiri dari berbagai kesatuan-kesatuan kelompok suku dan masing-masing memiliki konfigurasi budaya yang berbeda. Keanekaragaman ini semakin bertambah ketika arus imigran orang asing mulai mengalir memasuki Indonesia dan kemudian menetap disini. Orang-orang asing tersebut antara lain berasal dari Cina, India, Arab, dan Eropa (Husodo,1985:40).

Etnis Cina yang dahulu sering disebut Chinese Overseas atau Cina perantauan, sudah sejak lama tersebar di berbagai wilayah di dunia. Jumlah terbesar dari etnis Cina yang melakukan perantauan berada di Asia Tenggara (Suryadinata, 2002: 7-8). Mayoritas etnis Cina di Asia Tenggara adalah penduduk perkotaan yang sering terlibat dalam kegiatan perdagangan dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Tetapi, warga yang sudah lama menetap tampaknya telah berganti profesi, sedangkan para imigran baru masih tetap aktif dalam sektor komersil (Cushman,1991:291).

Batavia merupakan tempat bertemunya berbagai kelompok atau etnis dari berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok etnis tersebut satu sama lain saling berinteraksi melalui hubungan kerjasama terutama dalam bidang ekonomi. Kenyataan tersebut telah ditunjukan dengan baik pada masa kolonial maupun

sebelum kolonial. Salah satu etnis yang telah lama mendiami Batavia adalah etnis Cina.

(9)

memberikan tanah kepada para pemimpin kelompok nonpribumi sebagai milik pribadi, VOC bisa mendapatkan keamanan sekaligus keuntungan ekonomi. Setiap kelompok membentuk semacam kompi dan hidup bersama menurut adat istiadat dan kepercayaan mereka masing-masing, mereka juga memilih kepala kampung anggota masyarakat mereka yang dianggap cakap (Peter, 2007: 123-124).

Sejak zaman kolonial etnis Cina telah menjadi mitra kekuasaan kolonial

dalam pembangunan ekonomi, sedangkan golongan raja-raja atau kaum priyayi menjadi mitra dalam penyusunan kekuasaan feodal-kolonial. Akan tetapi Ketika kekuasaan kolonial di Asia Tenggara melepaskan kedudukannya yang bersifat monopolis, etnis Cina mengantisipasi perubahan tersebut dengan ikut serta masuk ke dalam sektor bisnis swasta (Onghokham, 2008:40).

Etnis Cina di Hindia Belanda terbagi kedalam dua kelompok, yaitu Cina totok dan peranakan. Orang Cina totok adalah orang Cina yang baru menetap di

Hindia Belanda selama satu generasi ataupun dua generasi, sedangkan Cina peranakan adalah orang Cina yang telah lama menetap di Indonesia selama tiga

generasi ataupun lebih (Hariyono, 1994: 33).

Masalah-masalah mengenai status sipil etnis Cina di Hindia Belanda adalah salah satu warisan yang ruwet dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda tahun 1854 menggolongkan etnis Cina sama dengan “orang-orang pribumi”, pada tingkat yang lebih rendah daripada orang-orang Eropa (Paulus, 1976: 19). Pertengahan abad ke 19, suatu konsep mengenai Nederlandschap (Kebangsaan Belanda) dirumuskan dalam Undang-Undang pokok Belanda. Konsep ini memandang orang Belanda, keturunan Belanda, pribumi dan orang Asia (Cina dan Arab) yang lahir di Hindia Belanda sebagai Nederlander (berkebangsaan Belanda). Akan tetapi “kebangsaan” ini tidak berarti apa-apa bagi masyarakat pribumi dan bagi orang Asia yang lahir di Hindia Belanda, karena tidak disertai oleh hak yang sama sebagaimana yang didapat oleh orang Belanda (Suryadinata: 1986, 41).

(10)

etnis lainnya. Hal ini terjadi, karena sebagai akibat dari struktur masyarakat kolonial dan politik belah pemerintah Hindia Belanda. Selain politik pecah-belah, pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan sistem apartheid terhadap masyarakat etnis Cina di Batavia. Sistem apartheid ini, menggolongkan masyarakat Hindia Belanda menjadi tiga golongan yakni: pertama golongan Eropa atau Belanda, Kedua golongan Timur Asing (Cina, Arab, India), dan ketiga

golongan Pribumi (Onghokham, 2008: 3-4). Pendapat yang sama menganai penggolongan masyarakat Hindia Belanda di Batavia juga dikemukakan oleh Lubis (2004: 80) sebagai berikut:

Penduduk di zaman Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan berdasarkan hukum. Pembagian ini mencerminkan status sosial masing-masing dari ke tiga golongan penduduk tersebut. Golongan pertama ialah penduduk Eropa atau disebut Europeanen, mereka mempunyai hukum sendiri dan merupakan kasta tertinggi diantara penduduk di Hindia Belanda. Golongan kedua ialah penduduk Timur Asing atau yang disebut vreemdeosterlingan, mereka merupakan pendudukan yang berasal dari Asia seperti orang Cina, Arab, dan India. Sedangkan golongan yang ke Tiga golongan paling bawah status sosialnya ialah Inlanders atau pribumi.

Sistem hukum yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda, memaksakan diskriminasi terhadap masyarakat etnis Cina dengan berbagai cara. Berkenaan dengan masalah hukum, masyarakat etnis Cina bersama dengan masyarakat Timur Asing lainnya dikelompokkan ke dalam lapisan masyarakat pribumi. Masyarakat etnis Cina diadili di pengadilan polisi (politierol) untuk pelanggaran kriminal kecil, dan di pengadilan pribumi (Landraad) untuk pelanggaran-pelanggaran berat (Suryadinata, 1986: 21-22).

(11)

jalan (Passenstelsel) ini diberikan oleh pejabat Belanda untuk kepentingan perdagangan dan industri atau usaha yang berguna bagi pemerintah Hindia Belanda, tetapi pas jalan ini bisa dicabut segera untuk kepentingan keamanan umum (Suryadinata, 2002: 75-76).

Lubis (2004, 81-82) juga mengungkapkan bahwa:

Pada abad ke 19, masyarakat etnis Cina hanya diizinkan tinggal di daerah Glodok (pada saat ini), yang diperuntukan khusus untuk mereka. Oleh Belanda pemukiman khusus masyarakat etnis Cina disebut Chineesche wijk, seperti peraturan pemukiman ghetto bagi kaum Yahudi di kota-kota Eropa. Ketika masyarakat etnis Cina akan pergi keluar dari tempat tinggalnya diharuskan membawa semacam surat jalan atau pas jalan.

Di Batavia, sebagaimana halnya di tempat-tempat lain di Indonesia etnis Cina mempunyai kepala masyarakat sendiri dan hidup dalam daerah yang terkenal dengan nama pencinaan. Kapitan etnis Cina ditunjuk sebagai opsir (officer) bangsanya. Para Opsir terdiri dari seorang kapitan, letnan dan mayor Cina. Para Opsir tersebut ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda dan secara teknik tidak dapat dianggap sebagai wakil yang sah dari masyarakat Cina. Akan tetapi, para opsir Cina biasanya merupakan orang yang sangat kaya diantara etnis Cina lainnya dan kekayaan biasanya merupakan suatu ukuran akan penghargaan yang tinggi dan pegaruh diantara etnis Cina (Onghokham, 1991: 33).

Para opsir Cina ini tidak digaji, mereka adalah pedagang yang menggunakan posisi ini untuk memperbaiki bisnis mereka. Para opsir Cina bekerja di kantor yang bernama Kong Koan (Gong Guan) dan bertugas sebagai pengatur administrasi, misalnya menjelaskan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat etnis Cina, dan mengumpulkan pajak dari masyarakat etnis Cina (Suryadinata, 2002: 74). Tugas lain dari seorang opsir Cina selain pemungut pajak adalah bertugas untuk mengusahakan

pegadaian, memonopoli garam dan perdagangan candu atas nama pemerintah Hindia Belanda (Paulus, 1976: 12).

(12)

merasa dirinya lebih dari masyarakat pribumi. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat etnis Cina sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini cenderung hidup terpisah, menjaga jarak dan membentuk garis pemisah dengan masyarakat pribumi (Husodo, 1985: 73). Masalah yang timbul antara masyarakat pribumi dengan masyarakat etnis Cina sering kali terjadi, terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik serta

serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa penjarahan dan pembataian pertama kali terjadi yakni pada tahun 1740, kemudian pada tahun-tahun berikutnya yang terjadi pada tahu 1940 dan pada tahun 1941 seperti di Pati, Rembang, Semarang, Unggaran, Kartasura, Banyumas, Cirebon, dan Penang (Poeze, 2008: 86).

Berbagai persoalan dan ketimpangan sosial yang terjadi diantara masyarakat etnis Cina dengan masyarakat pribumi merupakan warisan yang belum bisa terselesaikan sampai saat ini. Kemajuan dan kesuksesan masyarakat etnis Cina dalam bidang perekonomian, merupakan persoalan yang masih menjadi sorotan masyarakat pribumi. Keresahan inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai persoalan yang berhubungan dengan masyarakat Etnis Cina di Indonesia, serta keterkaitan antara opsir Cina dengan pemerintahan Hindia Belanda dalam pengaturan kehidupan etnis Cina di Batavia menarik untuk dikaji lebih dalam.

Mengingat sepengetahuan penulis, telah ada penulisan mengenai opsir Cina di Batavia oleh salah seorang mahasiswa UNPAD (Universitas Padjadjaran) yang bernama Gunawan dan juga penulisan dalam bentuk buku yang ditulis oleh Mona Lohanda. Penulisan skripsi sebelumnya yang di tulis oleh Gunawan mahasiswa UNPAD yang berjudul “Pro-Kontra Penghapusan Kelembagaan Opsir Cina di Batavia pada tahun 1910-1942”. Skripsi ini lebih banyak membahas

(13)

dalam membahas mengenai kedudukan opsir Cina dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Kesamaan angka tahun pada skripsi ini, adalah keinginan penulis sendiri yang merasa tertarik setelah membaca skripsi sebelumnya yang menggunakan angka tahun yang sama. Alasan penulis mengambil angka tahun yang sama karena pada tahun 1910 adalah awal di mana masyarakat etnis Cina memiliki dua

kewarganegaraan yakni sebagai masyarakat Kekaisaran Cina dan masyarakat Hindia Belanda, sehingga hal ini menjadi polemik dan berpengaruh terhadap sistem lembaga opsir Cina yang berada di Hindia Belanda. Tahun 1942 merupakan momentum di mana pemerintah Hindia Belanda berakhir dan berganti kekuasaan dengan pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada umunya dan Batavia pada khususnya.

Buku Mona Lohanda yang berjudul “The Kapitan Cina of Batavia

1837-1942”, buku menjelaskan tentang sejarah berdirinya lembaga opsir Cina, masa kepemimpinan para opsir Cina, hingga berakhirnya lembaga opsir Cina di Batavia, namun di dalam buku Mona Lohanda ini tidak dijelaskan secara mendalam mengenai kedudukan Opsir Cina di Batavia pada tahun 1942-1910. Perbedaan antara buku yang ditulis oleh Mona Lohanda dengan skripsi ini adalah penjelasan secara mendalam mengenai berbagai kebijakan serta kedudukan opsir Cina di dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Sebagai seorang mahasiswi jurusan sejarah yang telah mempelajari perkuliahan Sejarah Peradaban Timur serta Sejarah Kolonialisme Barat, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kehidupan masyarakat etnis Cina pada masa pemerintahan kolonialisme terutama pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Penulis juga merasa tertarik dengan adanya fakta sejarah tentang perbedaan perlakuan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Timur

Asing (Arab, Cina, India) dengan masyarakat pribumi, dan juga untuk mengetahui pola hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan masyarakat Etnis Cina sehingga menjadi mitra kerja dalam bidang ekonomi.

(14)

masalah lebih dalam mengenai berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat etnis Cina di Batavia pada tahun 1910-1942. Oleh sebab itu, judul skripsi ini adalah “Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara tahun 1910-1942”.

I.2 Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan beberapa pokok pemikiran yang dipaparkan di atas, terdapat permasalahan utama yang akan dikaji yaitu “Bagaimana kedudukan dan hubungan Opsir Cina dengan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1910-1942?”. Dan untuk membatasi kajian penelitian ini, maka diajukan beberapa pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan di bahas dalam skripsi ini. Adapun rumusan masalah yang di maksud adalah:

1. Bagaimana kehidupan masyarakat Etnis Cina di Batavia antara tahun 1910-1942?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat etnis Cina di Batavia antara tahun 1910-1942?

3. Bagaimana perkembangan Lembaga opsir Cina di Batavia antara tahun 1910-1942?

4. Bagaimana peranan Lembaga Opsir Cina dalam pemerintahan Hindia Belanda?

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan dan batasan masalah, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mendeskripsikan kehidupan masyarakat etnis Cina di Batavia antara tahun 1910-1942.

2. Menjelaskan kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Etnis Cina di Batavia antara tahun 1910-1942.

(15)

4. Memaparkan peranan Lembaga Opsir Cina dalam pemerintahan Hindia Belanda.

I.4 Manfaat Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai “Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia Tahun 1910-1942”, terdapat beberapa

manfaat yang dirasakan penulis diantaranya adalah:

1. Memperkaya penulisan mengenai sejarah kolonialisme di Indonesia terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

2. Memberikan kontribusi dalam penelitian sejarah, khususnya mengenai sejarah Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

3. Memberikan gambaran mengenai hubungan etnis Cina dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

4. Memberikan kontribusi materi dalam pembelajaran Sejarah di SMA (Sekolah Menengah Atas), terutama bagi peserta didik kelas XI semester II. Sesuai SK 2 : Menganalisis Perkembangan Bangsa Indonesia Sejak Masuknya Pengaruh Barat Sampai dengan Pendudukan Jepang, dengan KD 2.1: Menganalisis Perkembangan Pengaruh Barat dan Perubahan Ekonomi, Demografi, dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial. Khususnya materi mengenai Perkembangan Kehidupan Masyarakat pada Masa Kolonial.

I.5 Metode dan Teknik Penelitian

Dalam pembahasan ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yaitu suatu metode penelitian untuk memperoleh gambaran rekontruksi imajinatif mengenai peristiwa sejarah pada masa lampau secara kritis dan imajinatif

berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah. Menurut Sjamsudin (2007:85-155) terdapat 4 tahap metode sejarah yakni sebagai berikut:

(16)

Heuristik merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan pembahasan mengenai “Kedudukuan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara tahun 1910-1942”. Di dalam Heuristik, penulis mencoba mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dan sesuai dengan masalah yang akan diangkat oleh penulis. Sumber-sumber tersebut berupa sumber-sumber kepustakaan yang membantu

penulis dalam pencari dan pengumpulan sumber. Pengumpulan sumber lainnya berupa foto, gambar, arsip serta dokumentasi lainnya juga menjadi bagian dalam pencarian dan pengumpulan sumber. Selain itu ada hasil browsing melalui internet.

b. Kritik

Tahap berikutnya dilakukan kritik atas sumber, yaitu melakukan analisis terhadap sumber yang telah diperoleh apakah sesuai dengan masalah. Pada tahap ini, kritik yang dilakukan terbagi dua yakni kritik Eksternal dan Internal. Kritik Eksternal ditujukan untuk menilai otentisitas sumber. Dalam kritik Eksternal dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siap, instansi apa, atau atas nama siapa. Dalam tahap ini penulis mencoba menilai sumber-sumber tersebut berdasarkan ketentuan dari Kritik Eksternal. Sedangkan kritik Internal lebih ditujukan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Pada bagian Kritik Internal ini peneliti melakukan kritik atas sumber kepustakaan yakni dengan membandingkan isi dari satu penulis buku dengan yang lainnya, sedangkan kritik atas sumber lisan lebih ditujukan kepada isi dari yang telah diungkapkan oleh saksi peristiwa terhadap masalah, sehingga fakta-fakta yang diperoleh lebih valid untuk mendukung pembahasan yang dikaji.

c. Interpretasi

(17)

Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia tahun 1910-1942. Tahap ini diawali dengan melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta yang berasal dari sumber tertulis yang telah melalui fase kritik. Penulis menganalisis serta mengkaji fakta-fakta tersebut kemudian diinterpretasikan. Penginterpretasian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Di dalam interpretasi juga terdapat eksplanasi yaitu penjelasan.

d. Historigrafi

Merupakan tahap akhir dari metode penelitian sejarah. Historiografi merupakan proses penulisan yang utuh dan masuk akal atas interpretasi dan eksplanasi yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Setelah sumber-sumber ditemukan, dianalisis, ditafsirkan, kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya ilmiah berbentuk skripsi yang sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia).

Adapun teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah: e. Studi Litelatur

Dalam mengumpulkan sumber yang diperlukam untuk bahan pengkajian penulisan skripsi ini. Penulis menggunakan teknik studi literatur. Studi litelatur digunakan oleh penulis untuk mengumpulkan fakta dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian yang dikaji, baik literatur lokal maupun asing yang semua itu dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak dikaji oleh penulis. Sumber yang dapat dikumpulkan penulis hanya sumber tertulis yang merupakan sumber sekunder. Oleh karena itu, peneliti hanya akan melakukan teknik studi litelatur ini karena telah disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji.

I.6 Struktur Organisasi Penulisan Skripsi

Untuk lebih memudahkan memahami penulisan ini, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:

(18)

Bab ini penulis menguraikan beberapa pokok pemikiran yang berkaitan dengan latar belakang masalah mengenai Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara tahun 1910-1942. Pada bab ini juga memuat tentang rumusan masalah yang disertai dengan pembatasan masalah. Serta membahas tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang penjabaran mengenai litelatur yang digunakan dan mendukung terhadap permasalahan yang dikaji, yaitu mengemukakan penjelasan beberapa sumber kepustakaan yang menjadi rujukan serta relevan dengan permasalahan yang dibahas. Kajian pustaka merupakan perangkat teoritis dalam berpikir yang berisi konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah Etnis Cina di Batavia, Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Etnis Cina dan Opsir Cina. Konsep-konsep yang digunakan sesuai dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti mengenai “Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara Tahun 1910-1942”.

BAB III METODE DAN PENELITIAN

Bab ini dibahas mengenai metode dan teknik penelitian yang penulis gunakan dalam mencari sumber-sumber, cara mengolah sumber, serta analisis dan cara penulisannya. Metode yang digunakan terutama adalah metode historis. Penelitian historis (historis research) adalah suatu usaha untuk menggali fakta dan menyusun kesimpulan dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Didukung oleh langkah-langkah penelitian yang mengacu pada proses metodologi penelitian dalam penelitian sejarah, selain itu juga menggunakan teknik literatur.

BAB IV PEMBAHASAN

(19)

Hindia Belanda. Pembahasan pada bab ini mencakup kedudukan etnis Cina dalam struktur masyarakat Batavia antara tahun 1910-1942, kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap tata kehidupan masyarakat etnis Cina di Batavia antara tahun 1910-1942, perkembangan lembaga opsir Cina antara tahun 1910-1942, serta peranan lembaga opsir Cina dalam pemerintahan Hindia Belanda.

BAB V KESIMPULAN

(20)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini merupakan penjelasan mengenai metode dan teknik penulisan yang dipergunakan oleh penulis untuk mengkaji permasalahan dengan skripsi yang berjudul “Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara Tahun 1910-1942”.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode historis atau metode sejarah dan menggunakan teknik studi literatur sebagai teknik penelitiannya. Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan mengkaji buku dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, sehingga dapat membantu penulis dalam menemukan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam metode yang digunakan. Metode historis ini terdiri dari langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan penulisan mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Menurut Ismaun (2005:34), langkah-langkah dalam metode historis terdiri atas: 1. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber

yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Langkah pertama yang penulis lakukan adalah mencari, mengumpulkan dan menghimpun sumber-sumber yang diperlukan untuk bahan penelitian.

2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah,baik bentuk maupun aslinya (eksternal dan internal). Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh tersebut relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis. Dalam tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yaitu untuk menilai otentitas sumber

(21)

bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan masih utuh seluruhnya atas sudah berubah.

b. Kritik intern atau kritik dalam, yaitu untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian

di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber diadakan penilaian instrinsik terhadap sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dikumpulkan fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber.

3. Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti.

4. Historiografi, merupakan tahap terakhir dalam penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.

Adapun teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah:

5. Studi Literatur, merupakan langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis

dalam upaya mengumpulkan data dan informasi mengenai penulisan skripsi ini. Di dalam studi kepustakaan akan diperoleh data yang bersifat primer dan sekunder. Penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengumpulkan sumber dari arsip tertulis, buku-buku, dan surat kabar.

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan interdisipliner, yaitu penelitian yang menggunakan ilmu bantu lainnya dalam satu

rumpun ilmu. Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan dalam satu rumpun ilmu sosial yaitu ilmu ekonomi dan ilmu politik agar lebih memudahkan

(22)

3.1 Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian adalah tahap yang dilakukan penulis sebelum melakukan penelitian. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu penentuan tema penelitian, menyusun rancangan penelitian dan melaksanakan ujian proposal skripsi, mengurus perizinan dan proses bimbingan.

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Penelitian

Langkah awal yang dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian adalah menentukan tema atau memilik topik. Sebagaimana Kuntowijoyo (2003: 91) berpendapat bahwa, “pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual”. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa suatu topik dipilih berdasarkan dua aspek yaitu karena adanya kegemaran dan ketertarikan penulis dengan disiplin ilmu tertentu. Sebagai seorang mahasiswa sejarah makan penulis sangat tertarik untuk memilih topik berkaitan dengan displin ilmu sejarah yang berkaitan dengan unsur manusia, ruang dan waktu tertentu. Adapun mengenai tema penelitian, sejak awal penulis sangat tertarik mengkaji sejarah etnis Cina di Indonesia. Pengkajian sejarah etnis Cina di Indonesia bisa dijadikan sumber refleksi terhadap keadaan kontemporer.

Awalnya tema yang ingin penulis ajukan adalah mengenai Peristiwa Kerusuhan Anti Cina di Tasikmalaya pada Tahun 1996. Namun, ternyata tema mengenai hal tersebut sudah ditulis menjadi sebuah buku. Kemudian penulis diberikan saran oleh Bapak Drs. H. Ayi Budi Santoso, Msi untuk mengambil tema mengenai Sejarah DI/TII di Tasikmalaya, akantetapi penulis merasa kurang tertarik mengenai tema tersebut. Selanjutnya penulis mengajukan tema mengenai Ekonomi Perang di daerah Pasundan. Namun niat tersebut diurungkan karena setelah melakukan heuristik ternyata sumber mengenai Ekonomi Perang di Pasundan itu sulit untuk didapatkan.

(23)

Penulisan Skripsi yang dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2012 di Laboraturium Jurusan Pendidikan Sejarah. Pada saat seminar proposal tersebut, penulis mempresentasikan rancangan penelitian penulis didepan dosen-dosen pendidikan sejarah, TPPS, dan calom pembimbing skripsi untuk dikaji dan didiskusikan apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. Dalam seminar tersebut penulis mendapatkan banyak masukan terutama dari calon pembimbing dan di

luar pembimbing. Hasil dari seminar tersebut, menyatakan bahwa judul yang diajukan tersebut di ACC dan berlanjut ke Bab I. Namun, judul diganti menjadi “Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara Tahun 1910-1942”, dan latar belakang lebih difokuskan lagi serta rumusan masalah ditambah dan lebih difokuskan.

Pengesahan penelitian dikeluarkan melalui surat keputusan dari Tim

Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) Jurusan Pendidikan Sejarah No: /TPPS/JPS/2012 dan sekaligus penentuan pembimbing skripsi, yaitu Ibu Dr.

Erlina Wiyanarti M.Pd sebagai Pembimbing I dan Bapak Moch. Eryk Kamsori S.Pd sebagai Pembimbing II. Dalam proposal proposal penelitian yang diajukan tersebut memuat tentang:

a. Judul Penelitian

b. Latar Belakang Masalah c. Rumusan dan Batasan Masalah d. Tujuan Penelitian

e. Manfaat Penelitian f. Tinjauan Pustaka

g. Metode dan Teknik Penelitian h. Sistematika Penulisan

3.1.2 Mengurus Perizinan

(24)

Adapun surat-surat perijinan penelitian tersebut ditujukan kepada instansi-instansi atau lembaga-lembaga sebagai berikut:

1. Arsip Nasional Republik Indonesia

2. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 3. Perpustakaan Pemda DKI Jakarta

4. Perpustakaan Sejarah dan Museum DKI Jakarta

5. Perpustakaan Pemda Jawa Barat

3.1.3 Proses Bimbingan

Proses bimbingan merupakan kegiatan bimbingan dalam penyusunan skripsi yang dilakukan oleh penulis dengan pembimbing I dan II yang telah ditunjuk oleh TPPS (Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi). Proses bimbingan ini mempunyai fungsi yang sangat penting karena di dalamnya terdapat pengarahan dalam proses penyusunan skripsi, selain itu juga, dengan melakukan bimbingan secara teratur akan diperoleh banyak masukan baik berupa saran maupun kritik bagi penulis.

Proses pelaksanaan penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Ibu Dr. Erlina Wiyanarti, M.Pd selaku pembimbing I dan Bapak Moch. Eryk Kamsori, S.Pd selaku pembimbing II. Hasil penelitian yang penulis temukan dilaporkan kepada pembimbing untuk dikonsultasikan agar penulis lebih memahami dan mendapat petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan skripsi ini.

Proses bimbingan yang dijalani oleh penulis mendapatkan beberapa masukan dari pembimbing I dan pembimbing II diantaranya mengenai judul skripsi, perubahan latar belakang masalah, pengarahan fokus masalah yang lebih spesifik serta masukan untuk membaca beberapa sumber literature yang beliau

(25)

Proses bimbingan juga dilakukan dalam rangka menentukan teknik dan waktu pelaksanaan bimbingan agar bimbingan dapat berjalan efektif dan efisien. Kedua pembimbing ini akan memberikan pengarahan dalam mengkaji permasalahan dan menuliskannya dalam sebuah skripsi. Proses bimbingan biasanya dimulai dari bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V serta abstrak.

Jadwal proses bimbingan bersifat bebas dan setiap pertemuan membahas

satu bab yang diajukan, revisi maupun bimbinngan mengenai sumber. Proses bimbingan satu bab biasanya tidak cukup satu kali bimbingan karena selalu ada kekurangan yang harus diperbaiki oleh penulis. Proses bimbingan terus dilaksanakan sampai semua bab selesai dan penulisannya benar.

Penulis beranggapan bahwa kegiatan bimbingan ini sangat diperlukan untuk dapat menemukan langkah yang paling tepat dalam proses penyusunan skripsi. Kegiatan bimbingan yang dilakukan dengan cara diskusi dan bertanya mengenai permasalahan yang sedang dikaji serta untuk mendapatkan petunjuk atau arahan mengenai penulisan skripsi maupun dalam melaksanakan proses penelitian. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan dengan masing-masing pembimbing dan tercatat dalam lembar bimbingan.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh penulis yaitu heuristik, kritik, dan interpretasi. Kegiatan-kegiatan ini memiliki peranan penting yang menentukan terhadap hasil penyajian penulisan dalam bentuk sebuah tulisan, adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap-tahap tersebut akan diuraikan di bawah ini:

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heurisrik merupakan tahap awal dalam penelitian sejarah, yakni proses

(26)

menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu. Sumber-sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan secara lisan.

Tahap ini, penulis berusaha mencari berbagai sumber yang berhubungan

dengan masalah penelitian. Sumber sejarah yang dapat penulis temukan yaitu dalam bentuk literatur. Teknik studi literatur dipakai untuk mengumpulkan sumber-sumber atau tulisan yang dianggap relevan dengan masalah penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji hasil karya ilmiah penulis lain dan penulis dapat mengumpulkan buku-buku sebagai sumber literatur tersebut diantaranya dari:

a. Arsip Nasional Republik Indonesia yang berada di jalan Ampera Raya No 53 Cilandak Jakarta Utara. Di Arsip Nasional ini, penulis mendapatkan sumber-sumber berupa buku antara lain: The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 (1956) karya Mona Lohanda, Persekutuan Aneh: Pemukiman

Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia (1988) karya Leonard

Blusse.

b. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di perpustakaan ini, penulis mendapatkan sumber-sumber berupa buku antara lain: Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Sejarah Pergerakan Nasional: Dari

Kolonialisme sampai Nasionalisme) (1999) karya Sartono Kartodirdjo,

Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007) karya Mona Lohanda,

Manusia dan Kebudayaan Indonesia (1981) karya Koentjaraningrat,

Orang Cina Khek dari Singkawang (2005) karya Hari Poerwanto,

Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Van Niel.

c. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Di perpustakaan ini, penulis mendapatkan sumber-sumber berupa buku diantaranya: Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 (1985) karya R.Z Leirissa, Riwayat

Semarang 1416-1931 (1993) karya Liem Than Joe, Pedagang Perantara

(27)

Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di

Indonesia (2008) karya Onghokham, Sedjarahnya Souw Beng Kong, Phoa

Beng Gan, Oey Tamba Sia (1956) karya Phoa Kian Sioe, Sejarah

Pemerintahan di Indonesia: Babak Hindia Belanda dan Jepang (1982)

karya Bayu Surianingrat, Negara dan Etnis Tionghoa (2002) karya Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (1986) karya Leo

Suryadinata, Political Thinking of Indonesia Chinese 1900-1977 (1979) karya Leo Suryadinata, Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta (1990) karya Wardoyo, Warga Baru: Kasus Cina Indonesia (1985) karya Siswono Yudo Husodo.

d. Perpustakaan Sejarah dan Museum Jakarta. Di perpustakaan ini penulis menemukan sumber-sumber berupa buku diantaranya: Sekitar Dua Ratus Tahun Sejarah Jakarta 1750-1945 (2001) karya Hadisutjipto, Jakarta

Tempo Doeloe (1993) karya Abdul Hakim, Tempat-Tempat Bersejarah di

Jakarta (1997) karya Adolft SJ Heuken, Lintas Sejarah Jakarta (1993)

Pemda DKI Jakarta, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988) karya MD Sagimun, Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta (1993) karya Abdurahman Surjomiharjo, Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta (1995) karya Andrian Attahiyat (edt), Nie Hoe Kong

Kapiten Tionghoa di Betawie dalem Tahon 1740 (1923) karya B. Hoetink,

Sejarah Sosial DKI Jakarta (1984) karya Mona Lohanda, Sejarah Jakarta

dari Pra Sejarah sampai Batavia Tahun 1950 (1993) karya Uka

Tjandrasasmita, Jakarta Tempo Doeloe (Terj) (1998) karya Pramoedya Ananta Toer.

e. Perpustakaan PEMDA DKI Jakarta. Di perpustakaan ini penulis menemukan sumber-sumber buku diantaranya: Orang Jawa dan

Masyarakat Cina (1755-1825) (1986) karya Peter Carey, Profil Etnis

Jakarta (2007) karya Lance Castles, Jakarta-Batavia Esai Sosio-Kultural

(2007) karya Peter J.M dan Kees Grijns, Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (1997) karya Adolf SJ Heuken, Kultur Cina dan Jawa:

(28)

Sebuah Kenangan (2004) karya Firman Lubis, Jakarta Ibu Kota RI (1982)

karya S.W Siswoyo, Dari Jakarta ke Jayakarta (1975) karya Soekanto. f. Perpustakaan PEMDA Jawa Barat. Di perpustakaan ini penulis

menemukan sumber-sumber buku diantaranya: Jakarta tempo Doeloe (1993) karya Abdul Hakim, Rakyat dan Negara (1991) karya Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005) karya Onghokham,

Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia (1977) karya Hidajat

Z.M.

g. Perpustakaan Konferensi Asia Afrika. Di perpustakaan ini penulis menemukan sumber-sumber buku diantanya: Tionghoa Indonesia dalam Krisis (terj) (1994) karya Charles A Coppel, Golongan Etnis Tionghoa

Indonesia, Suatu Studi Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (1979)

karya G. Tan Mely, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002 (2010) karya Leo Suryadinata, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara (1991) karya Jennifer Cushman, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia (1985) karya Siswono Yudo Husodo, Masalah Cina: Hasil Penelitian Ilmiah di Beberapa Negara Asia dan Australia (1976) karya B.P Paulus,

Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950

(2008) karya Harry A Poeze.

3.2.2 Kritik Sumber

Tahap kedua setelah melakukan proses pencarian sumber (heuristik), maka langkah selanjutnya dalah melakukan kritik. Kritik menurut Sjamsuddin (2007: 130) adalah kegiatan-kegiatan analisis yang harus ditampilkan oleh para sejarawan terhadap dokumen-dokumen setelah terkumpul yang berupa arsip. Penulis menggunakan kritik sumber terhadap sumber-sumber sekunder yang

(29)

membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Kritik tersebut secara garis besar dibagi dua, yaitu kritik ekstern (eksternal) dan intern (internal). Tahap pertama dalam kritik sumber yaitu kritik eksternal yang kemudian dilanjutkan dengan kritik internal.

3.2.2.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal merupakan cara melakukan klasifikasi atau pengujian dilihat dari aspek luarnya. Kritik eksternal ialah suatu penelitian untuk menetapkan di mana, kapan dan oleh siapa dokumen itu ditulis serta mengklasifikasikan dokumen ini menurut sistem dari kategori-kategori yang diatur sebelumnya (Sjamsuddin, 2007: 130).

Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut sebelum mengkaji isi sumber. Penulis melakukan kritik eksternal dengan cara melakukan penelusuran dan pengumpulan informasi mengenai penulis sebagai salah satu cara untuk melihat karya-karya atau tulisan lain yang dihasilkannya, penulis tidak menyeleksinya secara ketat hanya mengklasifikasikannya dari aspek latar belakang penulis buku untuk melihat keotentisitasannya sehubungan dengan tema penulisan skripsi, lalu tahun terbit, dan warna kertas yang digunakan.

Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis, baik berupa buku. Buku ekternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk melakukan penelitian asal-usul sumber. Salah satu tahap kritik eksternal yang dilakukan penulis adalah kritik terhadap buku yang berjudul “The Kapitan Cina of Batvia 1837-1942” yang ditulis oleh Mona Lohanda. Buku ini diterbitkan pada tahun 1956 dengan menggunakan bahasa pengantar berbahasa Inggris. Jenis kertas dan kualitas kertasnya masih bagus dan dapat dibaca walaupun harus terjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia.

(30)

di Batavia. Penulis beranggapan bahwa Mona Lohanda adalah salah satu penulis yang mengetahui tentang pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Selain itu Mona Lohanda hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sehingga data-data serta analisis data-data-data-data yang terdapat dalam buku akurat.

Tahap kritik eksternal selanjutnya yang dilakukan penulis yakni terhadap buku karangan Onghokham yang berjudul “ Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia” yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada tahun 2008. Onghokham merupakan sejarawan serta cendikiawan Indonesia. Onghokham merupakan lulusan dari Universitas Yale, Amerika Serikat dengan gelar doktor. Onghokham menulis banyak artikel mengenai masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia. Lima belas dari puluhan artikelnya yang pernah diterbitkan Star Weekly kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa”. Buah pemikiran Onghokham diabadikan dalam wujud pusat pelajaran sejarah “Ong Hok Ham Institute” Jakarta Timur. Dengan berbagai hasil tulisan serta sejarah pendidikannya, penulis mengannggap bahwa buku karangan Onghokham sangat layak digunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini.

3.2.2.2 Kritik Internal

Kritik internal merupakan penilaian terhadap aspek “dalam”, yaitu dalam sumber sejarah setelah sebelumnya disaring melalui kritik eksternal (Sjamsuddin, 2007: 143). Kritik internal dilakukan dengan tujuan untuk mencari nilai pembuktian yang sebenarnya dari isi sumber sejarah.

Kritik internal dilakukan untuk mengkaji kredibilitas dan reabilitas sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan kritik internal dengan cara mengkomparasikan dan melakukan cross check diantara sumber yang diperoleh.

Langkah-langkah dalam kritik internal adalah dengan membaca seluruh sumber tertulis yang diperoleh, kemudian melakukan penilaian terhadap esensi sumber tertulis tersebut, setelah itu dibandingkan dengan sesama sumber lainnya.

(31)

sumber-sumber lain yang telah dibaca terlebih dahulu oleh penulis. Hasil perbandingan sumber tersebut, maka akan diperoleh kepastian bahwa sumber-sumber tersebut bisa digunakan karena sesuai dengan topik kajian. Salah satu tahap yang dilakukan penulis dalam kritik internal yang dilakukan oleh penulis adalah membandingkan isi buku yang berjudul “Negara dan Etnis Tionghoa” karangan Leo Suryadinata yang diterbitkan tahun 2002 oleh penerbit Djambatan

sebagai sumber sekunder, dengan buku “Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina,

Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (terj)” karangan Leonard Blusse

yang diterbitkan tahun 1988 oleh penerbit Pustaka Zet Perkasa.

Leo Suryadinata menguraikan bahwa perbedaan etnis Cina dengan pribumi (masyarakat Hindia Belanda) salah satu sebabnya adalah terpisahnya kelompok etnis Cina dengan kelompok pribumi, namun tidak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap keduanya. Penulis juga membandingkan dengan buku Leonard Blusse bahwa perbedaan masyarakat etnis Cina dengan pribumi yaitu adanya perlakuan khusus yang diberikan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat etnis Cina. Perlakuan dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dikeluarkan diantaranya Sistem Opsir (Kapitan Cina), sistem pemukiman dan pas jalan. Berikut ini adalah beberapa alasan pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan tersebut:

1. Kebijakan tersebut memudahkan secara administratif, etnis Cina di daerah Jawa sering memilih hidup dengan kelompoknya sendiri. Oleh karena itu memusahkan bagi Belanda untuk menunjuk kepala kelompok ras.

2. Kebijakan ini menguntungkan secara ekonomis, karena akan menjamin stabilitas sosial yang ada. Di bawah sistem ini, nonpribumi (etnis Cina) bermukim di perkotaan, sedangkan pribumi di pedesaan. Dilarangnya nonpribumi (etnis Cina) tinggal di desa diharapkan agar mereka tidak

mempengaruhi penduduk desa yang akan mengakibatkan kegoncangan sosial.

(32)

yakni Cina dan Jawa bergabung untuk menghancurkan mereka. (Suryadinata, 2002: 73; Blusse, 1988: 111).

3.2.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi)

Tahap interpretasi atau penafsiran merupakan tahap pemberian makna terhadap fakta-fakta yang telah dikumpulkan penulis dan kemudian disusun sesuai

permasalahan yang dikaji. Setelah fakta-fakta tersebut berhasil dirumuskan dan disimpulkan, kemudian dilakukan penafsiran data yang nantinya akan menuju pada tahap akhir dari penelitian yaitu penulisan sejarah. Fakta yang telah ditafsirkan dan dimaknai oleh penulis kemudian disusun ke dalam beberapa pokok pikiran yang akan dijadikan sebagai kerangka pemikiran penulisan sejarah.

Tahap penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis temukan, penulis menggunakan filsafat sejarah deterministik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Romein dan Lucey dalam Sjamsuddin (2007: 163) bahwa “ Filsafat determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia semacam robot; manusia ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia fisik seperti faktor geografis (luas daerah, letak daerah, iklim), faktor etnologi (faktor keturunan, faktor biologis yang rasial), faktor dalam lingkungan budaya manusia seperti system ekonomi dan sosial”.

Faktor deterministik digunakan oleh penulis karena semua permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini dilatar belakangi oleh faktor dari luar individu manusia, yaitu faktor ekonomi dan politik yang menyebabkan manusia (pemerintah Hindia Belanda) mengambil kebijakan dan keputusan kepada masyarakat Etnis Cina di Batavia.

(33)

spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologi dan penafsiran sintesis.

3.3 Laporan Hasil Penelitian (Historiografi)

Historiografi merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam prosedur penelitian ini. Tahap ini merupakan langkah penyusunan hal-hal yang telah

penulis dapatkan dalam bentuk penulisan skripsi. Historiografi berarti pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu yang disebut sejarah (Ismaun, 2005: 28). Proses penulisan skripsi yang dilakukan penulis dengan merekontruksi berbagai fakta yang telah ditemukan dan yang telah dipahami serta dimengerti secara mendalam sehingga penulis dapat menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian yang telah dilakukan.

Berbagai penafsiran yang telah didapatkan, dikaitkan menjadi beberapa fakta, disusun ke dalam sebuah skripsi. Isi skripsi ini tertuang berbagai hal yang telah dilakukan dan dihadapi oleh penulis dalam melakukan penelitian, selain itu dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Fakta yang didapat oleh penulis tidak hanya ketika melakukan penelitian saja, namun penulis juga mendapatkannya ketika penulisan laporan ini sedang disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting sehingga penulisan laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh penulis ketika merasa masih ada yang kurang dalam penelitian ini.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang berlaku di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia. Penulisan ini ditujukan sebagai salah satu tugas akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa di jurusan Pendidikan

(34)

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, yang menjelaskan kerangka pemikiran mengenai pentingnya penelitian terhadap Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Untuk memfokuskan penelitian, maka bab ini dilengkapi pula dengan rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Bab ini juga memuat mengenai definisi istilah dan metode penelitian yang digunakan serta

dilengkapi dengan uraian sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini dipaparkan mengenai sumber-sumber buku dan sumber-sumber lainnya yang digunakan oleh penulis sebagai sumber-sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini akan menjelaskan mengenai serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji oleh penulis. Diantaranya heuristik, yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Kritik yaitu melakukan penilaian secara intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya, untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Interpetasi yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti. Historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.

Bab IV Perkembangan Kedudukan Opsir Cina di Batavia awal abad 20. Bab akan membahas mengenai penjelasan hasil penelitian yang berhubungan dengan Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia,

(35)

struktur organisasi lembaga opsir Cina, penarikan pajak yang dilakukan oleh para opsir Cina dan tugas dari opsir Cina sebagai pengurus administrasi masyarakat etnis Cina. Pembahasan terakhir mengenai perkembangan terakhir opsir Cina di akhir pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

Bab V Kesimpulan. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan serta sebagai inti dari permasalahan pada

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul

“Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara

Tahun 1910-1942”. Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan penelitian yang terdapat pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan tersebut didasarkan pada temuan fakta-fakta dan analisis yang telah dikaji dan dipaparkan oleh peneliti. Berikut terdapat beberapa hal pokok yang telah peneliti simpulkan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas.

Pertama, etnis Cina merupakan penduduk pertama yang mendiami

Batavia yang baru dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Etnis Cina pertama yang ada di Batavia didatangkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dari daerah Banten yang memang merupakan daerah koloni Belanda. Mereka didatangkan berserta pemimpin mereka yakni Souw Beng Kong. Etnis Cina memiliki sifat-sifat yang baik dalam kehidupan mereka seperti sifat ulet, rajin dan giat dalam melakukan pekerjaan mereka sehingga menjadikan mereka sebagai pengusaha-pengusaha ataupun pedagang yang sukses. Dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh mereka membuat pemerintah Hindia Belanda merasa tertarik untuk menjadikan mereka sebagai mitra dalam bidang perekonomian terutama bidang perdagangan. Dengan demikian mereka oleh pemerintah dijadikan pedagang perantara yang menghubungkan antara pemerintah Hindia Belanda dengan para petani pribumi.

Etnis Cina yang ada di Hindia Belanda khususnya yang berada di daerah Batavia mendapatkan berbagai keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain menjadikan mereka sebagai pedagang perantara, mereka

(37)

kelompoknya. Kekayaan yang banyak, perlakuan istimewa yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan juga didukung oleh kesuksesan yang diperoleh oleh mereka membuat mereka merasa superior dan memandang rendah penduduk pribumi.

Sikap angkuh dan superior yang memandang rendah penduduk pribumi membuat proses asimilasi diantara keduanya susah untuk dilakukan dan

berlangsung alot. Mereka cenderung untuk bergaul dan berkomunikasi dengan kelompoknya sendiri dan lebih memilih untuk tinggal di daerah yang sudah disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda khusus untuk etnis Cina yakni daerah Pecinan. Dengan begitu mereka hanya melakukan komunikasi dengan kelompoknya sendiri tanpa berusaha untuk melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi. Sikap superior yang dimiliki oleh mereka serta keengganan mereka untuk melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi, menimbulkan sikap anti Cina dalam diri penduduk pribumi. Sikap anti Cina yang ada pada diri penduduk pribumi diperkuat dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang bersifat diskriminasi.

Kedua, Pemerintah Hindia Belanda dalam menjalakan pemerintahannya di

Batavia, mengeluarkan berbagai kebijakan terhadap penduduknya terutama etnis Cina. Pemerintah Hindia Belanda sangat membatasi gerak etnis Cina dalam duna perdagangan, hal ini karena pemerintah Hindia Belanda melihat kesuksesan yang diperoleh oleh etnis Cina akan mengancam sistem monopoli yang dijalan oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu pemerinta Hindia Belanda merasa perlu untuk mengeluarkan serta menerapkan berbagai kebijakan terhadap mereka. Kebijakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah dengan menerapkan kebijakan Wijkenstelsel yang mewajibkan setiap etnis Cina yang ada di Batavia untuk tinggal di tempat tertentu yang telah disediakan

(38)

dapat mempermudah pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi kehidupan serta gerak-gerik etnis Cina.

Kebijakan selanjutnya yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bidang kependudukan adalah dengan menggolongkan penduduk Hindia Belanda ke dalam tiga golongan penduduk. Golongan pertama adalah golongan Eropa atau Belanda (Europeanen) yang merupakan golongan penduduk paling

tinggi kedudukannya, golongan kedua adalah golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang terdiri dari orang Arab, India Cina dan orang Timur Asing

lainnya yang menempati kedudukan kedua dalam struktur masyarakat Hindia Belanda dan golongan ketiga adalah golongan pribumi (Inlanders) yang menempati struktur masyarakat ketiga atau paling rendah. Dalam pelaksanaan kebijakan ini setiap tingkatan golongan dibedakan dalam masalah hukum dan kependudukannya dan kebijakan ini semakin menggambarkan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindi Belanda dalam menjalankan pemerintahannya terutama untuk penduduk pribumi.

Kebijakan dalam kependudukan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah dengan mengeluarkan konsep Nederlandscap (Kebangsaan Belanda). Konsep ini mengakui bahwa setiap orang yang lahir di Hindia Belanda baik itu orang Eropa, keturunan Belanda, pribumi serta penduduk Timur Asing adalah berkebangsaan Belanda. Kebijakan ini tidak memberikan manfaat apapun terhadap penduduknya kecuali memberikan perlindungan hukum dan keamanan dari pemerintah Belanda apabila keluar dari wilayah Hindia Belanda. Kebijakan ini menyetarakan status hukum antara penduduk pribumi dan etnis Cina, dan hal ini dipandang sebagai tindakan yang semena-mena oleh etnis Cina karena mereka menganggap derajat mereka lebih tinggi dibanding penduduk pribumi.

Kebijakan lainnya adalah dengan menerapkan kebijakan Kawula Belanda

(39)

untuk memperkuat pertahanan pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan wajib militer ini bagi etnis Cina merupakan kebijakan yang bersifat memaksa dan bersifat sewenang-wenang. Penduduk etnis Cina sendiri menentang dengan kebijakan ini karena mereka menganggap diri mereka bukan merupakan dari Kawula Belanda dan lebih mendukung nasionalisme Tiongkok yang dirasa apabila mereka mendukung nasionalisme meraka akan mendapatkan kekuatan dan bantuan dari

pemerintah Kerajaan Tiongkok.

Ketiga, untuk mempermudah pengawasan serta pengatur masalah-masalah

etnis Cina pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengangkat seorang pemimpin dari etnis Cina sendiri yang kemudian dikenal dengan nama opsir Cina. Lembaga opsir Cina resmi didirikan dengan pengangkatan serta pelantikan kapiten Cina pertama yakni Souw Beng Kong. Lembaga opsir Cina terdiri dari mayor Cina, kapiten Cina dan letnan Cina. Mayor Cina merupakan kedudukan tertinggi dalam struktur organisasi lembaga opsir Cina yang tugasnya adalah mengawasi wilayah atau distrik yang lebih luas dibanding seorang kapiten ataupun letnan Cina. Seorang mayor Cina dalam menjalan tugasnya ia bertanggung jawab langsung kepada kepala distrik dan pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan seorang kapiten Cina dalam menjalan tugasnya dibantu oleh seorang letnan Cina dan bertanggung jawab langsung tehadap mayor Cina, mereka lebih mengurusi mengenai administrasi penduduk etnis Cina seperti pernikahan, kematian, perceraian dan administrasi lainnya.

Keempat, para opsir Cina dalam menjalankan tugasnya tidak mengatur

ataupun mengawasi kehidupan etnis Cina saja akan tetapi mereka juga bertugas sebagai pegawai penarik pajak kepada penduduk. Walaupun trayek penarikan pajak dilakukan secara lelang oleh pemerintah Hindia Belanda, seorang pejabat opsir Cina mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan trayek

tersebut karena mereka mempunyai kekayaan yang banyak serta memiliki kedekatan dengan pemerintah Hindia Belanda.

(40)

opsir Cina secara perlahan mulai dihapuskan terutama di daerah Jawa dan Madura kecuali daerah Batavia karena penduduk etnis Cina menganggap bahwa mereka tidak lagi mewakili aspirasi dan hanya mementingakan kepentingan mereka dengan memperkaya diri sendiri. Untuk daerah Batavia posisi opsir Cina masih tetap dipertahankan sampai pergantian pemerintahan ke tangan Jepang, hal ini karena memang pemerintah Hindia Belanda masih membutuhkan jasa mereka

untuk mengurusi urusan administrasi etnis Cina.

Pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan pengawasan semua urusan administrasi da kependudukan masyarakat etnis Cina menyerahkan tugas tersebut sepenuhnya kepada wakil mereka dalam pemerintahan yakni seorang Opsir Cina. Opsir Cina ini selain melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang dipimpinnya ia juga harus menjaga nama baik kelompoknya serta menjaga hubungan baik antara masyarakat etnis Cina dengan masyarakat Batavia lainnya. Seorang opsir Cina selain itu juga menjadi wakil masyarakat etnis Cina dalam pemerintahan, ia harus mendengarkan dan menyampaikan semua aspirasi masyarakat yang diwakilinya kepada pemerintah Hindia Belanda.

Rekomendasi

Untuk pemerintah yang terkait, dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat lebih mengerti serta memahami peran etnis Cina dalam pembangunan bangsa ini sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda terutama peran mereka dalam dunia perdagangan. Selain itu lebih bisa menghargai peranan etnis Cina sendiri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan sebaiknya pemerintah tidak lagi mengeluarkan peraturan ataupun perlakuan yang bersikap dikriminatif terhadap kepentingan-kepentingan etnis Cina. Karena dengan adanya sikap dan kebijakan yang bersifat diskriminasi menumbuhkan sifat-sifat antipati dan sikap anti Cina

yang sering terjadi di negara ini sejak pemerintahan Kompeni Belanda. Sebaiknya pemerintah lebih bisa memberikan kesempatan terhadap etnis Cina untuk bisa mengabdikan diri terhadap bangsa ini.

(41)

masa pemerintahan Hindia Belanda dan sebaiknya kita bisa bersikap terbuka dan mau membuka diri terdapat etnis Cina serta kita lebih memahami sikap serta sifat yang diwarisi oleh mereka dan tidak membeda-bedakan seseorang hanya karena perbedaan Ras, Agama daan Suku. Kita adalah satu, satu warga negara yaitu Indonesia yang multikultural.

Untuk penelitian selanjutnya penulis menyadari keterbatasan informasi

serta keterbatasan sumber dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai opsir Cina yang ada di Hindia Belanda terutama yang ada di Batavia dengan menggunakan sumber yang lebih banyak dan lebih diperkaya dengan sumber arsip. Serta dalam penelitian ini belum dibahas lebih mendalam mengenai hubungan yang lebih mendalam antara pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintahan Kekaisaran Cina yang dapat menentukan kehidupan etnis Cina di Batavia.

Adapun untuk pembelajaran Sejarah di sekolah terutama untuk siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA), skripsi ini diharapkan bisa memberikan pemahaman terhadap siswa mengenai bahwa dari awal pemerintahan Hindia Belanda sampai pergantian pemerintahan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang, etnis Cina memiliki kontribusi dalam pembangunan bangsa Indonesia terutama bagi Ibu Kota Negara Indonesia yakni Batavia yang sekarang sudah berubah nama menjadi Jakarta dalam bidang perekonomian terutama perdagangan. Etnis Cina juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari kontribusi mereka terhadap kemerdekaan, serta memberikan pemahaman kepada siswa bahwa lembaga opsir Cina merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda dan juga merupakan perwakilan dari golongannya dalam dunia politik Hindia Belanda. Sesuai dengan SK 2 : menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Blusse, Leonard. (1988). Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (terj). Jakarta: Pustaka Zet Perkasa.

Carey, Peter. (1986). Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825). Jakarta: Pustaka Zet.

Coppel, Charles A. (1994). Tionghoa Indonesia dalam Krisis (terj). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Cushman, Jennifer. (1991). Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hadisutjipto, S.Z. (2001). Sekitar Dua Ratus Tahun Sejarah Jakarta 1750-1945. Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hanna, Willard A. (1998). Hikayat Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hariyono, P. (1994). Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi

Kultural. Jakarta: Sinar Harapan.

Heuken, Adolf SJ. 1997. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Hidajat, Z.M. (1977). Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia : Tarsito Husodo, Siswono Yudo. (1985). Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia. Jakarta:

Yayasan Padamu Negeri.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historian Utama Press. Karjadi, M. (1981). Kepemimpinan. Bogor: Politeria.

Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kartodirjo, Sartono. (1999). Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme samapai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. (1981). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

(43)

Liem Twan Djie. (1977). Pedagang Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Lohanda, Mona. (2007). Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup

Lohanda, Mona. (1956). The Kapiten Cina of Batavia 1837-1942. Jakarta: Djambatan.

Lubis, Firman. (2004). Jakarta Sebuah Kenangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nasution. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Onghokham. (2008). Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

Onghokham. (1991). Rakyat dan Negara Cetakan pertama . Jakarta: LP3ES. Onghokham. (1983). Rakyat dan Negara Cetakan Kedua. Jakarta. LP3ES

Paulus, B.P. (1976). Masalah Cina: Hasil Penelitian Ilmiah di Beberapa Negara Asia dan Australia. Bandung: Karya Nusantara.

Pemda DKI Jakarta. (1993). Lintas Sejarah Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Poeze, Harry A. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Sagimun, M.D. (1988). Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Trans Media.

Sjamsudin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Soekanto. (1975). Dari Jakarta ke Jayakarta. Jakarta: Soeroengan.

Soertoprawiro, Koerniatmanto. (1994). Pemerintah dan Peradilan di Indonesia

(Asal-usul dan Perkembangannya). Bandung: Cipta Aditya Bakti.

(44)

Soejomiharjo, Abdurracman. (1993). Beberapa Segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta.

Surianingrat, Bayu. 1982. Sejarah Pemerintah di Indonesia: Babak Hindia Belanda dan Jepang. Jakarta: Dewaruci Press.

Suryadinata,Leo. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES.

Suryadinata, Leo. (1986). Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tan Hong Beon. (1935). Orang-orang yang Terkemuka di Jawa. Solo: The Biograpical Publishing Centre.

ARSIP:

Binnenlands Bestuur No. 4406 “Memori Serah Terima Pemerintahan atas Wilayah Keresidenan Batavia tanggal 3 Maret 1922. Jakarta: ANRI

Gouverment besluit 22 April 1883 No. 1 “Surat Resident Batavia Kepada Gubernur Jenderal” tanggal 5 Maret 1883. Jakarta: ANRI.

Goverment besluit 5 September 1849 “Staat der Chineesche Officieren” tanggal 14 Agustus 1849. Jakarata: ANRI.

.(1896). Staatblad Van Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1895. Weltevreden: Landsdrukkerij.

Referensi

Dokumen terkait

Bertugas untuk melakukan tes calon TKI yang sesuai standar serta persyaratan yang harus dipenuhi untuk bekerja di luar negeri untuk selanjutnya dilakukan proses

Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Purbalingga mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan fungsi

CIBIUK KALER ASEP GOJALI CIBIUK KIDUL AGUS SUGANDA.

Perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan Agama Islam sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pihak kampus IAIN Kendari

Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Nasabah yang menabung di bank Syariah tidak akan diberikan keuntungan bunga

Dengan demikian infrastruktur sebagai unsur pembentuk struktur ruang merupakan prasyarat untuk mewujudkan Indonesia yang AMAN, ADIL & SEJAHTERA, secara lebih seimbang baik

Data hasil percobaan untuk mengetahui pengaruh waktu pemanasan terhadap nilai serap air, kuat tekan dan karakteristik pelindian (kadar Cr terlindi dalam media lindi) dari

(2) Kepala Seksi Pembudayaan Olah Raga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bidang Keolahragaan dalam penyiapan