• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan yuridis pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan yuridis pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN

PENGANGKUTAN BARANG ANTARA PT. AQUA TIRTA

INVESTAMA KLATEN DENGAN

CV. BINTANG JAYA

Skripsi

Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

ILIK SUSENO

NIM: E 1102026

FAKULTAS HUKUM

UNIVESITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dosen Pembimbing Skripsi

(3)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 14 April 2010

TIM PENGUJI

(1) : Hernawan Hadi, SH., M.H.

Ketua NIP. 19600520 198601 1001

(2) : Diana Tantri C., SH., M.H.

Sekretaris NIP. 19721217 200501 2001

(3) : Munawar Kholil, S.H., M.Hum.

Anggota NIP. 19681017 199403 1003

Mengetahui, Dekan

(4)

MOTTO

“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”

(Q.S. Al-Insyirah : 6-7)

(5)

Dengan seluruh rasa cinta dan terima kasih Penulis persembahkan hasil penulisan ini kepada :

Ø Bapak dan Ibu tercinta yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

Ø Kakak-kakakku tersayang yang telah memberikan semangat dan motivasi selama ini

Ø Adikku tercinta yang telah memberikan semangat, motivasi, kasih sayang dan pengertian dalam menjalani hidup ini sehingga menjadikan hidupku lebih berarti.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Ibu Sri Wiyarti, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi nasehat dan masukan selama Penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum selaku Pembimbing penulisan hukum ini yang telah menyediakan waktu dan pikiran beliau untuk membimbing dan mengarahkan Penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.H., selaku Ketua tim penguji yang telah berkenan menyediakan waktu untuk menguji skripsi ini.

5. Ibu Diana Tantri Cahyaningsih, S.H., M.H., selaku Sekretaris tim penguji yang telah berkenan menyediakan waktu untuk menguji skripsi ini.

6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah membagi ilmunya kepada Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.

7. Bapak dan ibu dosen Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah memberikan izin atas judul skripsi ini sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.

9. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini.

(7)

Karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan dalam penelitian ini. Akhirnya, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dalam ilmu hukum.

Surakarta, 26 April 2010 ILIK SUSENO

E 1102026

DAFTAR ISI

(8)

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 12

A. Kerangka Teori ... 12

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian ... 12

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Baku... 30

3. Tinjauan Umum tentang Pengangkutan... 36

B. Kerangka Pemikiran... 45

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46

A. Deskripsi Umum tentang CV. Bintang Jaya dengan PT. Aqua Tirta Investama... 46

1. Deskripsi tentang CV. Bintang Jaya ... 46

2. Deskripsi tentang PT. Aqua Tirta Investama Klaten ... 50

(9)

C. Tanggung Jawab Hukum Masing-Masing Pihak dalam

Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang ... 61

D. Hambatan dan Penyelesaian dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya ... 64

BAB IV. PENUTUP... 69

A. Simpulan ... 69

B. Saran ... 61

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

1. Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan ... 72

2. Addendum I dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan... 106

3. Addendum II dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan ... 118

4. Addendum III dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan ... 129

5. Addendum I dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan... 137

6. Surat Keterangan... 138

7. Collection / Return Order Aqua ... 139

8. Delivery Note / Surat Jalan ... 140

(11)

ABSTRAK

ILIK SUSENO, E 1102026, TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG ANTARA PT. AQUA TIRTA INVESTAMA KLATEN DENGAN CV. BINTANG JAYA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang, tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang serta hambatan dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan menggunakan metode pendekatan empiris. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan jenis data primer melalui penelitian lapangan, dan jenis data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya diawali dengan adanya penawaran dari pihak pengangkut. Perjanjian disahkan dengan adanya penandatanganan kontrak perjanjian pengangkutan antara kedua pihak. Pelaksanaan perjanjian kerjasama jasa pengangkutan barang berjalan relatif lancar meskipun terdapat beberapa permasalahan namun tidak mengancam pengakhiran perjanjian tersebut oleh pihak pertama. Para pihak mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam perjanjian kerjasaman. CV. Bintang Jaya selaku pihak pengangkut bertanggung jawab membayar ganti kerugian kepada PT. Aqua Tirta Investama apabila terjada kesalahan atau kelalaian selama proses pengangkutan. Segala kemungkinan resiko yang mungkin akan terjadi karena human error selama proses pengangkutan dan proses bongkar muat produk oleh pihak kedua akan menjadi resiko dan tanggungan yang akan dibebankan oleh pihak pertama kepada pihak kedua. PT. Aqua Tirta Investama selaku pihak pengangkut berkewajiban melakukan pembayaran atas jasa pengangkutan secara tepat waktu sesuai dengan harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama jasa angkut antara PT. Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya dapat berasal dari kepentingan para pihak maupun dari faktor alam.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakekat dari suatu pembangunan mengandung aspek dinamika, artinya bahwa pembangunan merupakan kegiatan terus-menerus yang tidak terbatas waktu tertentu, namun seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban manusia. Seperti halnya bangsa Indonesia, dengan gejolak yang sedemikian rupa Indonesia akan tetap selalu berusaha dan selalu tumbuh guna mengikuti peradaban dari waktu ke waktu, hal ini tidak lain adalah untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV dengan melalui program pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

(13)

Pembangunan pertambangan perlu ditingkatkan dan dilanjutkan, inventarisasi dan pemetaan, eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral dan energi dengan memanfaatkan teknologi yang tepat guna sehingga produksi dan ekspor pertambangan serta penerimaan negara akan semakin meningkat. Untuk itu perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk mengolah bahan air mineral tersebut. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sektor pertambangan air mineral menunjukkan peranan penting dalam perekonomian negara, yaitu memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan daerah, sumber penerimaan negara serta sebagai pendukung utama pemakaian potensi kekayaan alam berupa air mineral untuk konsumen.

Mengingat semakin pentingnya bahan galian air mineral bagi kesejahteraan rakyat maka sudah saatnya produksi air mineral dikembangkan berdasarkan jiwa dan isi Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:

Ayat 2: “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.”

Ayat 3: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.”

(14)

“Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dibidang perdagangan dan industri, pengangkutan tidak dianggap secara tidak langsung menambah nilai suatu barang. Karena suatu barang hasil produksi yang ditinggalkan begitu saja tidak akan ada gunanya. Suatu barang berguna bila dapat dinikmati oleh konsumen. Jadi dalam hal ini, pengangkutan memiliki fungsi sebagai sarana agar hasil produksi dapat sampai dipasaran atau ditempat yang dikehendaki dan akhirnya dapat dinikmati oleh konsumen (Frank H Howard, 1991 : 1)

Istilah “distribusi” telah disinggung dalam uraian diatas. Kata ini sangat dikenal dalam bidang industri, yang diterjemahkan sebagai berikut:

1. Membagi diantara beberapa tempat 2. Membagi-bagikan

3. Mengedarkan ke suatu tempat 4. Menyebarkan

Kata-kata tersebut semuanya seolah menunjuk dalam arti: “angkut”. Kata angkut dalam dunia industri diterima sebagai “penyelenggaraan segala kegiatan usaha niaga yang tercakup dalam pengangkutan barang dari tempat pengolahan atau pembikinan sampai ke tempat penjualan kepada pelanggan” (Frank H Howard, 1991 : 1).

(15)

dalam bidang industri mengenai angkutan. Pada bagian umum Pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan angkutan adalah: “perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.”

Salah satu pihak yang memegang peranan penting dalam pendistribusian produk Air Minum Dalam Kemasan adalah pengusaha transportir / kontraktor angkutan Air Minum Dalam Kemasan. Sedangkan CV. Bintang Jaya adalah salah satu transportir Air Minum Dalam Kemasan dari sekian transportir yang ada.Untuk adanya hubungan kerja antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan para transportir maka dituangkan dalam suatu perjanjian. Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Air Minum Dalam Kemasan antara transportir Air Minum Dalam Kemasan CV. Bintang Jaya dengan PT. Aqua Tirta Investama Klaten ini diadakan di kantor pusat Aqua Jl. Pulo Lentut No. 3 Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta 13920. Perjanjian tersebut berisi antara lain hak dan kewajiban dari para pihak yang harus mereka penuhi, hubungan-hubungan apa yang terjadi diantara mereka dan menentukan sejauh mana hukum yang mengatur antara pihak yang menandatangani perjanjian kerjasama tersebut. Perjanjian tersebut belum diatur dalam KUH Perdata khususnya dalam Hukum Perjanjian, akan tetapi perjanjian tersebut adalah sah, karena Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem terbuka disini artinya adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal hukum perjanjian dinamakan pelengkap berarti pasal-pasal yang membuat perjanjian (Subekti, 1985 : 13).

Syarat syahnya perjanjian ada empat : 1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat perjanjian

(16)

Demikian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Subekti, 1985 : 17).

Mengingat begitu pentingnya peranan Air Mineral dalam mencukupi bangsa Indonesia, disamping hal tersebut melihat peranan PT. Aqua Tirta Investama Klaten dalam memasarkan dan mendistribusikan Air Minum Dalam Kemasan kepada para konsumen didalam negeri, yang dalam hal ini dibantu oleh pihak swasta yaitu yang salah satunya adalah para transportir, selain itu juga bahwa dengan melihat kenyataan yang ada dilapangan ternyata masih banyak perusahaan angkutan/transportir Air Minum Dalam Kemasan yang nakal atau melakukan penyimpangan dari ketentuan perjanjian yang ada, hal ini dapat kita lihat pada kenyataan misalnya dalam pengiriman Air Minum Dalam Kemasan dipandang dari segi kualitas terdapat perusahaan angkutan/transportir Air Minum Dalam Kemasan yang dengan sengaja mencampur air mineral dengan air sumur lain yang kualitasnya lebih rendah ataupun dengan bahan yang lain. Selain hal tersebut dilihat dari segi kuantitas bahwa adanya pencurian air mineral akan mengurangi tonase air mineral yang diangkut, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang menyimpang dari ketentuan dimana dengan adanya kejadian-kejadian tersebut akan sangat merugikan konsumen.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya?

2. Bagaimana tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang?

(17)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Objektif

a. untuk mengetahui proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.

b. untuk mengetahui tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang.

c. untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya dan penyelesaiannya

2. Tujuan Subjektif

a. untuk memeperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam ilmu hukum, khususnya mengenai hukum perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata.

b. memberikan gambaran mengenai perjanjian pengangkutan, khususnya mengenai pelaksanaan perjanjian pengangkutan air minum dalam kemasan.

(18)

2. Manfaat Praktis

a. hasil penelitian ini akan menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum perdata.

b. hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terkait.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. (Soerjono Soekanto, 2005 : 43).

Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada perbatasan-perbatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan (Johny Ibrahim, 2005 : 294).

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian dengan pendekatan empiris.

2. Sifat Penelitian

(19)

dalam memperkuat teri-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan Empiris adalah sebagai suatu usaha mendekati masalah yang akan diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyatan yang hidup dalam masyarakat (Hilman Hadikusumo, 1995:61-61).

4. Jenis Data dan Sumber Data a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama data ini berdasarkan “field research” (penelitian lapangan). Dalam hal ini penulis mempelajari berkas-berkas maupun melalui para pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang diteliti yang bertindak sebagai responden. Para pihak tersebut adalah Direktur CV. Bintang Jaya maupun petugas-petugas yang telah ditunjuk oleh PT. Aqua Tirta Investama Klaten.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung memberikan keterangan tambahan atau keterangan pendukung data primer. Sumber data termasuk dalam data ini adalah data yang diperoleh dalam bahan pustaka, dokumen-dokumen, pendapat para ahli, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah dan literatur-literatur pendukung.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh denganis mempergunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :

(20)

Teknik ini dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung yang akan mendapatkan data yang dipercaya keasliannya. Adapun tehnik yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah :

1) Observasi atau pengamatan

Observasi diartikan sebagai : “Suatu proses untuk mengadakan penjajagan tentang perilaku manusia atau kelompok manusia sebagaimana terjadi dalam kenyataan, kemudian membuat deskripsi langsung tentang kehidupan sosialnya secara lengkap.” (Soenaryo dan MG. Sriwiyati, 1992 : 25).

Penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang akan diteliti yaitu Transportir CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua Tirta Investama Klaten.

2) Wawancara atau interview

Pengumpulan instrumen ini dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara bebas terpimpin atau komunikasi langsung dengan responden, dalam hal ini dilakukan terhadap para informan terpilih yaitu dengan direktur CV. Bintang Jaya maupun dengan petugas-petugas yang telah ditunjuk oleh PT. Aqua Tirta Investama Klaten.

b. Teknik pengumpulan data sekunder

Pengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini, dilakukan dengan cara :

1) Studi pustaka

(21)

2) Metode dokumentasi

Pengumpulan data melalui metode dokumentasi dilakukan dengan cara menyelidiki dengan penguraian dan penjelasan yang telah lalu melalui sumber-sumber dokumen. Uraian tersebut dipilih data yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Data tersebut diperoleh dari transportir CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua Tirta Investama Klaten.

6. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, langkah selanjutnya yang akan ditempuh adalah melakukan analisa data. Pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif sehingga setelah semua data terkumpul, analisa yang dilakukan adalah analisa kualitatif, sedangkan yang dimaksud analisa kualitatif adalah: “Suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dalam perilaku yang nyata, yang diteliti atau dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono Soekanto, 1984 : 50).

(22)

F. Sistematika Skripsi

Berikut sistematika penulisan hukum untuk mempermudah dalam mempelajari dan memahami gambaran tentang garis besar penulisan hukum ini,:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini penulis menguraikan kerangka teori dan kerangka pemikiran.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang, tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang, serta hambatan dan penyelesaian masalah dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.

BAB IV PENUTUP

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Pada hakekatnya perjanjian itu adalah salah satu sumber perikatan. Oleh karena itu sebelum penyusun membahas masalah perjanjian penulis akan meninjau dahulu hubungan antara perjanjian dengan perikatan.

Pengertian perikatan, undang-undang tidak memberikan definisinya, sehingga hal ini diserahkan sepenuhnya pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Mengenai istilah tersebut yaitu perjanjian maupun perikatan, dalam menterjemahkan masih belum adanya keseragaman antara penulis yang satu dengan penulis yang lain, sehingga masih ada kekacauan dalam penterjemahan tersebut. Hal ini dapat kita lihat seperti apa yang telah diungkapkan dalam bukunya R. Setiawan, S.H., yang mengutip pendapat dari beberapa penulis antara lain:

(24)

2) Utrecht dalam bukunya: Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah perutangan untuk “verbintenis” dan perjanjian untuk “overenkoms” (R. Setiawan, 1987 : 1).

Adanya pendapat-pendapat tersebut diatas, selanjutnya R. Setiawan mengemukakan pendapat sebagai berikut:

“Dari beberapa istilah yang disebutkan dimuka, kami mengikuti istilah “Perikatan”, sebab kami menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa istilah perikatan tersebut adalah mendekati pengertian “Verbintenis”, dimana para pihak dalam suatu perikatan masing-masing terikat oleh hak dan kewajiban atas suatu prestasi.”

Sedangkan mengenai perjanjian menurut Subekti mendefinisikan: “Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” (Subekti, 1985 : 1).

Peristiwa diatas menyebabkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sehingga dapat kita lihat bahwa perikatan itu bentuknya abstrak sedang perjanjian bentuknya konkret. Abstrak disini maksudnya bahwa kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita apa itu perikatan, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

(25)

Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313 KUH Perdata:

“Suatu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”

Ketentuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata menurut Abdulkadir Muhammad, mempunyai kelemahan:

1) Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, kata kerja ‘mengikat’ sifatnya hanya datang dari satu pihak, tidak dari kedua pihak, seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”. Jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (onrechmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

3) Pengertian perjanjian luas, karena mencakup juga masalah pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.

4) Tanpa menyebut tujuan

Perumusan Pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu juga tidak jelas untuk apa.

(26)

Abdulkadir Muhammad memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan” (Abdulkadir Muhammad, 1990 : 78).

Beberapa definisi tersebut maka mengenai perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan atau tindakan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya.

b. Syarat Syahnya Perjanjian

Suatu perjanjian menjadi sah apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang, sehingga perjanjian itu diakui oleh hukum. Suatu perjanjian sah, bila memenuhi empat syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1) Sepakat mengikatkan diri.

Syarat kesepakatan ini penting karena bagi sebagian besar perjanjian syarat ini menentukan lahirnya atau ada tidaknya perjanjian suatu perjanjian.

Sepakat berarti kedua pihak yang mengadakan perjanjian harus setuju, seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut. Apa yang mereka kehendaki sama secara timbal balik (R. Subekti, 1985 : 17).

(27)

sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation).

“....perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu, sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. Kadang-kadang itu dapat dinyatakan secara tegas dan kadang diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain itu” (Abdulkadir Muhammad, 1990 : 89 - 90).

Sehubungan dengan adanya syarat kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam membuat suatu perjanjian, maka didalam KUH Perdata ditentukan pula tentang beberapa hal yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan, maka harus berpedoman pada ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu dibikin karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Ketentuan hal tersebut dimaksudkan bahwa perkataan apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga dikehendaki oleh pihak yang lain tanpa adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, sebab jika demikian perjanjian tersebut dianggap tidak sah sehingga dapat dimintakan pembatalan, dan pihak yang dapat membatalkan adalah pihak yang merasa dipaksa atau merasa tertipu dengan timbulnya suatu perjanjian. Atau dengan kata lain bahwa kedua belah pihak atau yang mengadakan perjanjian harus mempunyai kebebasan berkehendak tanpa tekanan yang dapat menimbulkan cacat.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

(28)

secara benar tanggung jawab yang timbul. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab tersebut, dan orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya dan mempunyai kedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan bila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian dalam Pasal 1330 diatur bahwa yang tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:

a) Orang-orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu dan sebelumnya belum menikah”. Jadi dewasa menurut Pasal 1330 KUHP Perdata adalah mereka yang telah berusia 21 tahun atau sebelumnya sudah kawin.

Sedangkan menurut Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat disimpulkan bahwa orang dewasa adalah mereka yang telah berusia 18 tahun atau sebelumnya sudah kawin.

b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan

Pasal 433 KUH Perdata, ditentukan bahwa orang-orang yang diletakkan dibawah pengampunan adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Oleh pembuat undang-undang, mereka dipandang tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu dianggap tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.

(29)

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal 108 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa seorang perempuan yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang mencabut Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan dengan izin atau bantuan suaminya, maka kedudukan wanita yang telah bersuami berada dalam derajat yang sama dengan pria. Jadi seorang wanita yang telah bersuami dapat mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di pengadilan tanpa bantuan suaminya. Bahkan dalam Pasal 31 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa hak kewajiban suami istri adalah seimbang. Jadi istri berhak melakukan suatu perbuatan hukum termasuk mengadakan perjanjian.

Pembuatan perjanjian, pihak yang membuat bisa berupa badan hukum. Kemudian badan yang sah adalah badan, baik badan usaha maupun sosial karena memenuhi unsur pokok suatu subyek hukum yaitu dapat melakukan perbuatan hukum atau dapat menjadi pribadi / subyek dari suatu hubungan hukum. Suatu badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus atau direksi dan pengurus ini harus ditentukan dalam peraturan atau akta pendiriannya.

3) Suatu hal tertentu.

(30)

perjanjian tidak hanya dapat berupa benda tapi juga dapat berupa jasa misalnya perjanjian kerja. Bila perjanjian tidak dapat sama sekali ditentukan pokok obyek perjanjian itu maka perjanjian itu menjadi batal (tidak sah).

4) Suatu sebab yang halal.

Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri dan bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan dengan kata lain perjanjian itu tidak sah/batal (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUH Perdata). Menurut Hardijan Rusli, suatu sebab dikatakan ada bila terdapat kontra prestasi yang disetujui dari suatu prestasi. Prestasi dan kontra prestasi yang salah satunya adalah kewajiban dan yang lainnya adalah syarat yang terdapat dalam perjanjian unilateral.

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab halal bila tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ini tidak diperbolehkan.

Keempat syarat tersebut merupakan syarat pokok adanya perjanjian. Keempat syarat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, dua syarat pertama adalah sebagai syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedang syarat yang lainnya dinamakan syarat obyektif, atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.

(31)

dapat dimintakan pembatalannya (voidable). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang dari semula sudah batal, hal ini berarti tidak pernah ada suatu perjanjian. Sedangkan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan adalah perjanjian yang mulanya berlaku tapi kemudian dimintakan suatu pembatalan. Jadi selama perjanjian tidak dibatalkan (oleh Hakim) atas permintaan pihak yang berhak membatalkan, maka perjanjian tersebut sah (Hardijan Rusli, 1993 : 44-45).

Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat tersebut tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya: dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, dan mengenai syarat subyektif, jika syarat tersebut tidak dipenuhi, perjanjiannya tidak batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dapat dibatalkan.

c. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

Terdapat beberapa asas penting dalam Hukum Perjanjian yang perlu diketahui. Asas ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Asas Konsensualisme

(32)

Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian apa saja dan dapat menentukan isi diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang, asal tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan, dan ketertiban umum. Mereka berhak menentukan kepentingan mereka sendiri dan dengan siapa mereka akan mengadakan perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Ketentuan ini berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

3) Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian kepada orang lain menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasi yang disanggupinya dikemudian hari. Tanpa kepercayaan itu maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini kedua belah pihak akan mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

4) Asas Pacta Sunct Servanda (asas kekuatan mengikat)

(33)

berlakunya perjanjian tersebut, selama perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan.

5) Asas Itikad Baik (goede trouw)

Asas ini berhubungan dengan dilaksanakannya suatu perjanjian, yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan ketentuan dalam pasal ini maka dalam melaksanakan suatu perjanjian, bila dalam masalah yang dihadapi belum ada aturannya maupun sudah tidak memenuhi rasa keadilan dan berdasarkan perkembangan zaman, maka para pihak diharuskan menyelesaikan dengan itikad baik”.

d. Para Pihak dalam Perjanjian

Pihak dalam perjanjian menurut Subekti adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam perjanjian. Pihak dalam perjanjian ini disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian ini harus mampu dan berwenang melakukan perbuatan hukum.

(34)

para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut.

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut yaitu sudut kewajiban-kewajiban (obligation) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Perkataan mengikatkan diri ditujukan pada sudut kewajiban (hal-hal yang tidak enak). Lazimnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral, suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikan kewajiban-kewajiban yang dibebankannya itu.

e. Risiko

Subekti memberikan definisi sebagai berikut:

“Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.”

Jadi risiko berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, dalam hukum perjanjian dinamakan sebagai keadaan memaksa.

Sedangkan dalam KUH Perdata pada bagian umum buku III terdapat salah satu Pasal yang sebenarnya menyatakan tentang risiko, yaitu Pasal 1237 yang berbunyi sebagai berikut:

(35)

Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Tetapi dalam Pasal ini risiko yang dimaksud hanya pada perjanjian sepihak, seperti halnya perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam pakai.

Pasal lain pada KUH Perdata yang mengatur mengenai risiko untuk perjanjian timbal balik terdapat dalam bagian khusus jaul beli, tukar menukar dan sebagainya.

Pasal yang mengatur soal risiko jual beli yaitu Pasal 1460 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya”.

Pasal 1460 KUH Perdata meletakkan risiko pada pembeli yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya, karena berhak menuntut penyerahannya. Seorang pembeli yang baru menyetujui Pasal 1460 KUH Perdata, ia sudah dibebani risiko barang itu, sedangkan menurut sistem KUH Perdata dalam segala macam jual beli hak milik baru berpindah kalau barangnya diserahkan.

(36)

f. Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda “Wanprestatie” yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelakanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitur yang dianggap lalai dengan lewatnya waktu ditentukan.

Cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam perjanjian, maka debitur hendaknya diperingatkan secara tertulis yaitu dengan surat peringatan (akta), biasanya surat yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur tersebut dianggap ingebreke stelling. Peringatan terhadap debitur baik dengan sommatie maupun dengan ingebreke stelling tidak akan menimbulkan problem jika debitur menyadari kewajibannya dan memenuhi kewajibannya tersebut. Tetapi problema akan timbul apabila debitur tetap tidak memenuhi prestasinya, dan berakibat timbulnya gugatan dimuka pengadilan. Dalam gugatan ini sommatie atau ingebreke stelling menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.

(37)

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

3) Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak seperti bagaimana yang telah diperjanjikan.

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Akibat hukum bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:

1) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

2) Perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).

3) Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

4) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

5) Memenuhi perjanjian bila masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

g. Perbuatan Melawan Hukum

(38)

berbeda sama sekali dengan perbuatan melawan hukum secara hukum perdata.

Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad oleh penguasa, juga memiliki arti, konotasi serta pengaturan hukum yang berbeda pula. ( Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum , Pendekatan Kontemporer ).

Tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

3) Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

(39)

1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai Berikut:

1) Ada Suatu Perbuatan

2) Perbuatan itu Melawan Hukum 3) Ada Kesalahan dari Pelaku 4) Ada Kerugian Korban

5) Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian. (S. Imron, 2007 : 1)

h. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah

Menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata perjanjian yang dibuat secara sah akan berakibat:

(40)

2) Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang.

Bila terjadi pembatalan suatu perjanjian yang dibuat secara sah maka harus dengan persetujuan pihak yang lainnya. Jadi harus diperjanjikan lagi. Kecuali adanya alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, maka pembatalan dapat dilakukan secara sepihak.

3) Harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Ketentuan ini ditujukan untuk menjamin agar apa yang diharapkan oleh para pihak benar-benar terlaksana.

Pasal 1339 KUH Perdata ditentukan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.

Hakim memiliki kewenangan yang diberikan undang-undang untuk menilai serta mengawasi pelaksanaan perjanjian, apakah ada pelanggaran norma kepatutan atau kesusilaan. Jadi hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian bila isi perjanjian bertentangan dengan itikad baik, yaitu kepatutan dan kesusilaan.

i. Berakhirnya Persetujuan atau Perjanjian

Menurut R. Setiawan (1987 : 69), persetujuan atau perjanjian dapat hapus, karena:

(41)

2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya dalam Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata ditentukan bahwa ahli waris bisa mengadakan perjanjian selama waktu tertentu untuk tidak mengadakan pemecahan harta warisan. Tapi waktu perjanjian dibatasi berlakunya lima tahun dalam ayat 4.

3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus, misalnya salah satu pihak meninggal dalam perjanjian kerja (Pasal 1603 KUHPerdata).

4) Pernyataan menghentikan perjanjian atau Opzegging. Hal ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dan hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja, sewa menyewa.

5) Tujuan persetujuan telah tercapai.

6) Persetujuan hapus karena adanya putusan hakim. 7) Dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Persetujuan seperti sewa menyewa, perjanjian kerja, pemberian kuasa, persetujuan dapat diakhiri secara sepihak. Mengingat asasnya para pihak diberi kemungkinan agar dapat saling membebaskan diri dari hubungan seperti itu. Mereka dapat mencegah kemungkinan tersebut dengan menbuat persetujuan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut persetujuan dapat diakhiri dengan kata sepakat oleh masing-masing pihak.

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Baku

a. Usaha Pembakuan

(42)

untuk merumuskan syarat-syarat secara rapi hingga dapat berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian dengan pihak yang membuat syarat-syarat tersebut. Selanjutnya pelaksanaan syarat-syarat tersebut dapat menjadi tidak normal, tidak sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen dengan pengusaha yang membuat perjanjian tersebut. Maka apa yang dikehendaki menjadi menyimpang.

Penyimpangan tersebut perlu dicegah karena nantinya akan merugikan pengusaha, maka pengusaha berusaha memasukkan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian untuk menghindari keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Saat ini pembakuan syarat-syarat perjanjian telah menjadi mode. Bagi pengusaha hal ini merupakan cara yang efisien, praktis, cepat dan tidak bertele-tele dalam mencapai tujuan ekonomi. Namun bagi konsumen keadaan ini tidak jarang merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau tidak.

Pembuatan perjanjian, pihak pengusaha selalu dalam posisi kuat dan berhadapan dengan konsumen yang pada umumnya mempunyai posisi lemah. Konsumen dalam hal ini dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu: 1) Bila konsumen membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan

kepadanya, jika ia setuju maka konsekuensinya ia harus menerima syarat-syarat baku yang diberikan kepadanya.

2) Bila konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat yang diajukan maka jangan mengadakan perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan.

(43)

disertai syarat-syarat baku yang menguntungkan dirinya. Syarat-syarat baku yang disodorkan tidak jarang menunjukkan ketidakadilan karena konsumen tidak berhak menawar syarat yang telah ditentukan.

Negara berkembang, sebagai dasar penerapa prinsip ekonomi tentunya syarat baku mampu digunakan sebagai salah satu cara penerapan prinsip ekonomi tersebut yaitu dengan usaha minimal, dengan waktu yang singkat, biaya ringan, dan dengan cara yang sepraktis mungkin dapat mencapai tujuan semaksimal mungkin.

Keberadaan perjanjian baku ini terkadang dirasa memberatkan oleh salah satu pihak, seperti halnya isi dari perjanjian itu sendiri seakan-akan hanya menguntungkan pihak yang membuatnya meski pihak yang lain pun sudah mendapat keuntungan.

(44)

mereka berpendirian untuk mengadakan perjanjian hanya jika mau melaksanakan apa yang telah ditentukannya.

Perjanjian baku di negara berkembang, diusahakan tidak hanya menguntungkan pemgusaha namun juga pihak konsumen. Bila terjadi perselisihan mengenai akibat yang timbul dari pelaksanaan syarat-syarat baku, maka para pihak masih akan berunding menyelesaikan masalah secara adil menurut mereka sendiri tanpa mengubah redaksional syarat perjanjian yang telah dibakukan. Selain itu negara juga ikut melindungi warganya baik pengusaha maupun konsumen melalui perundang-undangan dan lembaga peradilan. Hal ini juga diikuti di Indonesia.

b. Ciri–ciri Perjanjian Baku

Istilah bahasa Inggris perjanjian baku sering disebut sebagai standar contract, atau standar agreement. Perjanjian baku memiliki ciri-ciri mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan dan sebagai tolok ukurnya dilihat dari kepentingan pengusaha bukan dari kepentingan konsumennya.

Mariam Darus berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, dengan ciri-ciri:

1) Mempunyai bentuk tertentu dan biasanya tertulis. Jumlah lembaran tidak mempengaruhi, walaupun hanya satu lembar perjanjian tersebut sudah mengikat

(45)

3) Debitur tidak ikut menentukan isi dari perjanjian, pihak debitur hanya mempunyai pilihan menerima atau menolak dan mengisi formulir yang telah disediakan oleh kreditur.

4) Terdorong oleh kebutuhan, maka debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut.

5) Dipersiapakan terlebih dahulu secara masal, dalam arti bahwa formulir untuk perjanjian tersebut dipersiapkan lebih dari 1 lembar.

(Sukasno, 1993 : 5)

Adanya perjanjian baku ini maka seorang pengusaha dapat menggunakan formulir berkali-kali. Alasannya bahwa bila membuat suatu perjanjian baru, maka membutuhkan lebih banyak waktu, biaya dan tenaga. Karena bagaimanapun juga seorang pengusaha akan berusaha seefisien dan seefektif mungkin.

c. Penerapan Syarat-syarat Baku

Empat cara pengikutsertaan syarat-syarat baku yang paling banyak digunakan yaitu melalui:

1) Penandatanganan

Metode ini merupakan metode yang paling aman. Dalam metode ini syarat-syarat dimasukkan dalam satu dokumen kontrak dan meminta pada pihak peserta kontrak untuk menandatangani. Berdasarkan peraturan umum dalam hukum perikatan yang memuat pengikatan berarti terikat pada isi yang ditandatangani. Dokumen-dokumen yang dimaksud dapat berupa kontrak atau formulir kontrak, juga satu formulir permintaan untuk satu asuransi.

(46)

2) Pemberitahuan diatas dokumen-dokumen kontrak atau kertas surat. Ada kebiasaan untuk mencetak syarat-syarat baku diatas dokumen-dokumen kontrak yang tidak ditandatangani, seperti kertas surat, katalog, rencana-rencana pekerjaan, surat angkutan dan sebagainya. Dalam hal ini tidak dipentingkan apakah pihak peserta lain telah mengadakan perjanjian atas dasar jabatan atau tidak. Yang penting, apakah dokumen telah diserahkan atau dikirim kepada peserta pihak lain sebelum atau pada saat pengadaan kontrak atau sesudahnya. Dalam hal terakhir ini dapat ditetapkan bahwa tidak dapat lagi diadakan perubahan dalam perjanjian yang telah diadakan tersebut.Menurut Peradilan yang tetap, bila orang yang tidak dalam waktu singkat mengajukan keberatan terhadap isi surat pengukuhan, maka dianggap telah menyetujui isinya.

3) Penunjukan dalam dokumen-dokumen kontrak.

Suatu transaksi mengenai perdagangan, satu tanda dari organisasi sudah cukup untuk mencapai penerapan dari syarat-syarat baku yang ditetapkan organisasi tersebut.

4) Pemberitahuan atau penunjukan di atas papan pengumuman.

Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi kontrak dengan jalan pengumuman atau penunjukan diatas papan.

Contohnya: Papan-papan dengan pembatasan tanggung jawab atau penghapusan tanggung jawab, misalnya pada tukang parkir. Peradilan menetapkan bahwa untuk metode tersebut, maka pengumuman harus ditempatkan di tempat yang jelas, klausul-klausul dicetak dengan huruf yang mudah dibaca, dan dapat dilihat sebelum diadakan perjanjian. (Suradji, 1994 : 7)

(47)

maupun ketidaktahuannya, maka hanya menerima apa yang dihadapkan padanya. Perjanjian standart biasanya digunakan dalam perjanjian seperti perjanjian kredit bank, dokumen angkatan laut, udara polis asuransi, dan lain-lain.

3. Tinjauan Umum tentang Pengangkutan

a. Pengertian Pengangkutan

Membahas mengenai perjanjian pengangkutan, sebelumnya kami bahas mengenai pengertian pengangkutan terlebih dahulu. Pengangkutan menurut pengertian penyusun adalah merupakan proses mengangkut suatu barang, benda, orang ataupun pemuatan yang lain yang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sedang pengangkutan menurut definisi Abdulkadir Muhammad adalah:

“proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan”.

Perjanjian pengangkutan pada umumnya, tidak harus dibuat secara tertulis, melainkan cukup adanya kata sepakat dari para pihak. Dalam hal ini yang penting adalah persetujuannya. Karena mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak telah dirumuskan dalam undnag-undang lalu lintas dan angkutan jalan serta peraturan pemerintah. Mengenai perjanjian pengangkutan ada beberapa pendapat:

Menurut Subekti bahwa:

“Perjanjian Pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.” (Subekti, 1995 : 69).

Kemudian menurut Purwosutjipto, bahwa:

(48)

untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, dan / atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.”

(Purwosutjipto, 1991 : 2).

Menurut Abdulkadir Muhammad, beliau mengatakan bahwa definisi yang dikemukakan oleh Purwosutjipto tersebut hanya mengenai perjanjian antara pengangkut dan penumpang. Jadi hanya meliputi perjanjian pengangkutan barang, maka beliau menambah menjadi:

“Perjanjian Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untu menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.”

(Abdulkadir Muhammad, 1991 : 20)

b. Dasar Perjanjian Pengangkutan

Undang-undang tidak mensyaratkan cara terjadinya perjanjian pengangkutan, hanya dalam praktek dapat diketahui bagaimana cara terjadinya. Biasanya melalui adanya penawaran dari pihak pengangkut. Penawaran ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan menggunakan perantara, misalnya ekspeditur atau biro perjalanan. Dalam penawaran langsung maka dalam pelaksanaannya pihak pengangkut menghubungi langsung pada pihak pengirim atau penumpang, atau dengan jasa media massa, radio, brosur dan mungkin pada masa sekarang dengan melaui internet sehingga bila ada pihak yang berkepentingan terhadap pengangkutan tersebut dapat langsung menghubungi. Penawaran dapat juga dilakukan dari pihak pengirim atau penumpang menghubungi pengangkut kemudian menyerahkan barang dan kemudian menyetujui persyaratannya.

(49)

kelalaian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaiman berlaku untu perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam buku III KUH Perdata.

c. Asas-Asas didalam Perjanjian Pengangkutan

Ada beberapa asas pokok yang mendasari dalam perjanjian pengangkutan:

1) Asas konsensualisme

Asas ini menyatakan bahwa bentuk perjanjian pengangkutan tidak mensyaratkan harus dibuat secara tertulis. Persetujuan kehendak para pihak secara lesan antara para pihak sudah cukup bahwa telah ada perjanjian pengangkutan. Bila dalam pengangkutan terdapat dokumen-dokumen, tetapi dokumen tersebut bukan merupakan perjanjian tertulis melainkan hanya merupakan bukti bahwa persetujuan ada diantara pihak. Dalam rumusan Pasal 90 KUHD ditulis bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara si pengirim atau ekspeditur pada pihak pertama, dengan pengangkut pada pihak kedua, dan surat tersebut memuat selain apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti mengenal waktu dalam mana pengangkutan harus telah selesai dilakukan dan mengenai penggantian kerugian dalam hal kelambatan. Menurut Pasal 90 KUHD, isi surat muatan adalah:

a) Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, merk serta jumlahnya.

b) Nama alamat dan penerima c) Nama dan alamat pengangkut

d) Jumlah biaya atau tarif pengangkutan e) Tanggal

(50)

Menurut Purwosutjipto dari rumusan tersebut menunjukkan baha tanpa surat muatan berarti tidak ada perjanjian. Kemudian dalam Pasal 90 ayat (1) No. 6 dapat disimpulkan bahwa surat muatan cukup ditanda tangani oleh pengirim atau ekspeditur saja. Keadaan ini tidak sesuai dengan terjadinya perjanjian yang salah satunya menyebut kesepakatan. Kata sepakat ini menunjukkan adanya minimal dua pihak dalam satu perjanjian, sedangkan dalam surat muatan hanya ditanda tangani satu pihak saja. Jadi surat muatan bukan merupakan bukti adanya perjanjian tapi merupakan surat pengantar, atau tanda bukti adanya persetujuan bukan perjanjiannya.

2) Asas koordinasi

Asas ini pada dasarnya mensyaratkan adanya kedudukan sejajar antara pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam asas ini tidak berlaku hubungan buruh dengan majikan pada perjanjian perburuhan. Menurut Purwosutjipto sifat perjanjian pengangkutan adalah koordinasi karena hubungan kerja antara pengirim dan pengangkut hanya kadangkala yaitu bila pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang hubungannya adalah pelayanan berkala.

3) Asas campuran

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian:

a). Pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut b). Penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut

c). Melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan pengirim kepada pengangkut

4) Asas tidak ada hak retensi

(51)

pengangkutan maka pengangkut dapat melakukan upaya hukum melalui hakim pengadilan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 94 KUHD. Menurut Abdulkadir Muhammad penggunaan hak retensi dalam pengangkutan bertentangan fungsi dan tujuan pengangkutan, yaitu terpenuhinya hak dan kewajiban pihak-pihak dalam pengangkutan.

d. Subyek Dalam Perjanjian Pengangkutan

Subyek pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan.

Sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik yaitu meletakkan kewajiban pada masing-masing pihak. Dalam perjanjiannya ada pihak yang langsung terikat dengan perjanjian pengangkutan dan ada yang tidak langsung terikat dalam perjanjian. Pihak yang berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan antara lain:

1) Pengangkut

Pengangkut mempunyai dua arti, yaitu:

a) Penyelenggaraan pengangkutan yaitu pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.

b) Alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Dalam hal pelaksanaan perjanjian pengangkutan pada umumnya pihak pengangkut bebas memilih sendiri alat pengangkutan yang hendaknya dipakai.

2) Pengirim

(52)

majikan penumpang dalam perjanjian pengangkutan serombongan penumpang seperti tenaga kerja, rombongan kontingen olahraga. Sebagai pemilik barang adalah:

a) Manusia pribadi b) Perusahaan perorangan c) Perusahaan persekutuan d) Badan hukum

e) Bukan badan hokum

3) Penumpang

Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang yang mempunyai dua kedudukan:

a) Sebagai subyek karena merupakan pihak dalam perjanjian, b) Sebagai obyek karena merupakan muatan yang diangkut.

Pihak yang tidak berkedudukan langsung sebagai pihak dalam perjanjian tetapi bertindak atas nama atau untuk kepentingan pihak lain.

1) Ekspeditur:

Ekspeditur yaitu orang yang pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau di perairan bagi pengirim. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 86 ayat I KUHD. Jadi ekspeditur berfungsi sebagai perantara.

2) Biro perjalanan (travel agent)

Biro perjalanan yaitu pihak yang mencarikan pengangkut untuk penumpang yang bertindak atas nama penumpang untuk memperoleh tiket.

3) Pengatur muatan

(53)

Pengatur muatan adalah orang yang ahli menempatkan barang dalam ruangan kapal sesuai dengan sifat barang dan keadaan, juga ventilasi yang dibutuhkan.

4) Pengusaha pergudangan (warehousing)

Pengusaha pergudangan adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha penyimpanan barang-barang dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudangyang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai.

5) Penerima (consigne)

Penerima ini dapat dilakukan oleh pihak pengirim sendiri atau dapat pihak ketiga yang berkepentingan. Bila pihak penerima adalah adalah pengirim sendiri maka penerima adalah pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan.

e. Obyek Pengangkutan

Obyek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan, yaitu:

1) Muatan barang

Muatan barang yang dimaksud disini adalah barang-barang yang termasuk juga muatan hewan. Barang tersebut diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkutan.

2) Muatan penumpang

(54)

undang-undang tidak memberikannya. Tetpai dilihat dari perjanjian pengangkutan selaku obyek perjanjian, penumpang adalah setiap orang yang berada dalam alat pengangkutan yang mempunyai tiket penumpang yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.

3) Alat Pengangkutan

Seorang pengusaha dalam usaha pengangkutan memiliki alat pengangkut sendiri.

Alat angkut ini dapat berupa: a) kendaraan bermotor b) kapal laut niaga c) pesawat udara

khususnya dalam pengangkutan dengan kendaraan bermotor harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah dicantumkan dalam undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu harus memenuhi:

a) persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor b) pengujian kendaraan bermotor

c) pandaftaran kendaraan bermotor

4) Biaya pengangkutan

Biaya pengangkutan tidak diatur secara umum dakam rumusan KUHD. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan pengangkutan yang dibayar pengirim atau penerima atau penumpang kepada pengangkut.

(55)

Abdulkadir Muhammad (1991 : 68 – 69) menyatakan bahwa perhitungan biaya pengangkutan ditentukan juga oleh beberapa hal berikut:

a) Jenis pengangkutan, yaitu pengangkutan darat, laut, dan udara. Tiap jenis pengangkutan mempunyai biaya yang tidak sama.

b) Jenis alat angkutan, yaitu bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara. c) Jarak pengangkutan, yaitu jarak yang jauh maupun dekat.

d) Waktu pengangkutan, yaitu pengangkutan yang cepat maupun lambat.

e) Sifat muatan, yaitu berbahayakah,mudah rusak, pecah, busuk sehingga dapat diperkirakan berapa kerugianjika terjadi hal-hal tersebut.

Adanya patokan-patokan tersebut di atas maka dapat diperkirakan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan atas adanya pengangkutan.

f. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan

Perjanjian pengangkutan berakhir bila terdapat dua keadaan:

1) “Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah penyerahan dan pembayaran biaya pengangkutan di tempat tujuan yang disepakati, 2) Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka

perbuatan yang dijadikan ukuran adalah pemberesan membayar ganti kerugian”.

(56)

Pada umumnya perusahaan pengangkutan untuk adanya jaminan barang yang diangkut, serta untuk menarik konsumen, dalam perjanjian pengangkutan disertai asuransi atas apa yang diangkut.

B. Kerangka Pemikiran

Pengirim Perjanjian Pengangkut

Pengangkutan Hukum Pengangkutan

(57)

BAB III

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

A. Deskripsi Umum tentang CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua Tirta Investama Klaten

1. Deskripsi tentang CV. Bintang Jaya

a. Sejarah Singkat CV. Bintang Jaya

CV. Bintang Jaya berdiri pada tahun 1982 dengan Akte Pendirian No. 61/29 Januari 1982 dengan H. Madi Hartono sebagai Direktur dan H. M. Sidik Pramono sebagai Komanditer. Kemudian ada perubahan kepemimpinan dengan Akte Perubahan No. 8/4 Mei 1987.

CV. Bintang Jaya merupakan salah satu transportir / pengangkut yang bergerak di bidang angkutan air minum dalam kemasan. Perusahaan ini didirikan oleh Bapak H.M. Sidik Pramono pada tahun 1982. Pada mulanya alat angkutan yang digunakan hanyalah menggunakan mobil Colt Diesel keluaran tahun 1982. Karena semakin bertambahnya kebutuhan air minum dalam kemasan yang harus diangkut maka ditambah pengadaan armada. Dengan semakin bertambahnya kebutuhan akan air minum dalam kemasan maka mau tidak mau harus diusahakan untuk adanya penambahan mobil lagi. Dan kebetulan pada saat itu ada penawaran dari singapura truk buitl up.

b. Struktur Organisasi

(58)

menguasai dan menikmati suatu keuntungan daripada pemilikan. Bentuk-bentuk pemilikan ditentukan oleh keputusan manajemen, Bentuk-bentuk pemilikan ini mementukan berhasil tidaknya perusahaan. Salah satu bentuk pemilikan perusahaan adalah CV. Untuk memperlancar kinerja perusahan guna mencapai suatu tujuan, diperlukan suatu pengelompokkan dengan pembagian tugas berdasarkan atas spesialisasi. Dalam suatu organisasi ada struktur yang secara skematis mengatur hubungan kerja sama dari masing-masing bagian yang ada dalam mencapai suatu tujuan.

Struktur organisasi CV. Bintang Jaya dapat dikatakan sebagai struktur organisasi yang sederhana. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut:

DIREKTUR UTAMA KOMISARIS

DIREKTUR

KOMISARIS

BAG. ADMINISTRASI

TOP SUPERVISOR PEMBANTU

UMUM

PRESIDEN KOMISARIS

SUPERVISOR SUPERVISOR

(59)

Keterangan Gambar:

1) Direktur utama bertugas mengkoordinir semua kegiatan perusahaan, baik urusan intern maupun ekstern.

a) Tugas intern ini meliputi:

Ø Merencanakan kegiatan perusahaan. Ø Mengkoordinir kegiatan perusahaan Ø Memilih pegawai

Ø Memberikan perintah sehubungan dengan kegiatan perusahaan mengawasi bawahan.

b) Tugas ekstern adalah mewakili perusahaan dalam hubungannya dengan pihak luar perusahaan.

2) Direktur bertugas membantu tugas daripada Direktur utama dalam hubungannya dengan pelaksanaan pengkoordinasian secara langsung dengan para bawahan dan dalam melaksanakan tugasnya diberikan kekuasaan penuh serta mewakili dan menggantikan Direktur utama apabila berhalangan.

3) Bagian Administrasi bertugas: a) melaksanakan pembukuan

b) melakukan segala kegiatan yang berkaitan dengan keuangan.

4) Pembantu umum bertugas melakukan penagihan piutang atas jasa pengiriman air minum dalam kemasan terhadap para konsumen.

5) Top Supervisor bertugas:

a) Melakukan koordinasi dengan supervisor

Referensi

Dokumen terkait

Perkuliahan ini bertujuan mengembangkan kemampuan mahasiswa memahami teori peluang secara lebih mendalam dengan pendekatan aksioma... Lingkup bahasannya meliputi:

28 Wijaya Endra (Ina) Customs Cycling Club Indonesia 29 Tedy S Adrian (Ina) Bintang Kranggan Cycling Club 30 Ade Solihin (Ina) Bintang Kranggan Cycling Club. 31 Abadi

Pengelolaan Administrasi Pengangkatan Pejabat Struktural di lingkungan Pemerintah Daerah dan Jabatan Struktural Eselon II dilingkungan Pemerintah Kab/Kota se Provinsi Riau.

Keaksaraan Fungsional oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara di Desa Makarti Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara belum terlaksana dengan baik dan

Jika teman atau kerabat yang bisa diajak bekerjasama tidak tersedia (entah karena kita lebih menghargai hubungan kekerabatan atau persahabatan atau karena memang mereka

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai pengaruh pengetahuan tentang pajak, persepsi terhadap

Pada lokasi penelitian terdapat hubungan antara dukungan orang tua dengan perilaku merokok terlihat dari hasil uji chi square di dapat nilai P Value = 0,025 dan ini lebih

c) Melakukan penggeledahan badan terhadap orang yang dicurigai. d) Melakukan pemeriksaan di bagian bawah mobil maupun bagian bagasi dengan teliti. 2) Melakukan