• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Pemilihan Lokasi Sentra Pedaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penentuan Pemilihan Lokasi Sentra Pedaga"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas besar mata kuliah Analisis Lokasi yang berjudul “Penentuan Pemilihan Lokasi Sentra Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan Metode Rank Size Rule dan Metode Breaking Point, Studi Kasus: Kecamatan Simokerto.” Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Ema Umilia, ST. MT dan Bapak Surya Hadi Kusuma, ST. MT selaku dosen pengampu mata kuliah Analisis Lokasi, khususnya Bapak Surya Hadi Kusuma, ST. MT selaku dosen pembimbing yang telah memberikan tugas, bimbingan, saran, dan juga ide kepada penulis.

Kami berharap tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pemilihan lokasi yang tepat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan tugas yang telah penulis buat untuk kedepannya, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan saran yang membangun.

Semoga tugas ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun pembaca. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Surabaya, Mei 2017

(3)

DAFTAR ISI

2.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)...11

2.3.1 Karakteristik Aktivitas PKL...12

2.4 Teori Rank Size Rule...16

2.5 Teori Breaking Point...16

BAB III... 17

GAMBARAN UMUM... 17

3.1 Gambaran Umum Kecamatan Simokerto sebagai Wilayah Studi...17

3.2 Fakta, Potensi, dan Masalah Kondisi PKL di Kecamatan Simokerto...18

3.2.1 Fakta... 18

3.2.2 Masalah... 24

3.2.3 Potensi... 24

BAB IV... 26

ANALISA... 26

4.1 Metode Rank Size Rule...26

4.2 Metode Breaking Point...27

4.3 Analisa Penempatan Lokasi Sentra PKL...31

BAB V... 35

(4)

5.1...Lesson Learned 35

5.2...Re komendasi

35

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Bromley, Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Istilah Pedagang Kaki Lima pertama kali dikenal pada zaman Hindia Belanda, tepatnya pada saat Gubernur Jendral Stanford Raffles berkuasa. Pedagang Kaki Lima atau yang sering disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang seharusnya diperuntukkan untuk pejalan kaki (pedestrian).

Dalam upaya menertibkan Pedagang Kaki Lima yang berada pada jalur pejalan kaki, maka Pemerintah Kota Surabaya membuat sentra PKL dimana Pedagang Kaki Lima yang awalnya tidak memiliki tempat untuk berjualan untuk pidah ke sentra PKL tersebut. Maka dari itu, pemilihan lokasi sangat berpengaruh bagi sentra PKL yang akan di bangun. Tentu saja untuk memilih lokasi menggunakan berbagai analisis, agar lokasi yang dipilih sesuai dengan teori maupun metode yang berkaitan.

Tidak adanya sentra PKL di Kecamatan Simokerto menyebabkan maraknya Pedagang Kaki Lima yang seenaknya berjualan di jalur pejalan kaki, bahkan di bagian badan jalan raya. Hal tersebut juga menjadi salah satu akibat kemacetan di Kecamatan Simokerto akibat Pedagang Kaki Lima yang tidak mau mengalah dengan pengguna jalan. Maka dari itu, Kecamatan Simokerto harus memiliki sentra PKL di salah satu maupun tiap kelurahan yang ada, karena para Pedagang Kaki Lima yang tersebar di Kecamatan Simokerto kebanyakan berasal dari Kota Surabaya (wawancara dengan beberapa Pedagang Kaki Lima). Dengan menganalisis fakta, potensi, dan masalah yang ada menggunakan metode rank size rule serta metode

breaking point diharapkan lokasi sentra PKL sesuai dengan pemahaman maupun teori mengenai analisis lokasi khususnya mengenai teori perdagangan dan jasa yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli. Untuk menetapkan lokasi yang pasti, digunakan kriteria yang dipaparkan oleh beberapa ahli melalui berbagai teori yang digunakan. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan serta rekomendasi bagi pemilihan lokasi sentra PKL di Kecamatan Simokerto agar tidak ada lagi Pedagang Kaki Lima yang berjualan di pinggir jalan maupun di jalur pejalan kaki.

1.2 Rumusan Masalah

(6)

1. Bagaimana kondisi Pedagang Kaki Lima yang berada di Kecamatan Simokerto? 2. Mengapa sentra PKL perlu dibangun di Kecamatan Simokerto?

3. Bagaimana menentukan sentra PKL di Kecamatan Simokerto? 4. Dimana lokasi yang tepat untuk sentra PKL?

1.3 Tujuan

Dari latar belakang serta rumusan masalah tersebut, dapat diambil tujuan terkait pemilihan lokasi yang tepat untuk sentra PKL di Kecamatan Simokerto yaitu:

1. Mengetahui kondisi Pedagang Kaki Lima yang berada di Kecamatan Simokerto; 2. Mengetahui perlunya sentra PKL di Kecamatan Simokerto;

3. Menentukan sentra PKL di Kecamatan Simokerto; 4. Mengetahui lokasi yang tepat untuk sentra PKL.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada makalah ini tersusun dalam lima bab yang terdiri dari: 1. Bab I Pendahuluan merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang

penyusun-an makalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, serta sistematika penulisan dari tugas analisis lokasi;

2. Bab II Review Studi Literatur merupakan bab review dari jurnal yang menjadi literatur studi kasus dalam makalah persoalan analisis lokasi berdasarkan teori-teori perdagangan dan jasa;

3. Bab III Gambaran Umum merupakan bab yang terdiri dari identifikasi masalah secara umum dan gambaran umum masalah secara rinci;

4. Bab IV Analisa merupakan bab analisis dan pembahasan mengenai topik persoalan analisis lokasi berdasarkan metode rank sie rule dan metode breaking point;

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Central Place

Salah satu teori yang dapat menjelaskan hubungan sosial-ekonomi dan fisik yang berkait erat dan saling mempengaruhi adalah teori Central Place (Central Place Theory). Teori ini menjelaskan bahwa, sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan pelayanan, sedangkan wilayah di luar kota atau pusat tersebut adalah daerah yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland). Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang dilayani relatif lebih dekat dengan luasan yang kecil (Knox, 1994). Pada intinya Central Place Theory

menjelaskan peran sebuah kota sebagai pusat pelayanan, baik pelayanan barang maupun jasa bagi wilayah sekitarnya (tributary area). Teori ini diteliti oleh ahli geografi, Walter Christaller dan ahli ekonomi August Losch.

2.1.1Christaller

(8)

penduduk di daerah sekitarnya. Christaller menyatakan bahwa dua buah pusat permukiman yang mempunyai jumlah penduduk yang sama persis tidak selalu menjadi pusat pelayanan yang sama pentingnya. Istilah kepusatan (centrality)

digunakan untuk menggambarkan bahwa besarnya jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat (central place).

Christaller merumuskan tiga hierarki sentral sesuai dengan luas kawasan pengaruhnya. Berikut adalah tiga hierarki yang dirumuskan oleh Christaller dan juga penjelasannnya:

a. Sistem Jangkauan Layanan K=3 (Jangkauan Layanan Pasar)

Sistem jangkauan ini merupakan pusat pelayanan yang berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang konsumsi bagi kawasan yang ada di sekitarnya. Disebut sebagai kasus pasar optimal yang memiliki pengaruh 1/3 bagian wilayah sekitarnya. untuk membangun lokasi pasar ataupun fasilitas umum lainnya, sekurang-kurangnya harus di kawasan yang diperkirakan dapat berpengaruh terhadap 1/3 penduduk dari keenam kawasan yang ada di sekitarnya.Sebagai penunjangnya, maka dalam pembangunan lokasi tersebut perlu diperhatikan:

- Jalan beserta sarana angkutannya; - Tempat parkir;

- Barang yang diperjualbelikan.

b. System Jangkauan Layanan K=4 (Jangkauan Layanan Transportasi)

Christaller menunjukan bahwa prinsip pasar (Jangkauan Layanan K=3) merupakan konsep yang canggung dalam hal menghubungkan hierarki dengan level yang berbeda. Pada akhirnya Chirstaller memberikan alternatif dan menyarankan bahwa tempat sentral dapat diatur menurut apa yang disebut sebagai prinsip transportasi. Jangkauan Layanan ini memberikan kemungkinan rute lalu lintas paling efisien yang diperoleh dari penjumlahan

Gambar 2.1 Model Jangkauan Layanan Pasar

Sumber: Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan 1981

(9)

kawasan tempat sentral (1) dengan setengah bagian kawasan yang ada di sekitarnya yang berjumlah 6. Prinsip dari lalu lintas ini menyatakan bahwa distribusi tempat sentral yang paling menguntungkan ketika banyak tempat-tempat penting terletak pada satu rute lalu lintas diantara dua pusat kota, rute ini ditetapkan sebagai yang paling rute yang lurus dan semurah mungkin. Sedangkan tempat yang tidak terlalu penting dapat dikesampingkan. Menurut prinsip transportasi tempat pusat akan berbaris lurus pada rute lalu lintas yang menyebar dari titik pusat. Ketika pusat sentral disusun menurut prinsip transportasi, pusat dengan urutan paling rendah terletak pada titik tengah dari setiap sisi haxagonal daripada di pusatnya. Hal tersebut menyatakan prinsip transportasi menghasilkan hirarki terorganisir pada kawasan K=4 dimana tempat pengaturan sentral bersaing menurut aturan keempat.

c. Sistem Jangkauan Layanan K=7 (Jangkauan Layanan Administratif)

Saran prinsip lain pengorganisasian dari christaller didasarkan pada kesadaran bahwa dari sudut pandang politik atau administratif pusat, sebuah sentral kota secara realistis tidak dapat dibagi. Sistem ini dinamakan sebagai situasi administrative yang optimal dengan pengaruh bagi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya selain mempengaruhi wilayahnya sendiri. contohnya adalah tempat sentral berhierarki tujuh antara lain kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Gambar 2.3 Model Jangkauan Layanan Administratif

(10)

2.2 Teori Retail

Retail adalah suatu penjualan dari sejumlah kecil komoditas kepada konsumen.

Retail berasal dari Bahasa Perancis diambil dari kata retailer yang berarti “memotong menjadi kecil-kecil” (Risch,1991:2). Berikut ini definisi retail menurut beberapa ahli: 1. Menurut Kotler (2000:215) retail adalah semua aktivitas yang dilakukan untuk

menjual barang atau jasa kepada konsumen akhir bagi penggunaan pribadi dan bukan untuk bisnis;

2. Menurut Gilbert (2003:6) retail adalah semua usaha bisnis yang secara langsung mengarahkan kemampuan pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi penjualan barang dan jasa sebagai inti dari distribusi; 3. Menurut Levy dan Weitz (2001:8) retailing adalah satu rangkaian aktivitas bisnis

untuk menambah nilai guna barang dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk konsumsi pribadi atau rumah tangga;

4. Menurut Berman dan Evans (2001:3) retailing merupakan suatu usaha bisnis yang berusaha memasarkan barang dan jasa kepada konsumen akhir yang menggunakannya untuk keperluan pribadi dan rumah tangga.

Dengan meninjau definisi retail menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa retail adalah semua kegiatan usaha bisnis yang menjual atau memasarkan barang dan jasa kepada konsumen akhir atau konsumen yang akan menggunakannya untuk keperluan pribadi dan rumah tangga.

2.2.1Jenis-Jenis Retil

Retail berdasarkan nomenklatur tata ruang terbagi dalam tiga jenis yaitu sebagai berikut:

a. Perdagangan dan jasa (retail) deret yaitu peruntukan ruang yang merupakan budidaya difungsikan untuk pengembangan kelompok kegiatan perdagangan dan/atau jasa, tempat bekerja, tempat berusaha, tempat hiburan dan rekreasi dengan skala pelayanan regional yang dikembangkan dalam bentuk deret; b. Perdagangan dan jasa (retail) kopel yaitu peruntukan ruang yang merupakan

bagian dari kawasan budi daya difungsikan untuk pengembangan kelompok; c. kegiatan perdagangan dan/atau jasa, tempat bekerja, tempat berusaha, dan

rekreasi dengan skala pelayanan regional berupa bangunan tunggal dengan atap menyambung untuk 2 (dua) unit toko/tempat usaha;

(11)

berusaha, dan rekreasi dengan pelayanan skala regional yang dikembangkan dalam bentuk tunggal secara horisontal maupun vertikal.

2.2.2Strategi Retail

Keberhasilan sebuah tapak memiliki faktor-faktor yang berkontribusi di dalamnya yang terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor pengelolaan, tapak, dan lokasi. Sudah terdapat beberapa upaya untuk mengetahui kepentingan relatif masing-masing faktor utama tersebut, tetapi masing-masing-masing-masing faktor tersebut penting dan dapat menenggelamkan bisnis jika tidak secara hati-hati dikontrol.

Faktor pengelolaan terdiri dari elemen-elemen yang bisa dikontrol dari dalam bangunan. Seperti manajemen toko, layanan pelanggan, barang, kebersihan, penampilan, dekorasi, dan penataan semua elemen tersebut penting untuk elemen pengelolaan.

Faktor tapak merupakan elemen yang berhubungan dengan kondisi fisik penataan bangunan dan properti disekitarnya. Elemen seperti tempat parkir, penandaan, lebar ruang pejalan kaki, taman, aksesibilitas, keluar/masuk, tipe pemusatan, dan hal-hal lainnya seperti bangunan yang berdiri sendiri atau bangunan penghubung yang semuanya penting untuk tapak.

Faktor lokasi yang berkontribusi terhadao pemilihan lokasi yaitu demografi, permintaan konsumen, kepadatan lalu lintas, generator lalu lintas (pusat perbelanjaan, rumah sakit, bandara, stadion), populasi harian, kompetisi, bisnis pelengkap, dan gaya hidup. Terkait dengan faktor lokasi, terdapat dua pertimbangan penting yang harus diputuskan oleh sebuah pengecer (retailer), yaitu:

a. Memilih terget pasar;

(12)

Format

Seorang retailer dapat menjangkau konsumen potensial melalui dua konsep, yaitu store atau nonstore retail format. Pengecer toko (store based retailers) mengoperasikan sebuah toko dengan lokasi yang sudah tetap sehingga membutuhkan konsumen untuk bergerak ke toko untuk melihat dan memilih barang atau layanan yang diinginkan. Sedangkan pengecer non-toko (nonstore based retailers) menangkap konsumen yang ada di rumah, di tempat kerja, atau tempat selain toko dimana konsumen mudah untuk melakukan pembelian. Bentuk-bentuk store based diantaranya yaitu pusat bisnis, mall, free standing, dan non tradisional. Sedangkan bentuk-bentuk nonstore based yaitu penjualan via internet, penjualan langsung ke rumah-rumah, penjualan non formal di sepanjang jalan, dan penjualan melalui mesin-mesin barang.

2.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor informal (Dorodjatun Kuntjoro Jakti, 1986). Pedagang kaki lima adalah pedagang kecil yang umumnya berperan sebagai penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana

Gambar 2.4 Format Retail

(13)

dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal. Istilah kaki lima berasal dari trotoar yang dahulu berukuran lebar 5 feet atau sama dengan kurang lebih 1,5 meter, sehingga dalam pengertian ini PKL adalah pedagang yang berjualan pada kaki lima, dan biasanya mengambil tempat atau lokasi di daerah keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan perdagangan, pasar, sekolah dan gedung bioskop (Fakultas Ekonomi Unpar, 1980, dalam Widodo, 2000: 27). Namun pengertian tentang pedagang kaki lima terus berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya. Mereka tidak lagi berdagang di atas trotoar saja, tetapi disetiap jalur pejalan kaki, tempat-tempat parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal bahkan di perempatan jalan dan berkeliling ke rumah-rumah penduduk (Fakultas Teknik Unpar, 1980, dalam Sari, 2003: 27). Mc. Gee dan Yeung (1977: 25) memberikan pengertian pedagang kaki lima sama dengan hawker, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dalam pengertian ini termasuk juga orang yang menawarkan barang dan jasanya dari rumah ke rumah

2.3.1Karakteristik Aktivitas PKL

a. Jenis Dagangan PKL

Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977: 82-83), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu:

- Makanan yang tidak dan belum diproses , termasuk didalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran;

- Makanan yang siap saji , seperti nasi dan lauk pauknya dan juga minuman;

- Barang bukan makanan , mulai dari tekstil hingga obat-obatan;

- Jasa , yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya.

b. Bentuk Sarana Perdagangan PKL

(14)

Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL menurut Waworoentoe (1973, dalam Widjajanti, 2000: 39-40) adalah sebagai berikut:

- Gerobak atau kereta dorong , bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok;

- Pikulan atau keranjang , bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat;

- Warung semi permanen , terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman;

- Kios , bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap;

- Gelaran atau alas , PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong dan makanan.

c. Pola Penyebaran PKL

Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL menurut Mc. Gee dan Yeung (1977: 36-37) dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pola, yaitu:

(15)

Pedagang informal pada tipe ini pada umumnya selalu memanfaatkan aktivitas-aktivitas di sektor formal dan biasanya pusat-pusat perbelanjaan menjadi salah satu daya tarik lokasi sektor informal untuk menarik konsumennya. Selain itu pada ujung jalan, ruang-ruang terbuka, sekeliling pasar, ruang-ruang parkir, taman-taman dan lain sebagainya merupakan lokasi lokasi yang banyak diminati oleh sektor ini. Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokkan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang. Biasanya dijumpai pada para pedagang makanan dan minuman.

- Pola Penyebaran Memanjang (Linier Concentration)

Gambar 2.5 Pola Penyebaran Mengelopok

(16)

Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang menghubungkan jalan utama. Dengan kata lain pola perdagangan ini ditentukan oleh pola jaringan jalan itu sendiri. Pola kegiatan linier lebih

banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dilihat dari segi pedagang informal itu sendiri, hal ini sangat menguntungkan, sebab dengan menempati lokasi yang beraksesibilitas tinggi akan mempunyai kesempatan yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.

d. Sifat Pelayanan PKL

Berdasarkan sifat pelayanannya, PKL menurut Mc. Gee dan Yeung (1977: 82) dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

- Pedagang menetap (static)

Pedagang menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen harus datang sendiri ke tempat pedagang dimana ia berada. Sarana fisik berdagang dengan sifat seperti ini biasanya berupa kios atau jongko/roda/kereta beratap;

- Pedagang semi menetap (semi static)

Pedagang semi menetap merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja. Dalam hal ini PKL akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, para pegawai masuk/keluar kantor atau saat ramainya pengunjung di pusat kota. Apabila tidak ada kemungkinan pembeli yang cukup besar, maka

Gambar 2.6 Pola Penyebaran Memanjang

(17)

pedagang tersebut berkeliling. Dengan kata lain ciri utama PKL yang memilih pola pelayanan seperti ini adalah adanya pergerakan PKL yang menetap pada suatu lokasi pada periode tertentu, setelah waktu berjualan selesai (pada sore atau malam hari). Adapun sarana fisik yang dipergunakan untuk berdagang berupa kios beroda, jongko atau roda atau kereta beratap;

- Pedagang keliling (mobile)

Pedagang keliling yaitu suatu bentuk layanan pedagang yang dalam melayani konsumennya mempunyai sifat yang selalu berusaha mendatangi atau mengejar konsumen. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang mempunyai volume dagangan yang kecil. Aktivitas PKL dalam kondisi ini ditunjukkan dengan sarana fisik perdagangan yang mudah dibawa. Dengan kata lain ciri utama dari unit ini adalah PKL yang berjualan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya bentuk sarana fisik perdagangan mereka adalah kereta dorong dan pikulan/keranjang.

e. Operasional Pedagang Kaki Lima

- PKL Tersentra

Pedagang kaki Lima yang dalam usahanya sehari-hari menempati lokasi yang telah sesuai atau diijinkan oleh pemerintah kota. Bila di kota Surabaya diijinkan oleh Pemkot Surabaya dan sudah berbentuk sentra PKL atau

foodcourt;

- PKL Binaan

Pedagang Kaki Lima yang dalam usahanya sehari-hari menempati lokasi yang telah sesuai dan menggunakan tenda-tenda sebagai tempat dagangannya, namun keberadaannya selalu diawasi, dibina dan diarahkan untuk menjadi PKL yang baik.Terdapat 2 sisi berbeda dalam keberadaan PKL yang mengundang perdebatan yaitu sisi positif dan negatif. Sisi negatif yaitu bahwa dengan keberadaan PKL ini dapat merusak atau merubah tatanan keruangan kota, perubahan fungsi tempat atau ruang publik kota, merusak citra kota sehingga menjadikan pola struktur kawasan kota yang sudah direncanakan menjadi berubah. Sedangkan sisi positif adalah keberadaan PKL mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, yaitu:

1. Membuka lapangan kerja dan usaha baru; 2. Meningkatkan penghasilan bagi rakyat kecil; 3. Terciptanya nodes atau kawasan komersial;

(18)

5. Menciptakan kontak sosial antar masyarakat Penyebaran PKL dipengaruhi oleh sifat dan jenis komoditi yang diperdagangkan menurut kebutuhan konsumen dan kebutuhan PKL.

2.4 Teori Rank Size Rule

Digunakan untuk mengetahui tingkat atau ranking pada suatu keadaan di suatu wilayah. Metode rank size rule untuk penentuan orde kota berdasarkan atas jumlah penduduk dimana rumusnya adalah:

Pn

=

Rn

P

1

Keterangan:

Pn : Jumlah Penduduk pada kota dengan ranking ke-n

P1 : Jumlah Penduduk pada kota terbesar di wilayah (Ranking 1) Rn : Ranking kota

2.5 Teori Breaking Point

Teori Tititk Henti (the Breaking Point Theory) adalah Inti dari teori ini adalah bahwa jarak titik henti (titik pisah) dari lokasi pusat perdagangan (atau pelayanan sosial lainnya) yang lebih kecil ukurannya adalah berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan. Namun, berbanding terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat jumlah penduduk dari kota atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi jumlah penduduk kota yang lebih sedikit penduduknya.

D

AB

=

DAB : Jarak lokasi titik henti yang diukur dari lokasi A DBA : Jarak lokasi titik henti yang diukur dari lokasi B PA : Jumlah populasi di lokasi A

PB : Jumlah populasi di lokasi B

(19)

BAB III GAMBARAN UMUM

3.1 Gambaran Umum Kecamatan Simokerto sebagai Wilayah Studi

Kecamatan Simokerto merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Surabaya Pusat dengan ketingggian rata-rata 2 meter diatas permukaan laut dan luas wilayah sebesar 2,67 km2. Secara geografis, terdapat empat batas wilayah yang berdekatan dengan Kecamatan Simokerto:

- Bagian utara = Kecamatan Semampir dan Kecamatan Kenjeran;

- Bagian timur = Kecamatan Tambak Sari;

- Bagian selatan = Kecamatan Genteng; dan

- Bagian barat = Kecamatan Pabean Cantikan.

Kecamatan Simokerto terbagi menjadi 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Kapasan, Kelurahan Tambakrejo, Kelurahan Simokerto, Kelurahan Sidodadi, dan Kelurahan Simolawang. Masing-masing kelurahan di Kecamatan Simokerto memiliki luas wilayah yang berbeda-beda.

Presentase Luas Wilayah Kelurahan di Kecamatan Simokerto

Simolawang Kapasan Tambak Rejo Simokerto Sidodadi

Luas wilayah berdasarkan grafik persentase menunjukkan bahwa Kelurahan Simokerto merupakan kelurahan terluas yang ada di Kecamatan Simokerto, yaitu 0,86 km2 atau sama dengan 32% dari luas wilayah Kecamatan Simokerto. Sedangkan Kelurahan Sidodadi merupakan wilayah yang memiliki luas wilayah terkecil, yaitu 0,28

Gambar 2.4 Presentase Luas Wilayah Kelurahan di Kecamatan Simokerto

(20)

0.22

0.16

0.22 0.24

0.16

Presentase Jumlah Penduduk Kelurahan di Kecamatan Simokerto

Simolawang Kapasan Tambak Rejo Simokerto Sidodadi

Jumlah penduduk di kecamatan Simokerto adalah sebanyak 104.872 jiwa. Berdasarkan hasil registrasi yang dilakukan pada tahun 2015 diketahui bahwa jumlah penduduk terbesar berada di Kelurahan Simokerto yaitu sebesar 24.181 jiwa atau sama dengan 24 persen dari seluruh penduduk yang ada di kecamatan Simokerto. Jumlah penduduk terkecil berada di Kelurahan Kapasan yaitu sebesar 17.3345 jiwa atau sama dengan 16 persen dari seluruh penduduk yang ada di kecamatan Simokerto.

3.2 Fakta, Potensi, dan Masalah Kondisi PKL di Kecamatan Simokerto

3.2.1Fakta

PKL di Kecamatan Simokerto tersebar merata di setiap bagian. Yang didominasi dengan toko klontong maupun warkop dan warteg. Kondisi bangunan nya juga tidak tertata rapi, seperti dipinggir jalan atau menggunakan lapak depan ruko yang belum atau tidak beroperasi. Beberapa PKL berdomisili di Kota Surabaya dan menetap di Kecamatan Simokerto (hasil wawancara). Hampir tidak memiliki lahan kosong karena padatnya permukiman serta aktivitas perdagangan dan jasa. Kecamatan Simokerto merupakan Kecamatan yang tidak memiliki sentra PKL.

(21)

NO. NAMA KELURAHAN GAMBAR

1. Kelurahan Simokerto

(22)
(23)

3. Kelurahan Tambak Rejo

4. Kelurahan Sidodadi

(24)
(25)
(26)

3.2.2Masalah

a. Belum Ada Sentra PKL di Kecamatan Simokerto

Di Kota Surabaya, Kecamatan yang belum memiliki sentra PKL adalah Kecamatan Simokerto. Beberapa warga dan PKL memberikan saran kepada camat Kecamatan Simokerto untuk membangun sebuah sentra PKL agar warga dapat mempunyai pusat kuliner dan dapat meningkatkan dalam perekonomian pkl serta menertibkan zona pejalan kaki. Sebab, di Kecamatan tersebut, banyak PKL yang berjualan di pinggir jalan, namun tidak ada tempat;

b. Tidak Ada Lahan Kosong Milik Pemerintah untuk Setra PKL

Berdasarkan berita skhmemorandum 6 Oktober 2016 di Kecamatan Simokerto untuk membangun sebuah sentra pkl karena keterbatasan lahan kosong atau belum terpakai sehingga yang memungkinkan untuk dibangun sentra PKL kecuali lokasinya berada di atas saluran yang ditutup.

3.2.3Potensi

a. Dukungan Kinerja Pemerintah Kota Surabaya untuk Perdagangan dan Jasa Sesuai dengan perjanjian kinerja 2017 yaitu untuk Kecamatan Simokerto dengan Pemerintah Kota Surabaya mempunyai tujuan meningkatkan produktivitas UMK sektor perdagangan dan jasa. Sedangkan perjanjian kinerja Dinas Perdagangan Kota Surabaya dengan Pemerintah Kota Surabaya, mempunyai tujuan meningkatkan produktivitas UMKM sektor produksi perdagangan dan jasa; b. RPJMD Kota Surabaya tahun 2016 – 2021 bagi Usaha Sektor Informal

Dalam RPJMD Kota Surabaya tahun 2016-2021 Bagi Usaha Sektor Informal, disebutkan bahwa:

- Melakukan penataan kawasan peruntukan sektor usaha informal;

- Menyediakan sarana prasarana pendukung di kawasan peruntukan sektor usaha informal;

- Mengembangkan sentra PKL dengan konsep wisata kuliner yang terintegrasi dengan kawasan budidaya.

c. Membangun Sentra PKL di Halaman Rumah Susun Sumbo

(27)
(28)

BAB IV ANALISA

Diketahui jumlah penduduk di Kecamatan Simokerto tahun 2015 sebagai berikut:

NAMA KELURAHAN JUMLAH PENDUDUK

4.1 Metode Rank Size Rule

Metode ini menggunakan rumus sebagai berikut:

Pn

=

Rn

P

1

Keterangan:

Pn : Jumlah Penduduk pada kota dengan ranking ke-n

P1 : Jumlah Penduduk pada kota terbesar di wilayah (Ranking 1) Rn : Ranking kota

Maka diperoleh kriteria jumlah penduduk tiap orde kelurahan adalah sebagai berikut:

(P1 adalah kelurahan dengan penduduk terbanyak di kecamatan yaitu Kelurahan Simokerto).

ORDE JUMLAH PENDUDUK(METODE RANK SIZE RULE)

1 24.181

2 12.091

3 8.060

4 6.045

5 4.836

Sumber: Statistik Daerah Kecamatan Simokerto 2016

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk per Kelurahan di Kecamatan Simokerto Tahun 2015

(29)

Sehingga diperoleh orde per kelurahan, dengan cara membandingkan jumlah

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelurahan yang berpotensi menjadi lokasi untuk Sentra PKL berada di Kelurahan Simokerto, Simolawang, dan Tambak Rejo. 4.2 Metode Breaking Point

DAB : Jarak lokasi titik henti yang diukur dari lokasi A DBA : Jarak lokasi titik henti yang diukur dari lokasi B PA : Jumlah populasi di lokasi A

PB : Jumlah populasi di lokasi B

Maka diperoleh analisa sebagai berikut:

Tabel 4.3 Kriteria Jumlah Penduduk Tiap Orde Kelurahan menggunakan rank size rule

Sumber: Analisis Kelompok

atau

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Orde 1 Tahun 2015

(30)

Tambak Rejo

(Dengan catatan jarak antara 2 kelurahan tersebut dari titik henti yang diukur dari kantor kelurahan masing-masing).

Option 1

- Simokerto – Simolawang

1,4

1

+

2 4181

23.246

= Sentra PKL dibangun 0,7 Km dari Kelurahan Simokerto, atau

- Simolawang – Simokerto

1,4

1

+

23.246

24.181

= Sentra PKL dibangun 0,69 Km dari Kelurahan Simolawang Option 2

- Simokerto – Tambak Rejo

2,9

1

+

24.181

22.256

= Sentra PKL dibangun 1,48 Km dari Kelurahan Simokerto, atau

- Tambak Rejo – Simokerto

2,9

1

+

22.256

24.181

= Sentra PKL dibangun 1,42 Km dari Kelurahan Tambak Rejo Option 3

- Simolawang – Tambak Rejo

2,5

1

+

23.246

22.256

= Sentra PKL dibangun 1,26 Km dari Kelurahan Simolawang, atau

- Tambak Rejo – Simolawang

2,5

1

+

22.256

23.246

(31)
(32)
(33)

Dari peta analisis tersebut dapat dibuat grafik jarak sebagai berikut:

Keterangan:

Titik Henti Kelurahan Simokerto Titik Henti Kelurahan Simolawang Titik Henti Kelurahan Tambak Rejo 4.3 Analisa Penempatan Lokasi Sentra PKL

Berdasarkan survei primer kelurahan yang termasuk orde 1 oleh penulis, didapatkan data sebagai berikut:

1. Kelurahan Simokerto

- Tidak ditemukan lahan kosong milik pemerintah;

- Dapat dijumpai beberapa PKL yang berjualan di sepanjang Jalan Simokerto;

- Sebagian besar fungsi penggunaan lahan adalah permukiman; 2. Kelurahan Simolawang

- Tidak ditemukan lahan kosong milik pemerintah;

- Terdapat Rumah Susun Sumbo yang cukup luas dimana terdiri dari 10 blok dan terdapat lahan yang dapat digunakan sebagai sentra PKL;

1,42 Km1,48 Km

1,23 Km 1,26 Km 0,69 Km

(34)

- Sebagian besar fungsi penggunaan lahan adalah permukiman dan perdagangan atau jasa;

- Dapat dijumpai PKL yang berjualan di sekitar rusun maupun di sepanjang Jalan Kp. Seng;

- Sesuai dengan model jangkauan layanan pasar, model jangkauan layanan transportasi, serta model jangkauan layanan administrative, lokasi Rusun Sumbo berpengaruh terhadap penduduk sekitarnya karena memiliki akses jalan untuk menuju ke Rusun Sumbo, terdapat angkutan seperti becak apabila turun dari Jalan Kapasan menaiki lyn, tersedianya tempat parkir yang luas, dekat dengan kantor kelurahan, dan barang yang diperjualbelikan di sekitar lokasi tersebut bervariasi dan merupakan salah satu kelurahan yang banyak akan PKL.

3. Kelurahan Tambak Rejo

- Tidak ditemukan lahan kosong milik pemerintah;

- Sebagian besar fungsi penggunaan lahan adalah permukiman dan perdagangan atau jasa yang didominasi pergudangan;

- Dapat dijumpai beberapa PKL yang berjualan di sepanjang Jalan Kenjeran.

(35)
(36)

Dokumentasi (foto) rumah susun Sumbo:

Gambar 4.3 Tempat Rencana Penempatan Sentra PKL

(37)

BAB V PENUTUP

5.1 Lesson Learned

Dari analisa pemilihan lokasi menggunakan metode Rank Size Rule dan metode

Breaking Point dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Simokerto menyebar rata di sebagian badan jalan maupun di jalur pejalan kaki. Namun berdasarkan survei primer, diketahui Kelurahan yang padat akan Pedagang Kaki Lima adalah Kelurahan Simolawang, Kelurahan Tambak Rejo, dan Kelurahan Kapasan;

2. Sentra PKL sangat diperlukan di Kecmatan Simokerto, karena mengelompokkan Pedagang Kaki Lima pada satu tempat lebih efektif dan tidak mengganggu aktifitas penguna jalan, karena menurut hasil wawancara dengan berbagai Pedagang Kaki Lima sebagaian besar PKL adalah penduduk Kota Surabaya;

3. Setelah dilakukan analisis menggunakan metode rank size rule, Sentra PKL dapat dibangun di Kelurahan Simokerto, Kelurahan Simolawang, dan Kelurahan Tambak Rejo dimana terbukti bahwa tiga dari lima kelurahan tersebut berada pada orde pertama;

4. Setelah dilakukan analisis menggunakan metode rank size rule, dilakukan analisis menggunakan metode breaking point menghasilkan tiga opsi dimana menampilkan jarak terdekat untuk pemilihan lokasi sentra PKL dengan hasil terdekat sentra PKL dibangun 0,69 km dari Kelurahan Simokerto;

5. Sesuai dengan model jangkauan layanan pasar, model jangkauan layanan transportasi, serta model jangkauan layanan administratif dari teori Christaller, lokasi yang tepat untuk dijadikan sentra PKL adalah Rusun Sumbo di Kelurahan Simolawang;

(38)

5.2 Rekomendasi

Dari analisa pemilihan lokasi menggunakan metode Rank Size Rule dan metode

Breaking Point dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil analisis sentra PKL sangat direkomendasikan dibangun di Kelurahan Simokerto atau di Kelurahan Simolawang;

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Mc.Gee,T.G and Yeung,Y.M. Hawkers. 1977. In South East Asian Cities: Planning for The Bazaar Economy. Ottawa: International Develop-ment Research Centre.

Eko Budi Santoso dkk. 2012. Diktat Analisa Lokasi dan Keruangan PWK ITS. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Malczewski, J. 1999. GIS and Multicriteria Decision Analysis. Canada: John Wiley & Sons. Areeza dan Tauran. 2016. Evaluasi Kebijakan Penataan PKL diSentra PKL Manukan Lor Kota Surabaya. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

http://surabayakita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7652:simokerto-tertibkan-pkl-awal-tahun-2014-&catid=25:peristiwa&Itemid=28 diakses pada hari Jumat, 19 Mei 2017 pukul 16.46

http://www.surabayapagi.com/read/115038/2014/06/03/

Camat_Simokerto_Sukses_Menata_PKL.html diakses pada hari Jumat, 19 Mei 2017 pukul 16.46

Gambar

Gambar 2.1 Model Jangkauan Layanan Pasar
Gambar 2.3 Model Jangkauan Layanan Administratif
Gambar 2.4 Format Retail
Gambar 2.5 Pola Penyebaran Mengelopok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rufinus Motmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif , Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm 5.. 3 JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan jumlah sari tomat dan sari temulawak terhadap sifat organoleptik jelly drink yang meliputi (warna, aroma, rasa,

tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dan berdasarkan berita acara pemeriksaan ditempat dan/atau alat bukti lainnya yang dapat

Wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga

pangan adalah kelembagaan yang memerankan semua komponennya untuk mengorganisasikan, memfungsikan, dan mengatur setiap aktivitas dalam masyarakat terkait dengan penyediaan,

Dengan alasan usaha yang dilakukan masih baru, dan masih banyak yang pertimbangan dalam melakukan kegiatan ini seperti alokasi dana terhadap produksi yang lainnya,

Amarta 8-10 Raya Terminal Baru Kartasura Sukoharjo Solo Jawa T.. Raya Kedu Km 2 Kalisat Bulu Temanggung Jawa

62 Paramita Tanggerang, RS Banten Tangerang Kawasan Industri CCM Kav. Raya Serang KM.. No Nama Rumah Sakit Provinsi Kota Alamat Rumah Sakit No. Telepon Catatan 63 Permata Pamulang,