Ahmad Irfan Mufid
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia E-mail: irfanmufid@gmail.com
Suwidi
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia E-mail: wy_dy22@yahoo.com
Abstrak
Modernisasi merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari oleh sistem sosial manapun, termasuk pendidikan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia juga dituntut untuk melakukan modernisasi. Sebagian kalangan yang berpandangan modern menilai bahwa pesantren mengalami ketertinggalan dan tidak modern. Salah satu faktornya karena pesantren tidak menerapkan standarisasi baik secara kelembagaan maupun proses pembelajaran, termasuk kurikulum yang diterapkan. Namun demikian, temuan dalam tulisan ini menyatakan bahwa keharusan modernisasi pesantren dengan alasan untuk kemajuan pendidikan Islam ditengarai sarat dengan politik kekuasaan. Sementara pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Discourse Historical Approaches (pendekatan wacana sejarah) dan teori Poskolonial. Pendekatan ini menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana diproduksi dan mengungkap kekuasaan dimainkan dalam proses pewacanaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Discourse Historical Approaches (pendekatan wacana sejarah) dan teori Poskolonial. Pendekatan ini menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana diproduksi dan mengungkap kekuasan dimainkan dalam proses pewacanaan.
Kata kunci: politik kekuasaan, modernisasi pendidikan Islam, kajian historis
Pendahuluan
Perkembangan pendidikan di Indonesia banyak menarik perhatian peneliti
luar maupun lokal karena perkembangan pendidikan di Indonesia merupakan hal
yang unik, dibandingkan dengan perkembangan pendidikan di negara lainnya. Salah
satu keunikannya adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang berbasis organisasi
keagamaan maupun non keagamaan, yang dalam perjalanannya masuk dalam
kontestasi kompetisi, untuk menawarkan model Pendidikan Nasional.
Kontestasi antara Nasionalisme Sekuler dan Nasionalisme Agama, seringkali
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 2 Dua di antaranya adalah Lee Kam hing1 dan Sirozi2, yang membuktikan bahwa, kebijakan pendidikan Indonesia dari awal hingga sekarang, tidak dapat dilepaskan
dari pertarungan kepentingan kelompok tersebut terutama dalam menemukan
model pendidikan nasional yang ideal bagi masyarakat Indonesia.
Sementara, dari aspek kelembagaannya, Arief Subhan juga menilai bahwa
pendidikan di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari dua kelompok tersebut.
Arief dalam hal ini memaparkan bahwa madrasah, sebagai model pendidikan Islam
Indonesia, pada dasarnya merupakan satu upaya umat Islam menyudahi kontestasi
antara nasionalisme agama dan nasionalisme sekuler. 3
Meskipun, dalam
perkembangannya, model tersebut disandingkan dengan wacana respon pendidikan
Islam terhadap modernisasi, seperti yang digambarkan oleh Husni Rahim dalam satu
tulisannya yang berjudul “Anatomi Madrasah di Indonesia”.4
Selain tiga peneliti di atas, penelitian Steenbrink adalah salah satu hasil
penelitian yang banyak dirujuk oleh banyak peneliti dan akademisi, dalam
membincangkan perkembangan pendidikan di Indonesia. Yang menarik dari
pandangan Steenbrink, sekaligus menjadi pembeda dari penelitian di atas adalah
temuannya yang menyatakan bahwa politik konvergensi pendidikan di Indonesia
berkecenderungan pada satu model “sistem sekolah” dari berbagai model pendidikan yang dipertentangkan oleh banyak peneliti.
Hal ini, sekaligus menjadi alasan penulis memilih pandangan Steenbrink
sebagai titik persoalan dalam tulisan ini. Meskipun, dalam beberapa hal, Steenbrink
juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan peneliti di atas, terutama berkaitan
dengan pergolakan politik partai yang terjadi pada awal-awal kemerdekaan bangsa
1 Lee Kam Hing, Education and Politics in Indonesia 1945-1965 (Kuala Lumpur: The University of
Malaya Press), 9-16.
2 Penelitian Sirozi tentang UU No/2 1989 menunjukkan bahwa perdebatan kebijakan sistem
pendidikan di Indonesia pada dasarnya merupakan perdebatan lama, seperti yang diperjuangkan oleh Nasionalisme Agama dan Nasionalisme Sekuler. Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia; Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989 (Yogyakarta: AK gorup, 2004)
3 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20; Pergumulan Antara Modernisasi
dan Identitas (Jakarta: UIN Pres, 2009), 183-234.
4 Husni Rahim, Anatomi Madrasah di Indonesia, dalam Roundtable Discussion, Masa Depan
Indonesia. Namun, sebagai sebuah cerita tentang perkembangan lembaga
pendidikan di Indonesia, Steenbrink dapat dikatakan berhasil menuliskannya.
Terutama, berkaitan dengan pengentalan mental keharusan modernisasi pesantren.
Berikutnya, penulis dalam dalam tulisan ini akan menfokuskan pada dua
komponen mendasar, yang dijadikan tolok ukur keharusan modernisasi. Pertama,
model pendidikannya; meliputi kurikulum dan beberapa bukti pembaharuan yang
dilakukan oleh beberapa tokoh dan organisasi keagamaan di Indonesia. Kedua,
peralihan paradigma dari kiai hingga Drs sebagai guru agama.
Kronologis Pendidikan di Indonesia; Dari Pesantren Hingga Sekolah
Dalam catatan sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, dualisme
pendidikan memang merupakan salah satu isu yang tak terpisahkan ketika
memperbincangkan Sistem Pendidikan Nasional. Beberapa bukti historis untuk
membenarkan hal tersebut salah satunya adalah adanya penolakan terhadap hasil
penelitian gubernur Jenderal Van Der Capellen pada tahun 1819 dalam
pengembangan sistem pendidikan kolonial. Dalam penelitian Capellen, seperti yang
diungkap oleh Brugmans pada awal abad ke 20, dinyatakan adanya keinginan untuk
melaksanakan satu jenis pendidikan berdasarkan unsur pribumi murni, yang
dihubungkan dengan pendidikan Islam yang sudah ada. Namun, J.A Van Der Chijs,
inspektur pendidikan pribumi, menolak untuk menyesuaikan sistem pendidikan
kolonial dengan pendidikan Islam. Dikarenakan, pendidikan pribumi memiliki
kebiasaan ‘jelek’, yakni motode membaca teks arab yang dihafal, sehingga tidak dapat dijadikan titik tolak untuk mengembangkan sistem pendidikan umum.5
Persoalan bahasa dalam hal ini merupakan tumpuan penolakan pihak kolonial
untuk merangkul pendidikan Islam, bukan soal teologinya. Terbukti, di Minahasa,
terdapat sekolah berbasis keagamaan, dimasukkan dalam sistem pendidikan umum,
dengan alasan sekolah ini dapat menyesuikan ke dalam sistem pendidikan kolonial
dan tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan bahasa Melayu. Meskipun, terdapat
beberapa catatan yang harus dilakukan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan
umum dan mengurangi pengajaran agamanya.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 4 Dalam konteks ini, masyarakat muslim tetap eksis mengembangkan
pesantren sebagai lembaga pendidikannya, sekaligus sebagai tandingan dari
pendidikan kolonial.6 Kenyataan demikian, pada tahap selanjutnya menjadi warisan pendidikan di Indonesia, yakni dualisme pendidikan antara pendidikan umum dan
pesantren, serta madrasah sebagai sintesis kedua model tersebut. Namun dalam
banyak tulisan, tiga model pendidikan tersebut tidak dihadirkan secara bersamaan
dalam perkembangannya, melainkan diletakkan secara kronologis.
Kronologis pendidikan di Indonesia dimulai dari memposisikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan awal, kemudian diikuti oleh sekolah dan diakhiri dengan
madrasah. Meski dalam perkembangannya, madrasah mengarah pada model sekolah.
Dengan kata lain, pesantren menjadi masa lalu yang perlu diperbarui layaknya sistem
sekolah yang menjanjikan kualitas.
Dalam rangka me ‘masa lalu’ kan pesantren, Steenbrink memaparkan bahwa pendidikan Islam awal adalah pendidikan yang hanya mengajarkan materi
keagamaan, yakni meliputi cara membaca al-Qur’an, tajwid, tata cara shalat dan wudhu’, serta doanya. Sedangkan sistem pendidikannya bercorak individual, artinya
pengajaran guru didasarkan pada sejauh mana peserta didik menguasai materi yang
diajarkan, dan bergantung pada kecerdasan gurunya. Hal ini dalam pandangan
Steenbrink dinilai sebagai model pendidikan yang mengabaikan perbedaan kecepatan
pemahaman murid, dan disebutnya sebagai pendidikan Islam paling sederhana.7 Kemudian, pendidikan lanjutan adalah pengajaran bahasa Arab. Bahasa Arab
dalam pendidikan lanjutan ini menempati posisi penting, karena pada tahap ini
bahasa Arab merupakan syarat untuk membaca kitab. Oleh sebab itu, materi ajar
6 Memposisikan pesantren sebagai tandingan kolonial dapat ditelusuri dalam pandangan
Ahmad Baso. Dalam salah satu kutipannya, dia menuliskan pernyataan Dokter Soetomo yang menyatakan bahwa pesantren itu adalah perguruan kepunyaan bangsa kita yang asli dan di pesantren, pendidikan kemandirian diajarkan. Ahmad Baso, Pesantren Studies, Buku 2a, Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), 19. Selain itu, konsep nasionalisme lazim dibubuhkan di kalangan pesantren sebagai keharusan mencintai tanah air dan bangsaserta mencintai sesama muslim. Baca, Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat; Reinveting Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi, (Surabaya: Imtiyaz), 23.
7 Steenbrink, Pesantren, 10-13. Baca juga dalam buku yang ditulis Haidar Putra Daulay, Dinamika
pada tahap ini di antaranya adalah ushuluddin, fiqh dan nahwu. Selain itu, tasawuf,
hadist, hisab, dan falak, menjadi materi selanjutnya yang harus dipelajari. Ini yang
disebut dengan pesantren, yakni pendidikan lanjutan setelah pendidikan yang paling
sederhana sebelumnya.
Nurcholis Madjid dalam hal ini seperti yang dikutip oleh Yasmadi,
berpendapat bahwa penekanan yang terlalu berlebihan pada disiplin keilmuan
tertentu berkonsekwensi pada penyempitan orientasi kurikulum, sehingga
mengabaikan aspek keilmuan lain.8
Materi ajar pesantren yang lekat dengan pengajaran agama an sich, menjadi
tumpuan kritik. Tentu, hal ini tidak dapat lepas dari kepentingan awal untuk
membuktikan proses negosiasi mencari model pendidikan nasional yang
berkecenderungan pada satu model. Untuk kepentingan itu, pesantren
dipanggungkan dengan model pendidikan kolonial.
Memang, dalam proses memberikan penilaian terhadap pesantren, pesantren
diletakkan sejajar dengan model pendidikan lainnya. Misalnya, kehidupan pesantren
memberikan sebuah pengalaman yang sangat menarik mengenai kehidupan khas
Islam. Terdapat satu penghargaan tradisi yang sangat kuat dalam pesantren, seperti
ziarah kubur, tahlil, dan kegiatan-kegiatan mistis lainnya.9 Selain itu, kehiduapan di pesantren juga terjangkau secara ekonomi, dan merupakan tempat tinggal untuk
meresapi nilai-nilai Islam.10Jadi, pesantren dengan penilaian seperti ini, pada dasarnya dapat menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah kehidupan yang semakin tidak
menentu, seperti pendidikan kolonial Belanda byang diskriminatif, sementara
pesantren merupakan lembaga alternatif yang dapat dijangkau secara ekonomi.
Sayangnya, pujian tersebut bukan dalam rangka yang sebenarnya, karena
yang ingin ditunjukkan adalah pesantren sebagai masa lalu dalam perkembangan
pendidikan di Indonesia. Di sini, Steenbrink mengangkat pengalaman nyantri Achmad
8 Yasmadi,
Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 78.
9 Steenbrink, Pesantren, x.
10 Populisme pesantren salah satunya dapat dilihat dari biaya pendidikan yang terjangkau.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 6 Djajadiningrat. Dia menyatakan, “Achmad Djajadiningrat juga belajar tidak lebih dari mempelajari tata bahasa Arab dan nasibnya juga tidak lebih baik dari kebanyakan
para santri.11 “Tidak lebih baik dari kebanyakan para santri” menunjukkan bahwa
model pembelajaran pesantren tidak dapat mengantarkan anak didik atau santri
menjadi lebih baik dari sebelum masuk ke pesantren. Dengan kata lain, sistem
pesantren hanya bermanfaat untuk santri yang cerdas, rajin, mampu, dan bersedia
mengorbankan waktu studinya dalam mengembangkan kemampuan intelektual.
Nurcholis Madjid dalam hal ini juga menilai bahwa pesantren telah
mengabaikan aspek kognitif dalam pembelajarannya. Menurutnya, salah satu bukti
pengabaian aspek kognitif di pesantren adalah tidak adanya sistem kontrol berupa
tes atau ujian terhadap penguasaan materi yang diajarkan. Selain itu, sistem
pembelajaran yang tidak dialogis dengan tidak memberi kesempatan terhadap santri
untuk bertanya atau mengomentari penjelasan yang disampaikan oleh kiai juga
membuktikan hal ini. Wajar, kalau akhirnya, daya nalar dan kreatifitas seorang santri
terlambat.12
Pada tahap ini, ketika pesantren mulai dikenal kekurangannya, tahap
selanjutnya adalah keharusan melakukan pembaharuan dengan dalih ketidakpuasan
kalangan umat Islam terhadap pendidikan tradisional yang tidak mampu
mengantarkan peserta didik dan santri bersaing dengan sekolah-sekolah kolonial
dalam memperjuangkan kehidupan sehari-hari. Salah satu sasaran ketidakpuasaan
yang ditunjukkan adalah kurikulum dan model pendidikan pesantren.
Dalam konteks ini, Steenbrink mengangkat model pendidikan yang didirikan
dengan sistem sekolah sebagai solusi terhadap kekurangan sistem pendidikan
pesantren. Di antara tokoh dan organisasi keagamaan yang masuk dalam daftar ini
adalah Abdullah Ahmad, pada tahun 1907 mendirikan sekolah Adabiyah di padang
panjang, dengan materi ajar agama dan umum. Pada tahun 1916, Zainuddin Labai
mendirikan Madrasah Diniyah dengan sistem klasikal dan materi yang diajarkan
mencakup penetahuan umum, seperti ilmu bumi. Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan
11 Steenbrink, Pesantren, 16.
12 Nurcholish Madjid, Bilik Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina,
pendiri Muhammadiyah (1982) juga mendirikan lembaga pendidikan yang
mengajarkan materi keagaman dan umum.13
Pesatnya perkembangan pendidikan yang ditunjukkan oleh beberapa
organisasi keagamaan ini membuktikan adanya dua model pendidikan yang ada di
Indonesia, pesantren di satu sisi sebagai representasi pendidikan Islam, dan sekolah
sebagai representasi pendidikan kolonial, sementara madrasah di sisi lain sebagai
representasi model pendidikan Islam dan sekaligus bentuk lanjutan pendidikan
pesantren dan ‘tandingan’ atas pendidikan kolonial. Hal ini yang disebut sebagai dualisme pendidikan di Indonensia, yakni pendidikan umum ‘sekolah’ di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan Islam di bawah
naungan Depatermen Agama. Sirozi dalam hal ini menilai pemberlakuan sistem ganda
pada dasarnya merupakan kompromi politik darurat yang dilakukan pemerintah
Indonesia.14
Namun, yang menarik adalah di dalam Departemen Agama, muncul cita-cita
konvergensi yang bermaksud mengadakan sintesa, antara pendidikan umum sekolah
dan pendidikan Islam Pesantren, yang dikenal dengan madrasah. Namun faktanya,
upaya konvergesi seperti ini berakhir dengan model sistem barat yakni sekolah.
Salah satu bukti kebijakan terkait hal ini, tertuang dalam UU No 4 1950, yang
mengamanatkan sekolah untuk mengajarakan mata pelajaran agama meski sebatas
pilihan yang diserahkan kepada orang tua dan anak didik. Dan anjuran Departemen
Agama untuk mengembangkan pesantren yang tradisional menjadi sebuah madrasah
disusun secara klasikal, dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan
pelajaran umum di samping agama.15
Selain itu lahirnya SKB Tiga Menteri 1974 juga
menjadi bukti pendidikan Indonesia mengarah pada sistem sekolah. 16
13 Steenbrink, Pesantren, 97.
14 Muhammad Sirozi,
Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam Dalam UU No 2/1989 (Leiden-Jakarta: INIS, 2004), 42.
15 Steenbrink, Pesantren, 97.
16 SKB Tiga Mentri merupakan awal mula terjadinya ‘penyatuan’ model pendidikan Madrasah
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 8 Lebih lanjut, untuk melengkapi cerita ini ketokohan guru agama atau kiai juga
diangkat sebagai pelengkap alasan memposisikan pesantren sebagai masa lalu.
Ketokohan seorang kiai yang memiliki peran sentral terhadap pesantren, bahkan
dapat dikatakan sebagai penentu ‘hidup matinya’ sebuah pesantren. Pola seperti ini dalam pandangan masyarakat yang komplek dan dinamis tidak dapat
dipertahankan.17
Oleh karena itu, Steenbrink menyatakan bahwa profil Guru agama
modern adalah Doktorandus (Drs). Dengan kata lain, untuk menjadi Kiai tidak
selamanya dilatarbekangi oleh faktor keturunan, tapi wawasan keagamaan yang luas
juga dapat mengantarkan seseorang menjadi Kiai. Dia menyatakan, “setiap orang dapat menjadi kiai, asal dia diterima oleh masyarakat sebagai kiai. Setiap orang dapat
membuka pesantren, asal ada santri yang mau belajar kepadanya”.18
Dia mengutip kaum reformis yang menyatakan penghargaan terhadap ‘kiai sepuh’, dalam setiap acara haul di pesantren tradisional merupakan akal-akalan keturunan kiai yang bertujuan mencari keuntungan. Selain itu, pola kekerabatan juga
merupakan tradisi feodalisme dalam pesantren, yang menyebabkan lemahnya
kemampuan intelektual kaum santri dan kurangnya dinamika untuk melakukan
pembaharuan. Jadi, beberapa kelemahan ini merupakan konsekwensi logis dari
pandangan masyarakat tradisional yang menempatkan ‘keturunan’ sebagai faktor penting dalam kepemimpinan sebuah pesantren, sehingga ‘hidup-matinya’ sebuah pesantren tergantung kepada ketokohan kiai.
Wajar, kalau pesantren mengalami kemunduran seiring dengan
perkembangan masyarakat modern. Solusi yang ditawarkan pada poin ini adalah
adanya ijazah untuk mengurangi ketergantungan sebuah lembaga pendidikan Islam
terhadap ‘pemitosan’ seorang Kiai. Karena, guru agama tidak hanya dapat diduduki oleh seorang kiai, tapi juga oleh seorang guru yang memiliki ijazah dan bukti
pengetahuan yang menunjukan kelayakan sebagai guru agama.19
Dengan demikian,
Peranan Agama di Dalam Pembangunan Nasional, Ceramah pada Program Perencanaan
Nasional tanggal 26 Oktober 1976 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta, 16.
17M. Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, “Pesantren dan
Pembaharuan”, (ed) Dawam Rahardjo (Jakarta: LP3ES, 1974), 15.
18 Steenbrink, Pesantren, 12.
faktor keturunan tidak lagi menjadi unsur yang paling menentukan dalam sistem
pendidikan Islam di Indonesia.
Akhirnya, fenomena perubahan ketokohan dari Kiai ke Drs dapat melengkapi
cerita akhir pendidikan Indonesia. Sekolah dengan sistem evaluasi yang jelas dan
berijazah menjadi model ideal masa depan pendidikan di Indonesia. Sementara
pesantren adalah masa lalu bagi bangsa Indonesia. Ketika Indonesia dihadapkan
dengan globalisasi, sistem sekolah menjadi pilihan tunggal, sementara dalam rangka
adaptasi terhadap perkembangan masyarakat, pendidikan di Indonesia disibukkan
dengan standarisasi untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Model Pembacaan Orientalis; Keharusan Melakukan Modernisasi
Sistem sekolah sebagai akhir sejarah pendidikan di Indonesia, memang harus
kita akui. Tetapi, hal itu perlu kita uji kebenarannya. Untuk membuktikan hal ini, akan
diulas kembali alur cerita yang dipetakan sebelumnya.
Pertama, pendidikan Islam pada masa awal dimulai dengan
pegajian-pengajian di mushalla, yang terbatas pada pengajaran agama, kemudian mengalami
perkembangannya dalam bentuk pesantren dengan materi yang sama, yakni
keislaman dengan mengaji kitab. Kedua, tahap selanjutnya terjadi upaya untuk
mengakomodasi materi umum dan materi keagamaan, yakni madrasah yang
berfungsi di satu sisi sebagai sikap untuk menutupi kekurangan pesantren dalam
kurun modern, di sisi lain mengurangi kesenjangan antara pesantren dan sekolah.
Namun, pada akhirnya hal tersebut mengarah pada model sekolah.
Pandangan di atas didasarkan pada pandangan Steenbrink yang menyatakan
bahwa:
“Usaha untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia sebagaimana tampak perkembangan baru dari sistem pesantren ke madrasah, perkembangan dari metode yang tradisonal ke pendidikan klasikal, meskipun hal ini merupakan perwujudan konvergensi antara pendidikan Timur dan Pendidikan Barat, pendidikan sekuler dan agama, namun kesan yang muncul adalah mengarah pada model sekolah”.20
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 10 Berdasarkan kutipan di atas, wajar kalau Steenbrink memilih “Dari Pesantren
hingga Madrasah dan Sekolah” sebagai tema yang dapat mewakili temuan dari
penelitiannya. Tema ini ‘tepat’ dipilih karena dia melihat perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dimulai dari Mushalla dan Pesantren. Kata “Dari
Pesantren” memberikan pesan bahwa awal mula lembaga pendidikan Islam di
Indonesia adalah pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di
Indonesia banyak diakui oleh para peneliti dan pakar seperti Husni Rahim, Arief
Subhan, dan beberapa tokoh pendidikan lainnya.
Sedangkan kata “hingga Madrasah dan Sekolah” dinilai sebagai satu
penyesuaian dengan perubahan yang terjadi di masyarakat modern. Malik Fadjar
dalam hal ini berpendapat bahwa persentuhan global dengan pendidikan Islam
menuntut lembaga pendidikan dapat terukur atau dapat dievaluasi. Target
pembelajaran harus jelas, sementara sistem pembelajaran di pesantren tidak
terprogram sehingga model madrasah dengan sistem klasikal merupakan model
pendidikan Islam terkini yang sesuai dengan masyarakat modern.21
Begitu pula Steenbrink menilai bahwa Madrasah/sekolah merupakan suatu
perkembangan terkini model pendidikan Islam Indonesia, yang dapat menyesuaikan
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat modern. Hal ini mendapat
pembenarannya, karena secara kronologis, madrasah dan sekolah memang bentukan
baru pendidikan Islam dengan mengambil pesantren sebagai inspirasinya. Dengan
demikian, Steenbrink menulis sub tema dalam penelitiannya dengan “Dari Pesantren
hingga Madrasah dan Sekolah” hanya untuk menunjukkan perkembangan terkini yang
dapat diharapkan oleh masyarakat modern adalah sekolah.
Kronologis pendidikan seperti ini telah mengorbankan dialektika pendidikan
dengan masyarakatnya. Hal ini dinilai bahwa pembacaan sejarah yang dilakukan oleh
banyak penulis bermasalah. Ahmad Baso dalam hal ini menunjukkan bahwa
kronologisasi sejarah pendidikan tidak jauh beda dengan orientalis, contoh kasusnya
adalah sistem ijazahbagi guru agama sebagai solusi untuk keluar dari tradisi feodal
21 Malik Fadjar, Membangun Madrasah Sebagai Wahana Peradaban Modern, “Keluar Dari
para pemimpin pesantren adalah pembacaan yang kurang tepat.22 Karena, kehadiran kiai sebagai tokoh sentral pesantren merupakan satu alasan eksistensi pesantren
tetap bertahan dalam setiap perkembangan masyarakat.23 Selain itu, Ahmad Baso juga menyebut hal ini sebagai problem difference. Harusnya, beberapa model
pendidikan yang ada di Indonesia tidak ditampilkan secara kronologis, karena dapat
menghilangkan model pendidikan awal.24
Akhirnya setelah pesantren menjadi masa lalu, madrasah dan sekolah sudah
tidak ada perbedaan lagi, pada tahap berikutnya sistem sekolah akhirnya menjadi
model ideal pendidikan di Indonesia. Sementara pada saat bersamaan, hilangnya
batas antar negara dan maraknya kerjasama internasional menjadi alasan dan faktor
utama yang mendorong lembaga pendidikan menyiapkan diri merumuskan ulang
materi ajar dan model pembelajarannya untuk dapat melahirkan out put yang
dibutuhkan.
Pada titik ini, perkembangan terbaru rententan modernisasi dalam arti demi
kemajuan pendidikan di Indonesia, internasionalisasi pendidikan menjadi keharusan
baik melalui program pertukaran pelajar maupun pemberlakuan standar internasional
pada kurikulum pendidikan dan sistem evaluasi. Tujuannya adalah untuk mendapat
pengakuan dari dunia internasional. Tidak hanya berhenti di situ, meletakkan
paradigma kerja seperti yang telah diulas sebelumnya sebagai bentuk pergeseran
makna ke sektor ekonomi sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Strategis
Pembangunan Nasional 2005-2025 dengan puncaknya dapat bersaing di dunia
22 Steenbrink, Pesantren, 199.
23 Kiai sebagai ideolog pesantren. Baca Pesantren Studies, terutama Bab I. Lihat, Ahmad Baso,
Pesantren Studies; kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, Buku II, Juz 1, (Jakarta: Pustaka Afid, 2012).
24Konsep “difference” digunakan Ahmad Baso untuk menunjukkan bahwa pesantren layak
dan seharusnya diposisikan sejajar sebagai model pendidikan dengan model lainnya, seperti sekolah modern. Konsep ini digunakan sebagai kacamata poskolonialisme, sehingga hal itu dapat dijadikan alat kritik terhadap paradigma yang berpotensi “kolonialisme”. Ahmad Baso, Pesantren Studies; kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, Buku II, Juz 1, 20. Bandingkan dengan konsep Difference dalam strukturalisme yang digunakan sebagai tanda mempertanyakan asumsi-asumsi yang mapan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan yang baru, dengan perspektif yang baru pula. Konsep ini digunakan J. Derrida
untuk membongkar logosentrisme dunia modern. Muhammad al-Fayyaddl, Derrida,
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 12 internasional, semakin memperkuat bahwa akhir sejarah pendidikan Nasional adalah
sekolah berbasis internasional. Setidaknya inilah akhir dari perkembangan pendidikan
Indonesia terkini.
Atas dasar ini, tidaklah berlebihan, penulis menilai cara membaca seperti ini
adalah model pembacaan orientalis.25 Yakni menulis sebagai outsider bukan insider,
sehingga hasil temuannya dapat mengabaikan hakikat tujuan pendidikan Indonesia.26 Dari sini pula, wajar kalau akhirnya bentukan opini dari pewacanaan seperti ini di
tengah masyarakat dan pemerintah terdorong untuk berlomba-lomba melahirkan
sumber daya manusia yang siap pakai di dunia internasional. Ini yang penulis sebut
sebagai proses pembentukan mental masyarakat untuk melakukan internasionalisasi.
Selain itu, pengalaman kelas menengah perkotaan juga ikut andil dalam
memperkuat pewacanan keharusan internasionalisasi. Orientasi untuk bersaing di
dunia internasional menemukan momennya dalam sejarah kelas menengah
perkotaan. Dalam salah satu ulasan dinyatakan bahwa munculnya sekolah-sekolah elit
di perkotaan dilatarbelakangi oleh kekecewaan kelas menengah terhadap pelayanan
pendidikan yang tidak berkualitas, sehingga mereka berinisiatif untuk mendirikan
sekolah yang bisa menjadi tumpuan harapan ke depan. Munculnya sebutan sekolah
elit di kalangan kelas menengah ini dilatarbelakangi beberapa alasan, di antaranya
25 Penjelasan tentang orientalisme, Edward Said menyatakan bahwa orientalisme merupakan
suatu cara membaca untuk dunia timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat. Dengan kata lain, orientalisme adalah suatu gaya berfikir yang berdasarkan perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” dan “Barat”. Hubungan Timur dan Barat ini merupakan hubungan kekuatan dan dominasi. Dengan demikian, orientalisme bukanlah fantasi kosong orang Eropa mengenai Timur, tetapi teori dan praktik yang sengaja diciptakan, ini yang nantinya disebut sebagai proses penciptaan ’peta kesadaran baru’ tentang timur. Lihat, Edward Said, Orientalism, (London: Penguin Book, 1991), 1-28. Konsep ini pas untuk menggambarkan pembacaan Steenbrink tentang pesantren. Dia sebagai orang Barat, sebagai orientalis, menulis pesantren “sebagai timur” berdasarkan paradigma orang Barat. Pesantren “ditimurkan” dan dikonstruk sebagai “masa lalu”, konservatif, kolot, dan tidak relevan lagi dengan kekinian. Setelah itu, pesantren diletakkan secara kronologis, dijadikan pijakan bagi lembaga pendidikan setelahnya, madrasah dan sekolah. Akhirnya, bagi masyarakat kini yang modern, pesantren harus ditinggalkan, karena tidak relevan lagi dengan keadaan masa kini. Setelah masyarakat terbentuk kesadarannya seperti ini, sistem sekolah ditonjolkan sebagai gantinya. Pesantren “masa lalu kita”, dan sekolah “masa depan kita”.
26 Penggunaan label Outsider dan insider digunakan Ahmad Baso dalam menjelaskan posisi
adalah pemberlakuan ujian masuk yang kompetitif, artinya hanya anak-anak yang
memilki kecerdasan lebih yang akan diterima di sekolah tersebut. Selain itu, biaya
pendidikan yang mahal, karena yang ditawarkan adalah pelayanan terbaik dengan
kelengkapan fasilitas yang memadai.27
Alhasil, pilihan terhadap internasionalisasi pendidikan sebagai bentuk
peningkatan kualitas telah dipraktikkan oleh kelas menengah muslim perkotaan.
Meski pada kenyataannya, munculnya sekolah-sekolah elit bentukan kelas menengah
muslim perkotaan tidak dikenal dengan sekolah internasional atau tidak mengatakan
telah melakukan internasionalisasi. Namun demikian, keduanya bersinggungan secara
ideologis, yakni mengamalkan ideologi kompetisi dalam pendidikannya.
Kesimpulan
Penulisan sejarah pendidikan Islam Indonesia secara kronologis pada
dasarnya tidak selalu merupakan fakta yang harus dijadikan pijakan dalam
mengembangkan pendidikan. Mengingat, dalam kajian poskolonial, bahasa selalu
mengandaikan kekuasaan. Hal demikian terlihat dari temuan dalam tulisan ini bahwa
secara tidak sadar pesantren telah di ‘masa lalukan’ dari perkembangan sejarah pendidikan Indonesia. Salah satu bukti dari temuan ini adalah seringkali muncul dalam
penulisan sejarah pendidikan Islam dI Indonesia yang menyatakan bahwa demi
kemajuan pendidikan Islam maka pesantren perlu mengadopsi sistem pendidikan
sekolah. Madrasah merupakan solusi bagi kekurangan pesantren yang tidak terbuka
dengan pengetahuan modern dan sekolah yang tidak bernuansa Islami, bahkan
muncul wacana bahwa untuk memahami Islam, tidak perlu belajar pada kiai, tapi
kepada orang yang memiliki ijazah dan diakui keilmuannya secara akademik tentang
keislaman.
Dari sini, terlihat bahwa proses pewacanaan sarat dengan kekuasaan.
Beberapa pandangan seperti ini menjadi dalih bahwa pesantren perlu melakukan
modernisasi atau penyesuaian terhadap perkembangan yang ada, sementara pada
saat bersamaan nilai-nilai asli pesantren lambat laun akan ditinggalkan. Atas dasar itu,
27 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Milenium Baru (Jakarta: PT Logos
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 14 model membaca demikian menafikan dialektika antara pendidikan dan masyarakat.
Padahal, munculnya pesantren yang berpola demikian pada dasarnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Terbukti bahwa pesantren dari awal hingga sekarang tetap
eksis, karena pesantren pada dasarnya adalah bentukan masyarakat.
Dengan demikian, pembacaan secara kronoligis tentang sejarah
perkembangan pendidikan Islam tidak didasarkan pada kesadaran masyarakat
Indonesia, terutama kesadaran santri, sehingga berkonsekwensi mengajak
masyarakat Indonesia meninggalkan pesantren sebagai sistem fondasi berbangsa
masyarakat Indonesia.
Referensi
Ali, Mukti. Dialog: Peranan Agama di Dalam Pembangunan Nasional, Ceramah pada Program Perencanaan Nasional tanggal 26 Oktober 1976 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Milenium Baru. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, Cet. IV, 2002.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Rieneka Cipta, 2009.
Hing, Lee Kam. Education and Politics in Indonesia 1945-1965. Kuala Lumpur: The University of Malaya Press, t.th.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1992.
Rahardjo, M. Dawam. Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974.
Rahim, Husni. Anatomi Madrasah di Indonesia, dalam Roundtable Discussion, Masa Depan Madrasah. Jakarta: INCIS, 2004.
Sirozi, Muhammad. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia; Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Yogyakarta: AK gorup, 2004.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1989.
Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20; Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: UIN Pres, 2009.
Suyoto. “Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam Pesantren dan Pembaharuan” dalam M Dawam Rahardjo (ed.). Jakarta: LP3ES, 1983.