• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkesulit (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkesulit (1)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari kesulitan belajar?

2. Faktor apa saja yang menimbulkan anak kesulitan belajar? 3. Bagaimana karakteristik anak berkesulitan belajar?

4. Sebab-sebab apa saja yang menjadikan anak kesulitan belajar? 5. Bagaimana identifikasi anak berkesulitan belajar?

6. Pelayanan dan bimbingan seperti apa yang dibutuhkan anak berkesulitan belajar?

7. Seperti apakah masalah dan dampak dari anak berkesulitan belajar? C. Tujuan

Dari uraian rumusan masalah tersebut, terdapat tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari kesulitan belajar.

(2)

4. Untuk mengetahui pelayanan dan bimbingan anak berkebutuhan khusus.

5. Untuk mengetahui identifikasi anak berkesulitan belajar.

6. Untuk mengetahui pelayanan dan bimbingan anak berkesulitan belajar.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesulitan Belajar

Dalam berbagai literatur psikologi, khususnya yang berkenaan dengan literatur anak luar biasa, istilah anak berkesulitan belajar lebih sering di sebut kelompok learning disabilities. Siapakah yang dimaksud dengan anak berkesulitan belajar? Untuk mengetahuinya, marilah kita amati kasus dengan ilustrasi berikut ini.

Nano, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang menunjukkan ketidakemampuan dalam berkonsentrasi terhadap pekerjaan sekolah kecuali dalam beberapa menit saja. Secara konstan dia selalu keluar dari tempat duduknya dan mengganggu temannya. Ketika dia melakukan konsentrasi, dia seringkali tertahan (fiksasi) terhadap hal-hal detil yang tak berarti, misalnya dia hanya memperhatikan bagian kecil dari gambar ketimbang memperhatikan gambar itu secara keseluruhan. Dia menunjukkan kekacauan di dalam permainan di lapangan. Dia tidak mampu melempar dan menangkap bola dengan tepat dan terkoordinasi sebagaimana anak lain seusianya. Dia bersifat impulsif untuk menyakiti anak lain tanpa alasan yang jelas. Nano adalah seorang anak yang berkesulitan belajar, dia tidak mampu lekukan tugas-tugas akademik kendatipun fakta menunjukkan bahwa dia memperoleh skor inteligensi dalam rentang rata-rata.

(4)

muda, belum menjadi bidang garapan yang cukup kuat, walaupun perdebatan dan kontroversi dalam bidang ini sudah terjadi sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Karena kekeliruan konsep dan pemahaman anak berkesulitan belajar seperti itu sering dijuluki sebagai ‘anak teka-teki’, anak ‘berpenyakit aneh’ atau ‘suatu dilema’.

Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan ”kesulitan” untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain learning disabilities adalah learning difficulties dan learning differences. Ketiga istilah tersebut memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning differences lebih bernada positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka digunakan istilah Kesulitan Belajar. Tidak kurang dari 40 istilah telah diusulkan untuk menggambarkan atau merujuk kepada apa yang disebut dengan anak berkesulitan belajar. Dan tidak kurang dari 38 definisi telah dirumuskan untuk mengartikan istilah berkesulitan belajar. Banyak istilah atau sebutan yang sering digunakan di dalam berbagai literatur untuk merujuk anak yang mengalami kesulitan belajar khusus antara lain sebutan berikut ini.

Attention deficit disorder Clumsy child syndrome

Perceptual handicap Brain injury

Minimal brain dysfunction Dyslexia

Dyslogic syndrome Learning disorder Educational handicap

(5)

Neurological impairment Hyperactivity

Hyperkinesis

Definisi lain dikemukakan oleh Samuel A. Kirk (1971) bahwa Children Listed under the caption of specific learning disabilities are children who cannot be grouped under the traditional categories of exceptional children, but who show significant retardation in learning to talk, or who do not develop normal visual or auditory perception, or who have great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make arithmetic calculations.

Haring (1974) menambahkan, “learning disability is a behavioral deficit almost always associated with academic performance and that can be remediated by precise individual instruction programming”.

Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa learning disability (ies) tidak digolongkan ke dalam salah satu keluarbiasaan seperti yang dibahas sebelumnya, melainkan merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar. Meskipun gangguan ini bisa terjadi di dalam berbagai tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Anak-anak yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan perseptual-motorik tertentu atau kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata-mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung, dan mengeja.

(6)

kenyataan, kesulitan yang satu seringkali dibarengi oleh kesulitan lain sehingga terjadi tumpang tindih antar kesulitan.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.

B. Faktor-Faktor yang Menimbulkan Kesulitan Belajar

Kephart (1967) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar ini dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis, dan toksik. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan gangguan fungsi otak yang diperlukan untuk proses belajar pada anak dan remaja. Demikian pula anak-anak yang mengalami disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction) pada saat lahir akan menjadi masalah besar pada saat anak mengalami proses belajar.

1. Faktor Gangguan Emosional

Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar terjadi karena adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan funsional sistem urat syaraf. Dalam kondisi seperti ini perilaku-perilaku yang terjadi seringkali seperti perilaku pada kasus kerusakan otak.Namun demikian tidak semua trauma emosional menimbulkan gangguan belajar.

2. Faktor Pengalaman

(7)

dapat mempermudah anak dalam mengembangkan keterampilan manipulatif dalam penggunaan alat tulis seperti pensil dan ballpoint. Kemiskinan pengalaman lain seperti kurangnya rangsangan auditif menyebabkan anak kurang memiliki perbendaharaan bahasa (berkata-kata) yang diperlukan untuk berpikir logis dan bernalar. Biasanya kemiskinan pengalaman ini berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi orang tua sehingga seringkali berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi yang pada akhirnya dapat mengganggu optimalisasi perkembangan dan keberfungsian otak.

(8)
(9)

Gaya belajar seperti tampak pada tataran IV merupakan hal baru tetapi merupakan dimensi yang amat penting dalam memahami faktor kesulitan belajar. Sebagai contoh seorang anak yang mempunyai gaya belajar auditif tentu tidak akan efektif mencerna informasi yang disajikan melalui rangsangan visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekeliruan dalam gaya penyajian dapat menimbulkan kelambanan atau kegagalan yang dialaminya dalam belajar seyogyanya melakukan analisis tugas dan perilaku anak sebagai dasar pengembangan program pengajaran yang sepadan dengan gaya belajar dan gaya kognitif anak.

C. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar

Anak yang berprestasi rendah (underachiviers) umumnya kita temui di sekolah karena tidak menguasai mata pelajaran tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran yang sangat rendah ditandai pula dengan hasil tes IQ berada di bawah rerata normal. Untuk golongan ini disebut dengan istilah lain, yaitu slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfuncton, dyslexia, atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut dengan istilah spesific learning disability. 1. Aspek Kognitif

(10)

2. Aspek Bahasa

Di dalam proses belajar kemampuan berbahasa merupakan alat untuk memahami dan menyatakan pikiran. Oleh karena itu pula aspek kemampuan bahasa seringkali tidak dipisahkan dari aspek kognitif karena proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses kognitif. Tampak jelas bahwa masalah kemampuan berbahasa anak akan berpengaruh signifikan terhadap kegagalan belajar.

3. Aspek Motorik

Masalah motorik merupakan masalah yang umumnya dikaitkan dengan kesulitan belajar. Masalah motorik anak berkesulitan belajar biasanya menyangkut keterampilan motorik-perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancangan atau pola. Kemampuan ini sangat diperlukan menggambar, menulis, atau menggunakan gunting. Keterampilan tersebut sangat memerlukan koordinasi yang baik antara tangan dan mata yang dalam banyak hal koordinasi tersebut tidak dimiliki anak berkesulitan belajar.

4. Aspek Sosial dan Emosi

Dua karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar ialah: kelabilan sosial-emosional dan ke-impulsif-an. Kelabilan emosional ditunjukkan oleh sering berubahnya suasana hati dan tempramen. Ke-impulsif-an merujuk kepada lemahnya pengendalian terhadap dorongan-dorongan berbuat.

D. Sebab-Sebab Anak Kesulitan Belajar

1. Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction) Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu kondisi gangguan syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini bisa didapatkan dalam berbagai macam kombinasi kesulitan seperti: persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian perhatian, impulse(dorongan), atau fungsi motorik.

(11)

saat anak memasuki sekolah dasar. Mereka mungkin menghadapi kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca, mengeja, dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun abstrak; penampilannya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi dalam bidang tertentu dan rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering menunjukkan gejala kurang mampu memusatkan perhatian, ketidakstabilan emosi, frustrasi, dan sikap permusuhan.

Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal ialah:

a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep  Kelemahan dalam membedakan ukuran.

 Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah.  Kelemahan tilikan ruang.

 Kelemahan orientasi waktu.

 Kelemahan dalam memperkirakan jarak.  Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.  Kelemahan memahami keutuhan.

b. Gangguan bicara dan komunikasi

 Kelemahan membedakan stimulus auditif.  Perkembangan bahasa yang lamban.  Seringkali kehilangan pendengaran.  Seringkali berbicara tak teratur. c. Gangguan funsi motorik

 Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.  Hiperaktivitas.

 Hipoaktivitas.

d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik  Ketidakcakapan membaca.

 Ketidakcakapan berhitung.  Ketidakcakapan mengeja.

(12)

 Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.  Kebimbangan memahami instruksi. e. Karakteristik emosional

 Impulsif.  Eksplosif.

 Kelemahan kendali emosi dan dorongan.  Toleransi rendah terhadap frustasi. f. Gangguan proses berpikir

 Ketidakcakapan berpikir abstrak.  Umumnya berpikir konkret.  Kesulitan membentuk konsep.

 Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.  Keterbatasan rentang memori.

 Seringkali berpikir autistik. 2. Aphasia

Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3 tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau faktor lingkungan.

Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang cukup kompleks.Secara garis besar simptom aphasia dapat digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama berikut ini.

a. Receptive aphasia

 Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.  Tidak dapat melacak arah.

 Kemiskinan kosakata.

(13)

b. Expressive aphasia  Jarang bicara di kelas.

 Kesulitan dalam melakukan peniruan.

 Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.  Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).

 Ketidakcakapan menggambar dan menulis. c. Inner aphasia

 Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit berpikir abstrak.

 Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan.  Lamban merespon.

3. Dyslexia

Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis lain gangguan belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada dunia pendidikan dalam mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum yang sering ditampilkan anak disleksa ialah:

 Kelemahan orientasi kanan-kiri.

 Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti “dia” dibaca “aid”

 Kelemahan keterampilan jari.

 Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.  Kelemahan memori.

 Kesulitan auditif.

 Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali objek, kata, atau huruf.

(14)

4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik

Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi tanpa mengaitkan dengan aspek motorik.Persepsi itu sendiri berfungsi membedakan stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna.Seorang anak membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi jika kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara persepsi dan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini menjadikan anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat secara normal.Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.

Simptom umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami kelemahan perseptual atau perseptual-motorik ialah:

 Kemiskinan koordinasi visual-motorik.

 Gangguan keseimbangan badan pada waktu berjalan maju, mundur, dan menyamping.

 Kurang terampil dalam melompat.

 Kesulitan mengamati diri dalam konteks ruang dan waktu.

 Kesulitan melakukan gerak ritme normal; saat menulis cenderung mengurangi atau menambah ukuran, bentuk, warna, ketebalan.  Kesulitan dalam mengikuti konsistensi objek; d menjadi b. E. Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar

(15)

1. Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat dipahami oleh anak.

2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang mengetahui masalah kesulitan belajar.

3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:

a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak tidak mampu mencapai prestasi sesuai dengan usia dan tingkat kecakapan dalam satu atau lebih bidang:

 Ekspresi lisan

 Mendengarkan pemahaman

 Ekspresi tulisan

 Keterampilan membaca dasar

 Membaca pemahaman

 Perhitungan matematis, atau

 Berpikir matematis

b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami kesulitan belajar jika kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan oleh:

 Hambatan visual, pendengaran, atau motorik

 Keterbelakangan mental

 Gangguan emosional

 Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomis. 4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan:

a) Kesulitan belajar khusus apa yang dialami anak,

b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan,

(16)

d) Hubungan antara perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik anak,

e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan,

f) Kesenjangan antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi tanpa pendidikan dan layanan khusus,

g) Pertimbangan tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan, budaya, dan ekonomi.

F. Pelayanan dan Bimbingan Anak Berkesulitan Belajar 1. Berbagai Pilihan Penempatan

Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan, kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan keterampilan social dan akademik anak. Suatu tim yang menangani anak berkesulitan belajar biasanya menganjurkan untuk memilih suatu sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan beberapa tipe pelayanan.

Menurut Lerner (1988: 141) ada tiga sistem penempatan yang banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang sumber (resource room), dan kelas regular (regular class). Menurut Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika Serikat memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber, dan 15 persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan dibahas pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang sumber, dan kelas regular.

a. Kelas khusus

(17)

digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar dan kelas khusus untuk bidang studi tertentu.

Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar anak berkesulitan belajar diajar oleh guru khusus. Mereka berinteraksi dengan anak yang tidak berkesulitan belajar hanya pada saat beristirahat. Jenis pelayanan ini adalah yang paling bersifat membatasi pergaulan anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan belajar dalam sistem pendidikan integratif.

Dalam kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak belajar bidang studi yang tidak dapat mereka ikuti di kelas regular. Untuk bidang-bidang studi seperti olahraga, musik, kerajinan tangan, dan bidang studi lain yang dapat dilakukan bersama anak yang tidak berkesulitan belajar, mereka melakukan bersama. Sebagian besar dari waktu yang digunakan di dalam kelas khusus jenis ini umumnya untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung, dan kadang-kadang juga tentang keterampilan sosial atau aspek khusus dari bahasa.

(18)

b. Ruang sumber

Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan berbagai media pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru sumber diharapkan juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi konsultan bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.

(19)

c. Kelas Regular

Jenis pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, yaitu anak yang berkesulitan belajar dan anak yang tidak berkesulitan belajar. Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak berkesulitan belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar maupun yang tidak berkesulitan belajar. Suasana belajar kopereatif diciptakan untuk menghindari terjadinya duplikasi pemberian pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan belajar maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak berbakat (gifted and talented). Dalam kelas regular semacam ini, berbagai metode untuk kedua jenis anak digunakan bersama.

Sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular memiliki banyak keuntungan tetapi juga memiliki banyak kekurangan. Berbagai keuntungan dari sistem ini adalah:

 Anak berkesulitan belajar akan menggunakan anak yang tidak berkesulitan belajar sebagai model perilaku mereka;

 Mengelola anak berkesulitan belajar di kelas regular lebih murah daripada menyediakan mereka pelayanan dan situasi khusus;

 Anak yang tidak berkesulitan belajar dapat menjadi lebih mudah memahami adanya perbedaan antarindividu; dan

(20)

Adapun berbagai kekurangan sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular adalah :

 Anak berkesulitan belajar kurang memperoleh pelayanan individual;

 Anak berkesulitan belajar masih mungkin memperoleh cap negatif dari anak yang tidak berkesulitan belajar;

 Anak berkesulitan belajar mungkin akan sering gagal karena sulitnya bahan dan tugas;

 Anak berkesulitan belajar akan dirugikan karena memperoleh pelayanan PLB yang sistematis dan latihan keterampilan dasar yang cukup, dan

 Semangat juang (morale) guru kelas atau guru regular mungkin akan terpengaruh secara negatif karena banyak di antara mereka yang tidk dipersiapkan untuk menangani anak berkesulitan belajar.

2. Hubungan Orang Tua Dan Guru

Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima kenyataan, (2) kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana adanya.

(21)

hanya dapat menghambat anak untuk menyesuaikan diri dengan kesulitannya tetapi juga menghambat komunikasi di dalam keluarga sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak aman pada anak. Bentuk reaksi kompensasi yang berlebihan tampak dari adanya kecenderungan orang tua untuk bersikap tidak realistic, kaku atau keras, dan memberikan perlindungan yang berlebihan. Orang tua yang semacam ini itu sering memperlihatkan semangat yang berlebihan, memberikan latihan secara terus-menerus, dan mengharapkan anaknya dapat menjadi superior. Sikap orang tua semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi cerdas berlebihan sehingga pada gilirannya menghambat pencapaian belajar yang optimal.

Orang tua yang bersikap menerima anak berkesulitan belajar apa adanya adalah yang paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Sesunguhnya sulit untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya. Menurut Robinson seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), yang dimaksud dengan menerima anak adalah menghargai apa yang dimiliki anak, menyadari kekurangannya, dan aktif menjalin hubungan yang menyenangkan dengan anak. Bertolak dari penghargaan atas apa yang dimiliki anak dan penerimaan atas apa yang tidak dimiliki anak, orang tua menjalin hubungan yang wajar dan berupaya mengembangkan potensi yang masih dimiliki oleh anak untuk mempersiapkan tugasnya di masa depan. Menurut Wortis seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), ada dua indikator dari orang tua yang menerima anak apa adanya, yaitu (1) tetap melakukan aktivitas kehidupan yang normal dan (2) berupaya mempertemukan anak dengan kebutuhannya.

(22)

penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5) menerima anak apa adanya.

Kesadaran terhadap adanya masalah biasanya muncul pada saat orang tua melihat adanya gejala-gejala penyimpangan yang negatif pada anak. Gejala-gejala tersebut antara lain adalah (a) belum dapat duduk pada usia sembilan bulan, (b) belum dapat berjalan pada usia 18 bulan atau dua tahun, (c) belum dapat bicara satu kata yang dapat dimengerti pada usia tiga tahun, (d) sering pandangannya kosong, (e) tangannya kaku dan canggung, (f) sering terantuk dan jatuh, (g) memberikan reaksi yang keras terhadap peristiwa yang remeh, (h) tidak mudah tertawa, dan (i) tidak menyukai permainan sembunyi-sembunyi atau cilukba. Jika ibu mengetahui gejala-gejala awal tersebut biasanya akan memberitahukan kepada ayah, dan mereka umumnya mulai menyadari tentang adanya masalah pada anak mereka. Menyadari adanya masalah tersebut biasanya orang tua berusaha mencari informasi professional kepada guru TK atau kepada dokter anak.

(23)

Untuk mengurangi kecamasan, ada orang tua yang menggunakan mekanisme pertahanan diri. Bentuk mekanisme pertahanan diri yang paling umum dan paling primitif menurut Mercer (1979: 96) adalah penyangkalan (denial). Orang tua mungkin mengatakan bahwa anaknya memiliki kemampuan tinggi sehingga membuat tuntutan-tuntutan yang tidak realistik, misalnya dengan mengantarkan anak mengikuti les piano, les menari, dan sebagainya. Mungkin orang tua menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam bentuk memberikan perlindungan yang berlebihan (overprotection) dengan melarang anak berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan dan disukai anak. Harapan yang berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi bergantung pada orang lain atau tidak mandiri. Pada tahap pengakuan adanya masalah ini hendaknya orang tua diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapinya. Jika orang tua telah siap untuk mengakui adanya masalah, maka ia baru dapat diajak untuk menyiapkan perkembangan anak selanjutnya.

Setelah tahap mengakui adanya masalah, orang tua biasanya memasuki tahap mencari penyebab. Menurut Robinson dan Robinson (Mercer, 1979: 7), ada dua alasan orang tua mencari penyebab kesulitan belajar. Pertama, dengan mengetahui penyebab diharapkan dapat ditemukan jalan untuk memperbaiki atau mencegah kesulitan belajar. Kedua, dengan mengetahui penyebab, diharapkan dapat mengurangi beban berat perasaan berdosa. Orang tua mungkin menjadi sangat frustasi karena penyebab kesulitan belajar sukar dipahami. Diagnosis umumnya didasarkan pada manifestasi perilaku, bukan pada dasar neurologic atau generic, dan di samping itu orang tua mungkin menemukan berbagai teori yang berbeda-beda tentang penyebab kesulitan belajar.

(24)

mungkin akan disembuhkan dengan memberikan vitamin. Jika penyebabnya disfungsi otak minimal, mungkin akan disembuhkan dengan latihan-latihan perceptual motor, dan jika penyebabnya pendidikan yang keliru, mungkin akan disembuhkan dengan memanipulasi lingkungan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan. Macam-macam penyembuhan tersebut sesungguhnya masih hipotesis dan karena itu guru hendaknya memberikan informasi atau pengarahan yang cukup.

Tahapan terakhir penyesuaian orang tua dalam menghadapi anak berkesulitan belajar adalah menerima anak sebagaimana adanya. Setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya, biasanya orang tua sampai pada tahapan akhir penyesuaian ini. Jika orang tua telah sampai pada tahapan inilah pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar biasanya dapat mencapai kemajuan.

Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua – guru dapat menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolah. Baik orang tua maupun guru sering merasa khawatir saat hadir dalam pertemuan semacam itu. Para orang tua umumnya khawatir terhadap laporan guru tentang anak mereka sedangkan guru umumnya khawatir terhadap reaksi negatif dari para orang tua. Pertemuan orang tua guru, hendaknya dipandang oleh kedua belah pihak sebagai wahana untuk membangun anak. Dengan melakukan koordinasi berbagai upaya, orang tua guru dapat bekerja sama untuk membantu anak mencapai kemajuan.

(25)

hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan menghindari istilah-istilah teknis. Para orang tua umumnya ingin memahami sifat masalah, dank arena itu data diagnostic dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya dijelaskan kepaa orang tua. Para orang tua hendaknya juga dibantu untuk menjadi peka terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak mereka di sekolah.

Para orang tua umumnya ingin mengetahui tentang bantuan yang dapat mereka berikan kepada anak di rumah. Ada berbagai aktivitas yang menurut Mercer (1979: 102) dapat dikerjakan oleh orang tua di rumah untuk membantu anak, yaitu (1) melakukan observasi perilaku anak, (2) memperbaiki perilaku anak, (3) mengajar anak.

Orang tua mempunyai lebih banyak waktu untuk bergaul dengan anak sehingga mereka dapat lebih leluasa untuk melakukan observasi perilaku anak bila dibandingkan dengan guru, dokter, atau konselor. Oleh karena itu, melatih orang tua untuk mengembangkan keterampilan melakukan observasi perilaku anak merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi upaya membantu anak berkesulitan belajar. Hasil observasi orang tua dapat dilaporkan kepada guru, dokter atau konselor sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi masalah kesulitan belajar anak. Adapun perilaku anak yang perlu diobservasi oleh orang tua antara lain adalah berkaitan dengan kemampuan anak bermain bersama kakak atau adiknya, jenis permainan yang disukai, kebiasaan makan,kebiasaan tidur, dan benda atau peristiwa yang ditakuti anak.

(26)

memperbaiki perilaku anak tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi juga di rumah.

Masyarakat umumnya memandang bahwa tugas orang tua di rumah adalah menanamkan kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Orang tua diharapkan dapat mengajarkan kepada anak tentang norma dan keterampilan sosial. Tetapi, mengenai pelajaran akademik, ada dua macam pandangan. Pertama, pandangan yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak. Kedua, pandangan yang menganjurkan agar orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah. Pandangan yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alasan (1) orang tua tidak memiliki keterampilan mengajar yang esensial, (2) sering menimbulkan ketegangan dan frustasi pada anak, (3) waktu anak untuk bermain menjadi berkurang, dan (4) orang tua mungkin akan merasa bersalah jika tidak memiliki waktu untuk mengajar anak. Pandangan yang menganjurkan agar orang tua mengajarkan bidang akademik kepada anak bertolak dari alasan bahwa (1) jika mendapat latihan orang tua dapat berfungsi sebagai guru di rumah, dan (2) orang tua menjadi pelengkap bagi pembelajaran di sekolah.

(27)

anaknya yang lain, dan apakah pengajaran tersebut dapat menyenangkan anak atau tidak.

3. Program Bimbingan dan Latihan Bagi Orang Tua

Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang tua di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini akan dikemukakan program bimbingan dan program latihan bagi orang tua.

a. Program Bimbingan bagi Orang Tua

Menurut McDowell (Mercer, 1979: 100), ada dua macam pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan pendekatan psikoterapetik. Pendekatan informasional menekankan pada penyediaan pengetahuan bagi orang tua tentang kesulitan belajar. Mercer mengemukakan contoh pendekatan ini dengan suatu pertemuan berangkai yang diselenggarakan oleh McWirter. Sekolah menyelenggarakan suatu rangkaian pertemuan bagi orang tua anak berkesulitan belajar dan kepada mereka diberikan informasi tentang anak berkesulitan belajar dan latihan untuk menanggulanginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan-pertemuan semacam itu sangat berharga bagi orang tua.

Pendekatan psikoterapetik memusatkan perhatian pada usaha membantu orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow seperti dikutip oleh Mercer (1979: 104) ada beberapa macam strategi pemberian bantuan bagi anak berkesulitan belajar seperti dikemukakan berikut ini.

(28)

- Hanya terapi individual. Strategi ini ditujukan kepada anak berkesulitan belajar yang orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan seperti orang tua yang pecandu obat bius, peminum alcohol, psikotik, atau yang menolak anak. - Bimbingan kelompok orang tua. Strategi ini untuk orang tua

yang baik, yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari pertemuan-pertemuan kelompok yang berupaya memecahkan masalah kesulitan belajar anak-anak mereka.

- Terapi individual dan tutorial. Strategi ini untuk anak berkesulitan belajar yang membutuhkan intervensi akademik yang sistematik dan orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan.

- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian terapi kepada anak dan orang tua secara bersamaan dapat menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekan.

- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang sama. Strategi ini tepat digunakan jika orang tua dan anak dapat menjalin interaksi koperatif.

- Terapi keluarga yang terdiri dari anak, orang tua, dan saudara-saudara kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi keluarga yang dapat memecahkan masalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang saling menunjang atau koperatif.

- Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi yang cenderung menekankan pada peran orang tua dalam memecahkan masalah emosional anak, yang memandang perlu adanya perbaikan keseluruhan lingkungan keluarga.

b. Program Latihan bagi Orang Tua

(29)

Mercer (1979: 101) ada dua pendekatan dalam program latihan bagi orang tua, yaitu (a) pendekatan komunikasi (communication approach) dan (b) pendekatan keterlibatan (involvement approach). Pendekatan komunikasi menekankan pada penyelenggaraan komunikasi langsung antara orang tua dengan anak; sedangkan pendekatan keterlibatan menekankan pada upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama kelompok.

Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip oleh Mercer (1979: 102) mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut “C-Group” yang membantu orang tua memecahkan masalah praktis melalui kerja sama (collaboration), konsultasi (consultation), klarifikasi (clarification), konfrontasi (confrontation), perhatian dan pengasuhan (concern and caring), kerahasiaan (confidentiality), dan tanggung jawab (commitment) pada perubahan. Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk menyajikan masalah-masalah praktis kepada kelompok dan kemudian mereka mencoba memecahkan masalah sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh kelompok.

G. Masalah dan Dampak dari Anak Berkesulitan Belajar

Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul sebagai akibat dari kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi kesulitan itu. Namun demikian, secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar. Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.

(30)

muncul pada orang tua dan tak mustahil menimbulkan frustasi orang tua atau keluarga.

Bagi penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan belajar menimbulkan dampat terhadap perlunya penempatan dan pelayanan khusus. Meskipun demikian penempatan dan pelayanan khusus ini tidak berarti perlu penyelenggaraan kelas khusus bagi anak kesulitan belajar. Penyelenggaraan kelas khusus akan membawa dampak kurang baik karena anak tidak bisa berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan khusus tersebut akan lebih baik jika diwujudkan dalam layanan semacam resource room, dimana anak memperoleh layanan tanpa harus dipisahkan dari kelompoknya. Dalam layanan semacam ini, perlu tersedia guru khusus yang dapat memberikan layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana anak tersebut ada. Melalui kegiatan bersama antara guru kelas dan guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan dan psikologis dikembangkan.

(31)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

 Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.

 Anak berkesulitan belajar merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar.

B. Saran

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis dan

Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Somantri, T. Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini kami mengumumkan pemenang pelelangan untuk pekerjaan tersebut diatas adalah sebagai berikut :.. Nama Penyedia Barang/Jasa

Sensus Ekonomi dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali pada tahun yang berakhiran angka enam. Sensus Ekonomi merupakan kegiatan pendataan lengkap atas seluruh unit

Rencana Pembangunan Kabupaten Sekadau IV-7 Sebagai upaya untuk mencapai sasaran diatas agar terwujud suatu masyarakat yang tercemin dari tingkat pendidikan

KONSTRUKSI PEMBERITAAN VONIS KASUS PENISTAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA DI MAJALAH TEMPO DAN SINDO WEEKLY ABSTRAK Oleh: Fajar Muhammad Jufri Masalah berpusat pada vonis

Mesyuarat Cuti Bencana/ Cuti Khas Program Sekolah Cuti Peristiwa/ Cuti Umum Mengiringi Murid Keluar

Ditinjau dari segi historisnya konsepsi landas kontinen bermula dari Proklamasi Truman 1945 tentang “continental shelf” yang kemudian membawa perkembangan dalam hukum laut masa

Analisis dan penerapan peredam dinamik menggunakan sistem aliran fluida dalam wadah berbentuk kolom U (TLCD) pada struktur telah banyak dilakukan[8-10]. Pada

Orang Melayu identik dengan orang yang pemalu, apalagi seorang perempuan akan mencerminkan budaya timur yang pemalu dan sopan dalam bersikap dan bertingkah laku.. Kata kunci: