• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh Nilah Karnilah

0908130

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy

Oleh Nilah Karnilah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Nilah Karnilah 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

MASYARAKAT ADAT BADUY

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. H. Dadang Juandi, M. Si NIP. 196401171992021001

Pembimbing II

Drs. Turmudi, M. Ed., M. Sc., Ph. D NIP. 196101121987031003

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

(4)

Nilah Karnilah, 2013

ABSTRAK

Nilah Karnilah. 0908130. Study Ethnomathematics: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy.

Penelitian ini menyangkut tentang upaya untuk menunjukkan hubungan yang terjadi secara timbal balik antara matematika dengan budaya. Selama ini matematika dianggap tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya. Anggapan tersebut berperan besar dalam melahirkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika di beberapa negara. Upaya untuk menghilangkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika tersebut didiskusikan oleh para matematikawan dan ahli pendidikan matematika internasional dalam suatu wadah yang disebut

ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di daerah adat Baduy, tepatnya di

Kampung Gajeboh. Fokus situasi sosial yang diteliti adalah aktivitas di huma (ladang), aktivitas di acara adat, dan perhitungan tahun kelahiran. Tujuannya yaitu mengungkap sistem bilangan (bentuk matematika yang tidak familiar) yang terdapat pada aktivitas-aktivitas tersebut. Metode penelitian terbaru dalam kajian

ethnomathematics mengadopsi prinsip mutual interrogation berupa critical dialogue. Metode itu pula yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana

penelitian-penelitian ethnomathematics di negara-negara lain, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam

ethnography, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, hingga pada pembuatan

catatan lapangan (field notes). Hasil temuan pada aktivitas pertanian diungkap melalui matematika sebagai kerangka acuan dan budaya sebagai kerangka acuan. Sedangkan hasil temuan pada perhitungan tahun kelahiran diungkap melalui matematika sebagai kerangka acuan. Penelitian ini merekomendasikan kepada masyarakat Indonesia bahwa sudah seharusnya kita memandang adanya keterhubungan antara matematika dengan budaya.

(5)

ABSTRAK

Nilah Karnilah. 0908130. Study Ethnomathematics: Revealing Numbers Systems of Baduy Society.

This research is attempt to show the interplay of mathematics and culture. For a long time mathematics considered as a something that has no connection with culture. Those opinion gives a big effect on practicing colonialisation in mathematics learning at many country. An effort to erase its practices was discussed by many mathematicians and mathematics educators around the world especially on a forum which called ethnomathematics. This research is undertaken in Baduy, particularly in Gajeboh Village. Social situation that focused here is activities in huma (field), cultural event, and calculation birthing. The purpose is to reveal numbers systems or unfamiliar mathematical thing which lie behind those activities. The recent method in study ethnomathematics is adopted principle of mutual interrogation by critical dialogues. It method also adopted in this research. Like others ethnomathematic research, collecting data technic’s in this research also used principles of ethnography likes observation, interview, docukentation, and field notes. The acivity in huma (field) as result in this research is examine by using mathematics as a frame of refference as well as using culture as a frame of refference too. Whereas calculation of birthing is examine by using mathematics only as frame of refference. This research recommends especially for Indonesian that we should now have a new point of view and see that mathematics is have a connection with culture.

(6)

DAFTAR ISI

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 9

C. Pertanyaan Penelitian ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 10

F. Struktur Organisasi Skripsi ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Masyarakat Adat Baduy ... 13

B. Ethnomathematics ... 29

C. Pengungkapan Konsepsi Baru Matematika Pada Konteks Budaya melalui Ethnomathematics ... 38

D. Study Ethnomathematics Pada Sistem Bilangan ... 43

E. Sistem Bilangan Pada Matematiaka Akademisi ... 45

F. Oral Numbers ... 53

G. Kemampuan Mengoleksi Bilangan ... 54

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

K. Rencana Pengujian Keabsahan Data ... 70

(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

A. Hasil Penelitian ... 75

1. Konteks Pertanian ... 77

2. Konteks Hasil Bumi yang Dijual ... 79

a. Gula Kawung ... 79

b. Durian ... 84

c. Pisang dan Petai ... 85

d. Kayu ... 85

3. Konteks Bilangan Pada Harta Waris ... 88

4. Konteks Kalender/Penanggalan ... 89

B. Pembahasan ... 90

1. Matematika Sebagai Kerangka Acuan ... 94

a. Konteks Penjualan Gula Kawung ... 94

b. Konteks Penanggalan/Kalender ... 102

c. Konteks Penjualan Kayu ... 115

2. Budaya Sebagai Kerangka Acuan ... 118

a. Konteks Pertanian ... 119

b. Konteks Penjualan Durian ... 121

c. Konteks Penjualan Pisang ... 123

d. Konteks Penjualan Petai ... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Matematika merupakan ilmu universal yang menjadi dasar berkembangnya ilmu pengetahuan maupun untuk memajukan daya pikir manusia. Banyak konsep-konsep dari matematika diperlukan oleh ilmu lainnya seperti kimia, fisika, biologi, teknik, dan farmasi. Menurut Ekawati (2011), dalam buku standar kompetensi matematika Depdiknas secara khusus disebutkan pula bahwa fungsi matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan berhitung, mengukur, menurunkan rumus dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang dan statistika, kalkulus, dan trigonometri. Melihat betapa pentingnya metematika untuk dipelajari, tidak mengherankan jika matematika harus dipelajari secara luas dan menyeluruh, bahkan sejak tingkat pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Mungkin saja muncul pertanyaan bagaimana seharusnya matematika dipelajari? Pertanyaan sederhana, namun memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Sebagai gambaran umum bagaimana matematika dipelajari saat ini adalah proses belajar mengajar masih menggunakan model konvensional yang berlangsung satu arah yaitu dari guru kepada siswa. Guru menerangkan dan siswa mendengarkan, mencatat apa yang dicatat oleh guru dan menghapalkannya, sehingga tujuan pembelajaran akan cepat selesai. Dengan kata lain guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan memberikan soal latihan yang lebih bersifat prosedural dan mekanis dari pada menanamkan pemahaman kepada siswa. Proses pembelajaran ini mengakibatkan munculnya wajah seram matematika pada siswa, sehingga siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang membosankan, kurang menarik, dan jauh dari kehidupan sehari-hari.

(9)

Pembinaan Penataran, 2004) mengakuinya dengan terlebih dahulu menyajikan hasil penelitian bahwa persepsi guru terhadap matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran matematika. Untuk menyebut salah satunya, Hersh (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 1) menyatakan bahwa hasil pengamatan di kelas, menurut para peneliti, bagaimana matematika diajarkan di kelas dipengaruhi dengan kuat oleh pemahaman guru tentang sifat matematika.

Pandangan bahwa matematika memiliki wajah yang seram, dan jauh dari kehidupan sehari-hari, secara tidak langsung pandangan tersebut menyiratkan bahwa matematika tidak terkait dengan budaya. Alasan rasional bahwa masyarakat memandang matematika tidak terkait dengan budaya dimulai dari perilaku siswa yang tidak tahu bagaimana menggunakan matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya pada kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat kurang begitu merasakan manfaat dari matematika.

Gejala yang timbul akibat memandang matematika jauh dari kehidupan sehari-hari adalah buah dari paradigma yang berkembang di masyarakat dunia sejak lebih dari 2000 tahun ini. Paradigma itu dinamakan oleh Turmudi (2009: 4) sebagai paradigma absolut dalam memandang matematika. Matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dengan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma absolut membuat matematika seakan-akan adalah ilmu yang terlepas dari budaya.

Pandangan yang menyebutkan bahwa matematika terlepas dari budaya mulai banyak dirasakan sebagai pandangan yang keliru. Kini, mulai banyak penelitian-penelitian yang mengkaji dan meneliti keterhubungan antara matematika dan budaya. Salah satunya dapat dilihat dari hasil pertemuan-pertemuan International

Community of Mathematics Education beberapa tahun ini (Clements, 1996: 824).

(10)

tersebut. Bahkan, Sierpinska dan Lerman (Clements, 1996: 822) meyakini bahwa kualitas interaksi di dalam kelas matematika secara vital dipengaruhi oleh dimensi yang tersembunyi dari kelas matematika, yakni dimensi budaya, dan secara fundamental (interaksi tersebut) akan mempengaruhi terhadap apa yang diajarkan oleh guru serta apa yang akan dipelajari oleh siswa. Dengan kata lain matematika sebenarnya terkait erat dengan budaya.

Pandangan masyarakat bahwa tidak ada keterkaitan antara matematika dengan budaya atau tidak ada hubungan timbal balik antara keduanya, menurut peneliti merupakan hal yang tidak tepat dalam memandang matematika. Dikatakan tidak tepat, salah satunya dikarenakan tidak sesuai dengan deskripsi matematika itu sendiri. Sampai saat ini, memang belum ada definisi formal yang mendeskripsikan dengan tepat apa itu matematika. Namun deskripsi yang diambil dari Hadi (2005) dan tujuan dipelajarinya matematika dari TIM Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM) pada tahun 2001, meyakinkan peneliti bahwa ada keterkaitan bahkan hubungan timbal balik antara keduanya.

Matematika adalah kegiatan manusia. Matematika dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran (Hadi, 2005).

Sedangkan tujuan dipelajarinya matematika yang diungkapkan dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (TIM MKPBM, 2001: 56) adalah bahwa salah satu tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematik dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

(11)

Kompleksitas masalah yang mungkin muncul apabila penyimpangan di atas tidak segera diminimalisir, salah satunya adalah pada pembelajaran matematika itu sendiri. Penyimpangan tersebut akan menimbulkan dampak yang menyulitkan, menghambat, mengganggu, bahkan mengancam pada optimalnya proses pembelajaran matematika. Dampaknya adalah jika matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dan absolut, tidak terpengaruh oleh dan untuk budaya, maka matematika akan dianggap barang yang siap saji dan siswa hanya tinggal menyantapnya saja.

Gambaran kompleksitas masalah yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut, siswa akan takut dan benci dengan matematika karena penuh dengan hapalan rumus-rumus dan tidak tahu bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Ketakutan dan rasa benci siswa terhadap matematika akan membuang semua potensi serta semangat dan minat belajarnya. Padahal, sebagai elemen dari generasi penerus bangsa yang nantinya akan memegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini, para siswa bertanggung jawab penuh terhadap maju atau mundurnya bangsa di masa depan. Tentu saja, bidang keilmuan pun menjadi salah satu barometer akan kemajuan atau kemunduran suatu negara. Apalagi di zaman modern, keberadaan akan ilmu sama pentingnya dengan keberadaan kebutuhan yang bersifat pokok yaitu sandang, pangan, dan papan. Maka dari itu, tidak boleh dibiarkan adanya pandangan yang keliru terhadap matematika, karena nyatanya matematika sudah dan akan memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa.

(12)

matematika, dan etnomatematika (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 9). Sedangkan dalam memahami apa itu karakteristik filosofis matematika, menurut Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) ada tiga aliran besar yang mempengaruhi perkembangan matematika, termasuk perkembangan pendidikan matematika, yaitu aliran formalisme, aliran logikalisme atau logisisme, dan aliran intuisionisme.

Ranah kajian yang peneliti ambil untuk mengatasi masalah bahwa matematika tidak terkait dengan budaya tersebut dikenal dengan nama

ethnomathematics. Peneliti memandang bahwa ethnomathematics merupakan

alternatif yang paling baik yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya saling terkait bahkan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Ethnomathematics dapat dipandang sebagai suatu ranah kajian yang meneliti

cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh William Barton bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use

concepts and practices which are from their culture and which the researcher

describes as mathematical” (Barton, 1996: 196)

Sementara disertasi Alangui (2010: 5) menyatakan bahwa jika melihat pada alasan-alasan sejarah, budaya, sosial, politik, dan pendidikan, maka sudah waktunya perlu ada “transformasi” dalam memandang matematika. Bentuk transformasi dalam memandang matematika itu (Alangui, 2010: 6), apabila dikaji lebih dalam lagi, akan menjadi sebuah jalan lahirnya istilah yang sekarang dikenal dengan nama ethnomathematics.

Alasan-alasan yang dimaksud di atas adalah (Alangui, 2010: 3-5):

(13)

2. Alasan sejarah; matematika hasil pemikiran ilmuwan-ilmuwan Eropa telah dipaksakan masuk ke dalam pengajaran di negara-negara jajahan, dan mengesampingkan terjadinya konflik budaya. Lahirnya ide untuk mengkaji sejarah matematika adalah salah satu bentuk dari penolakan terhadap kolonialisme tersebut

3. Alasan budaya; hasil-hasil dokumentasi dan investigasi terhadap aktivitas budaya justru menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk matematika yang “lain” yang berbeda dengan matematika hasil pemikiran negara -negara Western.

4. Alasan politik dan pendidikan; melibatkan aspek sosial di dalam pembelajaran tidak cukup dengan hanya menyinggungnya secara selintas, tetapi juga perlu untuk memberikan ruang demokrasi di dalam kelas matematika. Sehingga terjadi semacam dialog kritis dan terbuka di antara guru dan siswa dalam rangka memfasilitasi berkembangnya tingkat kreatifitas siswa untuk memecahkan permasalahan-permasalahan matematis.

Dalam konteks pendidikan, (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 22) Ubiratan D‟Ambrosio pernah menyatakan bahwa terdapat dua alasan utama penggunaan

ethnomathematics dalam dunia pendidikan. Alasan pertama adalah

ethnomathematics digunakan untuk mereduksi anggapan bahwa matematika itu

bersifat final, permanen, absolut (pasti), dan unik (tertentu). Alasan yang kedua adalah ethnomathematics digunakan untuk mengilustrasikan perkembangan intelektual dari berbagai macam kebudayaan, profesi, jender, dan lain-lain.

(14)

bahwa memungkinkan untuk mengungkap keterkaitan antara matematika dengan budaya.

Data penelitian tersebut telah diperoleh peneliti pada saat pengamatan pendahuluan terhadap Masyarakat Adat Baduy di Kampung Gajeboh (Karnilah, 2012). Pengamatan pendahuluan dilakukan selama lima hari di bulan Mei 2012. Pada mulanya, pengamatan pendahuluan dimaksudkan untuk melihat kemungkinan dilakukannya penelitian pada aktivitas pembangunan Masyarakat Adat Baduy. Hasilnya bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya pencatatan, pendokumentasian, dan pembukuan nilai-nilai matematis pada aktivitas pembangunan Masyarakat Adat Baduy, seperti penanggalan hari baik dan buruk dalam membangun rumah, penanggalan yang digunakan sebagai pedoman untuk memasukan padi ke dalam leuit (lumbung padi), serta cara dan alat yang digunakan ketika melakukan pengukuran. Hasil pengamatan tersebut, melalui

study ethnomathematics peneliti yakini sebagai modal awal untuk dilakukannya

penelitian lanjutan guna mengungkap keterikatan atau hubungan timbal balik antara matematika dan budaya pada Masyarakat Adat Baduy.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti yang saat ini sedang menekuni bidang studi Pendidikan Matematika tertarik untuk mengungkap sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy,karena pada dasarnya setiap kelompok manusia mau tidak mau akan dan telah menggunakan bilangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk menunjukkan keterkaitan antara matematika dan budaya atau hubungan timbal balik antara keduanya, peneliti menggunakan Study Ethnomathematics. Sistem bilangan yang digunakan pada Masyarakat Adat Baduy dipilih karena selama pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa pada aktivitas pembangunannya, Masyarakat Adat Baduy menggunakan bilangan-bilangan yang khas dan memperlakukannya dengan „istimewa‟, bahkan penggunaan bilangan ini tidak hanya digunakan pada saat aktivitas pembangunan saja, tetapi hampir pada setiap aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat Baduy pun ditemukan fenomena yang sama.

(15)

(ladang), di acara adat, dan perhitungan tahun kelahiran. Aktivas di huma dipilih karena hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa hampir setiap lelaki Baduy (orang dewasa), menghabiskan waktunya di huma. Aktivitas di acara adat dipilih karena Masyarakat Adat Baduy sangat memegang teguh aturan adat, sehingga dimungkinkan adanya konsep-konsep bilangan yang menarik untuk diungkap pada aktivitas adat tersebut.

Selanjutnya, mengenai perhitungan tahun kelahiran, menurut Sakirman (2009: 1) adanya pergantian dan pengulangan waktu telah mengilhami manusia untuk menciptakan suatu bentuk notasi yang ditandai dengan bentuk-bentuk bilangan dalam satuan tertentu dan dalam konteks tertentu yang disebut dengan penanggalan/kalender. Dari pernyataan Sakirman (2009) di atas, menyiratkan bahwa terdapat penggunaan bilangan dalam penanggalan/kalender. Hal tersebut merupakan alasan utama pemilihan aktivitas perhitungan tahun kelahiran Baduy sebagai salah satu aktivitas utama yang diteliti pada penelitian ini. Dengan kata lain, penggunaan bilangan sangat kental digunakan pada penanggalan/kalender.

Sebagai salah satu bukti bahwa Masyarakat Adat Baduy telah mengenal dan menggunakan bilangan, dapat dilihat pada amanat buyut Masyarakat Adat Baduy yang tertulis pada prasasti di pintu masuk wilayah Baduy.

Gambar 1. 1.

(16)

Pada kalimat ke dua hingga kalimat ke empat ada tertulis “nagara sateuleung puluh telu, bangawan sawidak lima, pancer salawe negara”. Dalam bahasa Indonesia, potongan amanat buyut itu diterjemahkan sebagai negara tiga puluh tiga, sungai enam puluh lima, dan pusat dua puluh lima negara. Mengingat bahwa aturan adat masyarakat Baduy melarang warganya untuk mengikuti sekolah formal, maka dapat diduga bahwa amanat buyut ini bukan ditulis sendiri oleh Masyarakat Adat Baduy, melainkan oleh unsur pemerintahan setempat ataupun orang luar lain yang ingin tetap menjaga agar amanat buyut ini lestari.

Peneliti dengan sadar memahami bahwa data yang diperoleh dalam penelitian akan berupa data-data kualitatif sehingga peneliti perlu untuk memahami situasi sosial apa saja yang terjadi. Dengan mengamati situasi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy, hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya terdapat keterkaitan satu sama lainnya. Sistem bilangan yang diungkap, selain digunakan untuk menunjukkan adanya keterikatan tersebut, diharapkan pula menghasilkan konsep matematika yang “baru”, sehingga melahirkan pemahaman yang lebih (transformasi) dalam memandang matematika.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang penelitian, yaitu masyarakat yang memandang bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali antara matematika dengan budaya, serta data penelitian yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk dilakukannya penelitian guna mengungkap hubungan yang terjadi antara matematika dan budaya pada aktivitas Masyarakat Adat Baduy, maka penelitian ini disusun dengan menggunakan bentuk rumusan masalah deskriptif, yaitu “Bagaimana sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy?”

C. Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah deskrptif di atas, dirinci kembali menjadi beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

(17)

2. Bagaimanakah konsep bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pada aktivitas mereka di acara adat?

3. Bagaimanakah konsep bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pada perhitungan tahun kelahiran mereka?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

1. Dari segi teori, belum ada yang mengungkap sistem bilangan sebagai salah satu kajian ethnomathematics pada Masyarakat Adat Baduy. Penelitian ini akan bermanfaat untuk mengisi kekosongan tersebut.

2. Dari segi kebijakan, aturan adat Baduy yang melarang anak-anak mereka untuk mengikuti sekolah formal bisa dijadikan alternatif (terutama pendidikan formal matematika) dengan memanfaatkan temuan pada penelitian ini bahwa sebenarnya mereka sudah melakukan kegiatan matematis melalui kegiatan-kegiatan budaya.

3. Dari segi praktik, penelitian ini bisa menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik mengungkap sistem bilangan pada domain

ethnomathematics sebagai akibat dari hubungan timbal balik antara

matematika dan budaya.

4. Dari segi isu sosial, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk merubah opini selama ini yang memandang bahwa matematika tidak ada pengaruh sama sekali dengan budaya. Dengan berubahnya opini tersebut maka para siswa di dalam pembelajaran matematika tidak akan lagi merasa takut ketika belajar matematika dan manfaat matematika akan semakin dirasakan oleh masyarakat secara luas.

F. Struktur Organisasi Skripsi

(18)

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan diuraikan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat/ signifikansi penelitian, serta stuktur organisasi skripsi.

Bab II Kajian Pustaka, dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang menunjang penelitian berkenaan dengan beberapa sumber literatur yang digunakan, untuk membantu penulis dalam menganalisis dan menguraikan penulisan skripsi. Literatur yang digunakan tersebut yaitu Masyarakat Adat Baduy, ethnomathematics, pengungkapan konsepsi baru matematika pada konteks budaya melalui ethnomathematics, study ethnomathematics pada sistem bilangan, sistem bilangan pada matematika

akademisi, oral numbers dan kemampuan mengoleksi bilangan.

Bab III Metodologi Penelitian, dalam bab ini mendeskripsikan langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan pendekatan kualitatif dan desain penelitian. Selain itu juga akan dipaparkan fokus penelitian, tempat dan waktu penelitian, sampel sumber data penelitian, definisi operasional, serta instrumen penelitian. Selanjutnya dibahas pula beberapa teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan ethnography dan teknik analisis data menggunakan mutual

interrogation, rencana pengujian keabsahan data yang digunakan dalam

penelitian, serta road map penelitian ethnomathematics.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini penulis akan berusaha mendeskripsikan hasil penelitian dan menganalisisnya ke dalam bentuk penulisan secara sistematis mengenai sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy. Dimulai dari hasil penelitian yang memuat pengetahuan umum tentang bilangan yang digunakan Masyarakat Adat Baduy dan penggunaan bilangan pada konteks pertanian, hasil bumi, pembagian harta waris, dan sistem penanggalan Masyarakat Adat Baduy. Bagian akhir akan membahas masing-masing konteks tersebut dengan menggunakan mutual interrogation.

(19)
(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Dipilihnya pendekatan kualitatif karena permasalahan yang diteliti kompleks, holistik, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data yang diperoleh pada situasi sosial tersebut didapatkan dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan instrumen seperti tes, atau kuisioner untuk memperoleh datanya. Selain itu penulis bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. Pemilihan pendekatan ini adalah untuk mengungkap sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy pada aktivitas di huma, pada aktivitas di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran, sebagai akibat dari hubungan timbal balik antara matematika dan budaya.

Nasution (1996: 5) mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah mengamati individu dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Nasution (1996) lebih lanjut menyebutkan bahwa penelitian kualitatif disebut juga sebagai penelitian naturalistik. Disebut sebagai penelitian naturalistik, karena situasi lapangan yang diteliti bersifat natural (wajar) sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi atau diatur dengan eksperimen atau tes. Sedangkan disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif bukan kuantitatif sebab tidak menggunakan alat pengukur.

Pendapat yang serupa dikemukakan pula oleh Ericson (Sugiyono, 2012: 16), bahwa pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri yaitu penelitian dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi lama di lapangan, mencatat secara hati-hati apa yang terjadi, peneliti melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail.

(21)

mengungkapkan pandangan dunianya, menangkap pengalaman-pengalaman mereka dalam perjuangan mereka sehari-hari di dalam masyarakat mereka, serta mengkaji kelompok dari pengalaman-pengalaman yang sama sekali belum diketahui.

Pembahasan pada skripsi ini didasarkan kajian pada aktivitas di huma, pada aktivitas di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran Masyarakat Adat Baduy, menampilkan pandangan dan pendapat dari pelaku budaya atau budayawan terhadap ketiga aktivitas di atas dalam penelitian ini, kemudian menampilkan pula pandangan matematikawan terhadap deskripsi ke tiga aktivitas Masyarakat Adat Baduy tersebut, dan pada bagian akhir melakukan dialog kritis dengan “mempertemukan” pendapat dan pandangan dari pelaku budaya atau budayawan dan matematikawan, sehingga diperoleh konsepsi matematika yang “baru” (transformasi).

B. Desain Penelitian

Desain penelitian ethnomathematis terkini yaitu menggunakan “mutual integration” pada metodologi penelitiannya. Pada bagian awal metodologi mutual integration, dikemukakan bagaimana desain penelitian ethnomathematics, dan

desain tersebut dijadikan pedoman dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan gambaran mengenai desain penelitian ethnomathematics, penulis menggunakan dua literatur, yaitu disertasi Alangui (2010) yang berjudul “Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics” dan tulisan dari Bill Barton (2013) yang berjudul “A Methodology for Ethnomathematics”.

(22)

matematis, namun tidak menjadi bagian dari “dunia” matematika yang telah dikenal oleh peneliti.

Karena ketidakfamiliaran tersebut, peneliti study ethnomathematics sejatinya tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka cari. Sehingga Barton (2013) menyarankan jika kita tidak mengetahui apa yang sedang kita cari, maka masalah yang pertama adalah dimana kita harus melihat/mengamati. Masalah yang kedua adalah bagaimana cara kita melihat/mengamati. Masalah yang ketiga adalah bagaimana caranya untuk menyadari bahwa kita telah menemukan sesuatu yang signifikan. Masalah keempat adalah bagaimana untuk memahami apa yang sudah kita temukan itu. Jawaban singkat dari keempat masalah yang perlu dijawab para peneliti study ethnomathematics tersebut adalah:

“The place to start looking is within an identifiable cultural context. The way to look is to seek „unfamiliarities‟ within the quantitative, relational and spacial aspects of the cultural milieu. In order to recognise that something is significant it is necessary to be clear about mathematical characteristics. The way to understand what has been identified is to place it in its cultural context” (Barton, 2013: 2).

Keempat masalah tersebut digunakan pula oleh Alagui (2010: 63) dalam desain penelitiannya. Desain penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada praktik budaya, dibangun dengan empat pertanyaan umum. Keempat pertanyaan umum tersebut merupakan intisari pemanfaatan dari prinsip

ethnography, yaitu sebagai berikut:

1. Where to start looking?

2. How to look?

3. How to recognize that you have found something significant?

4. How to understand what it is?

Pertanyaan pertama where to start looking? Menurut Alagui (2010) tempat yang baik untuk memulai pengamatan adalah pada praktik-praktik budaya yang selalu berkembang, walaupun tidak semua aktivitas yang signifikan di dalam budaya tersebut bersifat matematis. Itulah alasan mengapa para

ethnomathematician banyak yang meneliti para penenun, pemancing, nelayan,

(23)

separti bangunan suku pribumi, peralatan astronomi tradisional, dan seterusnya menjadi objek yang menarik dalam meneliti ethnomathematics. Hal-hal lain yang sangat memungkinkan bagi para ethnomathematician untuk diteliti adalah legenda dan mitos, dokumen-dokumen budaya yang tertulis, ritual dan tradisi, sampai pada monumen-monumen bersejarah. Walaupun tidak semua dari hal-hal dan tempat-tempat yang disebutkan di atas menjamin kaya akan unsur-unsur matematis, namun jawaban dari pertanyaan dimanakah tempat beradanya pengetahuan matematika pada kehidupan sosial, jawabannya akan menunjuk kepada hal-hal dan tempat-tempat yang disebutkan di atas (Alagui, 2010: 64).

Barton (2013: 14) menambahkan, bahwa tidak semua konteks budaya dapat dijadikan awal pengamatan dalam penelitian ethnomathematics. Menurutnya konteks budaya terbaik untuk dijadikan awal pengamatan adalah konteks-konteks yang kaya akan pengetahuan, berpotensi untuk dikembangkan dari segi teknologi, serta pengembangan dari konteks tersebut sangat pesat (konteks yang sangat penting) bahkan bagi pelaku budaya itu sendiri. Namun, hal yang perlu diingat bahwa tidak semua konteks yang dianggap penting bagi suatu komunitas tertentu dapat dijadikan awal pengamatan ethnomathematics, karena bukan dilihat dari seberapa pentingnya konteks tersebut, melainkan seberapa banyak dugaan akan adanya unsur-unsur matematis dalam konteks budaya yang akan diteliti.

Pertanyaan kedua, how to look? Alagui (2010: 64) menggunakan karakteristik dari ethnomathematics yaitu upaya untuk menyelidiki konsep dan praktik matematika yang tidak familiar. Kata familiar disini, tidak berarti bahwa hal-hal yang sedang diselidiki tidak dikenal sedikitpun oleh peneliti. Hal ini berarti konsep atau praktik tersebut secara konvensional tidak dibicarakan dalam disiplin ilmu matematika.

(24)

matematika. Beberapa pertanyaan yang terkait dengan kebahasaan akan sangat mungkin membawa kita kepada bentuk matematika yang tidak familiar. Pertanyaan yang dapat diajukan diantaranya pada pengucapan bilangan dan orientasi arah, seperti apa bilangan-bilangan disebutkan dalam bahasa mereka? Beda bahasa maka beda pula metaforanya, kemudian jika dalam satu konteks budaya terdapat metafor bahasa yang bersifat matematis, lalu pada konteks budaya apa lagi yang menggunakan metafor tersebut? Apa yang membedakan metafor tersebut dengan pengetahuan matematika yang sudah kita kenal sekarang? (Barton, 2013: 6)

Selain itu Barton (2013) mengingatkan bahwa para peneliti

ethnomathematics perlu untuk berhati-hati ketika membuat kesimpulan.

Menemukan ketidakfamiliaran dalam konteks yang tidak familiar akan memungkinkan orang lain yang tidak menyaksikan langsung konteks yang sedang dibicarakan mengalami penafsiran yang salah. Contohnya pada hasil penelitian Gerdes, yaitu karena ketidak hati-hatiannya dalam membuat kalimat kesimpulan, muncul para pengkritik yang mengatakan tidak mungkin para penenun tradisional telah mengetahui Teorema Phytagoras. Padahal Gerdes hanya menuliskan aktivitas penenun tradisional kemudian menghubungkan temuannya itu dengan pengajaran matematika di sekolah.

Pertanyaan ketiga, how to recognize that you have found something

significant? Alangui (2010:68) menjawab pertanyaan tersebut bahwa, sesuatu

yang kita temukan dalam ethnomathematics adalah sesuatu yang berasal dari kelompok budaya dan hal tersebut adalah matematika. Akan tetapi, sesuatu yang ditemukan itu belum dapat dikatakan cukup sebelum mendapatkan perceptual

shift about mathematics yang merubah pandangan peneliti terhadap ide-ide

matematika.

Desain penelitian ethnomathematics yang Alangui (2010) gunakan dalam disertasinya adalah “QRS Conseptual System”. QRS Conseptual System ini

(25)

QRS tersebut merupakan practices dan concepts yang bersifat matematika. Alasan penggubahan desain penelitian ini karena unsur-unsur kuantitatif, hubungan (relasi), dan kemampuan ruang (spatial) di dalam budaya menurut Alangui (2010) perlu ditemukan dengan menggunakan anggapan bahwa unsur-unsur tersebut bukan hanya dari apa yang dikonsepsikan oleh matematika saja, namun merupakan bentuk penegasan dari apa yang dikonsepsikan oleh budaya.

Alangui (2010: 67) menggunakan istilah lain dari objek yang diteliti tersebut, yaitu “external configuration of mathematics” sebagai sesuatu yang peneliti temukan. External configuration of mathematics merupakan gambaran dari objek yang diteliti terkait dengan aspek-aspek di dunia ini (khususnya aspek-aspek yang dikaitkan dengan sains dan teknologi).

Namun, Barton (2013) merasa tidak cukup dengan hanya melihat hubungan antara matematika dengan kawasan ilmu pengetahuan lain. Sebagai contoh, Barton (2013: 9) menanyakan ketika seseorang mengkaji pola-pola yang terdapat pada sebuah tikar, bagaimanakah ia membedakan manakah yang merupakan anyaman dan manakah yang merupakan matematika? Sehingga, Barton (2013) menyatakan bahwa ketika melakukan pengidentifikasian kriteria-kriteria untuk menjadikan suatu practice atau concept dari konteks budaya sebagai sesuatu yang matematis, secara bersamaan ketika proses tersebut berlangsung, perlu untuk disadari bahwa ada kriteria-kriteria lain yang melekat pada konteks tersebut (tidak hanya kriteria matematika).

Pertanyaan keempat, how to understand what it is? Pertanyaan ini diperjelas Alangui (2010) dengan mengungkapkan bahwa jika objek penelitian dalam study

ethnomathematics telah diidentifikasi, maka pertanyaan akhirnya adalah

bagaimana cara peneliti memahami concepts atau practices tersebut? Bagaimana sebuah concepts atau practices dapat dipahami dalam konteks kultural budayanya sendiri?

(26)

Pertanyaan tersebut dijawab Alangui (2010: 69) dengan teknik metodologi

ethnography, dimana teknik ini sering digunakan oleh para ethnomathematician.

Alangui (2010) berpendapat bahwa ethnomathematics tidak sama dengan antropologi. Mengapa? Karena tugas antropolog adalah memahami budaya, sedangkan ethnomathematics adalah tentang matematika, sehingga tugas dari

ethnomathematics adalah menggunakan budaya sebagai konteks untuk

memperluas konsep-konsep matematika. Dari sudut pandang matematika, kesuksekan ethnomathematis bergantung kepada bagaimana peneliti mampu

memodelkan “realita”. Akan tetapi, fakta tersebut tidak lantas membuat para

peneliti ethnomathematics lepas tangan dari pertanggungjawaban atas proses penelitiannya terhadap antropologi. Bagaimana cara menampilkan budaya adalah salah satu komponen penting dalam proses penelitian ethnomathematics. Namun, menurut pandangan antropologi saat ini, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan pemahaman yang utuh tentang konteks dari suatu budaya, yang dapat dilakukan hanyalah mendekati kebenaran dalam memahaminya (Alangui, 2010: 69). Dari pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan keempat ini adalah para peneliti ethnomathematics baru dapat memahami terhadap apa-apa saja yang ditemukan, jika sudah menggunakan sudut pandang matematika dan budaya.

Berdasarkan empat pertanyaan umum yang memanfaatkan prinsip

ethnography pada desain penelitian yang memfokuskan pada praktik budaya,

maka desain penelitian yang dibuat dalam penelitian ini disusun sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1.

Kerangka penelitian study ethnomathematics pada masyarakat adat baduy Generic

(27)

tahun kelahiran

Masyarakat Adat Baduy.

(28)

matematis setelah dikaitkan pada bahasan sistem bilangan dengan menggunakan

aktivitas di huma, aktivitas di acara adat, dan Adapun langkah-langkah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Analisis Pra-lapangan

Pada tahapan ini, peneliti merumuskan masalah, melakukan studi pendahulaun, menganalisis data hasil studi pendahuluan, menentukan fokus penelitian, memilih metode penelitian dan sumber data. Selanjutnya membuat proposal, mengajukan kepada koordinator skripsi, melakukan seminar, konsultasi kepada pembimbing, dan mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selanjutnya mengajukan surat perizinan penelitian ke DISPORABUDPAR Kabupaten Lebak - Banten, dan terakhir ke Kantor Kepala Desa Kanekes (Jaro Dainah) di Kampung Kaduketug wilayah Baduy Luar.

2. Analisis selama di lapangan

(29)

a. Melakukan penelitian dengan mengumpulkan data dari beberapa narasumber penting berupa hasil wawancara, foto, rekaman;

b. Mereduksi data untuk mempermudah dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan; c. Menampilkan data dalam bentuk tabel dan bagan agar data dapat

terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, dan dapat dengan mudah dipahami;

d. Memverifikasi data dengan cara menyimpulkan dan menjawab rumusan masalah yang diperkuat oleh bukti-bukti penelitian.

3. Analisis data keseluruhan

Pada langkah ini, peneliti menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. Tahapan pada kegiatan ini meliputi:

a. Mengumpulkan data hasil penelitian dan studi dari berbagai sumber, seperti dari buku, majalah, surat kabar, dan internet;

b. Mengelompokkan data penelitian;

c. Menyusun data sesuai fokus kajian permasalahan dan tujuan penelitian;

d. Menganalisis data, membahas dan mendeskripsikan temuan-temuan dari hasil penelitian ke dalam karya ilmiah;

e. Menyimpulkan hasil penelitian. D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian yang diambil dalam skripsi ini yaitu pada aktivitas Masyarakat Adat Baduy di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan Karnilah (2012) bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya penelitian

ethnomathematics pada aktivitas pembagunan Masyarakat Adat Baduy (terutama

(30)

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan khususnya di rumah tempat kediaman keluarga G1 di Kampung Gajeboh, wilayah Baduy Luar, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pemilihan lokasi ini salah satunya untuk memenuhi unsur perpanjangan pengamatan sebagai salah satu uji kredibilitas data kualitatif. Peneliti bermaksud membentuk keakraban dengan sumber data yang sama dengan saat pengamatan pendahuluan sebelumnya, agar terbentuk rasa saling percaya sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan oleh sumber data kepada peneliti. Pada proses pengamatan pendahuluan sebelumnya pun, peneliti menjadikan keluarga G1 sebagai objek pengamatan. Selain itu keluarga G1 sudah memiliki tiga generasi, yaitu ayah, anak, dan cucu, sehingga memungkinkan peneliti untuk melihat perkembangan sistem bilangan yang digunakan dari tiga generasi dalam sebuah keluarga.

Secara lebih spesifik, tempat yang diteliti adalah di huma milik G1. Selain di

huma, dilakukan pula pengamatan di sungai Ciujung Kampung Gajeboh.

Pelaksanaan penelitian dilakukan selama dua kali, yaitu pengamatan pendahuluan selama lima hari pada 29 Mei 2012 sampai 5 Juni 2012 dan penelitian selama sembilan hari pada 28 Desember 2012 sampai 5 Januari 2013. F. Sampel Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, sehingga dalam penelitian ini tidak menggunakan istilah populasi dan sampel, melainkan situasi sosial dan nara sumber dari situasi sosial yang diamati tersebut. Dalam situasi sosial terdapat tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Pada beberapa situasi nara sumber dalam penelitian ini sekaligus menjadi pelaku dalam situasi sosial yang diteliti.

(31)

melakukan wawancara kepada orang-orang yang dipandang mengetahui tentang ketiga aktivitas (di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran) Masyarakat Adat Baduy, sekaligus menggali sistem bilangan yang mereka gunakan selama di ketiga aktivitas tersebut. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.

G. Definisi Operasional

Untuk kemudahan pembaca, berikut adalah daftar istilah dan penjelasan kalimat pada judul.

1. Ethnomathematics : kajian penelitian yang

menginvestigasi pengaruh timbal balik antara matematika dan budaya.

2. Sistem Bilangan : sekumpulan lambang

bilangan dan aturan pokok untuk menuliskan atau menyatakan bilangan.

3. Masyarakat Adat Baduy : masyarakat yang

mengasingkan diri dari dunia luar yang bermukim di areal Tanah Ulayat Hutan Lindung seluas 5.101,85 Ha di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

H. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti melakukan wawancara, observasi, studi artefak (dokumentasi foto), melakukan analisis, memberi arti dan makna terhadap data yang diperoleh, sampai kepada membuat kesimpulan.

(32)

I. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ethnomathematics menggunakan kajian antropologi dengan menggunakan prinsip-prinsip ethnography dalam menggumpulkan data yang terkait dengan budaya, sehingga skripsi ini menekankan pada tiga hal utama dalam teknik pengumpulan data, yaitu setting, sumber, dan cara. Setting dalam penelitian ini dilakukan pada kondisi alamiah. Sedangkan unduk sumber, penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti. Terakhir, yaitu cara, penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, teknik observasi, wawancara mendalam dan artefak (dokumentasi foto).

Studi kepustakaan (studi literatur), dilakukan dengan meneliti dan mempelajari sumber-sumber tertulis, baik berupa buu-buku, arsip-arsip, laporan peneliti pendahulu, majalah, artikel dan jurnal atau juga dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Gambaran yang diperoleh peneliti dengan mempelajari berbagai literatur, digunakan peneliti untuk melakukan penggalian data lebih mendalam dan berfungsi sebagai bahan perbandingan dan atau penguat data yang diperoleh di lapangan.

Teknik observasi dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu observasi deskriptif, observasi terfokus, dan observasi terseleksi. Tahapan pertama, yaitu observasi deskriptif, pada tahap ini peneliti memasuki situasi sosial tertentu sebagai objek penelitian. Peneliti melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar dan dirasakan saat melakukan penjelajahan umum dan menyeluruh di Kampung Gajeboh khususnya pada aktivitas di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran Masyarakat Adat Baduy. Semua data direkam, sehingga hasil dari observasi ini disimpulkan dalam bentuk yang belum tertata.

(33)

Tahapan observasi ketiga yaitu observasi terseleksi. Peneliti memperinci data berdasarkan kategori-kategori yang telah didapatkan pada observasi terseleksi, salah satunya adalah kategori membuat gula merah oleh orang tua Baduy.

Selanjutnya, sumber data primer diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap berbagai narasumber yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam aktivitas di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran Masyarakat Adat Baduy yang dipandang menguasai pengetahuan tentang konteks tersebut. Teknik wawancara yang digunakan bersifat tidak terstruktur dan terstruktur sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Orang yang diwawancara adalah G1, isteri dari G1, anak kedua G1 (G2), anak ketiga G1, menantu G1 (istreri dari anak pertama G1, cucu dari G1 dan kepala Adat G1 (G3).

Tujuan wawancara dalam penelitian ini adalah untuk memastikan dan mengecek informasi yang diperoleh sebelumnya, memberikan data dalam lingkup yang lebih luas dan dapat dipertanggungjawabkan, serta untuk melakukan pengecekan dan verifikasi data yang diperoleh dari sumber-sumber informasi sekunder.

Secara garis besar, tahapan wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah:

1)Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan untuk dilakukannya wawancara;

2)Menetapkan narasumber yang akan diwawancarai; 3)Memulai wawancara;

4)Memverifikasi iktisar hasil wawancara dan sekaligus mengakhiri wawancara;

(34)

Pengumpulan data melalui artefak dilakukan dengan pengambilan video dan foto pada saat penelitian dilakukan. Hasil pengambilan video dan foto dilakukan untuk di analisis setelah penelitian, khususnya untuk membantu peneliti dalam menemukan aspek-aspek tambahan pada QRS.

J. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan untuk melihat konsep matematis yang berada pada data yang diperoleh dari aktivitas di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran, hal yang pertama kali dilakukan adalah menentukan pertanyaan penelitian yang relevan dengan fenomena sosial yang diteliti. Hal kedua yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pendahuluan dimana dalam proses tersebut dilakukan penggalian data melalui studi pustaka untuk menyusun pedoman wawancara yang akan digunakan sebagai salah satu alat penggali data dari beberapa narasumber yang memiliki kemampuan dalam pengetahuan, praktik, sampai makna dari ketiga aktivitas di atas bagi Mayarakat Adat Baduy. Pada proses pengamatan pendahuluan membantu peneliti dalam menentukan narasumber yang kompeten untuk penelitian. Hasil wawancara dituliskan dalam bentuk transkrip wawancara, yang selanjutnya diolah menggunakan penandaan untuk mendapatkan gambaran data yang saling berkesinambungan antar narasumber.

Data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data di atas, selanjutnya digunakan untuk melakukan Critical Dialogues antara dua sistem pengetahuan, yaitu matematika dan budaya, melalui mutual interrogation sebagai teknik analisis data pada penelitian ethnomathematics. Berdasarkan Alangui (2010: 87) proses penyelenggaraan critical dialogues melalui mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics adalah sebagai berikut.

1. Merancang lahirnya dialong kritis antara pelaku budaya atau budayawan (mewakili sistem pengetahuan budaya) dan matematikawan (mewakili sistem pengetahuan matematika);

(35)

terdapat pada satu sistem pengetahuan untuk dinyatakan kepada sistem pengetahuan yang lain;

3. Melibatkan proses refleksi secara terus menerus untuk mempertanyakan konsepsi-konsepsi matematika;

4. Menggali alternatif konsep yang dapat ditemukan.

Skripsi ini berusaha untuk membangun sebuah proses mutual interrogation di antara dua sistem pengetahuan, yaitu pengetahuan bilangan yang digunakan penduduk oleh Baduy pada aktivitas di huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran dan pengetahuan-pengetahuan konvensional matematika.

K. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Untuk pengujian keabsahan data yang dilakukan melaui pendekatan penelitian kualitatif dilakukan empat macam uji, yaitu Uji Kredibilitas Data, Uji

Transferability, Uji Depenability, dan Uji Confirmability.

Uji Kredibilitas Data dilakukan dengan melibatkan empat komponen, yaitu: 1. Perpanjangan pengamatan, tergambar dari dipilihnya kembali keluarga G1

sebagai narasumber penelitian.

2. Peningkatan ketekunan, dilakukan dengan membekali diri dengan membaca berbagai literatur tenteng sistem bilangan dan mengamati kembali data-data yang diperoleh pada saat penelitian pendahuluan. 3. Triangulasi dilakukan dengan tiga jenis triangulasi, yaitu triangulasi

sumber, waktu (mengecek data di pagi, siang, sore dan atau malam hari) dan teknik (observasi, wawancara, dan dokumentasi).

4. Diskusi dengan teman dilakukan dengan melakukan diskusi bersama tiga orang teman yang sama-sama meneliti dengan tema kajian

ethnomathematis. Diskusi ini dijadwalkan satu kali setiap satu pekan,

(36)

yang dilakukan oleh ethnomathematician, sampai kepada pengungkapan unsur matematis yang terkandung dalam konteks budaya masing-masing. Uji transferability dilakukan dengan berusaha membuat laporan penelitian ini dengan rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, agar setiap pembaca menjadi jelas dan dapat memutuskan apakah hasil penelitian ini dapat digunakan atau tidak dalam situasi lain.

Uji depenability dan uji confirmability dilakukan secara bersamaan dengan melaporkan jejak langkah aktivitas kepada pembimbing dalam penelitian ini. Jejak langkah yang dituliskan tersebut diaudit oleh pembimbing pada Februari 2013 sekaligus hasil penelitian ini diuji dengan dikaitkan terhadap setiap proses yang dilakukan.

L. Road Map Penelitian Ethnomathematics

Penulisan road map penelitian ethnomathematis bertujuan untuk melihat posisi penelitian yang dilakukan ini terhadap penelitian-penelitian sebelumnya pada wilayah penelitian ethnomathematics. Dalam menggambarkan road map penelitian ini, digunakan Fishbone Diagrams.

Peneliti menggunakan literatur dari WBI Evaluation Grup yang berjudul

Fishbone Diagrams di tahun 2007 untuk menggambarkan apa itu fishbone

diagrams. Fishbone diagrams adalah sebuah diagram sebab-akibat yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi potensi apa (saat ini) yang menjadi penyebab lahirnya suatu kebutuhan atau masalah. Diagram ini menggambarkan struktur kelompok-kelompok diskusi di sekitar potensi penyebab lahirnya kebutuhan atau masalah. Dengan dibuatnya diagram ini, beberapa keuntungan yang diperoleh adalah:

1. Memungkinkan lahirnya analisis yang peka sehingga terhindar dari pengamatan yang tidak perlu terhadap kemungkinan-kemungkinan akar masalah yang harus diselesaikan;

(37)

masalah atau lahirnya suatu kebutuhan, bahkan sampai pada kategori-kategori penyebab, dan apa yang harus diselesaikan;

3. Dengan “gambar yang besar” pada diagram tersebut, kita masih bisa fokus

terhadap kemungkinan penyebab ataupun kepada faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya masalah atau lahirnya kebutuhan;

4. Setelah dipetakan dengan jelas bagaimana keadaan kebutuhan atau masalah, diagram ini tetap memperlihatkan area of weaknes (area yang masih kurang), yang sekalinya area tersebut ditunjukkan akan memungkinkan (menarik pihak-pihak lain) melakukan revisi-revisi dan membentuk diagram baru sehingga kesulitan-kesulitan lanjutan yang mungkin muncul akan dapat diantisipasi.

Berikut merupakan gambar contoh pembuatan fishbone diagrams yang digambarkan oleh WBI Evaluation Group (2007)

Gambar 3. 1. Fishbone diagrams

Prosedur umum dalam pembuatan fishbone diagrams di atas adalah (WBI Evaluation Group, 2007):

1. Melakukan identifikasi kesenjangan (celah, gap) yang perlu untuk dicapai dengan sempurna melalui hasil project (program) yang sedang dijalani. 2. Perjelaslah, dengan menggunakan kalimat yang singkat tentang apa yang

(38)

kelompok project (program) setuju dengan kalimat yang menggambarkan kebutuhan atau masalah tersebut.

3. Dengan menggunakan selembar kertas yang panjang, gambar garis

horizontal sepanjang kertas. Garis tersebut akan menjadi “tulang

belakang ikan”. Tuliskanlah kalimat singkat yang menjadi kebutuhan atau masalah di sepanjang “tulang belakang ikan” di sebelah kiri tangan. 4. Identifikasi hal-hal yang melenceng sebagai kategori penyebab lahirnya

suatu kebutuhan atau masalah. Teknik yang efektif untuk bisa mengidentifikasi kategori penyebab lahirnya kebutuhan atau masalah adalah dengan teknik brainstorming. Untuk setiap kategori penyebab,

gambarlah sebuah “tulang” berupa garis yang membentuk sudut

terhadap “tulang belakang ikan”. Beri label pada setiap “tulang” tersebut. 5. Bentuk kelompok-kelompok brainstorm untuk mengidentifikasi

faktor-faktor yang menjadi pengaruh lahirnya penyebab dan kebutuhan atau masalah. Untuk setiap kategori penyebab, kelompok-kelompok itu harus bertanya: “Mengapa hal ini dapat terjadi?” Tambahkan pula “alasan mengapa” di dalam diagram.

6. Ulangi prosedur bertanya “Mengapa hal ini dapat terjadi” untuk setiap

jawaban yang telah ditemukan, hingga pertanyaan yang diajukan sudah tidak lagi berarti untuk dijawab.

7. Ketika kelompok telah sepakat dengan isi diagram yang telah cukup memuat informasi, analisislah diagram. Khususnya, temukan/lihat bagian penyebab yang muncul lebih dari satu kali pada bagian diagram.

8. Lingkari apapun yang terlihat menjadi akar penyebab lahirnya kebutuhan atau masalah. Utamakan akar penyebab tersebut dan tentukan sikap apa yang harus diambil. Pengambilan sikap tersebut mungkin akan menyangkut kepada investigasi selanjutnya terhadap akar-akar penyebab yang lain.

(39)

lainnya yang meneliti tema yang sama (ethnomathematics), menyusun fishbone

diagrams penelitian ethnomathematics.

Gambar 3. 2.

Fishbone diagrams penelitian ethnomathematics

Diagram di atas digunakan pula untuk menggambarkan road map penelitian

ethnomathematics. Kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi dengan menggunakan

(40)

Nilah Karnilah, 2013

Study Ethnomathematich: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Untuk menjawab pertanyaan deskriptif pada rumusan masalah, yaitu “Bagaimanakah sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy?” Kesimpulan penelitian ini dibagi berdasarkan pengungkapan konsep bilangan yang digunakan pada aktivitas-aktivitas Masyarakat Adat Baduy di

huma, di acara adat, dan pada perhitungan tahun kelahiran. Konsep-konsep

bilangan diungkap melalui melalui study ethnomathematics dengan prinsip

mutual interrogation, sebelum kemudian disimpulkan bagaimana sistem

bilangan pada Masyarakat Adat Baduy.

1. Pada aktivitas di huma, konteks budaya yang dibahas meliputi 2 (dua) hal, yaitu konteks pertanian, dan konteks hasil bumi yang dijual (gula, durian, pisang, petai, kayu).

a. Pada konteks pertanian, budaya dijadikan sebagai kerangka acuan, sehingga muncul model matematika K = 3,6 x rg yang dirumuskan untuk menyelesaikan salah satu persoalan pada konteks tersebut, yaitu berapa kilogram beras yang dihasilkan dari banyaknya ranggeong padi di Baduy. (K adalah berat beras yang dihasilkan dalam satuan kilogram; rg adalah banyaknya ranggeong padi, rg dalam satuan ikat

ranggeong dan rg merupakan bilangan asli)

(41)

Nilah Karnilah, 2013

Study Ethnomathematich: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

pada konteks penjualan durian adalah ; dimana D adalah banyaknya buah durian yang dibicarakan, adalah banyaknya buah durian dalam satuan kojor dan merupakan bilangan asli, adalah banyaknya buah durian dalam satuan biji dan . Model yang dirumuskan pada konteks penjualan pisang adalah ; dimana P adalah banyaknya sikat pisang yang dibicarakan, adalah banyaknya sikat pisang dalam satuan apus dan merupakan bilangan asli, adalah banyaknya sikat pisang dan . Sedangkan model yang dirumuskan pada konteks penjualan

petai adalah ; dimana I adalah

banyaknya papan petai yang dibicarakan, adalah banyaknya papan petai dalam satuan empong dan merupakan bilangan asli, adalah banyaknya papan petai dalam satuan beungkeut dan , adalah banyaknya papan petai dan .

2. Pada aktivitas di acara adat, konteks budaya yang dibahas adalah pada pembagian harta waris. Pada pembagian harta waris, satu konsep penting yang terungkap terkait dengan sistem bilangan adalah Masyarakat Adat Baduy tidak hanya menggunakan bilangan asli dalam pengucapan bilangan sehari-hari, mereka juga telah mengenal istilah separo untuk menyebutkan bilangan ½.

(42)

Nilah Karnilah, 2013

Study Ethnomathematich: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

pula kecenderungan menggunakan bilangan 7 dalam siklus penanggalan Masyarakat Adat Baduy. Kecenderungan menggunakan bilangan 7 (Septenary) ini isomorfik dengan kecenderungan suku lain (Suku Maya) yang cenderung menggunakan bilangan 20 (vigesimal) dalam sistem penanggalannya.

Hasil pembahasan pada 3 (tiga) aktivitas utama yang diteliti pada penelitian ini bermuara kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya Masyarakat Adat Baduy belum memiliki sistem bilangan secara tertulis, meskipun pada banyak konteks budaya, mereka telah mempraktikkan/menggunakan konsep-konsep bilangan.

B. Saran

Saran pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada output dari penggunaan prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics. Ada 2 (dua) saran utama yang biasa dihasilkan oleh para ethnomathematician setelah menggunakan prinsip tersebut, yaitu apa yang dapat disumbangkan terhadap praktik budaya yang diteliti dan rerkait dengan matematika, hal baru apa yang didapat. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan rekomendasi terkait dua hal tersebut.

Kesatu, bagi Masyarakat Adat Baduy, khususnya bagi para pemuda Baduy sebaiknya mereka menanyakan langsung kepada pihak pembeli di pabrik kertas, berapa sebenarnya upah yang didapatkan jika mereka menjual sebanyak 100 kibik kayu. Proses menanyakan langsung itu hanya untuk mendapatkan informasi yang benar sehingga hasil bumi dari tanah adat mereka benar-benar dapat digunakan untuk hal-hal yang benar juga dengan cara-cara yang benar.

(43)

Nilah Karnilah, 2013

Study Ethnomathematich: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Adat Baduy Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

kehidupannya. Waulupun sistem bilangan yang telah digunakan tersebut masih terikat pada konsep bilangan yang terkait dengan sejumlah benda.

Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini, yaitu

1. Mencari makna sebenarnya dari istilah kojor menurut Masyarakat Adat Baduy dan mencari sebab atau asal-usul ketidakkonsistenan penamaan banyaknya gula kawung ketika 300 potong gula kawung oleh Masyarakat Adat Baduy.

2. Mengungkap sistem bilangan pada kalender Solar System, kalender Lunar

System, dan kalender Luni-Solar System. Setelah diungkap sistem

bilangan pada ketiga jenis kalender di atas, barulah dapat dibandingkan dengan sistem penanggalan Baduy.

3. Pengembangan model matematika untuk memecahkan persoalan berapa harga jual 100 kibik kayu, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan apakah orang yang menjual kayu Jenjeng tersebut akan mendapatkan keuntungan atau kerugian.

(44)

Nilah Karnilah, 2013

DAFTAR PUSTAKA

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural

Practice and Mathematics. Doctoral Dissertation, University of Auckland,

Auckland, New Zealand: Unpublished.

Arkanudin, M. (2009). Modul Pelatihan Hisab-Rukyat Awal Bulan Hijriah.

[Online]. Tersedia:

http://rukyatulhilal.org/download/makalah/mutoha_makalah_hisab_awal_ bulan.pdf [31 Mei 2013].

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in

Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics

Education University of Auckland: Unpublished.

Barton, B. (b.barton@auckland.ac.nz). (2013, 19 April). A Methodology for Ethnomathematics. E-mail kepada Asep Saeful Ulum (ulumisme@yahoo.co.id).

Clements, K. (1996). ”Historical Perspective”, dalam International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Chemillier, M. (2010). Fieldwork in ethnomathematics. [Online]. Tersedia:

http://ehess.modelisationsavoirs.fr/seminaire/seminaire10-11/02-1dec10/Chemillier-OUP_4_read.pdf [1 Maret 2013].

Ekawati, E. (2011). Peran, Fungsi, Tujuan, dan Karakteristik Matematika

Sekolah. [Online]. Tersedia:

http://p4tkmatematika.org/2011/10/peran-fungsi-tujuan-dan-karakteristik-matematika-sekolah/ [15 Januari 2013] Erwinantu. (2012). Saba Baduy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Eves, H. (1969). An Introduction to the History of Mathematics. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc.

Gerdes, P. (1996). “Ethnomathematics and Mathematics Education”, dalam

International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers.

Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.

Halide, H. dan Hasanah, N. (2012). Folk Astronomy: Upaya Meraih (Kembali)

Posisi Keemasan Astronomi. Prosidings pada Seminar Pendidikan

Astronomi, Bandung.

(45)

Karnilah, N. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Dalam Produk Masyarakat

Baduy. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung.

Kettunen, H. dan Helmke, C. (2005). Introduction to Maya Hieroglyphs. Leiden: Wayeb & Leiden University.

Kurnia, A. dan Sihabudin, A. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Lean, G. (1992). Counting Systems of Papua New Guinea and Oceania : Thesis

Submitted Toward Fulfilment of The Degree of Doctor of Philosophy.

[Online]. Tersedia: http://www.uog.ac.pg/glec/thesis/thesis.htm [10 November 2012].

Maftukha, N. (2010). Analisis Transmisi Tenun Selendang Pada Masyarakat

Baduy. Skripsi Sarjana pada FPBS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Marsigit. (2012). Sejarah dan Filsafat Matematika. [Online]. Tersedia: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/marsigit-dr-ma/sejarah-dan-filsafat-matematikabahan-workshop-guru-smk-rsbi2012.pdf [15 Januari 2013].

Miswanto. (2010). Bilangan dan Angka. [Online]. Tersedia: http://wanto.student.umm.ac.id/2010/10/11/bilangan-dan-angka.html [6 Desember 2012]

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito Paket Pembinaan Penataran. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.

Ramza, H. (2013). Sistem-sistem Bilangan, Operasi dan Kode. [Online]. Tersedia: http://www.harry-

ramza.zoomshare.com/files/Lecture_Note/Teknik_Digital/02Sistem_Bilan gan.pdf [10 April 2013].

Sakirman. (2009). Konsep Kalender Islam Internasional Perspektif Mohammad

Ilyas. Skripsi Sarjana pada Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta: tidak diterbitkan.

Senoaji, G. (2012).”Pengelolaan Lahan Dengan Sistem Agroforestry Oleh Masyarakat Baduy Di Banten Selatan”. Jurnal Bumi Lestari. 12, (2),

283-293.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi

(Mixed Method). Bandung: Alfabeta.

Susandi. (2012). Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes Kabupaten Lebak, Banten

1986-2001 Asal Mula, Makna, dan Perkembangannya. Skripsi Sarjana

(46)

Teguh. (2005). “Pembelajaran Konsep Nilai Tempat Bilangan Cacah Di Kelas Rendah Sekolah Dasar”. Jurnal Edukatif.(2). 71-85.

Tim Adangdarajatun.com. (2009). 16 Juli: Penentuan Awal Kalender Hijriah. [Online]. Tersedia: http://www.adangdaradjatun.com/berita/sekitar-kita/1011-16-juli-penentuan-awal-kalender-hijirah?format=pdf [31 Mei 2013].

Tim Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. (2004). Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan

Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. Lebak:

Disporabudpar.

TIM MKPBM. (2001). Strategi Mengajar Kontemporer. Bandung: JICA.

Turmudi. (2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika

Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

Turmudi. (2010). Mengurangi Rasa Cemas Belajar Matematika Dengan

Menampilkan Matematika Eksploratif Untuk Merangsang Siswa Belajar.

Makalah pada Seminar Nasional Sehari di UNISBA, Bandung.

Vlieger, Michael Thomas De. (2011). Multiplication Tables of Various Bases. [Online]. Tersedia: http://www.dozenal.org/articles/DSA-Mult.pdf [31 Mei 2013]

WBI Evaluation Group. (2007). Fishbone Diagrams. [Online]. Tersedia:

Gambar

Gambar 1. 1.  Amanat buyut masyarakat adat baduy
Tabel 3.1. Kerangka penelitian study ethnomathematics pada masyarakat adat baduy
Gambar 3. 1. Fishbone diagrams
Gambar 3. 2.  Fishbone diagrams penelitian ethnomathematics

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan mengetahui faktor risiko miopia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro angkatan 2011-2014..

kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang dan

Dalam proses jasa periklanan harus mencakup: (1) produk barang atau jasa aman; (2) produk barang/jasa yang akan ditawarkan tidak menipu; (3) barang atau jasa

Di dalam kajian dan temuan sistem toilet ini memanfaatkan energi matahari untuk mengubah kotoran dan tinja manusia diubah menjadi produk yang

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aulia Danibrata dengan hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor-faktor yang paling besar

Pengaruh pemakaian ESD (Nozzle, Boss Cap Fins) pada Propeller terhadap bentuk aliran fluida yang dihasilkan terlihat pada aliran di ujung hub, pada convensional

Menurut Winaputra (dalam Uno, 2011:145-146) mengatakan bahwa pemanfaatan lingkungan didasari oleh pendapat pembelajaran yang lebih bernilai, sebab para siswa