• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kode Nama Rumpun Ilmu 603 Ketahanan Nasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kode Nama Rumpun Ilmu 603 Ketahanan Nasi"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

HIBAH

Model Karakter Nasion

K

LEMBAGA PENELIT UN

Kode/Nama Rumpun Ilmu**:60

LAPORAN AKHIR

H PENELITIAN DOSEN PEMULA

ionalisme Keindonesiaan Mantan Pem

di Aceh Utara

TIM PENGUSUL:

Ketua: Fakhrurrazi, S.H.I, M.Si (NIDN: 0016067705)

Anggota: Arief Rahman, S.Pd., M.Pd (NIDN: 0012038208)

ITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASY UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

OKTOBER 2016

\

:603/Ketahanan Nasional

emuda Separatis

(2)
(3)

Ringkasan

Penelitian ini bertujuan memperoleh suatu pemahaman yang utuh tentang mengapa nasionalisme keindonesiaan dikalangan mantan pemuda seperatis di Aceh Utara yang pada era konflik sangat resisten terhadap Indonesia namun setelah perdamaian tercipta berubah menjadi nasionalistik. Dimensi sosial apa saja yang mendorong terjadinya perubahan sikap mantan pemuda seperatis Aceh Utara terhadap nasionalisme keindonesiaan menjadi fokus khusus dari penelitian ini. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Sementara untuk memperoleh data sebagai basis analisis dalam memperoleh temuan-temuan dilakukan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam (indepth interview) danFocus Group Discussion(FGD).

Setelah proses penelitian dilakukan, studi ini menemukan bahwa nasionalisme keindonesiaan pemuda Aceh Utara terhadap Indonesia pada dasarnya cukup baik. Pada tahun 1945 mereka secara heroik bersama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Hasan Di Tiro bahu membahu melakukan Indonesianisasi Aceh. berhadapan dengan situasi sosial dan pembangunan yang tertinggal dan porak-poranda pasca perang dengan Belanda dan Jepang, maka pandangan visioner Presiden Soekarno yang berikrar akan membawa Indonesia dalam kedudukan sebagai bangsa besar yang sejahtera dan berperadaban tinggi didunia menjadi alasan subtantif dibalik tumbuh suburnya nasionalisme pemuda dan masyarakat umumnya di Aceh Utara.

Namun, berbilang waktu dalam perjalanan menjadi Indonesia, masyarakat Aceh Utara mengalami dan merasakan keadaan yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Soekarno doeloe. Eksploitasi besar-besaran “perut bumi” Aceh Utara yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak 1976 bukannya merubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik, yang terjadi justeru melebarnya segregasi sosial akibat massifnya penduduk miskin disatu sisi dan minoritasnya yang dapat memperoleh keuntungan dari eksploitas migas di tanah mereka. Pada dimensi lain perlakukan sosial-politik yang menafikan nilai-nilai kearifan lokal dirasakan telah mencabut identitas orang Aceh Utara. Realitas inilah yang kemudian melahirkan resistensi terhadap nasionalisme Indonesia. Sehingga dalam konflik pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mereka bergabung kedalam kelompok perjuangan ini. Namun, seiring dengan tumbuhnya rasa nyaman, meningkatnya kesejahteraan dan penghargaan terhadap identitas kearifan lokal masyarakat Aceh Utara yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan korektif masa lalu oleh pemerintah Indonesia di era pasca damai, rasa kecintaan (nasionalisme) pemuda Aceh Utara terhadap Indonesia mulai tumbuh kembali.

(4)

PRAKATA

Alhamdulillah, penelitian tentang Model Karakter Nasionalisme Keindonesiaa Mantan Pemuda

Separatis di Aceh Utara meskipun belum tuntas seluruhnya telah berhasi dilakukan. Studi ini

berhasil menemukan permasalahan yang mengitari seputar nasionalisme pemuda mantan gerakan

aceh merdeka di kabupaten aceh utara, pada zaman dulu begitu mencintai NKRI berubah menjadi

membenci NKRI

Kerja akademis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan sejumlah pihak. maka, didasari oleh ketulusan yang mendalam peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dirjen DIKTI Kementerian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi Republik Indonesia

2. DPRM DIKTI Kementerian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi Republik Indonesia

3. Rektor Universitas Malikussaleh

4. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Malikussaleh

5. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh 6. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara

7. Panglima GAM Wilayah Teungku Chiek Di Moen Lhoek Simpang Keuramat Aceh Utara

8. Camat dan Jajaran Kecamatan Simpang Keuramat Kabupaten Aceh Utara 9. Pemuda dan warga masyarakat Simpang Keuramat Kabupaten Aceh Utara 10. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu

Kontribusi konstruktif pelbagai pihak tersebut telah memposisikan penelitian ini sebagai studi yang mungkin, dapat dan berhasil dilakukan.

Lhokseumawe, 20 Oktober 2016 Ketua Peneliti,

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……….. i

HALAMAN PENGESAHAN………... ii

RINGKASAN ………... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB 1. PENDAHULUAN ……….. 6

A. Latar Belakang Masalah………. 6

B. Permasalahan……….. 7

C. Tujuan Khusus Penelitian………... 7

D. Urgensi Penelitian………... 8

E. Temuan Penelitian………... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ……….………. 9

A. Penelitian Terdahulu……….……….. 9

B. Kajian Teoritis ………. 10

BAB 3. METODE PENELITIAN ……… 12

A. Lokasi Penelitian………. 12

B. Informan Penelitian………. 13

C. Teknik Pengumpulan Data………. 14

D. Teknik Analisis dan Interpretasi Data……….... 14

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 18

A. Konflik dan Guncangan Nasionalisme Keindonesiaan Pemuda Aceh Utara………...15

B. Nihilisasi Nasionalisme Indonesia Dan Renasionalisasi Nasionalisme Aceh………17

C. Operasi Militer dan Runtuhnya Nasionalisme Indonesia……….23

D.. Dinamika Nasionalisme Keindonesiaan Pada Pemuda Aceh Utara Pasca Konflik...42

E. Nasionalisme Keindonesiaa Pemuda Aceh Utara Mengalami Pertumbuhan Kembali...50

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN………...29

DAFTAR PUSTAKA………32

(6)

Bab I Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Teoritisi nasionalisme terkemuka Perancis, Abbe Sieyes menulis, bahwa bangsa mendahului segala sesuatu. Kehendak bangsa selalu absah dan bangsa adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu, negara bangsa (nation state) adalah satu-satunya unit politik yang sah sebagai penjaga identitas bangsa (Ian Adams, 2004: 122). Dengan demikian, kecintaan rakyat terhadap perasaan kebangsaan yang dalam terminologi teoritik keilmuan sosial disebut dengan nasionalisme mendasari eksistensi suatu negara bangsa. Pada sisi inilah antara nasionalisme dan negara bangsa merupakan pasangan yang integral dan tidak terpisahkan.

Namun, nasionalisme sebagai perasaan kecintaan terhadap kebangsaan yang terbentuk secara sosial dalam tataran empiris, ia tidak sekali jadi dan berdiri kokoh secara statis melainkan cenderung bersifat dinamis atau mengalami pasang surut (Nicholas Aberchrombie, 2010: 366). Realitas ini antara lain terefklesikan pada karakter nasionalisme keindonesiaan mantan pemuda Aceh khususnya di kabupaten Aceh Utara. Dalam rentang konflik panjang antara pemerintah Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang terpentaskan dari tahun 1976 sampai dengan 2005 di daerah yang menjadi salah satu pusat dari konflik utama di Aceh ini para pemudanya menunjukkan resistensi yang sangat tinggi terhadap sesuatu yang berbau Indonesia.

(7)

Resistensi terhadap nasionalisme keindonesiaan bertambah transparan melalui penabalan sebutan Si PAI (Pendusta Agama Islam) terhadap semua aparatur pemerintahan di Aceh baik PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun TNI/Polri. Sebutan ini adalah sebutan sinisme dan memposisikan aparatur pemerintahan Indonesia sebagai lawan atau musuh dari masyarakat Aceh. Namun, setelah 7 tahun perdamaian berhasil di wujudkan di Aceh melalui MOU Helsinki 15 Agustus 2005 perasaan nasionalisme keindonesiaan para pemuda di kabupaten Aceh Utara tampak mulai mekar dan bersemi kembali. Hal itu tercermin tidak hanya pada maraknya pemuda yang memakai kaos tim sepakbola nasional Indonesia yang berlabel Garuda tetapi juga mulai antusiasnya mereka mengikuti ritual upacara kemerdekaan 17 Agustus, tingginya partipasi politik dalam Pemilu dan Pemilukada dan mulai hilangnya sebutan si Pai terhadap aparatur pemerintah Indonesia di Aceh.

Realitas ini secara akademik menggugah pertanyaan mengapa perasaan nasionalisme keindonesiaan mantan pemuda seperatis di Kabupaten Aceh Utara yang sebelumnya sangat rendah dan cenderung apatis serta sinis terhadap sesuatu yang bersimbol keindonesiaan kini berubah secara lambat laun menjadi kecintaan?. Bagaimana karakter nasionalisme keindonesiaan mantan pemuda separatis di kabupaten Aceh Utara ini sesungguhnya?. Kenyataan ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut khususnya untuk memahami bagaimana karakter dan perubahan nasionalisme keindonesiaan para mantan pemuda seperatis khususnya di kabupaten Aceh Utara.

2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah:

1. Mengapa nasionalisme keindonesiaan mantan pemuda seperatis khususnya di Aceh Utara berubah dari apatis, sinis dan acuh tak acuh menjadi mulai mencintai Indonesia

2. Bagaimana karakteristik nasionalisme keindonesiaan mantan pemuda seperatis di kabupaten Aceh Utara

3. Tujuan Khusus

(8)

nasionalisme dikalangan para pemuda Indonesia yang sebelumnya pro terhadap gerakan seperatis namun setelah beberapa tahun perdamaian berhasil tercipta dan mengalami kestabilan, nasionalisme keindonesiaan pun tumbuh dan bersemi. Bukan mustahil temuan studi ini meskipun disadari memiliki kekhasan tersendiri akibat perbedaan konstruk sosio-kultural memiliki relevansi untuk memahami konstruksi nasionalisme masyarakat Indonesia lainnya yang bertipologi“kritis”semisal Papua dan Ambon.

4. Urgensi Penelitian

Model Nasionalisme Keindonesiaan mantan pemuda sparatis GAM merupakan salah satu bentuk keadaan yang ril terjadi di Aceh,khususnya di Aceh Utara. Bila kita lihat dari sejarah GAM, Aceh Utara merupakan basis Separatis GAM terbesar di Aceh. Namun dengan munculnya Nasionalisme keindonesiaan dikalangan pemuda mantan sparatis menarik untuk diteliti.Dalam konteks ini, nasionalisme keindonesiaan para mantan sparatis GAM sangat urgen untuk diteliti,dan kemudian menemukan apa penyebab muncul nasionalisme keindonesiaan dikalangan pemuda sparatis GAM tersebut.

5. Temuan Penelitian

(9)

Bab II Tinjauan

Pustaka

A. Penelitian Terdahulu

Berbeda dengan teoritikus nasionalisme lainnya semisal Tom Nairn, Ernest Renan dan Ernest Gellner, Anderson (2001) memahami bangsa sebagai suatu proyeksi, baik dalam dimensi waktu maupun ruang. Bangsa menjadi suatu proyeksi kedepan dan sekaligus ke belakang. Karena itu tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa “lahir”, namun bangsa itu “hadir” dalam proses “formasi” sebagai suatu “historical being”. Bangsa atau nasion merupakan komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak bertatap muka dengan mereka dan bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.

Pandangan Anderson ini relevan dengan realitas keindonesiaan. Secara genealogis Indonesia bukanlah suatu bangsa yang “lahir”dari sejak awal meskipun dari segi genetis bangsa Indonesia umumnya berasal dari rumpun yang sama yaitu Melayu. Sebab jauh sebelum Indonesia menjadi negara bangsa (nation state) tahun 1945 masyarakat yang berada di wilayah Indonesia saat ini terfragmentasi dalam negara-negara kecil yang berbentuk kerajaan. Hal ini menyebabkan kehadiran negara baru yang bernama “Indonesia” membutuhkan suatu komitmen dan kerja besar untuk membentuk proses peng-Indonesiaan orang Indonesia.

(10)

B. Kajian Teoritis

Nasionalisme dalam perspektif Stanley Benn terdapat lima unsur, pertama, semangat ketaatan kepada suatu bangsa, kedua, dalam aplikasinya kepada politik, nasionalisme menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri khususnya jika kepentingan bangsa sendiri berlawanan dengan kepentingan bangsa lain. Ketiga, sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa dan Karena itu, keempat, doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan dan kelima, nasionalisme adalah suatu teori politik yang menekankan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu, Nurcholish Madjid, (2001: 37).

Jadi nasionalisme adalah sesuatu yang lahir dari proses sejarah yang panjang dalam suatu bangsa. Bukan suatu kebetulan atau bikinan elite-elite tertentu seperti yang dicetuskan oleh Gellner. Ernest Gellner (1983) menyebutkan bahwa nasionalisme pada dasarnya hanya sebuahkebetulan, sebuah kecelakaan. Kebutuhnya tergantung dengan tempat dan waktu yang melingkupinya. Ada pola keterpengaruhan yang terus-menerus membentuk kesadaran nasionalisme sebuah masyarakat yang itu dapat berasal dari apa saja dan dimana saja.

Nasionalisme Indonesia jelas merupakan sesuatu yang lahir sebagai produk kesadaran sejarah komponen bangsa bukan kebetulan atau bikinan sesaat. Tidak karena dominasi etnik tertentu tetapi kemauan nasional yang berangkat dari kesadaran senasib dan sebangsa. Onghokham (1987) menegaskan bahwa pembentukan Hindia Belanda ke Indonesia tidak berasal dari superioritas etnik tertentu, tapi dianggap pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh etnik untuk merdeka dan merumuskan nasionalisme Indonesia. Inilah proses pembentukan nasionalisme modern Indonesia. Tidak diawali oleh kekalahan Belanda pada tahun 1942 tapi jauh sebelum itu ketika gerakan kebangkitan nasional mulai marak di tahun 1920-an hingga 1930-an.

(11)

berdasarkan metodologi praktis individualismenya dikembangkan menjadi sebuah tuntutan. Hal ini akan menguncang rasa nasionalisme nasional suatu masyarakat.

Karakter nasionalisme tidak bersifat statis tetapi dinamis atau mengalami pasang surut. Sebab nasionalisme sebagaimana halnya negara bangsa dan identitas nasional sebagai bentuk kolektif organisasi dan identifikasi bukanlah fenomena yang terjadi“secara alamiah” melainkan bangunan sosial, kultural dan historis yang tidak tentu. Negara bangsa adalah konsep politis yang mengacu pada aparat administratif yang dipercaya memiliki kedaulatan atas kawasan atau wilayah tertentu dalam sistem negara bangsa.

Sementara identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus negara bangsa. Jadi, bangsa dan juga nasionalisme bukan hanya sekedar bangunan politis melainkan sistem representasi budaya dimana identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif. Negara bangsa sebagai aparatur politik dan bentuk simbolis mengandung dimensi temporer dimana struktur politik melanggengkan dan mengubah ketika dimensi simbolis dan diskursif identitas nasional mengisahkan dan menciptakan gagasan tentang asal-usul, kontinuitas dan tradisi, (Chris Barker, 2005 :203)

(12)

Bab III Metode

Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berusaha melukiskan peristiwa, memahami dan menangkap makna budaya dibalik stagnasinya kesejahteraan petani meskipun produktivitas pertaniannya meningkat. Pemahaman ini dibangun dari sudut pandang dan penghayatan petani sendiri. Sebab itu, perspektif yang digunakan dalam memahami fenomena dalam studi ini adalah perspektif etnografi.

Metode etnografi yang digunakan dalam studi ini adalah metode etnografi kognitif sebagaimana yang dikonstruksikan oleh Spradley. Berbeda dengan etnografi modern yang memandang bentuk sosial dan budaya (pemahaman) masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Maka, dalam etnografi kognitif bentuk tersebut dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut dan tugas sang peneliti adalah menggalinya agar keluar dari pikiran mereka. Untuk menggali suatu pemahaman sosial yang ada dipikiran suatu komunitas, maka seorang peneliti etnografi harus memahami simbolisasi pikiran mereka itu dari bahasa yang mereka ungkapkan baik implisit maupun eksplisit, baik melalui perkataan dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara yang panjang (James P. Spradley, 2006: xii). .

Objektivitas dalam perspektif metode ini dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu (Moleong,2000) yang dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat petani Aceh Utara Propinsi Aceh. Proses penghayatan ini penting dilakukan sebab apa yang tampak dipermukaan sebagai pola tindakan manusia merupakan pancaran dari apa yang ada dalam pikiran manusia itu (Sanapiah Faisal,2003).

Untuk memperoleh data sebagai landasan interpretasi dalam menjawab permasalahan penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka di bawah ini berturut-turut dipaparkan lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisis data.

1. Lokasi Penelitian.

(13)

masyarakat Aceh. Namun, setelah 7 tahun perdamaian berhasil di wujudkan di Aceh melalui MOU Helsinki 15 Agustus 2005 perasaan nasionalisme keindonesiaan para pemuda di kabupaten Aceh Utara tampak mulai mekar dan bersemi kembali.

2.Informan Penelitian

Informan penelitian dalam studi ini dipilih berdasarkan posisi dominan mereka dalam struktur GAM,. Mereka itu adalah masyarakat dan mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka, Panglima Sagoe, Petinggi GAM dan dan Pimpinan Partai Aceh (PA) serta pemerintahan kabupaten yang terkait.

3.Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara trianggulasi yaitu menggabungkan antara teknik survey dan etnografi. Teknik pengumpulan data tersebut adalah:

1. Penyebaran Angket

Penyebaran angket (kuesioner) dilakukan terutama untuk mengetahui tentang Nasionalisme, bentuk kecintaan terhadap Indonesia, dan keadaan populasi baik mengenai pendidikan, serta pekerjaan para pemuda mantan Gerakan Aceh Merdeka.

2. Observasi

Observasi (pengamatan) dalam studi ini dilakukan secara tidak terlibat (Non Partisipant Observation) artinya peneliti “diam” terhadap pelbagai peristiwa tentang Nasionalisme mantan pemuda sparatis Gerakan Aceh Merdeka

3. Wawancara Mendalam (Indept Interview).

Di samping observasi, untuk memperoleh data primer penelitian ini juga akan menggunakan teknik wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan kepada mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka, Panglima Sagoe, Petinggi GAM dan Pimpinan Partai Aceh (PA) serta pemerintahan kabupaten yang terkait.

(14)

memulai pertanyaan dari jawaban yang mereka berikan mengenai pelbagai informasi baik apa, siapa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa. Dengan demikian, pertanyaan wawancara tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Pertanyaan mengalir secara alamiah sehingga jawaban juga alamiah tanpa rekayasa.

4. Focus Group Discussion(FGD)

Data-data awal yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam akan dipertajam melalui FGD (Focus Group Discussion). Jika dalam observasi dan wawancara mendalam data diperoleh secara personal maka dalam FGD informasi-informasi yang diperoleh menjadi data yang bersifat kolektif. Karena data-data krusial dan sensitif yang diperoleh dari wawancara akan dilemparkan kembali keforum FGD yang diisi oleh sebagian besar mereka yang diwawancarai sebelumnya.

5. Penggunaan Dokumen.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Moleong (2000), penelitian ini juga memanfaatkan dokumen baik dokumen pribadi berupa: buku harian, surat pribadi dan autobiografi maupun dokumen resmi berupa: memo, pengumuman, instruksi, aturan, laporan rapat, keputusan pemimpin, majalah, jurnal, koran, buletin dan catatan-catatan lain yang ada relevansinya dengan tema penelitian.

4. Teknik Analisis dan Interpretasi Data.

Upaya penafsiran data yang berhasil diperoleh baik melalui angket, observasi, wawancara mendalam, Diskusi Kelompok Terfokus dan Studi dokumen dianalisis melalui tiga tahap:

(15)

Bagan. 3. Proses Analisis Data

Pengumpulan

Data Penyajian Data

Reduksi Data

Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan

Proses analisis data tersebut tidaklah dipahami sekali jadi dalam bentuk linier, akan tetapi proses itu mengikuti siklus yang bersifat interaktif dan bolak balik yang sudah harus dilakukan sejak saat pengumpulan data (Huberman,1992). Setelah itu data dianalisis melaui teknik interpretasi sebagaimana yang dipahami oleh Patton(Lexy J. Moleong,2000) yaitu untuk memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian

Karakter nasionalisme suatu etnik pada dasarnya terbentuk melalui proses kesadaran praktis yang didasari oleh pengetahuan bersama sehingga membentuk suatu cara pandang dunia (worldview) tertentu yang bersifat menyatukan komunitas itu. Pengetahuan bersama (mutual knowledge) inilah yang menjadi fokus eksplorasi dari studi ini untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitiannya. Pengetahuan bersama bukan merupakan rangkaian hal yang dapat dikoreksi, namun merepresentasi skema interpretatif yang digunakan oleh sosiolog dan aktor awam untuk memahami aktivitas sosial yaitu untuk menghasilkan karakterisasi “yang dapat dikenali” mengenai aktivitas itu. Karena itu keterlibatan dalam kehidupan komunitas yang diamati merupakan satu-satunya alat bagi pengamat untuk mampu menghasilkan suatu pemahaman bagaimana mereka berpartisipasi dalam suatu rangkaian praktik sosial tertentu.

(16)

Understanding is provided by the reasons or accounts social actors give for their actions. The latter is also associated with the meaning of an event or activity in a particular social context, either that given by social actors or the meaning that researchers derived from social actors’ account. Explanations are produced by researchers who looks at a phenomenon from the outside, while understanding is based on an“insideview in which researchers grasp the subjective counsciousness, the interpretations, of social actors involved in the conduct”(Antony Giddens, 1976: 55).

Karena itu, untuk dapat memberikan penjelasan dari gejala “luar” dan memahami dari

“dalam” gejala yang diteliti itu sendiri sebagaimana dikatakan Giddens di atas maka studi ini menggunakan metode etnografi dalam pengumpulan datanya. Dengan demikian, sebagaimana tuntutan metode etnografi maka data-data yang dikumpulkan dalam studi ini dilakukan melalui kerja observasi partisipan dan wawancara mendalam (indepth interview), (Elizabeth Murphy and Robert Dingwal, 2001: 340). Kedua metode ini dipilih didasarkan pada prinsip sebagaimana disebutkan oleh Atkinson (2001) bahwa kita tidak dapat meneliti realitas sosial tanpa menjadi bagian dari realitas itu sendiri.

Observasi partisipan dilakukan melalui keterlibatan pada aktivitas kepemudaan Aceh Utara, khususnya pada mereka yang diketahui dahulunya pro dengan gerakan seperatisme Aceh. Dalam keterlibatan ini peneliti menelusuri pengetahuan dan pemahaman mereka melalui serangkaian pertanyaan yang menjurus pada tema yang diteliti seperti apa, mengapa, bagaimana, dimana dan kapan. Sementara wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan dengan beberapa kelompok pemuda yang antara lain tokoh-tokoh pemuda yang terlibat dengan organisasi mantan GAM, Komisi Peralihan Aceh (KPA), partai politik lokal seperti Partai Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Sira, tokoh pemuda gampoeng (Karang Taruna) dan para pemuda yang tergabung dalam supporter sepakbola. Masing-masing organisasi akan dipilih 3 orang pemuda untuk dilakukan wawancara mendalam (indepht interview).

(17)

ketidaktahuan peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-orang disekitar sebuah fenomena yang diteliti serta sejauhmungkin peneliti menghindari diri dari dorongan subyektivitas peneliti, (Burhan Bungin, 2008: 131).

Tahap terakhir yang tidak kalah penting dari studi ini adalah tahap analisis data. Analisis data menurut Spradley (2007) adalah pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian itu, serta hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhan. Dalam posisi itulah, maka Analisis data dapat dimaknai sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Sebagai sebuah proses, maka analisis data sudah dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan (Lexy J. Moleong, 2000: 281.

Analisis dan interpretasi data dalam studi ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama tahap reduksi data yang bertujuan untuk melakukan penyeleksian, pemilahan, penajaman, pengorganisasian data ke dalam suatu pola tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu. Kedua, tahap display data yang dimaksudkan untuk menyajikan data dalam bentuk sketsa, sinopsis, matrik yang sangat diperlukan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan dalam upaya verifikasi data sebagai tahap ketiga.

(18)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konflik dan Guncangan Nasionalisme Keindonesiaan Pemuda Aceh Utara

Konstruks nasionalisme keindonesian pemuda Aceh Utara tidak terlepas dari realitas dinamika konflik yang dialami dan diaktori oleh mereka sepanjang era Orde Baru hingga dengan paruh awal era reformasi (1976-2005). Realitasnya, tidak dapat dipungkiri perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pemuda Aceh Utara secara fundamental telah membentuk karakter nasionalisme keindonesiaan mereka. Tidak terhindarkan bahwa hidup dalam pusaran horor, teror dan pelbagai bentuk kekerasan militeristik melahirkan pelbagai persepsi negatif terhadap keindonesiaan.

Pokok persoalan pengerasan perasaan “benci” terhadap Indonesia dikalangan pemuda Aceh Utara pada era Orde Baru terletak pada pola pendekatan penanganan konflik yang mengabaikan pendekatan dialogis. Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali rezim Soeharto mengedepankan pendekatan militeristik yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya jatuh korban dipihak masyarakat sipil. Realitas ini mendasari akar runtuhnya nasionalisme keindonesian pemuda Aceh Utara bahkan seperti yang diungkapkan oleh Ramli, mereka secara kolektif akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terhadap pemerintah Indonesia1.

Konflik ini pada awalnya dipicu oleh sikap ”lupa” (tidak menggubris) Orde Baru terhadap posisi konstitusional Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang secara tegas melalui Surat Keputusan Perdana Menteri RI Tanggal 2 Agustus 1959 No. 1/Missi/1959 disebutkan sebagai daerah khusus yang memiliki keistimewaan dan otonomi yang luas dalam bidang Agama (syari’at Islam), Pendidikan dan Adat (customary) (Hardi, 1959: 178). Orde Baru mengangap

”tidak ada” landasan konstitusional keistimewaan pemerintahan Aceh itu karena tidak pernah dituangkan dalam undang-undang (Nirzalin,2012: 376), sehingga dalam praktik tata kelola pemerintahan rezim Orde Baru menyamaratakan perlakuan terhadap daerah Aceh dengan daerah lainnya di Indonesia. Padahal sahih diketahui publik Aceh, surat keputusan keistimewaan Aceh tersebut lahir sebagai resolusi konflik antara RI dan DI/TII Aceh dibawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh di era Orde Lama (1956-1962).

(19)

Di sisi lain, dengan kacamata paradigma developmentalisme yang diusungnya Ibrahim Hasan (Gubernur dan arsitek pemerintah Orde Baru di Aceh) merasa pembangunan yang telah digalakkannya di Aceh telah menunjukkan keberhasilan yang spektakuler. Baginya, pengabaian terhadap realisasi keistimewaan konstitusional Aceh itu tidak akan menjadi soal, toh rakyat Aceh akan ”melupakannya” jika kesejahteraan ekonomi mereka dapat diwujudkan. Semakin intensifnya industrialisasi dan keberhasilannya memenangkan Golkar yang berdampak pada membesarnya curahan dana pembangunan Aceh dari APBN (Pemerintah Pusat) dari 80 milyar menjadi 600 milyar per tahun telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh yang mencapai 7 % per tahunnya (Heri Iskandar,et.al, 2001: 287).

Ibrahim Hasan dan pemerintah Orde Baru itu seolah-olah lupa bahwa praktik pemerintahan Orde Baru yang represif, korup, kolusi, nepotisme, pertumbuhan ekonomi yang justeru melahirkan ketimpangan sosial yang tinggi, sekuler dan melupakan syari’at Islam yang menjadi bagian subtansial dari kesediaan pihak DI/TII pada tahun 1962 berdamai dengan pemerintahan Soekarno diawasi dan lalu dinilai oleh salah satu pemimpin kharismatik Aceh dan agen (aktor) utama dari peristiwa itu Teungku Muhammad Daud Beureueh. Menurut Abu Beureueh kesemuanya (praktik pemerintahan Orde Baru di Aceh) itu merupakan pelecehan besar terhadap orang Aceh. Menurutnya, Soeharto dan Soekarno tidak ada bedanya (Neta S. Pane, 2001: 30).

Kecewa dan sakit hati dengan praktik kekuasaan Orde Baru itu mendorongn yang terakhir menggalang kekuatan dan melakukan perlawanan kembali terhadap pemerintah Indonesia. Hal itu bersama dengan mantan veteran DI/TII yang tidak lain adalah para mantan anak buahnya dahulu seperti Teungku Ilyas Leubee. Teungku Hasbi Geudoeng, Teugku Yusuf Hasan, Teungku Jamil Syamsuddin, Ayah Sabi, Uzir Jaelani, Teungku Muhammad Yunus Kembang Tanjung dan Teungku Zaenal Abidin diwujudkan dengan mendukung perlawanan Gerakan Aceh Merdeka yang diproklamirkan oleh anak ideologisnya di PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dahulu, Hasan Tiro (Nirzalin, 2012: 376).

(20)

Ketika Hasan Tiro pulang ke Aceh pada tahun 1974 dan 1975 yang terakhir menemui Abu dan Abu Beureueh mengatakan pada Hasan Tiro pada pertemuan itu:“Loen Toean Jeok Seugala Jieh Keu Gata. Aceh Lam Jaroe Gata Jinoe. Peu Geut. Loen Toean Toeloeng Gata ”. (.I give everything to you”. Aceh is in your hands now. Do it, I will help you)(Antony Reid, 2008: 185).

Pernyataan Abu Beureueh ini menebalkan keyakinan Hasan Tiro, bahwa gerakan yang akan dilakukannya akan mendapat dukungan luas dari masyarakat Aceh. Sebab Abu Beureueh merupakan ulama pejuang yang dihormati dan kharismatik di Aceh. Tingkatan kharismatiknya Abu Beureueh bagi masyarakat Aceh setara dengan kharismatiknya Soekarno bagi masyarakat Indonesia. Maka, tatkala Abu Beureueh menyatakan dukungannnya terhadap perjuangan yang akan dilakukannya semua keraguan Hasan Tiro hilang. Dengan penuh kegembiraan yang tergambar dari senyumannya yang mengembang Hasan Tiro pulang kerumah, lalu mempertimbangkan waktu yang momentum yang baik untuk mendeklarasikan gerakan kemerdekaan Aceh dari Indonesia.

B. Nihilisasi Nasionalisme Indonesia Dan Renasionalisasi Nasionalisme Aceh

Atas dukungan dari Abu Beureuh dan mantan seniornya di DI/TII itu, lalu Hasan Tiro melakukan deklarasi berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 di bukit Halimun, Tiro Kabupaten Pidie. Deklarasi itu dilakukan dalam dua bahasa, Aceh dan Inggris. Karena sulit mendapatkan naskah bahasa Acehnya, disini kami hanya mengutip naskah deklarasi tersebut dalam bahasa Inggris:

We the people of Acheh, Sumatera, exercising our right of self determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, so hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java”.

(Kami rakyat Aceh, Sumatera, melaksanakan hak menentukan diri sendiri dan melindungi hak kesejarahan pemerintahan atas tanah air kami, dengan ini menyatakan diri merdeka dari seluruh kendali politik pemerintahan asing Jakarta dan bangsa asing Jawa) (Hasan Tiro, 1981: 24).

(21)

perjuangan orang Aceh adalah untuk menegakkan syari’at Islam di bumi Serambi Mekkah. Namun ternyata, Ideologi Islam dinilai oleh Hasan Tiro kurang marketable (laku) di dunia politik internasional (terutama Amerika dan Eropa) yang pada saat itu masih dilandasi oleh Islam Phobia (ketakutan tanpa mendasar terhadap Islam) sementara dukungan mereka sangat menentukan dalam memerdekakan Aceh2.

Menurut Hasan Tiro, menggunakan nasionalisme Aceh dinilai lebih strategis karena dari segi internal praktik politik Orde Baru yang otoriter dan perilaku eksploitasi ekonomi Aceh yang melahirkan kemiskinan struktural akan memudahkan lahirnya simpati dari masyarakat (karena nasionalisme Aceh yang menonjolkan kemakmuran dan keadilan masa lalu terutama era Sultan Iskandar Muda akan menjadi angan-angan sosial syurgawi bagi rakyat Aceh yang miskin dan tertindas) untuk mendukung perlawanan ini dan dari segi eksternal dengan ideologi sekuler (non agama/nasionalisme) akan memudahkan menarik simpati masyarakat internasional3.

Mengenai nasionalime Aceh ini, dalam bukunya ”Price of Freedom”, Hasan Tiro mengatakan:

Our fatherland, Acheh, Sumatera, had always been a free and independent sovereign State since the World begun. Holland was the first foreign power to attempt to colonialize us when it declared war against the independent Sovereignt State of Acheh, on March 26 1873 and on the same day invaded our territory, aided by Javanese mercenaries. ....However, when, after the World War II, the Dutch East Indies was supposed to have been liquidated– an empire is not liquidated if its territorial integrity was preserved- Our fatherland, Acheh, Sumatera, was not returned to us. Instead, our fatherland was turned over by the Dutch to the Javanese their mercenaries- by hasty fiat of former colonial power. The Javanese are alien and foreign people to us Achehnese Sumatrans. We have no historic, political, cultural, economic or geographic relationship with them...This ilegal transfer of sovereignity over our fatherland by the old, Dutch Colonialists, to the new, Javanese colonialists, was done in the most appaling political fraud of the century, The Dutch colonialist was supposed to have turn the sovereignity over our fatherland to a new nation called Indonesia”(Hasan Tiro, 1981: 25-26).

Penetapan ideologi sekuler ini, pada awalnya melahirkan reaksi keras dari tokoh senior DI/TII yang terlibat dalam pendirian awal GAM. Karena selain Islam itu dipandang sebagai unsur utama yang dapat menjadi pemersatu gerakan, ia juga merupakan identitas sosial orang Aceh. Namun ketika disampaikan kepada Abu Beureueh, yang terakhir malah mengangap

(22)

tindakan Hasan Tiro sudah tepat karena hal itu dinilainya sebagai bagian dari strategi dan taktik perjuangan. Abu Beureueh, mengatakan: ”Itu hanya sebagai taktik yang digunakan oleh si Nyak (Nak) Hasan saja”(Abu Jihad,2000: 80).

Di lain pihak, dukungan Abu Beureueh terhadap Hasan Tiro yang sudah tercium oleh pemerintah sangat mengkhawatirkan presiden Soeharto. Karena apabila teungku dayah reformis itu dibiarkan aktif dalam GAM apalagi ia tetap berada di Aceh dipastikan gerakan itu akan dengan mudah mendapat simpati dari rakyat Aceh sebagaimana gerakan DI/TII sebelumnya di masa Orde Lama yang dipimpinnya sendiri. Sekali lagi dengan mencontoh apa yang dilakukan Belanda dalam perang Aceh yaitu memisahkan ulama dengan rakyatnya, presiden Soeharto pada tahun 1979 mengisolasi Abu Beureuh dari Aceh ke Jakarta dan untuk membatasi aktivitas fisiknya setelah berada di Jakarta mata Abu Beureueh dibutakan oleh rezim ini (Abu Jihad,2000: 80).

Di awal pendiriannya, gerakan ini langsung menghadapi tekanan yang hebat dari pemerintah Indonesia. Satu per satu pemimpin terasnya berhasil dilumpuhkan oleh aparat pemerintah. Belum genap tiga tahun usianya, wakil wali negaranya Dr. Muchtar Hasbi tewas dalam sebuah serbuan aparat TNI di Kuala Simpang. Diikuti pula oleh Menteri Sosialnya, Zubir Mahmud, Panglima II GAM wilayah Pase Ismail Ben dan terakhir tokoh yang sangat kharismatik, Teungku Ilyas Leubee ketua Dewan Syura GAM syahid ditembak aparat saat sedang melaksanakan shalat Ashar di sebuah mesjid di Pidie pada tanggal 15 April 1982 (Neta S. Pane, 2001: 54-55).

Pasca meninggalnya tokoh-tokoh teras dan kharismatik itu, GAM relatif tidak mampu lagi menunjukkan aktivitasnya yang berarti. Mereka baru menunjukkan kembali eksistensinya, setelah para personil GAM yang dikirim Hasan Tiro berlatih militer di Kamp Tahura, Libya pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an kembali ke Aceh (M. Isa Sulaiman,2000: 56-57). Tampillah kemudian panglima-panglima GAM alumni Libya ini dalam kancah konflik Aceh seperti antara lain Teungku Abdullah Syafe’i, Muzakir Manaf, Ismail Syahputra, Muhammad Rasyid alias Ahmad Kandang, Ishak Daud, Sofyan Daud dan Arjuna.

(23)

berasal dari Kopassus (2 batalyon), Siliwangi dan Brimob untuk menumpas pejuang GAM yang hanya berjumlah ratusan itu (Nirzalin,2012: 359).

Dari segi internal sipil Aceh, menurut Ibrahim Hasan permintaan pemulihan keamanan (DOM) itu merupakan tindakan yang mendapat dukungan dari banyak komponen masyarakat dan yang terpenting adalah mendapat legitimasi politis dan ideologis dari para teungku dayah. Sehingga Gubernur Aceh ini merasa tindakan yang dilakukannnya sudah sangat tepat. Karena dukungan tidak hanya diperoleh dari aparatus birokrasi, militer, pebisnis dan kekuatan sosial politik tetapi juga agamawan yang merupakan figur sakral bagi masyarakat Aceh. Lebih lanjut, Ibrahim Hasan mengatakan:

”Operasi pemulihan keamanan di Aceh dalam menumpas GAM itu memperoleh legitimasi politis dan ideologis dari ulama (MUI dan teungku dayah) pernyataan dukungan itu bersama dengan berbagai kekuatan politik lainnya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia tanggal 30 Juni 1990”

(Heri Isknadar, et.al.2000: 295).

Tindakan dukungan teungku dayah kepada pemerintah diwujudkan tidak hanya melalui pernyataan tertulis yang dikeluarkan secara bersama lewat pertemuan resmi untuk membicarakan realitas aktual konflik antara RI-GAM tetapi juga dilakukan lewat aktivitas simbolik seperti

peusijuek(mentepung tawari) pasukan dan alat tempur TNI/Polri dan lain sebagainya. Salah satu dukungan tertulis dinyatakan secara tegas misalnya dilakukan saat terjadinya pertemuan (Muzakarah) di dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang difasilitasi oleh Teungku Mawardi Aly, putra Hadratus Syaikh Teungku Buya Muda Waly. Dalam pertemuan itu Teungku Mawardi salah satu murid dari dayah tersebut yang ikut menyaksikan pertemuan tersebut, mengatakan:

”Pada pertemuan ulama se-Aceh yang diadakan pada tahun 1993. Melahirkan rekomendasi yang berisi dukungan para ulama terhadap pemerintah RI dalam memberantas separatis AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka/ sebutan terhadap tentara GAM). Hadir dalam pertemuan itu teungku-teungku dayah kharismatik Aceh saat ini seperti Tu Mien, Abu Kuta Krueng dan lain-lain”

(Nirzalin,2012: 371).

(24)

tentang GPK (GAM). Mubahasah yang dibuka oleh Pangdam I Bukit Barisan Mayjend Sudaryanto di Banda Aceh itu diisi dengan makalah yang dipresentasikan oleh Tgk. M. Daud Zamzami (Abu Daud), Tgk.H. Usman Ali Kuta Krueng (Abu Kuta Krueng), Tgk.H.M. Amin Mahmud Blang Blahdeh (Tu Mien) dan Tgk. Ismail Yakub. Keputusan penting dariMubahasah

itu adalah ”Melawan, Menentang dan Melakukan makar terhadap pemerintah yang sah kedudukannya Haram. Hukum serupa juga berlaku bagi yang memberikan bantuan dan dukungan kepada yang menentang dan melawan pemerintah RI”(Harian Serambi Indonesia,

tanggal 24 dan 27 April 1997). Bahkan Teungku A. Hasymy, ketua MUI Aceh menyebut GAM sebagai gerombolan dan bukan pejuang, (Forum Keadilan,No.01, Tahun VI, 21 April 1997).

Secara simbolik, menurut Ali Gadeung dukungan teungku dayah terhadap operasi militer ini dilakukan pula melalui peusijuek pasukan yang baru tiba, komandan pasukan yang sedang bertugas dan persenjataan yang digunakan dalam operasi penumpasan. Lebih lanjut Gadeung mengatakan:

”Pada masa konflik mereka (teungku dayah) sering didekati oleh militer. Setiap ada pergantian dan masuknya pasukan baru, mereka selalu dikondisikan sebagai salah satu pihak yang menyambut serta sering diminta untuk mem-peusijuek pasukan, tank dan alat tempur lainnya”(Nirzalin,2012: 271).

Dukungan para teungku dayah terhadap pemerintah didasari pada argumentasi bahwa dalam realitasnya banyak korban masyarakat sipil yang timbul akibat dari gerakan perlawanan yang dimunculkan oleh GAM ini. Meskipun, bisa jadi tidak semua korban yang timbul itu akibat ulah GAM maupun TNI/Polri tetapi dilakukan oleh pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dibalik konflik yang terjadi di Aceh itu. Namun yang jelas konflik yang dipicu oleh kehadiran GAM itu telah mengakibatkan terjadinya instabilitas keamanan yang berdampak pada terganggunya aktivitas ekonomi dan pemerintahan serta tentu saja nyawa masyarakat yang tidak berdosa. Sehingga dalam pandangan normatif agama, teungku dayah menilai gerakan ini lebih banyak memberi dampakmudharat(tidak baik/kerusakan) daripada manfaatnya.

(25)

kuantitas teungku dayah reformis sudah sangat sedikit di Aceh namun dukungan itu menjadi sangat berarti dan menciptakan perlawanan identitas dengan para teungku dayah tradisional yang mayoritas sebab dinyatakan sendiri oleh tokoh utamanya yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Teungku dayah reformis menekankan pembaharuan atau modernisasi dalam pembelajaran Islam dan cara pandang dunia (worldview) kehidupan sosial dan politik. Sementara, teungku dayah tradisional tetap mempertahankan konsepsi tradisionalitasnya. Dalam keorganisasian Islam, kelompok teungku dayah tradisional berafiliasi kepada NU yang berpusat di Jakarta. Sementara kelompok teungku dayah reformis mendirikan sendiri organisasinya yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Aceh) yang khas Aceh dan berkantor pusat di Aceh. Sehingga dalam pendirian GAM ini para teungku dayah tradisional sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Panton (Ketua HUDA/Himpunan Ulama Dayah) merasa tidak pernah diajak serta.

Lebih lanjut, Abu Panton mengatakan:

“Gerakan Aceh Merdeka tidak pernah mengajak dan meminta persetujuan dari teungku dayah sehingga teungku dayah tidak memberikan pernyataan secara tersurat apakah mendukung atau menolak gerakan tersebut. Sehingga dalam gerakan Aceh merdeka itu teungku dayah tidak dilibatkan dan terlibat baik dari awal gerakan maupun sampai akhir”(Nirzalin, 2012: 375).

Kedua, aktivis GAM yang direkrut pada fase kedua yaitu tahun 1989-an dan 1990-an (fase konflik yang hebat) umumnya tidak berasal dari kelompok dayah (Moch. Nurhasim, 2003: 48). Realitas ini menciptakan jarak ideologis antara teungku dayah yang menempatkan Islam sebagai titik pandang utama dari pelbagai aktivitas yang dilakukan. Menurut Abu Jihad, Hasan Tiro lebih mementingkan merekrut orang-orang awam daripada orang-orang pintar apalagi dari kalangan dayah yang pengetahuan agamanya kuat karena merekalah orang-orang yang dinilai berani, siap berperang dan patuh pada perintahnya, sehingga mudah dalam mengatur dan memberi perintah (Abu Jihad, 2001: 153).

(26)

dayah terhadap organisasi ini. Bagi yang sebelumnya tidak terlalu sinis terhadap GAM, kini ketika mereka sudah tidak lagi berpegang teguh pada ideologi GAM yang sesungguhnya (Islam) maka menjadi antipati dan bahkan menilainya tidak lebih sebagai gerakan yang bertujuan hanya untuk meraih kekuasaan duniawi saja.

Keempat, kuatnya dominasi kekuasaan rezim Orde Baru terhadap teungku dayah. Operasionalisasi dominasi dilakukan melalui dua jalur, pertama jalur wacana (struktur signifikasi) dan yang kedua jalur sinterklasisme ekonomi (struktur dominasi ekonomi). Jalur wacana (struktur signifikasi) dilakukan melalui transformasi konsep pembangunanisme Aceh kepada teungku dayah. Rasionalisasi konsep pembangunan dan realitas sosial empiris Aceh yang serba tertinggal dalam pelbagai sektor dengan daerah lain di Indonesia dinilai oleh teungku dayah berkoherensi dengan konstruk konsep yang ditawarkan oleh Orde Baru.

Rasionalisasi Konsep pembangunannisme atau developmentalisme yang menitikberatkan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan Orde Baru itu tidak mendapat telaahan kritis dari para teungku dayah. Yang terjadi mereka justeru menerima rasionalitas pembangunan ala Orde Baru itu dan menginternalisasinya sebagai jawaban terhadap pelbagai ketertinggalan Aceh dalam ranah pembangunan.

Realitas itu terjadi didorong oleh ketidakmampuan teungku dayah menawarkan konseptualisasi pembangunan Aceh sendiri yang lebih mandiri. Mereka tidak mampu menciptakan wacana/ideologi tandingan terhadap struktur (negara), sehingga efeknya mereka justeru terserap kedalam permainan struktur. Menurut Imran, ketidakberdayaan teungku dayah melahirkan konseptualisasi tandingan itu karena keilmuan yang mereka geluti saat ini telah terspesialisasi hanya pada keilmuan agama. Hal ini berbeda dengan teungku dayah dahulu (era sebelumnya) yang selain menguasai ilmu-ilmu keagamaan juga menguasai wacana sosial-politik karena mereka mempelajari kitab-kitab kedua keilmuan tersebut.

Realitas itu ditegaskan oleh Imran, ia mengatakan:

(27)

dayah di Aceh hanyalah mereka yang menguasai ilmu agama karena kitab-kitab ilmu sosial sudah tidak dipelajari lagi. Lemahnya pemahaman mereka terhadap masalah sosial membuat mereka tidak lagi mampu mempengaruhi realitas sosial sekaligus mereka kehilangan pengaruh pada wilayah ini dalam masyarakat Aceh actual (Nirzalin,2012: 271).

Selain itu, sinterklasisme ekonomi yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap teungku dayah berhasil menciptakan ketergantungan mereka pada rezim ini. Bantuan-bantuan ekonomi secara gratis (sinterklasisme) baik dalam bentuk bantuan dayah, bantuan untuk dirinya sendiri dan keluarga yang dilakukan secara intensif, secara psikologis dan sosiologis melahirkan keinginan untuk membalas “kebaikan”si pemberi bantuan itu. Dalam posisi ketergantungan dan keinginan untuk membalas budi terhadap kebaikan Orde Baru itulah yang pada akhirnya membuat teungku dayah selalu berada dalam genggaman politik rezim Soeharto ini.

C. Operasi Militer dan Runtuhnya Nasionalisme Indonesia

Pelaksanaan operasi militer dalam dalam realitasnya melahirkan kekerasan dan penderitaan yang tidak terbayangkan bagi masyarakat Aceh Aceh Utara. Sementara strategi politik gerilya dan pembauran dengan masyarakat yang diterapkan oleh GAM, ternyata selain telah menyebabkan perlawanan tidak dapat dihentikan dengan seketika juga telah menyebabkan prajurit ABRI frustasi sehingga melakukan tindakan-tindakan ”indisipliner”di lapangan4.

Akibatnya, pembunuhan terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa, penghilangan paksa, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pemerkosaan dan perampasan menjadi pemandangan serta cerita sehari-hari masyarakat di bumi Serambi Mekkah itu. Bila merujuk data yang diperoleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), selama operasi militer (1989-1998) dilangsungkan telah terjadi tindak kekerasan yang diantaranya menyebabkan 871 orang tewas, 550 orang hilang, 368 orang diperlakukan tidak manusiawi, 200 orang di siksa sangat sadis kemudian dibunuh di depan umum serta 102 wanita diperkosa (Lukman Age, 2000: 13-131).

Sikap prajurit yang brutal itu rupanya juga dipengaruhi oleh provokasi yang dilakukan oleh komandan mereka, Mayor Jenderal H. R. Pramono (Pangdam I Bukit Barisan). Jenderal bintang dua ini tidak jarang menyeru kepada masyarakat, ”Pokoknya kalau ketemu GPK (sebutan resmi pemerintah untuk GAM) bunuh Saja, nggak perlu diusut”. Pernyataan Pramono

(28)

itu dinilai oleh masyarakat Aceh telah mendorong serdadunya (ABRI) bertindak sewenang-wenang di lapangan sehingga banyak korban tidak berdosa berjatuhan. Provokasi inilah yang melahirkan kepercayaan di masyarakat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap penduduk sipil di Aceh tidak dapat dilepaskan dari pimpinan ABRI dan negara. Mengikuti logika Komando yang menjadi basis paradigmatik operasionalisasi tindakan ABRI, maka suatu tindakan yang dilakukan oleh bawahan pastilah secara linear merupakan terjemahan dari perintah/kebijakan atasannya.

Kepercayaan normatif ini membuat masyarakat mengalamatkan pemerintah Orde Baru sebagai pihak yang harus dipersalahkan dan bertanggung jawab terhadap semua persoalan kekerasan yang terjadi di Aceh. Akibatnya, menurut Al Chaidar, seluruh eskalasi persoalan Aceh ini menjadikan rakyat Aceh kehilangan kepercayaan kepada negara atau pemerintah pusat. Keluarga-keluarga di Aceh mulai menjadi”keluarga gerilya”, dimana punkaphe(kafir) atau si pa’i(sebutan untuk aparat Indonesia) ditemukan, maka akan ditikam secara kejam dan membabi

buta. (Al Chaidar: Revolusi Aceh , TabloidGAMMA, 22 Agustus 1999)

Situasi ini pula yang mendorong orang Aceh melakuan politik pembedaan antara orang kita (awak tanyoe) dan orang lain (other/liyan) atau kita dan mereka. ”kita” (tanyoe) ditujukan untuk seluruh orang Aceh yang bernasib sama tidak terkecuali GAM dan simpatisannya, sementara ”mereka” (liyan/other) ditujukan kepada seluruh komponen aparatur negara Orde Baru, baik birokrasi sipil, militer maupun semua pihak yang mendukung eksistensi operasionalisasi kekuasaan represif rezim ini.

Realitas ini lalu mendorong mengalirnya air bah dukungan masyarakat yang tidak terbendung kepada GAM. Kecerdasan elite GAM yang melakukan standar ganda (double standard) dalam mensosialisasikan ideologinya, yaitu keluar Aceh (eksternal) terutama dunia internasional ideologi yang dikenalkan adalah ideologi sekuler (non agama) yaitu nasionalisme Aceh. Sementara kepada masyarakat selalu saja ditegaskan bahwa tujuan gerakan perjuangan GAM adalah untuk mendirikan negara Islam sebagaimana pada masa Sultan Iskandar Muda, telah membuat masyarakat merasa bahwa GAM benar-benar bagian dari mereka.

(29)

Muzakir Manaf, Teungku Ishak Daud, Teungku Sofyan Daud, Teungku Jamaika, Teungku Mansur, Teungku Muchsalmina dan lain-lain. Padahal mereka bukanlah berasal dari elite agama sebagaimana laiknya sebutan teungku dalam tradisi masyarakat Aceh. Namun melalui panggilan teungku itu telah mendorong lahirnya suasana keakraban emosional antara masyarakat dengan GAM.

Selain itu, ada beberapa dimensi subtantif lainnya yang mendorong lahirnya dukungan massif masyarakat terhadap GAM. Pertama, kekecewaan ekonomi dan politik. ”Aceh adalah lumbung intan mutiara”. Ungkapan tersebut bukanlah isapan jempol belaka karena realitasnya bumi Aceh mengandung berbagai macam sumber daya mineral, tambang dan hutan yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam itu telah mendorong pemerintah Orde Baru mengeruk perut bumi Aceh dengan mendirikan pelbagai macam industri tambang seperti PT. Arun.NGL.CO, MobilOil, PT. Semen Andalas Indonesia, PT. Pupuk Asean, PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT Kertas Kraft Aceh. Berdirinya perusahan-perusahaan raksasa itu ditingkahi dengan penggusuran terhadap penduduk yang berada di area perusahaan. Banyak masyarakat di zona industri seperti Aceh Utara yang tidak menerima ganti rugi yang layak. Selain itu, sebagian besar penduduk di sekitar industri tidak terserap ke dalam industri-industri tersebut.2

Dengan kondisi seperti itu, ditambah oleh tingkat perubahan yang menonjol di sekitar industri sementara efek positifnya bagi masyarakat kurang dirasakan, maka muncullah kecemburuan orang-orang Aceh disekitar perusahaan terhadap para pekerja yang didominasi oleh orang-orang luar Aceh. Dalam perjalanannya, kekecewaan rakyat Aceh semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pengurasan sumberdaya alam yang berasal dari daerah tersebut. Selain persoalan gas dan minyak bumi, pada tahun 1975 ada sekitar 20 perusahaan HPH (Hak Penguasaan Hutan) yang memperoleh ijin penebangan hutan seluas 1.059.000 hektar dengan luas areal penebangan sebesar 37.019.000 hektar per tahun. Semua pelakunya adalah orang luar sementara orang Aceh hanya menjadi penonton.

Realitas itu menegaskan, bahwa kekayaan sumber daya alam Aceh yang begitu melimpah dieksploitasi secara besar-besaran, tetapi sebaliknya rakyat Aceh tidak merasakan manfaat apa-apa. Bahkan sebagian besar rakyat Aceh hidup terbelakang dan miskin karena mereka tidak bisa menikmati pembangunan yang selama ini dilakukan. Realitas ini terjustifikasi dari hasil Survei

5

(30)

Sosial Ekonomi (SUSENAS) 1990 yang menunjukkan lebih dari 60 % desa di Aceh tergolong ke dalam desa miskin. (Abdul Rahman; 2003-56)

Kedua, brutalisme serdadu Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan dimuka operasi pemulihan keamanan di Aceh tidaklah didahului dengan pendekatan dialog. Jakarta (Pemerintah Pusat) dengan ponggahnya melakukan operasi militer berdasarkan keyakinan bahwa dengan cara itulah pemberontakan dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Namun yang terjadi bukannya perlawanan yang terhenti, tetapi justeru tindakan-tindakan represif yang bersifat membabi buta itu telah menyebabkan banyaknya jatuh korban sipil yang tidak berdosa.

Hasilnya, selain menimbulkan dendam psikologis dari para korban yang selamat dan keluarga mereka, masyarakat Aceh yang tidak ada kaitannya dengan GAM dan korban kekerasan Orde Baru pun karena merasa saudaranya diperlakukan secara tidak wajar merasa ikut terhina dan lalu bisa ditebak kebencian massif terhadap Indonesiapun lahir sebagai kesadaran kolektif (kesadaran praktis) yang tidak dapat dibendung.

Ketiga, kedekatan GAM dan masyarakat. Posisi negara yang bersifat represif dan bahkan menjurus brutal yang dipertontonkan kepada masyarakat justeru dimanfaatkan oleh GAM untuk lebih mendekatkan diri mereka dengan orang Aceh melalui sentuhan kesamaan etnik dan agama (Islam) yang disosialisasikan dan ternyata terinternalisasi dengan cepat akibat kondisionalisasi (conditioning) yang terbentuk melalui ulah represif negara itu. Dalam posisi ini lalu GAM mengintrodusir ide-ide kemerdekaan yang didasarkan pada kolonialisasi yang dilakukan oleh Indonesia-Jawa dan orang-orang gampoeng (desa) di Acehpun menyerapnya sebagai kebenaran karena realitas yang mereka amati dan rasakan menjustifikasi apa yang ditransfer oleh GAM itu.

Bahkan untuk menunjukkan kebersatuan, simpati dan pembelaannya kepada masyarakat, sering sekali ketika aparat militer selesai melakukan razia, mengintimidasi, apalagi ada warga sipil yang tewas maka GAM segera menuntut bela (tueng bila) melakukan aksi balas dengan cara menyerang dan menyergap pos-pos tentara atau brimob (Brigade Mobil) yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil Aceh itu. Tindakan GAM tersebut telah mengkonstruksikan kesadaran sublimatif masyarakat korban bahwa GAM adalah pahlawan bagi mereka (GAM is the real hero). 5

Akibatnya, GAM karena mereka orang Aceh, bernasib sama (menghadapi kekerasan negara), selalu berada bersama masyarakat dan siap melakukan aksi balas (tueng bila) terhadap

(31)

masyarakat yang menjadi korban diletakkan sebagai ”awak droe” atau awak tanyoe oleh

karenanya dicintai seperti keluarga sendiri. Sebaliknya pemerintah Indonesia, aparatur dan semua elemen pendukungnya karena dikategorikan sebagaiSi Pai mereka dibenci dan dianggap sebagai musuh bersama (common enemy)6. Kebencian terhadap terhadap tindakan militeristik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini pada akhirnya mendorong runtuhnya nasionalisme Indonesia di dada para pemuda Aceh Utara.

D. Dinamika Nasionalisme Keindonesiaan Pada Pemuda Aceh Utara Pasca Konflik

Kegemilangan Aceh di masa Negara Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam berdaulat Nasionalisme Aceh telah membentuk sebuah arah sejarah. Itu dimunculkan oleh Hasan

Tiro dengan bukunya ‘The Price of Freedom’, ‘Aceh Bak Mata Donya’ dan lain-lain. Namun sebuah buku tidak akan berpengaruh jika tidak ada yang membaca atau menindaklanjuti dari isinya.

Aceh menuntut merdeka dari Republik Indonesia sejak pernyataan Aceh Sumatera Merdeka oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 di Gunong Alimon Aceh sampai penandantanganan kesepakatan (MoU) di Helsinki Finlandia pada 15 Agustus 2005 karena adanya nasionalisme Aceh. Negara Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam tidak mengembangkan nasionalisme Aceh, tetapi sebuah persaudaraan Islam antara bangsa-bangsa Melayu. Bahkan kata Aceh tidak pernah tedengar di masa Kesultanan Samudera Pasai. Kata Aceh baru disiarkan ketika Aceh Darussalam. Itu bukan artinya Aceh tidak ada sebelum itu, tetapi ini diartikan bahwa sebuah kumpulan manusia yang kini disebut Aceh, di masa dahulunya bukan dinamakan Aceh.

Di masa Kesultanan Samudera Pasai, bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa Jawi (Melayu Pasai), bukan bahasa Aceh. Begitupun di masa Kesultanan Aceh Darussalam, semuanya memakai bahasa Jawi. Menurut beberapa asal kabar, itu terjadi di masa Belanda. Ketika itu, orang Aceh menulis dalam bahasa Aceh supaya Belanda tidak mengertinya karena bangsa dari Eropa Utara itu hanya menyiapkan juru bahasa Jawi. Makanya muncullah Hikayat Prang Sabi dalam bahasa Aceh.

(32)

Untuk bisa meningkatkan rasa nasionalisme bagi pemuda Aceh, dibutuhkan beberapa persyaratan, antara lain dimensi kemanusian, keadilan sosial dan hadirnya keluasan dalam demokrasi lokal. pada beberapa tahun lalu, Aceh pernah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, padahal kontribusi daerah ini sangat besar terhadap Republik Indonesia

E. Nasionalisme Keindonesiaa Pemuda Aceh Utara Mengalami Pertumbuhan Kembali.

Kehadiran nasionalisme di Aceh, telah menempatkan bahasa Indonesia sebagaimana yang harus dihindari di Aceh di masa sebelum MoU Helsinki. Itu sebuah kesalahan besar. Karena akan ada bahasa Aceh sebagai bahasa induk, Aceh telah tertipu pada kenyataan bahwa merekalah yang mengajarkan bahasa Jawi yang sudah tersusun rapi dalam tulisan kepada penduduk di Pulau Sumatera, Jawa, Borneo (Kalimantan), Maluku, Mindanao (Filipina), dan semenanjung Malaka (Pattani [Thailaind], Pahang, Kelantan (Malaysia), dan lainnya. Ada beberapa asal kabar menerangkan bahwa bahasa Aceh bahkan lebih tua daripada bahasa Jawi, tetapi lebih rumit sehingga itu hanya menjadi bahasa khusus yang dipakai di antara orang Aceh sendiri. Sementara di kegiatan-kegiatan resmi, yang dipakai adalah bahasa Jawi, artinya, sejak ratusan tahun lalu, anak Aceh diajarkan dua bahasa sekaligus.

Sementara, bahasa Indonesia merupakan bahasa Jawi yang telah diubah sedemikian rupa setelah Republik Indonesia ada. Untuk memutuskan hubungan dengan kenyataan sejarah bahwa bahasa tersebut dikembangkan pertama kali di masa Samudera Pasai, maka diciptakan sebuah cara supaya ada yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Kemudian, ke dalam bahasa yang telah diubah itu dimasukkan bahasa Inggris, Jawa, dan sebagainya. Untuk bisa meningkatkan rasa nasionalisme bagi pemuda Aceh, dibutuhkan beberapa persyaratan, antara lain dimensi kemanusian, keadilan sosial dan hadirnya keluasan dalam demokrasi lokal. Pada beberapa tahun lalu, Aceh pernah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, padahal kontribusi daerah ini sangat besar terhadap Republik Indonesia. Sejak dari merebut kemerdekaan, membeli pesawat udara untuk perjuangan Indonesia hingga hasil bumi Aceh yang dikeruk oleh pusat. Namun, yang diterima Aceh adalah ketidakadilan dan hadirnya operasi militer ke Aceh.

(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Konstruks nasionalisme keindonesian pemuda Aceh Utara tidak terlepas dari realitas dinamika konflik yang dialami dan diaktori oleh mereka sepanjang era Orde Baru hingga dengan paruh awal era reformasi (1976-2005). Realitasnya, tidak dapat dipungkiri perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pemuda Aceh Utara secara fundamental telah membentuk karakter nasionalisme keindonesiaan mereka. Nasionalisme Indonesia yang pada mulanya berkembang secara alamiah dikalangan pemuda dan masyarakat Aceh Utara pada akhirnya mengalami keruntuhan sebagai akibat dari kebijakan politik pemerintah Indonesia dibawah kendali rezim Orde Baru yang menyikapi secara militeristik terhadap reaksi protes pelbagai kebijakan politik pembangunan yang dinilai oleh masyarakat sebagai tidak adil dan berpihak pada kepentingan mereka.

Pendekatan militeristik yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya jatuh korban dipihak masyarakat sipil menyemai benih-benih kebencian terhadap Indonesia. Gulungan kebencian bertambah besar seiring dengan situasi sosial yang penuh dengan horor, teror dan pelbagai bentuk kekerasan. Realitas ini mendasari akar runtuhnya nasionalisme keindonesian pemuda Aceh Utara. Keruntuhan nasionalisme keindonesiaan dikalangan pemuda Aceh Utara teridentifikasi tatkala secara massif mereka bergabung dengan organisasi yang dianggap separatis oleh pemerintah Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka. Tokoh idola bangsa yang sebelumnya Soekarno dan Soeharto berganti dengan paduka yang mulia Teungku Hasan Di Tiro.

Saran

Nasionalisme sebagai sesuatu yang selalu berada dalam proses menjadi (on going) karena merupakan hasil bentukan sosial dalam korelasi relasional antara rakyat dengan negara, harus menjadi bagian pertimbangan utama dalam pelbagai kebijakan yang diputuskan oleh siapapun pemimpin negara. Kebijakan-kebijakan yang abai terhadap kepentingan rakyat dan apalagi berbau kekerasan dan menindas tentu akan mendorong runtuhnya rasa nasionalisme dikalangan warga negara.

(34)
(35)

DAFTAR PUSTAKA

Atkitson, Paul, dkk (eds), 2001,Hanbook of Etnography, Sage Publication, London

Anderson, Benedict, 2002,Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Adams, Ian, 1993,Ideologi Politik Mutkahir, Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya, Qalam, Yogyakarta

Abercrombie, Nicholas dkk, 2010,Kamus Sosiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Blaikie, Norman, 2000,Designing Social Research,Polity Press, Cambridge Barker, Chris, 2005,Cultural Studies, Teori & Praktik, Kreasi wacana, Yogyakarta Bungin, Burhan, 2008,Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi,Rajawali Pers, Jakarta.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds), 1994,Hanbook of Qualitative Research, Sage Publication, London

Giddens. Antony,1976, New Rules of Sociological Method, Hutchinson: London Madjid, Nurcholish, 2001,Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung Moleong, Lexy, J, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung Onghokham, 1987,Runtuhnya Hindia Belanda,Gramedia, Jakarta

Patji, Abdul Rachman, 2004, Negara & Masyarakat dalam Konflik Aceh, Studi Tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, LIPI, Jakarta

Spradley, James P, 2006, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta

Daftar Informan

1Wawancara dengan Ramli Pemuda Blang Poroh Aceh Utara, 13 April 2016

2Wawancara dengan Muhibuddin, tokoh Pemuda Simpang Keuramat Aceh Utara, 19 April 2016

3Wawancara dengan Muhammad Ali, Pemuda Buloh Blang Ara, 13 Juni 2016 4Wawancara dengan Imran Juned warga Nisam 28 Juni 2016

5Wawancara dengan zakaria (39 tahun), warga matangkuli Aceh Utara Tanggal 7 Juli 2016

6Si Pai merupakan akronim dari Si Pengangu Tegaknya Agama Islam, wawancara dengan Reza, mantan aktivis

(36)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1.

BIODATA KETUA PENELITI

A. Identitas Diri

1. Nama Lengkap Fakhrurrazi.S.H.I., M.Si 2. Jenis Kelamin Laki-laki

3. Jabatan Fungsional Lektor

4. NIP /NIDN 197706162008121003 / 0016067705 5. NIDN 0016067705

6. Tempat dan Tanggal Lahir

Reuleut Timu, 16-06-1977

7. Email razi_ugm@yahoo.co.id 8. No. Telepon/HP 085260176513

9. Alamat Kantor Fakultas Teknik, Kampus Utama Universitas Malikussaleh–

Reuleut, Kec. Muara Batu, Aceh Utara- 24355–PO BOX: 141 10. Nomor Telp/faks. 0645–57320/44450

11. Lulusan yang telah dihasilkan

S-1 = - orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang

12. Matakuliah yang diampu

1. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Ilmu Sosial Budaya Dasar

A. Riwayat Pendidikan

S1 S2 S3

Nama Pergururan Tinggi

UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Universitas Gadjah Mada

Bidang Ilmu Perbandingan Mazhab dan

(37)

Hukum

B. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Penngabdian

Pendanaan Sumber Jml

(Juta Rp) 1. 2011 Penyuluhan Bahaya Narkoba Untuk Siswa MAN

Gandapura Kab Bireuen.

Mandiri

-2 2012 Penyuluhan Kenakalan Remaja Pada Siswa SMK N 2 Dewantara Kab Aceh Utara.

Mandiri

-3 2013 Penyuluhan Internet Sehat dan Aman Pada Siswa SMP N 2 Nisam Antara Kab Aceh Utara

Mandiri

(38)

No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/ Tahun 1. Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA)

Dalam Proses Disarmament, Demobilitation, Dan Reintegrasi (DDR) Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005 2. Akulturasi Budaya Aceh dan Arab Dalam Keunduri

Moulod.

3. Eksistensi Eks combatan GAM Sebagai Warga Negara Indonesia.

4. Pendidikan Politik Dalam Mencerdaskan Regenerasi Muda Melalui Sekolah.

Al-Iklas Tambon Tunong Kec Dewantara Aceh Utara.

Mandiri

-5 2014 Pelatihan Pemeliharaan Ikan Lele IBK-Simlitabmas

Dikti 5.000.000 6 2014 Pelatihan Pemeliharaan Kambing Yang Sehat

IBK-Simlitabmas

Dikti 5.000.000 7 2014 Pelatihan Pembuatan Kue Rumoh Aceh

IBK-Simlitabmas

Dikti 5.000.000 8 2014 Pelatihan Produksi Garam Dapur

IBK-Simlitabmas

Dikti 5.000.000

(39)
(40)
(41)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dari penelitian terhadap sistem akuntansi pembelian dan persediaan bahan baku yang sedang berjalan di dalam perusahaan, telah ditemukan beberapa

LAPORAN PENGIRIMAN REKAPITULASI TERJADINYA PERCERAIAN KE

Nilai pencapaian setiap KPI yang telah didapat sebelumnya diolah dengan bobot dari masing-masing proses inti, atribut kinerja, dan KPI untuk mendapatkan indeks

Kemajuan teknologi mendorong upaya keterbaruan pemanfaatannya dalam proses belajar mengajar (Sugianto etal , 2018). Pembelajaran berbantukan e-learning diharapkan dapat

• Pupuk sampai ke permukaan tanah dengan cara disebar menggunakan tangan (pupuk dalam bentuk butiran kering)e. • Pupuk diangkut ke lapangan menggunakan

Buatlah file dataku yang berisi nama, nrp dan alamat anda pada sub direktori januari dan copy-kan file tersebut ke sub direktori pebruari dan maret. Ubahlah ijin akses file

Mata kuliah ini dimaksudkan untuk memberikan bekal teori, analisis, maupun keterampilan teknis yang berkaitan dengan kebijakan keuangan publik di Indonesia. Sebagai

Kesepuluh hal pokok itu berkaitan dengan sikap praktisi terhadap bahasa daerah dan pengajaran bahasa daerah, yakni (1) peran serta dalam penataran, (2) urgensi