• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filologi Bahasa Bima sistematis, terstruktur, dan terarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filologi Bahasa Bima sistematis, terstruktur, dan terarah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki banyak sekali suku, ras, maupun bahasa dengan dialek yang beragam. Ada suku Minang yang berbahasa Minang dengan dialeknya masing-masing, ada suku Jawa yang berbahasa daerah Jawa dan Sunda dengan masing-masing dialeknya, ada suku bima yang berbahasa mbojo, sambori, donggo, tarlawi, kolo dengan dialeknya, dan lain-lain.

Menurut sejarah perkembangannya, bahasa bima dibagi dalam 2 kelompok yaitu : Kelompok bahasa Bima lama, meliputi: Bahasa Donggo, dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah barat teluk meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, Doridungga. Bahasa Tarlawi dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pergunungan Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, Kalodu. Bahasa Kolo dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di desa Kolo di sebelah timur Asakota. Kelompok bahasa Bima baru, lazim disebut nggahi Mbojo.

Bahasa Bima baru atau nggahi Mbojo dipergunakan oleh masyarakat umum di Bima dan berfungsi sebagai bahasa ibu. Bagi masyarakat Bima lama, bahasa Bima berfungsi sebagai bahasa pengantar guna berkomunikasi dengan orang lain di luar kalangan mereka dan juga digunakan untuk keperluan adat istiadat yang digunakan saat upacara-upacara adat. Sebagai alat komunikasi yang digunakan sehari-hari, masyarakat penutur bahasa bima menggunakan bahasa daerahnya untuk berbagai macam keperluan atau kegiatan.

(2)

Contoh kata <saya>. Pada tingkat halus atau bahasa istana dalam bahasa bima kata saya disebut <mada> sedangkan pada tingkat menengah dan tingkat rendah atau kasar disebut <nahu>. Berbeda dengan kata <dia>. Pada tingkat halus atau bahasa istana dalam bahasa bima kata dia disebut <sia ta> sedangkan pada tingkat menengah dan tingkat rendah atau kasar disebut <sia >. Kata <ta> dalam <sia ta> tidk memiliki arti hanya sebagai pelengkap untuk memperhalus dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih dewasa.

Dari uraian pada latar belakang di atas, kami mengambil judul “Sistem Fonologi Bahasa Bima” sebagai tema pokok dalam melakukan penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, peneliti membuat rumusan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah fonem dan fona dalam bahas Bima? 2. Bagaimanakah distribusi fonem dalam bahasa Bima?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memiliki tujuan atas penelitiannya tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini ada 2 macam, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimanakah fonem dan fona dalam bahas Bima? Serta Bagaimanakah distribusi fonem dalam bahasa Bima?

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

(3)

2. Menemukan dan mendeskripsikan distribusi fonem dan fona dalam bahasa Bima

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian "Sistem Fonologi Bahasa Bima" ini adalah

1. menunjang pemahaman kebahasaan di bidang variasi fonologi bahasa Bima

2. penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi para peneliti yang akan datang yang juga berminat pada penelitian yang sejenis

3. penelitian ini bertujuan untuk memperkaya ilmu pengetahuan khususnya bahasa; dan

(4)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah atas teori terkait dengan tema penelitian (Marietta, 2011:29). Kesuma (2007:36 dalam Muhammad 2011:108) menyebutkan bahwa terdapat tiga fungsi kajian pustaka, yaitu (1) untuk memastikan pernahnya masalah yang lagi diteliti dilakukan oleh peneliti lain; (2) apakah masalah yang diteliti dikaji secara komperhensif, lengkap dan hasinya memuaskan atau tidak; dan (3) mengungkapkan kekhasan atau perbedaan masalah yang akan diteliti.

2.2 Konsep

2.2.1 variasi fonem dan fona

Variasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah 1. tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula; selingan; 2. bentuk (rupa) yang lain; yang berbeda bentuk (rupa); 3. hiasan tambahan; 4. wujud pelbagai manifestasi, baik bersyarat maupun tidak bersyarat dari suatu satuan.

Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” „memoir tentang sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo eropa „ yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya.

(5)

yang semata – mata fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya pada poros sintagmatik.

Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu membedakan kata itu dengan yang lain.

Menurut Dardjowidjojo (2005:38), kriteria yang dipakai untuk membentuk bunyi vokal adalah (1) tinggi-rendahnya lidah, (2) posisi lidah, (3) ketegangan lidah, dan (4) bentuk bibir. Vokal [e] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan posisi lidah dinaikkan setengah atau biasa disebut tengah-depan. Sedangkan, vokal [u] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan posisi lidah bagian belakang (dorsum) dinaikkan hingga hampir menyentuh langit-langit lunak (velum/velar).

Variasi fonologis adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena penutur berasal dari kelompok sosial yang berbeda dan faktor keadaan alam, yaitu letak wilayah tempat tinggal penutur.

Variasi fonologis dalam pemakaian Bahasa Ende juga dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut.

Pendapat lain menyatakan bahwa variasi fonologi adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena letak wilayah tinggal penutur dan kelompok sosial penutur yang berbeda, sehingga menimbulkan pengucapan fonem yang berbeda.

Nadra dan Reniwati (2009:23) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan variasi fonologis adalah variasi bahasa yang terdapat dalam bidang fonologi, yang mencakup variasi bunyi dan variasi fonem.

(6)

kata ganti orang seperti <ine miu> menjadi <ine mu> atau <kau>. Juga kata <sai> menjadi <si> seperti terjadi pada kata <tau sai> menjadi <tau si> yang artinya lakukanlah atau buatlah.

2.2.2 Morfem

Morfem (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya.

Menurut Ramlan (2009:32), morfem adalah satuan gramatik yang paling kecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya. Ada pula yang mendefinisikan morfem sebagai bentuk bahasa yang dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat didipotong-potong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna.

Satuan bahasa merupakan komposit antara bentuk dan makna. Oleh karena itu, untuk menetapkan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan didasarkan pada kriteria bentuk dan makna itu (Chaer, 2008:13).

Contoh morfem seperti kata <keadaan> yang dapat dipotong-potong menjadi <ke-> sebagai prefiks (imbuhan awalan), <ada> sebagai kata asal, <-an> sebagai sufiks (imbuhan akhiran), <ke-an> sebagai konsfiks (imbuhan gabungan), dan <keadaan> sebagai kata jadian (proses pengimbuhan). Pecahan-pecahan tersebut di atas itulah yang disebut sebagai morfem, baik sebagai morfem bebas maupun morfem terikat.

2.2.3 Bahasa dan Bahasa Daerah

(7)

tinggi rendah asal atau keturunan). Sedangkan, bahasa daerah adalah bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah; bahasa suku bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia offline).

Bahasa merupakan sistem tanda bunyi ujaran yang bersifat arbitrer atau sewenang -wenang (Subroto, 2007:12 dalam Muhammad, 2011:40). Kridalaksana (1983) dan juga dalam Koentjono (1982) dalam Muhammad (2011:40) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.

Ada pula yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial.

2.2.4 Bahasa Bima

Secara historis orang Bima atau Dou Mbojo dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok penduduk asli yang disebut Dou Donggo yang menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung dan lembah. Dari penelitian Zollinger (1847) berpendapat bahwa Dou Donggo (Donggo Di) dan penduduk Bima di sebelah timur laut teluk Bima (Dou Donggo Ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah, kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima di sebelah timur Teluk Bima.

Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibukota ada ras bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian dengan oranhg Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda. Penelitian terhadap anggota masyarakat Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan persamaan dengan orang sasak Bayan di Lombok. Orang Donggo dan Sasak Bayan memiliki kesamaan ciri yaitu berambut pendek bergelombang, keriting, dan warna kulit agak gelap.

(8)

dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai.

Dalam catatan para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina) sebagai asal-usul dari penduduk di pesisir pantai. Banyak kata-kata benda dalam bahasa Bima yang memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno, utamanya yang masih dipergunakan oleh sisa penduduk asli yang tersimpan dalam bahasa Donggo, bahasa Tarlawi dan Bahasa Kolo. Hanya kadang-kadang pengucapannya sudah berubah atau pengucapannya tetap tapi artinya berbeda. Perubahan tersebut terjadi karena hubungan yang sulit atau terputus sehingga komunikasi antar penduduk induk sumber bahasa terputus pula. Akibatnya pengucapan atau arti bahasa asli tesebut berkembang dalam corak yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Contoh persamaan bahasa Bima dengan bahasa Jawa Kuno antara lain:

Bahasa Bima Bahasa Jawa Kuno Bahasa Indonesia

Ama Ama Ayah

Imba Imba Meniru

Uma Umah Rumah

Kica Kica Kera

Kuta Kuta Pagar

(9)

Joli Joli Usungan

Ringa Renga Dengar

Teta Teta Ayah

Do‟o Dooh Jauh

2.3 Teori

Dalam sebuah penelitian tentu seorang peneliti membutuhkan data yang akurat serta rill. Data yang akurat dan rill ini akan dijadikan peneliti sebagai acuan dalam menganalisis penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teori yang sesuai dengan penelitiannya untuk dijadikan acuan atau pedoman untuk menganalisis tiap data yang diteliti. Teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.

Teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan penjelasan mengenai sejumlah fenomena (Liang, 1984:57 melalui Kesuma (2007:37 dalam Muhammad, 2011:109).

Dengan melihat definisi yang diutarakan oleh Kridalaksana, Muhammad (2011:109) berpendapat bahwa teori tidak hanya sekedar hipotesis, tetapi lebih pada penjelasan berdasarkan konsep dan argumen tentang suatu fenomena, misalnya bahasa.

(10)

Adapun teori yang digunakan sebagai acauan peneliti dalam menganalisis data, yakni teori fonologi tentang morfofonemik. Chaer (2009:1) memberikan batasan bahwa fonologi adalah sebuah ilmu kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia (artikulator). Lebih lanjut, Abdul Chaer (2003:102 dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan, secara etimologi istilah “fonologi” ini dibentuk dari kata fon yang berarti “bunyi” dan logi yang berarti ilmu. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Objek kajiannya adalah fon atau bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator).

Muhammad (2011:126) menyatakan bahwa fonologi adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji atau menelaah cara-cara mengatur dan menggunakan bunyi bahasa alamiah.

Fonologi menguraikan pola-pola bunyi dan jenis bunyi yang dihasilkan oleh penutur bahasa yang dipelajari. Selain itu, fonologi menelaah urutan-urutan fonem suatu bahasa.

Verhaar (1984:36 dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan bahwa fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa. Bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di sini adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.

Fonologi adalah salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji dan menganalisis bunyi ujaran pada suatu bahasa dengan cara mempelajari bagaimana bunyi ujaran itu dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator), bagaimana bunyi ujaran itu sebagai getaran udara, bagaimana bunyi ujaran itu diterima oleh telinga manusia, dan bagaimana bunyi ujaran itu dalam fungsinya sebagai pembeda makna.

(11)

Morfofonemik (disebut juga morfonologi atau morfofonologi) adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi (Chaer, 2008:43). Umpamanya, perubahan bentuk dalam proses afiksasi yakni pelesapan fonem yang terjadi pada prefiks ber- pada kata dasar „renang‟ yang secara ortografis berubah dan diterima oleh masyarakat penutur Bahasa Indonesia sebagai „berenang‟ dan bukan „berrenang‟. Bunyi [r] yang ada pada prefiks ber- dilesapkan pada saat terjadi perubahan morfologi. Hal yang sama juga terjadi pada kata dasar „sejarah‟ dengan sufiks asing „-wan‟ yang melesapkan fonem /h/ pada kata dasar „sejarah‟ yang secara ortografis berubah dan diterima menjadi „sejarawan‟ dan bukan „sejarahwan‟.

Selain pelesapan, dalam proses morfologi (morfofonemik) juga dikenal dengan beberapa jenis perubahan, yakni adanya pemunculan fonem, peluluhan fonem, perubahan fonem, dan pergeseran fonem.

Menurut Chaer (2008:44), pelesapan fonem adalah hilangnya fonem dalam suatu proses morfologi.

Dalam bahasa daerah Ende, pun terjadi proses morfologi (morfofonemik). Sebagai contoh, kata „tea‟ yang artinya „matang‟, mengalami proses pemunculan fonem, antara bunyi vokal [a] dan bunyi vokal [e], yakni munculnya bunyi glotal atau hamzah. Lumrahnya, penulisan bunyi glotal atau hamzah ini dalam fonologi dilambangkan dengan tanda baca tanya yang ditulis miring (?). Pemunculan fonem ini lazimnya terdapat pada kata yang memiliki bunyi vokal rangkap seperti /aa, ae, ai, au, ao, ea, ee, ei, eu, eo, ia, ie, ii, io, iu, oa, oe, oi, oo, ua, ue, ui, uu, uo/.

(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian bisa diartikan: (a) apakah suatu penelitian itu kuantitatif atau kualitatif (Nunan, 1992:4 dalam Marietta, 2011:12) atau (b) apakah penelitian itu penelitian ruangan atau lapangan (Blaxter, Hughes dan Thight, 2001:91-97 dalam Marietta, 2011:12).

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian tentang Variasi Fonologis Morfem Bahasa Ende menggunakan pendekatan kualitatif deskripif dimana data yang diambil berupa kata-kata, yakni tuturan atau dialek yang biasa digunakan oleh penutur asli Ende dalam kesehariannya untuk berkomunikasi.

Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa deskripsi objek penelitian. Dengan kata lain, wujud data penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar, dan angka-angka yang tidak dihasilkan melalui pengolahan statistika. Data yang deskriptif ini bisa dihasilkan dari transkrip (hasil) wawancara, catatan lapangan melalui pengamatan, foto-foto, video-tape, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi yang lain.

Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Moleong (2010:4) yang diadopsi oleh Muhammad, (2011:30) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya, Berg (2007:3) yang diadopsi oleh Djam‟an (2010:12) dalam Muhammad (2011:30) menyatakan bahwa penelitian kualitatif, “Refers to the meaning, concept, definitions, characteristic, metaphors, symbols, and descriptions of thing”. Menurut definisi ini, penelitian kualitatif ditekankan pada deskripsi objek yang diteliti.

(13)

peristiwa komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan, makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan.

3.2 Data dan Sumber Data 3.2.1 Data

Data merupakan bahan untuk menjawab pertanyaan, memecahkan permasalahan atau membuktikan hipotesis penelitian (Marietta, 2011:15). Sedangkan, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan). Dan, Muhammad (2011:168) berpendapat bahwa data merupakan perangkat untuk menjawab soal-soal penelitian.

Mengenai bentuk data, Nunan (1992:231) dan Blaxter, Hughes dan Thight (2001:296-297) dalam Marietta (2011:16) menyatakan bahwa data dapat berupa angka, yang disebut data kuantitatif, dan yang bukan angka, yang disebut data kualitatif.

Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yakni data yang bukan angka atau berupa kata-kata verbal (lisan). Data kata-kata verbal (lisan) disini maksudnya adalah tuturan, ujaran, perkataan, atau pembicaraan yang dilakukan oleh penutur bahasa Ende sebagai data tunggal penelitian. Data lisan merupakan data yang sifatnya benar-benar nyata dan asli.

3.2.2 Sumber Data

(14)

Sumber data merupakan asal data yang diperoleh dalam penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber lisan, yakni diambil dari percakapan atau pembicaraan dari penutur asli bahasa Ende yang menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi sehari-hari selain bahasa kedua, bahasa Indonesia. Sumber data didapatkan dengan cara peneliti melibatkan diri dengan masyarakat penutur yakni dengan bercakap-cakap dan mendengarkan setiap percakapan yang dilakukan.

Pengambilan sumber data lisan bertujuan agar memudahkan peneliti mendapatkan data yang benar-benar asli dari penutur bahasa Ende sendiri karena data lisan merupakan hal pokok yang dikaji dalam penelitian ini. Setiap kata yang diucapkan–kata-kata yang menurut peneliti memiliki variasi pada struktur fonologis akan dicatat atau direkam sebagai sumber data penelitian.

Menurut Moleong (2010:396), yang dikutip oleh Muhammad (2011:170) menyarankan agar seorang peneliti memeriksa keabsahan data secara komperhensif. Keabsahan data mencakup metode pengumpulan data yang diterapkan di lokasi penelitian, seperti perpanjangan keikutsertaan dalam melakukan penelitian.

Sebelum turun ke lapangan untuk mendapatkan sumber data tersebut terlebih dahulu peneliti membuat daftar kata-kata yang sesuai dengan penelitian sehingga memudahkan peneliti mendapatkan data dan mempercepat waktu proses penelitian.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

(15)

lapangan, narasi, dan deskripsi. Kedua adalah metode wawancara atau metode cakap atau interviewing method. Data yang dihasilkan oleh metode ini dengan menerapkan teknik-teknik tertentu adalah transkrip wawancara, rekaman, atau catatan lapangan. Ketiga adalah dengan menggunakan metode dokumen dimana dokumen menjadi satuan penelitian yang di dalamnya terdapat satuan analisis.

Untuk memperoleh data yang memadai, dalam penelitian bahasa diterapkan beberapa metode pengumpulan data, yakni (1) metode simak (pengamatan/observasi); (2) metode cakap (wawancara), dan (3) metode introspeksi (Muhammad, 2011:194).

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak (pengamatan/observasi) adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa (Muhammad, 2011:194). Metode simak digunakan untuk menyimak penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk teknik Simak Bebas Libat Cakap.

Sedangkan metode cakap (wawancara) adalah metode pengumpulan data dengan melakukan percakapan dengan para informan (Muhammad, 2011:195). Teknik dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik pancing yang diikuti dengan teknik lanjutan yakni teknik cakap semuka. Pada pelaksanaan teknik cakap semuka, peneliti langsung melakukan percakapan dengan pengguna bahasa sebagai informan.

(16)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Sejalan dengan metode yang disebutkan di atas, yakni metode simak dan metode cakap, maka teknik yang digunakan adalah teknik Simak Libat Cakap. Pada teknik ini, peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak para informan dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog (Mahsun, 2007:246 dalam Muhammad, 2011:194).

Selain itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap yang merupakan dasar dari metode simak (pengamatan/observasi). Teknik sadap disebut teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan, dalam arti penelitian dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan (Mahsun, 2007:242 dalam Muhammad, 2011:194).

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9).

Menurut Patton (1988) dalam Kaelan (2005:209), yang dikutip oleh Muhammad (2009:221) menyatakan bahwa analisis data merupakan suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian besar.

Subroto (2007:59 dalam Muhammad 2011:222) menyatakan bahwa menganalisis berarti mengurai atau memilah-bedakan unsur-unsur yang membentuk satuan lingual atau mengurai suatu satuan lingual ke dalam komponen-komponennya.

(17)

Tahap analisis data merupakan upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1993:6).

Adapun tahap menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode dan teknik yang sesuai agar data yang dianalisis kebenarannya dapat teruji dan valid.

3.5.1 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah cara yang digunakan peneliti dalam menganalisis setiap data yang diperoleh dari lapangan atau tempat dilakukannya penelitian dengan berdasarkan pada teori yang sesuai dengan judul penelitian.

Muhammad (2011:233), dengan mengutip kalimat atau berdasar pada pengertian metode dalam kamus Oxford (2005) menyimpulkan bahwa metode analisis data adalah cara menguraikan dan mengelompokkan satuan lingual sesuai dengan pola-pola, tema-tema, kategori-kategori, kaidah-kaidah, dan masalah-masalah penelitian.

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode padan atau identity method dan metode agih atau distributional method.

Metode padan merupakan cara menganalisis data untuk menjawab masalah yang diteliti dengan alat penentu berasal dari luar bahasa. Artinya, aspek luar bahasalah yang menentukan satuan lingual sasaran penelitian. Metode padan atau identity method merupakan metode analisis data yang menggunakan alat penentu di luar unsur bahasa (Djajasudarma, 1993:58 dalam Muhammad, 2011:196).

Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).

(18)

3.5.2 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah kegiatan menguraikan, menjabarkan, menyelidiki, memecahkan atau menganalisis permasalahan dalam hal ini data penelitian yang telah dikumpulkan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu serta berlandaskan pada teori yang sesuai.

Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) atau dividing-key-factors technique. Teknik Pilah Unsur Penentu yang selanjutnya disebut PUP dalam penelitian ini merupakan teknik dasar untuk melaksanakan metode padan. Alat teknik ini adalah kemampuan peneliti dalam memilah data. kemampuan yang dimiliki peneliti bersifat mental, mengandalkan intuisi, dan menggunakan pengetahuan teoritis.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang telah diperoleh. b. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan sehingga

memperjelas maksud dari data yang disajikan.

c. Mengelompokkan setiap data (contoh kata-kata verbal yang mengalami variasi fonologis) yang ada ke dalam masing-masing bagian sehingga mempermudah analisis.

d. Memberikan penjelasan terhadap setiap data yang telah dikelompokkan tersebut serta memberikan penjelasan secara naratif mengenai fenomena yang diteliti.

3.6 Teknik Penyajian Data

Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, selanjutnya data tersebut disajikan. Penyajian data dilakukan dengan dua teknik, yakni teknik formal dan teknik informal.

(19)

informal. Kaidah-kaidah yang diperoleh melalui analisis itu disajikan dengan menggunakan bahasa biasa, lambang, dan tanda.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. 2. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Cetakan III. Jakarta : Rineka Cipta. 3. Wahyu, Asisda. 2013. Diktat Fonologi. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta 4.

http://udinsape.blogspot.com/2011/07/sistem-sapaan-dalam-bahasa-bima-dengan_14.html, diunduh pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib. 5.

http://arifdocs.blogspot.com/2011/08/pengenalan-singkat-tentang-bahasa-bima_8670.html, diunduh pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib. 6. http://dorokabuju.blogspot.com/2009/07/kamus-bahasa-bima.html, diunduh

pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib.

7. Syamsuddin A.R. 2012. Bentuk Redundan dan Salinan pada Bahasa Bima.

Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

8. Syamsuddin A.R. 1968. Tinjauan Singkat Tentang Semantik Bahasa BIMA (Suatu Kemungkinan Sumbangan Bagi Bidang Pengajaran Bahasa Daerah

dan Bahasa Indonesia). Bandung : Tesis IKIP BandungMaesyarah. 2003.

9. “Reduplikasi Sintaksis Bahasa Bima”. Skripsi. Mataram : FKIP Universitas

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pedoman Penetapan Daerah Khusus dalam Pelaksanaan Kebijakan

bahwa dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler

Apakah dengan adanya program acara Gema Pagi tersebut memberikan informasi terbaru dan pengetahuan terkait berita seputar Kota Ponorogo pada

Sejak kajian cepat ILO tahun 2014, Indonesia telah melakukan beberapa perbaikan dalam skema sistem jaminan sosial menurut Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional;

METY SUPRIYATI Kepala Sub Bidang Sosial, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kependudukan pada Bidang Pemerintahan dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan

Koordinator penelitian klinik kerjasama dengan National Institute of Allergy and Infectious Diaseses (NIAID) untuk Acute Febrile Illness dan South East Asia Infectious

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

Prajurit Kulon 1650 KK 2018 86.000.000 Pembangunan Saluran Sumolepen (Lanjutan), Pembangunan Plengsengan Buzem Pulorejo (Lanjutan), Pembangunan Saluran Tenggilis