• Tidak ada hasil yang ditemukan

56571474 Microsoft Word Tantangan Postmodern is Me Terhadap Iman Kristen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "56571474 Microsoft Word Tantangan Postmodern is Me Terhadap Iman Kristen"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1. www.heryanto.com

P

a

g

e

1

Oleh : Pdt. Heryanto S.PAK, M.Th

PENDAHULUAN

Abad Postmodernisme adalah abad ke XXI yang dikenal sebagai abad kemajuan informasi dan globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi. Bila kita memperhatikan dunia sekeliling kita, maka semua bidang kehidupan manusia hampir dipengaruhi pemikiran Postmodernisme, bukan hanya dalam dunia perfilman, juga menyangkut bidang arsitektur, seni, ilmiah dan juga di bidang agama, sehingga tidak ada lagi kebenaran mutlak tapi serba majemuk.

Pergeseran yang mutlak kepada yang tidak mutlak khususnya menyangkit iman kepercayaan adalah sesuatu yang sangat membahayakan manusia selaku umat ciptaan Allah yang memiliki pertanggungjawaban akhirat nantinya.

Tidak heran kalau di harian Los Angeles Times pernah memuat sebuah artikel yang berjudul “Built It-Yourself Religion” yangmana dari artikel itu para pengamat baru memberi nama baru kepada generasi sekarang yaitu “The Quest Generation” atau Generasi Pencari yaitu mereka yang sedang mengembara dalam perjalanan rohani mereka, banyak diantara mereka yang meninggalkan kepercayaan resmi mereka dan mencari makna yang lebih mendalam tentang tujuan hidup ini. Pengembaraan mereka dalam beberapa versi, ada yang mengembara di daerah perkotaan yang kumuh, ada yang mengadakan retrit di pedesaan, ada yang melalui meditasi, chanting, mempelajari Taoism dan tai-chi. Semua ini menunjukkan agama yang benar bagi mereka adalah pengalaman kejiwaan yang penuh kedamaian sehingga mereka tidak mau lagi bergantung hanya pada salah satu tradisi.

APAKAH POSTMODERNISME ITU ?

Kata “postmodern” sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Asal kata “postmodern” adalah dari kata “modern” yang berarti “terbaru, barusan, mutakhir”. Sedangkan kata “post ( pasca )” berarti “sesudah”. Jadi secara harfiah sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna sesuatu yang bukan modern lagi. [11]

Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asunsi-asumsi modernisme serta kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modren ; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya komsumerisme, lahirnya realitas semu dan simulasi serta tumbangnya nilai guna dan nilai tukar oleh nilai tanda dan nilai simbol.

ALASAN MUNCULNYA POSTMODERNISME

(2)

2. www.heryanto.com

P

a

g

e

2

keterbukaan daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika daripada etika, narasi daripada teori.[13]

Postmodernisme juga menurunkan 8 ciri karakter sosiologis postmodernisme, yakni [1]:

i. Pemberontakan secara kristis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

ii. Meledaknya industri, media massa sehingga hal itu seolah perpanjangan dari sistem indera, organ dan syarat manusia. Sehingga kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan manusia.

iii. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.

iv. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.

v. Semakin menguatnya wilayah perkotaan ( urban area ) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya wilayah pedesaan ( rural area ) sebagai daerah pinggiran.

vi. Semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Jelasnya, era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi.

vii. Munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan percampuradukkan berbagai diskursus, nilai kenyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.

viii. Bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi sehingga bersifat paradoks.

BUDAYA DALAM POSTMODERNISME

Dalam Postmodernisme dikenal dengan beberapa budaya yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, yakni :

Kebudayaan postmodern menurut Jean Baudrillard ada dua hal yakni Nilai tanda dan Nilai simbol juga Simulaera / simulacrum dan simulasi.

a. Nilai Tanda dan Nilai Simbol.

Pada era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah semakin bersifat monopoli. Upaya yang ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi dilakukan melalui pemassalan produk diferensiasi produk dan manajemen pemasaran. Makanya, Iklan, pameran tehnologi, kemasan, media massa dan shopping mall merupakan ujung tombak strategi baru di era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat konsumer yang selalu berhasrat untuk mengkonsumsi.

(3)

3. www.heryanto.com

P

a

g

e

3

Bagi masyarakat konsumer, konsumsi sebagai system pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Makanya, masyarakat konsumer yang sedang berkembang saat ini adalah individu yang menerima identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial, sehingga ada satu prinsip masyarakat bahwa tanda adalah cerminan aktualisasi dari individu yang paling menyakinkan.

Menurut Marx bahwa nilai guna adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek dan berdasarkan manfaatnya setiap objek itu dinilai sesuai dengan kegunaannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan, nilai tukar adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai gunanya, makanya setiap objek komoditi memiliki kedua nilai dasar tersebut.

Di era kapitalisme awal, uang sebagai sarana tukar pemenuhan kebutuhan, sedangkan dalam era kapitalisme lanjut, uang telah menjadi tujuan akhir dengan komoditi sebagai sarananya sehingga nilai tukar menjadi lebih penting dari nilai guna dan komoditi diciptakan bukan untuk nilai gunannya lagi melainkan demi nilai tukarnya yaitu berupa uang, makanya uang telah menjadi bahasa baru yang membentuk dan memberi makna realitas bahkan dengan uang maka setiap orang dapat membeli dan memiliki berbagai kwalitas hidup manusia yang diinginkannya sesuai dengan budaya moral keinginannya.

Siapakah saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh individualitas saya. Sekalipun saya bertampang jelek ( bahkan bersikap jelek ) namun saya bisa menjadi cantik karena saya bisa membeli wanita cantik / pria tampan yang saya inginkan . Saya kini tak jelek lagi seperti yang semula karena efek kejelekan tersebut sebagai faktor determinan telah dihapuskan oleh uang. Maka, disinilah manusia telah berubah menjadi benda ( uang ) yang akan menggantikan kebenaran menjadi kekuasaan manusia.

Faktor yang ditunjukkan oleh benda ( uang ) adalah komoditi tontonan (Commodity of spectacle) yang menghasilkan masyarakat tontonan pula (society of spectacle). Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan dan menjadi kaumnya, sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Jadi, jelas tontonan telah memanipulasi dan mengeksploitasi nilai guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana untuk memperbesar keuntungan sepihak dan mengontrol idiologis atas manusia.

Masyarakat tontonan bisa terjadi dalam kebudayaan, pendidikan, olahraga, politik bahkan juga agama yang dikemas sebagai tontonan public saja. Misalnya, Dewasa ini dengan banyaknya gedung gereja yang dibangun dengan semewah-mewahnya – bahkan ada yang berusaha berlomba-lomba membangun gedung gereja terbesar dan termewah di kota tersebut-sekalipun ada juga nilai baiknya, namun yang menjadi pertanyaan, apakah pembangunan ini memang memiliki nilai guna atau sekedar nilai tontonan saja tanpa memperhatikan nilai gunanya ? [6]

(4)

4. www.heryanto.com

P

a

g

e

4

fatal ingin mencari prestise sebagai majelis dan tak jarang sebagai simbol untuk berdagang dan mencari keuntungan di tengah-tengah gereja. [15]

b. Simulacra dan Simulasi.

Simulasi dalam kamus Bahasa Indonesia memberi arti yaitu suatu metode yang memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan sebenarnya.

Dalam perkembangan zaman ilmu dan teknologi maka berubah pula arah angin peradaban. Ketika media elektronika televisi ditemukan, maka dalam sekejab terjadi sebuah revolusi kesadaran tentang dunia yang mengecil. Dimensi ruang lipat dalam sebuah kotak layar kaca. Dunia inilah yang menggantikan peran komoditi tradisionil Marx. Didalam layar kaca televisi, segala sesuatu, berita politik, film telenova, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan, kekudusan dan kerinduan terhadap makna luhur.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baulrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap / menghilang bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur. Raelitas-realitas buatan adalah ciri zaman ini, sebuah zaman tengah menjelangnya sebuah era kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan Postmodern yang ditandai dengan logika simulasi.

Menurut William F.Fore bahwa teknologi menentukan masyarakat. Teknologi adalah kemajuan dan kemajuan tidak dapat dihindari. Ia tidak bisa dihentikan dan tak peduli dengan implikasi-implikasi manusiawinya. Jadi, teknologi mempergunakan realitas yang berada di luar pengaruh manusiawi. Masyarakat tidak memutuskan bagaimana menggunakan teknologi saja, tetapi teknologi juga memutuskan bagaimana masyarakat akan digunakan. [8]

Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima dimana teknologi, informasi, komunikasi dan industri pengetahuan menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Makanya, dalam masyarakat simulasi, segala sesuatu ditentukan oleh relasi, tanda, citra dan kode.

Tanda ialah segala sesuatu yang mengandung makna yang mengikuti teori semiologi. Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi dan substansial. Kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan seseorang kepada orang lain.[2]

(5)

5. www.heryanto.com

P

a

g

e

5

nilai moral, nilai agama terserap kedalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga. Bahkan tidak jarang seringnya massa dapat diatur dengan cara menanamkan informasi kepada mereka dan energi sosial dapat dibentuk melalui sarana penanaman informasi dan pesan. Namun yang terjadi sebenarnya sungguh berlainan sama sekali dan pesan-pesan ternyata cuma menghasilkan massa pasip, yang tak berdaya, tertutup terhadap berbagai informasi sosial klasik dan terhadap kandungan informasi yang terdalam.

Makanya dalam dunia simulasi, identitas seseorang misalnya tidak ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang menbentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain dan juga kode dan model-model ini menentukan bagaimana seorang harus bertindak dan memahami lingkungannya.

c. Dominasi Atas Kepelbagaian dan Moralitas Keinginan.

Bagi kaum postmodernisme, moralitas seperti agama adalah suatu masalah keinginan (desire). Apa yang saya inginkan dan apa yang saya pilih tidak hanya benar – true -- tetapi juga tepat – right -- bagi saya. Makanya kebenaran dan moralitas adalah relatif dimana setiap orang yang berbeda wajar memilih yang berbeda pula, sehingga tak seorangpun yang punya hak untuk mengkritik apa yang diinginkan dan dipilih orang lain. Disinilah ‘toleransi’ menjadi suatu kebaikan yang terpuji dan tertinggi. Makanya filsafat postmodernisme memiliki dan menerima prinsip ‘kepelbagaian kebudayaan’ yaitu bahwa setiap cara berfikir satu kelompok tertentu adalah menyatakan satu kebudayaan tertentu yang harus dipertimbangkan sebagai hal yang baik sebagaimana dengan kebudayaan lainnya. Inilah yang disebut dengan dominasi kepelbagaian. Makanya, kaum postmodernis boleh dikatakan memiliki dosa “menghakimi” (being judgemental) dan “pemikiran yang sempit dan picik” (being narrow-minded) yang menganggap bahwa ‘hanya ia yang memiliki kebenaran’ dan ‘berusaha memaksakan nilai-nilainya kepada orang lain’.

Selain dosa yang dianut mereka, ada juga hal menarik dari mereka yaitu konsep tentang tanggung jawab bersama secara kolektif ( kelompok ) dan perasaan ( baik atau jahat ) yang kolektif dengan pandangan satu warna idiologi sehingga idiologi mereka mengecilkan nilai individu dan mengecilkan tanggungjawab individu. Apapun keinginan moral mereka umumnya dilakukan secara kolektif. Kebenaran dan status moral mereka tidak ditentukan oleh tindakan seseorang melainkan oleh keanggotaan seseorang di dalam kelompok tertentu. Makanya umumnya penganut postmodernisme mengalami dilema konsep ‘keadilan’ karena mereka menolak adanya nilai moral yang mutlak..[3]

Adapun pilar utama kritik postmodern adalah desakan atas dominasi kepebagaian. Penganut postmodern menegaskan dan mencoba merangkul perbedaan-perbedaan yang begitu bervariasi dan mengherankan yang membentuk dunia yang mereka coba pahami melalui pengalaman mereka. Sebenarnya alasan adanya dominasi terhadap kepelbagaian bisa digambarkan secara sederhana yaitu semua pengalaman / pengetahuan manusia di filter ( disaring ) dan filternya juga sangat beragam dan filter itu jelas terikat “waktu” , “situasional” , dan “linguistik” dan ‘sarat teori dan pengalaman’ serta ‘hermeneutis’ masing-masing. Makanya, perbedaan ini diusahakan disatukan ( wacana global ) ke dalam satu dunia baru yang diakui bersama.

(6)

6. www.heryanto.com

P

a

g

e

6

metode ilmiah seperti keadaan sekarang ini dengan menunjukkan adanya para ilmuwan juga bekerja dengan filter yang mereka pilih sendiri atau yang sudah ada. [20]

Jelaslah, dominasi kepelbagaian ini yang merupakan salah satu perspektif postmodern dapat merusak kesempurnaan kerja karena jelasnya bahwa tempat bertolak kita tidak ditentukan semata dan hanya oleh data yang diakui universal tetapi oleh ‘filter’ atau ‘konteks pandangan / situasional’ dimana kita berada. Hal ini dapat lebih diperjelas ketika kita menemukan fondasi satu rumah, jika hanya satu macam fondasi bersama untuk sebuah rumah, apakah dapat memberikan keamanan untuk semua rumah dan membuat mereka mampu berkomunikasi di antara mereka ? (Paul F. 2003. hal. 58-59)

Perlu kita ketahui, bagi kaum postmodernis bahwa semua pembicaraan tentang moralitas termasuk yang mereka anut, hanya merupakan topeng-topeng dari kehendak untuk berkuasa ( masks the will to power ). Didalam moralitas keinginan jelas memiliki etika keinginan / nafsu (ethic of desire) ini sama dengan kehendak ( the will – apa yang saya pilih ) untuk berkuasa ( to power – apa yang saya inginkan ). Makanya secara politis, etika keinginan adalah perjuangan kekuasaan di antara berbagai kelompok yang bersaing. Hal ini bisa saja timbul pemerintahan yang diktator yang mengagungkan the will dan the power, seperti kaum Gay yang suka membuat kerusuhan dalam kebaktian di gereja dan teroris yang terang-terangan.

BAHAYA-BAHAYA DALAM PENGARUH POSTMODERNISME TERHADAP KEKERISTENAN.

1. Pemikiran Postmodernisme yang mengatakan semua relatif dan tidak ada yang mutlak. Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang baru, Dalam Alkitab sendiri tercantum dalam Hakim-Hakim 17:6 dan 21:25, kita menemukan hal yang sama dimana pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel, setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri. [9]

Postmodernisme dalam hal penolakan mereka akan Kebenaran yang obyektif memiliki kesamaan dengan Hinduisme dan Buddhisme yang mengajarkan bahwa dunia luar ( external world ) hanyalah sebuah ilusi dari pikiran manusia.

Banyak suara yang saat ini kita dengar yang mengatakan bahwa apa yang berada di sana adalah karena kita sendiri yang meletakkannya di sana. Lebih tepatnya, apa yang saya letakkan di sana, hanya si aku yang kecil, saya membentuk dunia saya sendiri di sana. Dulu kita menyebut hal ini sebagai “Solipsisme”, sekarang kita menyebutnya sebagai “Spiritualitas Zaman Baru” atau “Agama-Agama Zaman Baru”, yang memiliki ide yang sama bahwa diri ( self ) adalah bersifat ilahi bahwa engkau adalah Allah, sebagai pencipta alam semesta.

Sebagaimana Schleiermacher yang hidup dalam zamannya dimana rasionalisme mempengaruhi seluruh cara berfikir manusia dengan menolak ‘inti Kebenaran Iman Kristen’ tersebut. Ia menolak perlunya ‘fakta penebusan Kristus’ melalui ‘pengorbanan diri-Nya’ untuk dapat menyatukan kembali manusia dengan Allah. Baginya setiap manusia adalah ‘baik’ dan punya ‘potensi’ untuk dapat secara batiniah mengalami kehadiran Allah. [23]

(7)

7. www.heryanto.com

P

a

g

e

7

kitab suci dan tradisi Kristen maka semua pengetahuan tentang Allah berdasarkan diri pada pengalaman manusia tentang Allah. [12]

Salah satu gerakan zaman baru yaitu Postmodernisme, sekalipun hadir dalam beragam bentuk tetapi disatukan dengan satu tema bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran yang mutlak, diri kita sendiri adalah allah, seluruh alam semesta adalah ilusi dan kebenaran adalah relatif.

Sebagaimana buku yang penulis kutip dari tulisan Th.Sumartono,dkk, yang menyatakan tentang pemutlakkan kebenaran agama, sbb :

Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam pemutlakkan kebenaran agama. Memang dikatakan di atas bahwa agama menuntut komitmen mutlak dari pemeluknya terhadap ajaran-ajarannya dan karenanya timbul pemutlakkan kebenaran agama.

Akan tetapi adalah kenyataan bahwa jaminan ajaran sesuatu agama merupakan satu-satunya yang benar itu tidak ada. Benarkah demikian ? Tuhan yang disembah oleh para pemeluk agama merupakan satu-satunya Tuhan yang ada ? Jawabannya dapat ‘ ya ’ , dapat juga ‘ tidak ’, karena Tuhan di situ merupakan konsepsi manusia. Kalau demikian keadaannya, mengapa mesti dimutlakkan kebenarannya ? Ada kemungkinan salah pada setiap konsepsi dan karenanya sikap yang paling wajar adalah menghargai konsepsi-konsepsi yang telah dihasilkan oleh setiap individu atau setiap orang . [22]

Hal ini jelas ditentang oleh Frederick Nietzsche yang secara tegas menyatakan bahwa berbagai pernyataan kita tentang Kebenaran bukan muncul dari apa yang kita lihat ( bnd. Nilai Tanda atau simbol ),tetapi dari apa yang kita ciptakan dan kenakan atas apa yang ada sebelumnya. Nietzsche yakin kita tidak dapat mencapai realitas obyektif apapun yang dapat mengukur kebenaran kita. Kebenaran itu sendiri dalam arti Allah sebagai sumber Kebenaran berada di luar jangkauan kemampuan manusia..[16]

Adapun salah satu corak yang dibuat oleh dunia postmodernisme, yangmana kebenaran adalah relatif, maka zaman sekarang orang-orang akan mengambil aspek-aspek tertentu dari berbagai-bagai agama ( termasuk juga ibadah ) sebagaimana yang mereka sukai, dan mereka satukan dalam pengalaman mereka maka disinilah muncul fundamentalisme agama-agama baru sehingga tidak heran jika anak-anak muda tidak akan tertarik lagi dengan dasar-dasar yang penting dari kekeristenan. Mereka akan menggantikannya dengan mencari sendiri kebenaran dan tujuan hidup yang sesuai dengan keinginan mereka. ( Sebagaimana tulisan saya di buletin SMI edisi No.11 tahun ke 63 Nopember

2003 dengan judul “Pujian, Musik Dan Ibadah ), sehingga dalam satu ibadah

bagi kaum muda bukan lagi kepentingan doktrin / teologinya tapi sarana ibadah telah menjadi tujuan ibadah yang dicari oleh kaum muda kristen.

(8)

8. www.heryanto.com

P

a

g

e

8

Kekerasan spiritual bisa terjadi kadangkala ketika kita mempunyai persepsi yang salah tentang kemutlakkan Allah dan bukan agama. Dimana kesaksian Alkitab dengan amat tegas menekankan : “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” ( Kel 20:3 ). Hal yang juga amat jelas dikatakan oleh Yesus, “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti”. ( Mat 4:10 ; Ulg 6:13 ). Teologi Kristen juga menolak pemutlakkan agama yang secara tidak langsung berakibat pada penisbian Allah. Hanya Allah saja yang mutlak dan agama jelas tidak (bnd. Yoh 4:21 ). Allah selalu lebih besar daripada apa yang tidak dapat ditangkap dan dipahami oleh agama apapun. [21]

Makanya, orang-orang kristen tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain karena sama seperti Yesus di Golgota, merekapun harus bersaksi dalam kerendahan. Dalam hubungannya dengan ini, maka Allah menuntut agar manusia taat kepada Allah seperti yang ada pada Taurat dan Injil, keduanya adalah tuntunan Allah agar manusia taat pada Kasih setia-Nya yang nyata di Golgota bagi keselamatan umat manusia.

Untuk menghindari kekerasan spiritual, hendaknya kita menghindari klaim bahwa kita mempunyai kebenaran. Ini dapat disangka bahwa kita menonjolkan tentang superioritas agama kristen terhadap agama-agama lain, tetapi bersaksilah tentang Kristus yang telah mati dan bangkit bagi semua orang. Makanya, tugas kristiani dalam bangsa dan negara yang merupakan tugas gereja bukanlah untuk menguasai negara dan dunia ini tetapi meneranginya didalam kasih. [24]

2. Munculnya “Kekerasan Spiritual atau kekerasan sosial” yang muncul karena kegagalan janji modernisme seperti kebebasan dan pluralisme yang justru memunculkan kabut keraguan, kekaburan, dan ambiguitas. Kekerasan spiritual ini mengakibatkan juga munculnya berbagai corak fundamentaliasme keagamaan yang sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism). Dengan tujuan sebagai jalan pelarian dari kebebasan akibat kegagalan rasionalisme dilumpuhkan oleh semangat postmodernisme dengan memasuki ‘dunia yang pasti’, hal ini yang mendorong munculmya fundamentalisme keagamaan.

Fundamentalisme ini muncul karena di tengah-tengah era postmodren yang memiliki sifat toleransi, saling menerima satu dengan yang lain sehingga yang menjadi ciri utamanya adalah pluralisme sehingga tidak ada titik pusat yang mengontrol sesuatu sebagai fokus. Tidak ada standar umum yang dapat dipakai untuk mengukur, menilai dan mengevaluasi konsep-konsep tertentu. Sehingga komponen yang saling bertentangan saling bercampur aduk, makanya buah karya postmodernisme selalu ambigu ( mengandung dua makna ) [14]

Tanpa nilai absolut yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam segala hal, postmodernisme telah memberikan kebebasan yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah dunia. Kebebasan yang seperti ini mau tidak mau jelas telah membuka jalan bagi relativisme dan pluralisme. Pluralisme dalam aspek keagamaan telah menciptakan sebuah ‘warna baru’ lagi bagi posisi kekeristenan dalam dunia. [7]

(9)

9. www.heryanto.com

P

a

g

e

9

diagung-agungkan dengan satu motto : “Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dan dianggap benar.”.

Sebagaimana yang dikatakan seorang yang menganut Neo-Universalisme yang berpandangan bahwa semua agama-agama di dunia ini bukan saja baik tetapi juga sama. Namun hal ini harus kita lihat sejauhmana kebenaran yang dikatakan pengaut Neo-Universalisme, maka setiap yang baik wajar dihargai dan dihormati. Namun isi iman dan kenyakinan masing-masing agama pasti berbeda, khususnya dalam hal keselamatan.

Alkitab dengan jelas mengungkapkan bahwa keberadaan dosa adalah fakta ( Roma 3:23 ) dan konsekwensi dosa jelas ada yaitu maut ( Roma 6:23 ). Untuk jalan pelepasan jelas dikemukakan harus dengan darah Yesus ( Ibr 9:22b). Jadi, konsep dosa dan akibatnya serta jalan pelepasan merupakan isi iman kenyakinan yang tetap ada dalam kekeristenan. [5]

Akibatnya pluralisme dan relativisme postmodern jelas menyempitkan lingkup kebenaran menjadi “lokal”. Suatu kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang menyakininya. Makanya, bagi orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan sejauhmana diri mereka benar dan orang lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan / kepercayaan adalah masalah konteks sosial. [10]

3. Timbulnya Perubahan Paradigma Hermeneutik. Dalam postmodern ini ada muncul juga satu budaya yang disebut dengan “Budaya Penafsiran” yang merupakan produk penting dari postmodernisme. Dimana budaya postmodern telah mencetuskan perubahan paradigma hermeneutika sebagai suatu upaya pencarian cara untuk menjadikan teks yang terhina masih bisa diterima oleh pembaca yang skeptis. Hermeneutika tidak lagi dipandang sebagai upaya penjelasan kebenaran teks yang otoritatif. Yang diperlukan kini adalah imajinasi dari batiniah manusia. Dengan model ini mencetuskan satu semangat sekularisasi didalam kehidupan kekristenan dan membawa kekeristenan lebih kepada “bersandar-pada –diri-sendiri” ( Self-reliance ). Makanya Lundin menekankan agar kita bisa menghadapi dekonstruksi postmodern dengan semangat interaktif, maka ada beberapa hal yang perlu kita lakukan , yakni : i. Kita harus mampu membedakan apa yang kita setuju dengan tidak setuju. ii. Kita memiliki kuasa yang bukan dari diri kita sendiri, tetapi dari Allah yang

membawa kita pada pengertian akan Kristus yang menjadi satu-satunya sumber kebenaran kita.

iii. Kembal

inya kita kepada otoritas Firman ‘karena “pada mulanya adalah Firman”.

[18]

TANTANGAN POSTMODERNISME TERHADAP UMAT KRISTEN DAN GEREJA.

(10)

10. www.heryanto.com

P

a

g

e

1

0

Untuk itu kita perlu mewaspadai apa yang menjadi patokan dalam Postmodernisme yang mengatakan semua relatif dan tidak ada yang mutlak, pengalaman manusia tentang Allah sebagai dasar pengetahuan tentang Allah dan munculnya fundamentalisme agama sebagai wujud dari kekerasan spiritual di tengah pluralisme dan relativisme dan sekularisasi di dalam kehidupan Kristen dan membawa umat kristen lebih bersandar pada diri sendiri dan ini bukanlah hal yang baru.

Sesungguhnya hal ini tidak perlu membuat kita menjadi kaget dan heran. Generasi Postmodernisme tidak lagi terkesan pada penyajian rasionil Injil yang berpesona tetapi pada perujudan Injil yang menyeluruh dalam masyarakat dan peyembuhan hubungan antar manusia bahkan dengan alam sekitarnya. Sikap seperti ini banyak sekali dijalankan oleh kaum Injili sampai sekarang ini. Sesungguhnya kita harus tetap berpegang pada kenyakinan Injil sebagai satu-satunya jawaban yang mutlak bagi generasi Postmodernisme juga. Panggilan kita sebagai orang-orang percaya adalah untuk menjelaskan dan mewujudnyatakan Kabar Baik Keselamatan yang kekal lewat tindakan yang dapat dimengerti oleh generasi Postmodernisme yang sedang menghadang di depan kita di abad XXI.

Generasi di era postmodernisme saat ini sesungguhnya sedang berada pada fase perusakan, dimana tidak hanya nilai-nilai tradisional yang rusak tetapi juga nila-nilai masa kini.

Pada masa kini ditemukan banyaknya tanda-tanda agama sekular jenis baru yang memunculkan masyarakat jenis yang baru. Dimana masyarakat bisa memiliki beberapa macam konsensus religi. Namun apabila suatu saat konsensus ini hilang, objek penyembahan yang baru akan mendesak masuk ke dalam kerohanian yang sudah vakum. Maka, saat satu masyarakat kehilangan imannya yang trasendental, maka manusia akan mengarah ke salah satu dari tiga hal yang merupakan tantangan kekeristenan dalam era postmodern, yakni : Nasionalisme, Ekumenikalisme dan teknikalisme. [19]

1. Nasionalisme

Sebagaimana yang pernah saya katakan ( Baca “Nasionalisme itu lebih bersifat Subjektif”, SMI No. 11 tahun ke 62 Nopember 2002 ) bahwa nasionalisme ini muncul dari sentimen satu gerakan. Maka didalam model ini, masing-masing kelompok kecil yang membentuk dunia kebenaran sendiri menunjukkan sentimen mereka dengan mengklaim diri mereka sebagai yang ilahi. Kebudayaan dan sub kebudayaan akan mengilahkan diri sendiri. Komunitas akan menjadi sumber nilai-nilai moral yang berlaku hanya bagi anggota komunita tersebut.

Sehingga setiap kelompok menentukan kebenaran mereka masing-masing sebagai perwujudan nasionalisme mereka dan orang-orang yang di luar dari hukum moral mereka akan di anggap musuh. Sebagaimana seringnya pelayanan dalam gereja kacau dan rusak akibat umat gereja baik secara pribadi maupun kelompok membangun kebenarannya masing-masing tanpa mengacu kepada Kebenaran Allah yang mutlak. Jadi sifat postmodern ini harus diwaspadai dan dihindari sehingga tidak ada umat yang mengingkari kebenaran Allah yang mutlak ini.

(11)

11. www.heryanto.com

P

a

g

e

1

1

Jadi, tidak ada seorangpun dapat menentukan kebenaran di luar dari apa yang telah ditentukan oleh Allah, apalagi jika kebenaran yang dibuat manusia tanpa melihat standar yang Allah telah tentukan. [17]

2. Ekumenikalisme

Dimana dikatakan di atas, hilangnya satu konsensus religi akan dimasuki oleh objek penyembahan yang baru. Dengan kata lain, hilangnya konsensus nilai-nilai transenden bisa terjadi akibat pengilahian kekuatan oikumenis dan pluralisme.

Sebagaimana kurangnya konsensus religi yang sudah dimulai pada zaman pencerahan dan mencapai puncaknya pada abad ke dua puluh ini. Dimana para teolog modernis mencoba menyatukan gereja-gereja dengan menghilangkan perbedaan kenyakinan akan dogma masing-masing. Hal inilah yang kita sebut dengan “Gerakan Oikumenis”.

Ternyata gerakan oikumenis juga gagal menyatukan gereja-gereja maka usaha mereka sekarang adalah untuk menyatukan semua agama-agama di dunia ini. Hal ini berarti menghilangkan perbedaan-perbedaan kenyakinan mereka demi menerima iman yang sama sekali baru. Sehingga para teolog menganut prinsip-prinsip yang relativisme dari Post modernisme agar mereka dapat merangkul semua kebudayaan dan agama. Dengan demikian mereka tetap menekankan “kesatuan global” ( Global Unity ), dimana semua yang ada bergantung kepada ekosistem tunggal. Dan dalam istilah “Globalisasi” ini merupakan semangat oikumenis postmodernisme yang memberikan ruang yang terbuka bagi relativisme kebudayaan dan kesatuan global.

Untuk itulah, di tengah-tengah situasi pluralisme keagamaan, setiap orang kristen harus terbuka dan siap menerima kebenaran apapun yang dapat diterima dan belajar dari berbagai tradisi keagamaan lain untuk memadukan unsur-unsur kebenaran ke dalam filter kita tentang Allah dan pernyataan-Nya. Jadi, hal ini tidak menuntut kita merelatifkan klaim kebenaran iman kristen khususnya tentang finalitas eskatologis, sebaliknya klaim ini harus bisa memampukan orang krsiten untuk mengakui kebutuhannya akan pemahaman yang lebih mendalam tentang iman kristen, terlebih saat berjumpa dengan tradisi-tradisi keagamaan lainnya. [4]

3. Teknikalisme

Alternatif yang terakhir ini adalah pengilahian ahli teknologi yang tak tersaingi sebagai kenyakinan yang transenden ( idolation of the invincible technician ). Di sini menelusuri di mana teknology sedang berkembang fungsinya mengambil fungsi suatu kenyakinan atau agama. Atribusi ilahi tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan sudah dikenakan kepada teknologi.

Pada abad pertengahan, teologi skolastik secara tidak tepat mengaplikasikan metodologi teoliginya kedalam bidang yang di luar objek pengetahuannya, misalnya sanis. Namun masa kini sebaliknya, manusia mengaplikasi metodologi – kerangka berfikir – ke dalam semua bidang termasuk teologi dan etika.

Masyarakat postmodern menentukan fungsi religi kepada dirinya sendiri. Postmodrenisme menurunkan nilai teologinya, moral dan misteri manusia kepada hal-hal yang tehnis.

(12)

12. www.heryanto.com

P

a

g

e

1

2

tentang efisiensi ketepatan (presesi), keobjektivitasan. Konsep dosa dan kejahatan tidak muncul didalam konsep tehnopoly. Mereka datang dari satu moral semesta yang tidak relevan dengan para ahli teologi. Para ahli tehnopoly menyebut dosa sebagai “Diviasi/ Penyimpangan Sosial” dalam konsep statistik dan mereka akan menyebut kejahatan sebagai “Psikopatology” dalam konsep medis.

Konsep Alkitab tentang “KUDUS” artinya secara harafiah adalah “Dipisahkan dari”. Namun teknologi membawa segala sesuatu – seks, penderitaan, personalitas dan kehidupan batiniah – menjadi sesuatu yang profan yaitu secara harafiah artinya “Umum” dan “Common” ( biasa). Makanya, tidak mengherankan di era postmodernisme saat ini, tidaklah masalah bila media massa mengekspos besar-besar masalah seksual yang dulunya merupakan hal yang tabu, rahasia dan pribadi. Demikian juga dengan kejahatan yang dulu dipandang sebagai yang mengerikan dan tersembunyi. Maka visual masa kini memotret semua yang dapat dilihat dengan bebas. Apa yang tak dapat dilihat – yaitu Allah, Iman, Kebajikan, Spritualitas – itu di luar perhatiannya dan diabaikan. Kalaupun tidak diabaikan, realita spiritual akan diperhatikan dalam pemahaman yang di anut media masa kini. Tentu hal ini sama saja dengan melecehkannya. Alternatif ketiga yang dijelaskan oleh Toynbee perlu dicermati dengan seirus agar kita tidak kandas dalam iman kepada Yesus Kristus oleh pengeruhnya.

Ada beberapa paradigma dasar yang diperlukan dalam berteologi terhadap sikap kemutlakkan ini, yakni :

a. Kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri.

Manusia bukanlah sumber kebenaran karena manusia sendiri masih mencari Kebenaran dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut. Karena itu, manusia perlu kembali kepada Tuhan sebagai sumber Kebenaran. Secara inkarnasi, di sepanjang sejarah hanya satu manusia saja yang berhak mengklaim dirinya sebagai Kebenaran yaitu Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang tunggal. ( Yoh 14:6 ).

b. Allah mengwahyukan Kebanaran di dalam Alkitab.

Allah menyatakan Kebenaran-Nya kepada manusia melalui Firman-Nya, yaitu Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab merupakan satu-satunya sarana untuk menusia bisa kembali mengerti kebenaran yang paling hakiki. Inilah yang diproklamirkan dengan kata “Sola Scriptura” ( hanya Alkitab saja ). Dengan demikian tidak ada kebenaran di luar Kebenaran Allah dan semua kebenaran harus berpreuposisi pada Alkitab saja.

c. Alkitab merupakan satu kebenaran yang utuh dari Allah yang satu.

Sebab Allah yang sama mengwahyukan seluruh bagian Alkitab, maka seluruh bagian Alkitab tidak bertentangan satu sama lain. Jika terjadi pertentangan, maka bukan pengertian Alkitab itu sendiri tetapi kesulitan pikiran manusialah yang memang mempertentangkannya. Maka kembali lagi, presuposisi manusia didalam menghadapi Alkitab adalah preuposisi keutuhan bukan dikonstruktif.

P E N U T U P

(13)

13. www.heryanto.com

pendidikan, teknologi bahkan juga agama. Makanya dengan tulisan ini, sekedar untuk menggelitik kita yang mungkin sedang diam terpana dengan keadaan dunia ini, supaya kita dibangunkan untuk tidak terbawa arus dunia ini dengan berpegang teguh pada kebenaran sesuai dengan iman kristen yang kita pegang. Sebagaimana peringatan yang disampaikan oleh rasul Paulus : “ Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik, peganglah apa yang ada padamu supaya tidak seorangpun mengambil mahkotamu”. ( I Tes 5 : 21 ; Wahyu 3 : 11 )

DAFTAR PUSTAKA

1. Akbar Ahmed. Postmodernism and Islam. New York. Routledge.1992

2. Amir, Yasraf Piliang. Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang

Milenium Ketiga Dan Matinya Postmodernisme. Bandung. Mizan. 1998.

3. Connor Steven. Postmodernist Culture : An Introduction To Theories Of The

Contempory. Oxford : Basil Blackwell. 1989.

4. D’costa Cavin. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen. Jakarta. PT. BPK Gunung Mulia. 2002..

5. Daun Paulus. Pdt. Apakah Universalisme itu ?. Manado. Yayasan “Daun Family”. 1990.

6. Douglos, Kellner. Baudrillard Reader. Blackwell. Cambridge, 1994.

7. Efferin Henry. Pascamodernisme dan kenyakinan Injli. Suatu Sorotan Dari Segi Metodologi. Jurnal Pelita Zaman. 1999.

8. Fore. F William. Para Pembuat Mitos, Injil, Kebudayaan dan Media. Jakarta. PT. BPK Gunung Mulia. 1999.

9. Genz J Stanley. A Primer On Postmodernism. William B Eerdmans. Grand Rapids. M.I. 1996

10.Genz J Stanley. Postmodernisme, Sebuah Pengenalan. Jakarta, STT Reformed Injili Indonesia.

11.GP. Harianto. Postmodrenisme dan Konsep Kekeristenan, Jurnal pelita Zaman 15/1. 2001.

12.Heitink Gerben. S.J.(ed) Hartono Heselaars Fred. Teologi Praktis Pastoral Dalam

Era Modernitas – Postmodernitas. Yogjakarta. Kanasius. 2003.

13.Heryanto Ariel, Postmodernisme, Yang Mana ? Tentang Kritik Dan Kebingungan Dalam Debat Postmodernisme di Indonesia Dalam Jurnal Kalam, Edisi 1. Jakarta. 1994.

14.Jencks Charles. What is Post Modernisme ? New York, Martin’s Press. 1989. 15.John, Lechte. Key Contemporary Thinkers From Structuralis to Postmodernism.

Routledge, London. 1994.

16.Knitter F Paul. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta. PT.BPK Gunung Mulia. 2003. 17.Ladd Eldon George. Teologi Perjanjian Baru, jilid-2. Bandung. Yayasan Kalam

hidup. 1999.

18.Lundin Roger. The Culture Of Interpretation : Christian Faith And The Postmodern

World. Grand Rapids : Michigan : Wm.B.Eerdmans, 1993.

19.Postman Neil. Technopoly : The Surrender Of Culture To Technology. New York,

22.Sumartono.Th, dkk. Pluralisme Dan Dan Pendidikan Di Indonesia. Yogjakarta. Pustaka Belajar. 2001.

23.Susabda B Yakub. Teologi Modern I. Surabaya. Pusat Literatur Kristen Momentum. 2001

(14)

14. www.heryanto.com

P

a

g

e

1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan nilai kalor yang dimilikinya, sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan bakar pada suatu pembangkit listrik.. Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh rancangan

“pemberian reward and punishment melalui tata tertib sistem point saya tahu sejak masuk sebagai peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hikmah Bumela, Saya setuju dan tertarik

[r]

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui adanya hubungan yang positif antara penggunaan situs Google dan motivasi belajar secara

Cambridge AICE is an international education programme that prepares learners aged 16 to 19 years for entry into higher education.. Learners study from a broad range of

Layanan peminatan dan perencanaan individual merupakan proses pemberian bantuan kepada semua peserta didik/konseli dalam membuat dan mengimplementasikan rencana

The performance of the produced adsorbent on the adsorption of Cr 3+ was evaluated based on the effect of several parameters like initial pH, adsorbent dosage, initial Cr 3+