• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi dan Pengawasan Keuangan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korupsi dan Pengawasan Keuangan Negara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KORUPSI, PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA

DAN FORMAT POLITIK

Pembicaraan tentang korupsi dan kolusi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini pun merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia. Dan, praktek korupsi-kolusi inilah yang menjadi akar masalah. Artikel ini juga akan memberikan sumbangan pemikiran tentang hal-hal seputar korupsi yang semakin menjadi isu penting. Berbicara tentang korupsi dan kolusi di Indonesia tentu tidak akan lepas dari serangkaian kasus seperti kasus Pertamina, runtuhnya Bank Duta, bobolnya Bapindo, “kesalahan prosedur” di Mahkamah Agung, kasus Udin, penyalahgunaan dana Jamsostek dan yang terakhir kasus korupsi yang terjadi di Bank Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah yang tergolong besar dan pernah dimuat oleh media massa. Sedangkan yang tergolong kasus “kecil” dan kurang mendapat porsi pemberitaan yang memadai misalnya uang sogokan untuk memenangkan sebuah tender, uang pelicin untuk kelancaran perijinan, upeti kepada oknum pejabat, pemberian hak istimewa bisnis anak pejabat dan sekelompok orang tertentu, pungutan liar baik di tingkat pusat maupun di tingkat desa dan masih banyak lagi. Kasus-kasus kecil ini relatif sering terjadi dalam bentuk yang beragam dan terlanjur dianggap biasa oleh masyarakat.

Berkaitan dengan kasus tersebut tentunya juga tidak lepas dari publikasi hasil penelitian dalam kesempatan terpisah yang pernah dilakukan oleh dua lembaga penelitian yakni Transperancy International (TI) dari Jerman dan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dari Hong Kong. Kedua lembaga itu mengungkapkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia. Akhir-akhir ini pun Bank Dunia dan IMF menyoroti tingginya angka korupsi di Indonesia karena dianggap menyulitkan dalam upaya pemulihan krisis ekonomi saat ini.

(2)

tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden. Kasus tersebut akhirnya “selesai” dengan meninggalkan sejumlah pertanyaan mendasar dengan tanda tanya besar.Apa yang sedang terjadi dengan Indonesia? Mengapa korupsi dan kolusi semakin merajalela?

Pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, sebab persoalan korupsi memiliki banyak dimensi. Korupsi bukan sekedar persoalan etis moral, di mana sorotan tajam diarahkan pada kurangnya iman dan rendahnya moralitas si pelaku, dan bukan pula melulu persoalan budaya. Dengan menganggap bahwa persoalan korupsi hanya melibatkan salah satu dimensi tersebut tidak akan membantu dalam mencari solusi yang tepat dan efektif. Bagaimana bisa memastikan bahwa praktek korupsi akan berkurang hanya dengan menambah jam terbang penataran P4. Begitu juga dengan imbauan dalam kotbah di mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Tidak ada yang berani memberi jaminan bahwa dengan model-model pembinaan semacam itu pelaku tindak korupsi akan berkurang.

Pemecahan yang lebih komprehensif dapat dicari hanya jika persoalan korupsi dilihat dari perspektif yang lebih luas. Fokusnya tidak lagi melulu pada soal etis-moral, budaya atau pun hal-hal lain yang bersifat parsial, melainkan lebih pada persoalan struktural yang sarat dengan muatan politik dan ekonomi dalam kehidupan bangsa secara menyeluruh. Melalui pendekatan ini barangkali akan dapat diketahui sebab utama (primary causes) merajalelanya korupsi dan kolusi. Paper ini akan berusaha untuk mengenali sebab-sebab utama persoalan ini dari kaca mata sebuah sistem dalam konteks kenegaraan. Asumsi dasarnya ialah suatu negara pada dasarnya juga merupakan suatu entitas. Sebagai sebuah entitas negara membutuhkan seperangkat sistem pengendalian yang berfungsi untuk memastikan bahwa tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas kenegaraan beserta seluruh aspeknya berjalan dengan baik dan sesuai dengan sasaran. Di samping itu sistem yang tengah diterapkan juga akan memberikan warna dan pola tata kehidupan dalam masyarakat dalam segala dimensinya. Apabila sistem yang berjalan efektif dan sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang semestinya, maka praktis tata kehidupan masyarakat pun akan berjalan baik. Sebaliknya, jika sistem itu tidak dilaksanakan atas dasar kaidah dan norma tadi, maka sistem itu sudah dapat dipastikan tidak dapat menjamin berlangsung tata kehidupan yang baik. Sistem yang gagal itu akan membawa implikasi pada banyaknya penyimpangan dan penyelewengan.

Pembahasan akan dimulai dengan pengenalan elemen-elemen pengendalian atau pengawasan intern yang merupakan norma-norma yang harus ditaati demi tercapainya tujuan suatu entitas sebagai suatu sistem. Dalam konteks kehidupan negara, elemen ini sangat menentukan berjalan tidaknya suatu sistem kenegaraan secara keseluruhan. Lalu, dibahas penyebab merajalelanya praktek korupsi dan kolusi. dan urgensi pemberantasannya. Paper ini diakhiri dengan kesimpulan yang berisikan upaya yang perlu ditempuh dalam menanggulangi korupsi di Indonesia.

Elemen Sistem Pengawasan Intern

(3)

elemen tersebut mutlak diperlukan agar sebuah entitas dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pemisahan tugas dimaksudkan agar setiap bagian yang terlibat dalam suatu entitas dapat bekerja independen dan memungkinkan tindakan saling koreksi. Dalam ilmu ketatanegaraan, hal ini telah dikemukakan dengan baik oleh Montesqueu melalui Trias Politica. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa kekuasaan negara dibagi menjadi tiga : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda dan saling mendukung dalam proses ketatanegaraan.

Praktek-praktek yang sehat berkaitan dengan bagaimana setiap bagian dalam suatu entitas melakukan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang telah digariskan. Dalam tataran praktis, setiap personel dalam bagian harus mengetahui tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Demikian pula, kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif terpisah satu sama lain dan masing-masing mempunyai jenis wewenang yang berbeda. Kekuasaan-kekuasaan itu pun tidak boleh terkonsentrasi hanya pada satu tangan, karena, di samping melanggar prinsip pemisahan tugas, hal ini juga akan membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Pegawai yang cakap diperlukan untuk memastikan bahwa tugas-tugas pengendalian dilakukan oleh orang yang terampil, menguasai bidangnya dan mempunyai integritas. Harus dihindari perilaku personel yang membahayakan tugas pengendalian. Untuk itu perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang direkrut harus benar-benar qualified. Terakhir, keberadaan seorang pemimpin yang benar-benar mempunyai komitmen terhadap pengendalian intern juga sangat dibutuhkan. Lebih-lebih dalam situasi di mana figur seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap semua keputusan yang diambil. Seorang pemimpin merupakan kunci yang menentukan apakah pengendalian intern dipatuhi atau tidak. Sebaik apapun suatu sistem pengendalian disusun, namun apabila sang pemimpin memutuskan untuk tidak mematuhinya, maka bubarlah sistem pengendalian suatu organisasi dan selanjutnya dapat terjadi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai bentuknya.

Sistem Pengawasan Keuangan Negara

Dalam konteks tingginya angka korupsi di Indonesia, sistem pengawasan intern tersebut berkaitan erat dengan sistem pengawasan keuangan negara. Sistem pengawasan ini terdiri dari lembaga-lembaga pengawasan fungsional yang disusun berlapis-lapis. Bila dikategorikan, lembaga pengawasan terdiri dari lembaga intern, yang dikenal dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan lembaga ekstern atau aparat pengawasan ekstern pemerintah. APIP meliputi lembaga pengawasan yang berada langsung di bawah Presiden, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan yang berada dibawah departemen yakni Inspektorat Jenderal Departemen. Khusus untuk Departemen Dalam Negeri, di samping terdapat Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri juga terdapat lembaga pengawasan fungsional yang berkedudukan pada setiap wilayah propinsi yang terdiri dari Inspektorat Wilayah Propinsi dan Inspektorat Wilayah Kotamadya/Kabupaten. Lembaga pengawasan lain yang termasuk APIP adalah Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang).

(4)

pemerintah (eksekutif). Secara normatif posisi pengawas ektern adalah independen terhadap pemerintah. Pengawasan ekstern dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka), DPR dan masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR dikenal sebagai pengawasan legislatif, yakni suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan serta pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan Bepeka berfungsi sebagai lembaga pengawasan fungsional di mana ia bertugas dalam memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Keuangan negara di sini meliputi APBN, APBD, BUMN dan BUMD. Jadi, segala sesuatu yang menggunakan kekayaan negara menjadi obyek pemeriksaan Bepeka. Dengan posisi demikian Bepeka merupakan lembaga tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara. Bepeka mempunyai otoritas melebihi lembaga pengawasan manapun di Indonesia. Di samping DPR dan Bepeka, pengawasan juga dilakukan oleh masyarakat. Pengawasan oleh masyarakat ini justru dilakukan secara langsung baik lisan maupun tertulis. Pengawasan ini dapat dilakukan secara perorangan atau secara kelembagaan. Sebagai contoh ialah pengawasan yang dilakukan oleh pers melalui publikasi media massa dan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM). Wartawan, baik dalam kapasitasnya sebagai warga masyarakat maupun pencari berita, dituntut untuk mencari informasi berkaitan dengan penyimpangan dalam pelaksanaan APBN/APBD dan mempublikasikannya dalam surat kabar.

Gagalnya Sistem Pengawasan

Melihat komposisi lembaga pengawasan seperti di atas, menarik untuk dikaji bahwa pada kenyataannya tingkat penyimpangan pelaksanaan keuangan negara dalam bentuk korupsi dan kolusi maupun bentuk lainnya masih relatif tinggi. Kenapa demikian? Secara garis besar penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua, yakni kurang berdayanya fungsi dan peranan lembaga pengawasan intern/ekstern dan format perpolitikan Indonesia yang kurang mendukung upaya pemberantasan korupsi dan kolusi. Berkaitan dengan ketidakberdayaan lembaga pengawasan terdapat empat faktor yang mempengaruhi. Pertama, komposisi aparat pengawasan, baik intern maupun ektern, masih jauh dari memadai. Secara kuantitatif, jumlah akuntan pemerintah boleh dibilang sangat sedikit. Pada tahun 1996 pegawai BPKP tercatat sejumlah 8.000 orang, sedangkan Bepeka hanya sekitar 2.000 orang. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi. Dengan demikian kemampuan akuntan pemerintah mempunyai kemampuan sangat terbatas dalam melakukan pengawasan seluruh komponen keuangan negara secara keseluruhan.

(5)

mantan bupati, atau perwira ABRI sebagai pimpinan lembaga-lembaga tersebut menjadi sulit dihindari.

Ketiga, kedudukan Bepeka terhadap Pemerintah tidak sepenuhnya independen. Secara historis, hal ini dapat diketahui dari penempatan anggota ABRI atau mantan pejabat pada posisi ketua/wakil ketua. Sejak berdiri tahun 1947 sampai sekarang posisi ketua dijabat masing-masing oleh R. Soerasmo, Hamengku Buwono IX, Umar Wirahadikusumah, M. Jusuf dan Prof. Dr. JB. Sumarlin. Dari kelima pejabat tersebut, empat diantaranya berasal dari ABRI dan satu mantan Menteri Keuangan (sipil). Saat ini pun posisi wakil ketua Bepeka berasal dari ABRI, yakni Mantan Kapolri Letjen (Pol) Koenarto. Di samping itu, secara kelembagaan anggaran Bepeka berasal dari Pemerintah melalui APBN. Dan porsi anggaran Bepeka setiap tahunnya rata-rata hanya sejumlah 0,043 persen dan total APBN. Akibatnya, di satu pihak Bepeka cenderung lebih akrab dengan Pemerintah dari pada dengan DPR. Di pihak lain karena kewajiban Bepeka terhadap DPR hanya bersifat pemberitahuan, maka DPR sering tidak memiliki informasi yang terinci mengenai hasil pemeriksaan Bepeka.

Keempat, kurangnya koordinasi antarlembaga pengawasan dalam melakukan tugas pemeriksaan. Hal ini tidak saja melibatkan koordinasi antara APIP dan lembaga pengawasan ekstern, melainkan juga antara sesama APIP sendiri. Seringkali temuan APIP tidak didukung oleh lembaga pengawasan ekstern, demikian pula sebaliknya dan prektek pengawasan yang dilakukan oleh antarlembaga pengawasan saling tumpang tindih. Pada saat bersamaan bisa terjadi dua atau lebih lembaga pengawasan mendatangi obyek yang sama. Hal ini tidak saja berdampak pada efektivitas pengawasan, melainkan juga menimbulkan citra negaif terhadap lembaga pengawasan secara menyeluruh.

Format Perpolitikan

Di samping ketidakberdayaan lembaga pengawasan, format dan iklim perpolitikan Indonesia juga turut menentukan semakin merajalelanya praktek korupsi dan kolusi. Ada lima hal yang menandai kurang kondusifnya iklim dalam pemberantasan korupsi dan kolusi. Pertama, praktek kenegaraan korporatis. Praktek kenegaraan di Indonesia secara keseluruhan dapat dikategorikan sebagai negara korporatis. Dalam praktek kenegaraan seperti itu, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif sulit dikembangkan. Bahkan, dalam bidang politik, kehadiran partai oposisi diharamkan. Akibatnya, susunan struktur kenegaraan yang meletakkan birokrasi pemerintahan di puncak piramida kekuasaan sulit dihindari. Dengan kata lain, ketiga jenis kekuasaan cenderung terpusat pada satu tangan. Struktur semacam ini mengakibatkan pengawasan keuangan negara tidak berjalan secara efektif dan praktek penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara cenderung melembaga.

(6)

“diamankan” supaya gaungnya tidak mempengaruhi masyarakat luas. Dengan demikian, pemerintah seakan berada di atas angin dan tidak tersentuh dan terusik oleh suara-suara dari rakyat. Kesalahan yang dilakukan oleh seorang pejabat bisa saja tidak membawa konsekuensi terhadap jabatannya dan masyarakat tidak bisa menuntutnya lebih jauh.

Ketiga, arus informasi dalam masyarakat tidak seimbang. Pemerintah sering tidak transparan dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat luas. Hal ini juga berkaitan dengan sikap pemerintah, bahwa rakyat tidak perlu tahu semuanya. Informasi sering dibungkus dengan tata bahasa para pejabat yang indah tetapi sulit dimengerti pesan sebenarnya, sehingga membingungkan dan sering malah membuat pusing. Ketika Bank Dunia dan IMF datang untuk membahas krisis moneter yang tengah terjadi belum lama ini, tidak banyak orang yang tahu persis kesepakatan apa yang diperoleh dalam pembicaraannya dengan pemerintah. Akibatnya, banyak spekulasi beredar di masyarakat dan akhirnya justru membuat situasi semakin tidak pasti. Lalu, banyak masyarakat panik, gelisah dan tidak percaya terhadap rupiah. Perburuan dolar semakin menjadi-jadi sehingga kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Dari sini dapat dipahami bahwa kurangnya transparansi pemerintah akan menyulitkan kontrol dari masyarakat. Apalagi jika sebuah kasus melibatkan kelompok kepentingan tertentu, serta merta arus informasi menjadi tidak jelas dan bahkan lama-lama menghilang. Lagi-lagi masyarakat tidak tahu kelanjutannya dan tidak bisa meminta pertanggungjawaban lebih jauh.

Keempat, pola rekruitmen birokrat yang diwarnai nepotisme. Pola ini, bila diterapkan secara selektif sebenarnya bisa mendorong terciptanya kinerja yang lebih baik. Salah satu contohnya adalah perusahaan-perusahaan Cina. Perkembangan perusahaan Cina yang begitu pesat sebenarnya didukung oleh pola nepotisme dalam rekruitmen pegawai-pegawainya. Mereka sering mengajak sanak familinya untuk ikut mengurus bisnisnya, namun dengan catatan yang benar-benar mampu. Dalam lingkungan birokrasi Indonesia pola nepotisme nampaknya juga dianut sejak lama. Hanya saja, seringkali rekruitmen tidak didasarkan pada kualifikasi tertentu, tetapi lebih pada famili siapa. Pertimbangannya seringkali didasarkan atas penilaian subjektif tanpa melihat kapabilitas dari yang bersangkutan. Contoh kongkret adalah pengangkatan anggota DPR hasil pemilu lalu. Terlihat jelas bahwa komposisi keanggotaan DPR kali ini lebih bernuansa “kekeluargaan”. Dengan komposisi demikian, wajar jika banyak kalangan meragukan kesungguhan dan kemampuannya dalam mewakili aspirasi rakyat. Secara normatif, kedudukan DPR adalah sejajar dengan Pemerintah. Namun, jika melihat kondisi tersebut bisa jadi DPR justru berada pada posisi subordinat, artinya Pemerintah mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada DPR. Dengan posisi seperti ini praktis telah membuat DPR tidak dapat melakukan kontrol terhadap Pemerintah. Selama orde baru belum pernah DPR menolak rancangan APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Dan ketika terjadi penyimpangan oleh Pemerintah, misalnya kasus Jamsostek, DPR tidak dapat berkutik sebab kasus itu justru melibatkan beberapa anggota DPR sendiri.

(7)

yang menunjukkan betapa pemerintah kurang bersungguh-sungguh dalam menangani krisis ekonomi. Dalam kaitannya dengan praktek korupsi, tidak sedikit oknum yang terbukti terlibat namun masih bebas ke mana-mana, seakan-akan tidak mempunyai kesalahan apapun. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi seakan-akan tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk menjerat para koruptor.

Urgensi Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan kondisi tersebut dapatlah dipahami bahwa persoalan korupsi sudah sedemikian kompleksnya. Hal ini nampak dari berbagai penyebab, yang sekaligus merupakan titik awal munculnya korupsi. Praktek korupsi sudah sedemikian menggejala dan merasuki berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Konsekuensi logis praktek korupsi sudah terpapar di atas. Sehingga sikap dan tindakan terpenting saat ini adalah tidak memberikan ruang sedikitpun untuk tumbuh dan berkembangnya korupsi. Secara pragmatis dapat dikatakan bahwa pemberantasan korupsi sangat mendesak saat ini sebab kesepakatan pasar bebas akan segera diberlakukan. Hal ini tidak dapat dihindari sebab situasi global ini memang mengharuskan demikian. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, di mana semua aspek, baik ekonomi, sosial budaya maupun politik saling terkait, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut arus tersebut. Tahun 2003 kesepakatan AFTA harus dilaksanakan, begitu juga dengan APEC pada tahun 2020. Untuk dapat bermain dalam liberalisasi ekonomi tersebut bangsa Indonesia harus benar-benar kompetitif. Competitiveness yang harus dimiliki adalah efisiensi di segala bidang, dari bidang yang dikuasai swasta sampai pada efisiensi birokrasi. Dan, kondisi seperti itu hanya dapat dicapai apabila praktek korupsi dan kolusi sudah tidak ada lagi.

Namun demikian, terlepas dari ada tidaknya globalisasi, persoalan koruspi memang pantas untuk diperangi. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, secara universal, dapat dimengerti untuk apa sebuah negara didirikan, untuk apa suatu pemerintahan dibentuk dan untuk siapa pemerintah bekerja. Jawaban atas tiga pertanyaan tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat hakiki. Sehingga, segala bentuk penyimpangan, entah itu kekerasan, manipulasi atau korupsi, merupakan hal yang sudah tidak sesuai dengan hakekat keberadaan negara. Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan bentuk pengingkaran akan keberadaan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara yang paling tinggi.

(8)

mengutamakan masyarakat kecil. Ekonomi biaya tinggi tidak akan menjadi penghalang pembangunan seandainya pungutan tidak resmi, uang pelicin dan uang sogokan lainnya tidak menggejala dan menjadi kebiasaan.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi bukan saja persoalan lemahnya salah satu dimensi baik itu etis-moral, maupun sosial budaya. Bukan pula lemahnya law enforcement seperti diperkirakan banyak kalangan. Sebab, law enforcement itu sendiri bukanlah merupakan primary cause, melainkan suatu akibat dari persoalan yang lebih luas, yang serupa dengan penyebab munculnya korupsi. Begitu juga dengan political will yang sering digaung-gaungkan demi terciptanya pemerintahan yang bersih. Kurangnya atau bahkan ketiadaan political will ini pun bukanlah pemicu tingginya angka korupsi di Indonesia, tetapi juga merupakan sebuah masalah yang berdiri sendiri sebagai akibat dari persoalan lain yang lebih besar dan kompleks. Persoalan korupsi sebenarnya lebih merupakan masalah struktural dan hal ini berkaitan dengan sistem-sistem kenegaraan yang berdimensi ekonomi-politik. Dua indikasi utama yang menjadi pemicu merajalelanya korupsi dan kolusi yaitu kegagalan sistem pengawasan keuangan negara dan format perpolitikan yang kurang mendukung pemberantasan korupsi dan kolusi itu sendiri.

Untuk itu upaya yang perlu dilakukan bukan lagi berorietasi pada peningkatan dan koreksi yang bersifat parsial, namun lebih pada penciptaan iklim yang membatasi ruang gerak korupsi. Ibaratnya, agar sebuah tanaman bisa tumbuh dengan subur dan berbuah, maka lahan tempat ia ditanam harus baik, dalam arti tanahnya subur dan cocok dengan jenis tanaman. Dengan demikian hal utama yang harus dilakukan adalah mempersiapkan lahan sedemikian rupa sehingga mendukung tumbuhnya tanaman tersebut dan menghambat munculnya tanaman lain yang bersifat parasit dan merugikan. Begitu juga dengan pemerintahan yang bersih dapat tercipta bukan melalui banyaknya perangkat hukum yang menyertainya, tetapi melalui penciptaan iklim yang menjamin bahwa untuk melakukan penyimpangan, seseorang -entah itu pegawai rendahan maupun pejabat tinggi atau bahkan masyarakat luas, harus berpikir seribu kali.

(9)
(10)

BAHAN BACAAN

Baswir, Revrisond., Akuntansi Pemerintahan di Indonesia, BPFE., 1996 Baswir, Revrisond., Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar., 1997

Baswir, Revrisond., Peran Akuntan Pemerintah dalam Pengawasan Keuangan Negara, Majalah Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI, Edisi September 1997

Benveniste, GUY., Birokrasi, PT Rajagrafindo Persada, Cetakan ketiga 1994

Referensi

Dokumen terkait

gaya – gaya dalam pada analisa struktur akan dipakai pada analisa penampang untuk diketahui apakah kapasitas penampang dengan kondisi material aktual masih dapat

Studi yang berjudul “Perbandingan Pengawasan Lembaga KPK Indonesia dengan Sistem Pengawasan Lembaga Anti Korupsi di Berbagai Negara dengan Sistem Pemerintahan Presidensial”

Iklan atau advertising dapat didefinisikan menurut George & Michael Belch (dalam Morissan, 2015) sebagai “any paid form of non personal communication about an

Tussen stelse (tempatnya antara recidive umum dan recidive khusus) Yang dimaksud dengan tussen stelsel adalah apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan

Kekalahan Jokowi-Ma’ruf di Kabupaten Tangerang pada pemilihan presiden 2019 menunjukan bahwa kekuatan akumulasi perolehan suara anggota koalisi sebanyak 807.747 dengan

Pengaruh Capital Intencity Ratio, Free Cash Flow, Kualitas Audit, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI.. Does

(2) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bermitra dengan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan Majelis Permusyawaratan Ulama Kab/kota agar berpedoman