• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memikirkan Ulang Gagasan Filosofi Fredri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memikirkan Ulang Gagasan Filosofi Fredri"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Memikirkan ulang gagasan-gagasan filosofi Fredrich Nietzsche

Vindi Andi Kurniawan

1

1. Secuil Kronik Fredrich Nietzsche

Beberapa dari kita yang senang ‘berkotor-kotor’ dengan kubangan filsafat akan sangat akrab dengan nama Fredrich Nietzsche. Beberapa yang lain, akan mengernyitkan dahi dan tak menutup kemungkinan juga akan mengutuki ketika mendengar namanya. Sebab, siapa pula filsuf yang begitu hebat menguncang dunia pemikiran Eropa abad 19 dengan meniup trompet sangka kala bahwa Got Ist Tot

(God Is Dead). Nietzsche tidak hanya menjadi gempa bumi bagi dunia pemikiran Eropa di sepanjang paroh kedua abad 19. Bahkan, ia sanggup membuat gemba bumi tersebut getarannya menjalar hebat di luar dunia Eropa, memantik perdebatan sengit bagi orang-orang yang memuja maupun mengutukinya.

Maka di sini sebelum beranjak masuk kedalam labirin pemikirannya, baiknya terlebih dahulu mengakrabi latar belakang kehidupannya. Nietzsiche lahir tahun 1844 di desa Rocken dekat Kota kecil Lutzen, dengan warna kehidupan masa kanak-kanak yang hangat, bersemangat dan penuh akan gairah. Ia juga seorang anak jenius dan memiliki bakat dalam musik khususnya piano. Ayahnya seorang pendeta Lutheran meninggal karena penyakit otak saat Neitzsche berusia 4 tahun, selanjutnya ia hidup bersama Ibu, nenek, kedua saudarinya dan juga tantenya2. Berada ditengah-tengah para perempuan saleh ini membuat ia mendapat pendidikan agama yang ketat. Bahkan hal ini pula yang menghantarkannya masuk Gymnasium di Pforta. Hingga kemudian titik tolak perubahan pemikirannya, terjadi saat ia mulai masuk sebagai mahasiswa teologi dan filologi klasik Universitas Bonn di Swiss. Pada masa-masa inilah ledakan pemberontakan terhadap nilai-nilai agama benar-benar tak tertahankan lagi dan mencapai titik klimaks tatkala ia menyatakan bahwa tak lagi percaya kepada Tuhan.

Tak lama berselang selama menekuni filologi di Basel, ia ditawari oleh Profesornya untuk membantu mengajar. Di luar dugaan, walau ia tidak bergelar “Doktor” Nietzsche berhasil menggondol gelar Profesor tanpa melalui ujian. Tentu saja ini merupakan hal yang luar biasa, bahkan di Jerman tak pernah terjadi hal yang

       

1

Paper pendek ini dipersembahkan untuk rangkaian diskusi Kelompok Studi Epistemik (KSE) Malang. 25-10-2015

2

(2)

semacam ini, hingga ia mendapat promosi sebagai professor penuh3. Kemudian meletus perang antara Prancis dan kerajaan Prusia, di mana kondisi ini memaksa ia meletakkan pekerjaannya dan meninggalkan Swiss guna bergabung sebagai relawan juru rawat dalam perang. Pasca menjadi relawan perang, ia kembali ke universitas dan semakin menggandrugi filosofi serta semakin menajuhi filologi. Namun sayang lamarannya untuk menjadi professor di filosofi oleh Universitas Basel.

Semenjak mengajar sebagai dosen muda di Basel Nietzsche menjalin persahabatan kental dengan seorang yang kelak akan menjadi komposer Jerman terkenal, bahkan dunia yaitu Richard Wagner. Mereka saling mendukung melalui projek, di mana Nietzsche menulis karya “Lahir Tragedi Dalam Ruh Musik” yang ditujukan untuk Wagner dalam menggarap mitos dan tragedi musical yang baru4. Pada masa awal ini Nietzsche menggilai seni, ia begitu penuh dinamika, kelenturan dalam berkarya, mengedepankan imaji dan emosi, lebih menyerupai sastrawan dibandingkan seorang ilmuwan filolog yang sistematik, patuh pada metode-metode ketat, lurus dan disiplin. Ia juga sangat mengidam-idamkan tatanan masyarakat Jerman meniru seperti tatanan mayarakat Yunani kuno. Namun menjadi jelas bahwa dalam fase ini ia semakin benci dan menolak kegiatan ilmu pengetahuan rasional5. Ia kecewa dengan perkembangan kebudayaan Jerman yang ia anggap semakin merosot karena terlalu dipenuhi pengetahuan ilmiah yang formal, kering tanpa makna, dan tanpa penghayatan yang berkaitan dengan kehidupan. Ia memberi contoh mengenai apa yang terjadi pada masyarakat Yunani kuno yang juga mengalami kemerosotan. Salah satunya karena masuk dan begitu dominannya pandangan filsafat rasional dari Socrates, Platos, dan Aristoteles. Ia anggap pandangan filsuf-filsuf ini telah mebunuh seni tragedi yang demikian indah dan naluriah.

Nietzsche begitu menolak filsafat rasionalisme, ia percaya dengan Arthur Schopenhouer yang menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu lebih dahulu berkehendak baru kemudian berfikir6. Di satu sisi seperti halnya Schopenhouer, Nietzsche memandang bahwa kehidupan ini sejatinya amat tragis, menyedihkan, tidak jelas, dan tak memiliki arti, tetapi menuntut banyak dari manusia. Namun, di sisi yang lain Nietzsche juga melayangkan kritik pada Schopenhuer terutama mengenai sikapnya terhadap seni. Bahwa seni bukanlah hanya jenis pelarian bagi manusia —seperti layaknya agama— tetapi justru melalui seni ia melihat ungkapan inti sari dari kehidupan itu sendiri.

       

3

Ibid  4

  A Setya Wibowo, “Gaya Filsafat Nietzsche”, Galang Press Yogyakarta 2004.  5

  Op. cit  6

(3)

Benang merah yang membedakan Nietzsche dengan corak pemikiran Schopehuer adalah keyakinannya dalam seni. Ia tidak mau lari dari kemalangan hidup, bahwa hidup yang tragis dan penuh kemalangan itu tidak boleh dihindari tetapi dengan sepenuh-penuhnya harus dihadapi. Perkenalannya dengan karya-karya Schopenhouer sendiri dengan tanpa sengaja di sebuah toko buku loak sewaktu ia kuliah di Leipzig. Untuk beberapa alasan diatas Nietzsche kagum dengan Richard Wagner dan seolah menemukan teman yang cocok dengan cita-citanya guna mereformasi kebudayaan Eropa, Prusia khususnya menjadi seperti kebudayaan Yunani kuno yang ia agung-agungkan.

2. Kelahiran Adimanusia (Ubermensch) dan Kehendak Untuk Berkuasa (Will to Power)

Hidup bagi Nietzsche adalah sepenuhnya serius. Masa muda yang hangat persahabatan dan penuh warna kegembiraan hanya bersifat temporer. Selebihnya hidup ia habiskan dengan sendiri. Seolah ia ingin bergelut dengan kesendirian, memburu puncak bukit untuk menyetubuhi sunyi adalah kesan yang sering kita tangkap ketika membaca karya-karyanya —terutama dalam bentuk puisi/aforisme— di salah satu aforisme ia katakan bahwa:

“Kiranya aku tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya mahluk yang tertawa, dia satu-satunya yang menderita begitu dalam hingga harus menemukan tawa” (Friedrich Nietzsche, 1844-1900)7

Tersirat tentang pandangan hidup yang murung seolah melukiskan keadaannya yang rapuh. Bukan tanpa alasan karena hidup Nietzsche banyak menderita, semua kawan, sahabat dekatnya satu-persatu meninggalkannya, lantas habis ia dikoyak-koyak oleh sepi. Ini sangat ironis jika mengingat masa muda yang ia lewati begitu akrab dan hangat dengan bumbu persahabatan terutama sewaktu di Universitas Bonn Swiss. Namun, jalan hidup memang sulit diterka, terlebih bagi Nietzsche, Tuhan yang mengatur alur kehidupan sudah dilenyapkan. Sebagai gantinya manusia menjadi Tuhan bagi diri mereka sendiri, “menjadi manusia yang unggul”. Istilah ini yang kemudian begitu popular dalam karya masterpiece-nya “Also Sprach Zarathustra”. Untuk menjadi sempurna, menjadi purnamanusia

(Ubermensch) tidak melibatkan unsur tawa. Karyanya yang disebut sebagai injil kelima ini lebih menyerupai buku karya sastra dibandingkan buku filsafat. Karena begitu banyak muatan puisi atau yang disebut sebagai aforisme.

       

7

  Damshauser, Berthold & Sarjono, Agus R: “Friedrich Nietzsche: Syahwat Keabadian”. Jilid VI Seri

(4)

Dalam Sabda Zarathustra menegaskan bahwa Nietzsche-lah filsuf yang paling intens bergelut dengan tema-tema ketuhanan. Dia menjalani banyak tahapan dalam upaya mengenal Tuhan. Sejak ia masih kanak-kanak yang bakal didaulat menjadi calon rahib sampai dengan memproklamirkan bahwa “Tuhan sudah mati”. Cintanya yang habis-habisan kepada Tuhan segera berubah menjadi kebencian tatkala menghadapi kekecewaan-kekecewaan. Dengan demikian adakah alasan kita katakan Nietzsche sebagai seorang Ateis?.

Dalam Zarathustra dapat diketemukan tema-tema yang menjadi urat nadi dalam filosofi Nieetzsche. Terlepas dari keyakinan ateistisnya, sejatinya Nietzsche berusaha mengembangkan tuntutan terwujudnya Ubermensch (adimanusia yang mampu melampaui manusia zezamannya maupun sesudahnya) yang mampu mencampakkan nilai-nilai usang agama —khususnya agama Nasrani dan agama monoteisme secara umum— serta dengan “Kehendak untuk berkuasa menjadi manusia mandiri yang bebas mencipta, sekaligus menghancurkan, manusia bagaikan dewa. Nietzsche menuduh bahwa kritenitas hanya mencipta manusia dengan moral budak. Sebab yang dating ke tempat-tempat peribadatan hanyalah karena manusia berjiwa lemah. Akhirnya kepercayaan manusia bermoral budak inipun digantungkan pada sesuatu yang metafisik berupa malaikat dan iblis. Seolah-olah hidup mereka selalu setiap harinya dikuasai oleh kekuatan supranatural di luar dirinya. Hanya manusia yang sanggup mandiri dan melabrak semua dogma-dogma lama dan mencipta kode moral yang barulah dapat disebut sebagai Ubermensch.

Nietzsche sendiri mengklasifikasikan moral menjadi dua yakni, moral tuan dan budak. Orang-orang dengan moral budak adalah mereka yang takut menjalani hidup sepenuh-penuhnya, tidak bersedia hidup dalam keadaan nihilistis yang diwarnai oleh kesadaran yang kuat bahwa Tuhan tiada. Tentu saja agama Kristen dengan konsep dosa turunannya dan kebudayaan Eropa secara umum mendapat serangan telak dari tesi-tesinya ini. Sedangkan apabila manusia menginginkan moral tuan (moral sejati) maka berikanlah ruang bagi kehendak akan penguasaan. Yang menjadi pertanyaan lantas berkuasa atas apa?, ruang bagi kehendak berkuasa bagi Nietzsche adalah hidup harus diberi peluang, karena di sanalah kehendak yang penuh gairah akan mampu mengembangkan kemampuannya. Kehendak untuk berkuasa merupakan kehendak untuk mengupayakan kemampuan, dengan demikian manusia akan hidup dari dirinya sendiri, mengusahkan kepenuhannya dan berkata “YA” pada kehidupan atau yang dikenal dengan Amor faty8.

       

8 Amor Faty adalah ungkapan terkenal Nietzsche dalam bahasa latin. Ungkapan ini adalah intisari dari

(5)

Mengikuti alur pemikiran Nietsche butuh kejernihan berfikir, yang menjadi pertanyaan lantas benarkah Nietzsche membunuh Tuhan dan melemparkan jasadnya bagai onggokan sampah tak berharga?. Di mana kemudian jasad-jasad Tuhan yang tidak dimakamkan ini dipunggut serta disembah-sembah oleh kawanan manusia yang ia sebut bermental budak?. Jika dinalar lebih jernih, kalimat yang bagai dinamit dari Nietzsche bahwa “God Is Dead” sejatinya dapat dipergunakan sebagai alat uji atas semua tafsir tentang Allah, Bapa, Krisna, god atau apapun namanya zat yang diagung-agungkan manusia.

Aforisme “God Is Dead” adalah sebuah metode untuk bahwa manusia harus menyadari sebenarnya yang dibunuh bukanlah Tuhan pada dirinya sendiri melainkan pikiran atau tafsir manusia atas Tuhan9. Sedangkan pikiran adalah semata-mata rasio manusia yang serba berada dalam keterbatasan. Bahwa apapun itu pikiran manusia mengenai Tuhan tidak pernah menemukan kata sempurna. Dengan kata lain Nietzsche sesungguhnya telah melaknat Tuhan, yaitu tuhan-tuhan dalam benak setiap orang. Konsepsi atas Tuhan. Pembunuhan Tuhan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, dan bukankan saat orang mangaku tahu semua tentang Tuhan yang justru lebih jauh mengkhawatirkan?.

3. Kritik Kepada Kebudayaan Barat

Nietzsche lebih menyukai ia dikenal sebagai penyair dibandingkan filsuf, jelas ia lebih banyak dituntun oleh intuisinya daripada rasio. Mengabaikan keperluan untuk sistematis sebagaiaman lazimnya seorang filsuf. Di sini Neitzsche sangat dipengaruhi gaya Dionysian10 yang girang abai pada sistematika dibanding appolonian yang rapi, lurus, dan sitematis. Hidup yang sepenuh-penuhnya menjadi acuannya daripada hidup yang terpola dan sistematis. Pada titik jelas sekali sebagaimana sedikit disinggung diatas bahwa Nietzsche menolak model filsafat rasionalisme. Di mana ini juga menjadi sasaran tembak dalam kritiknya yakni bahwa kebudayaan Eropa telah begitu kering akan makna, akan kehidupan itu sendiri karena begitu kuatnya pengaruh filsafat rasionalisme pada sendi-sendi kebudayaan Eropa. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa hal inilah yang akan menghantarkan Eropa menuju kehancuran seperti layaknya tragedi kehancuran pada masyarakat Yunani kuno.

      

keberulangan abadi itu, manusia perlu menjalani dan mencintai hidup detik per detiknya dan tanpa gentar mengatakan “..kembalilah” 

9

   M. Iskak Wijaya “Ia Orang Bijak Dri Jerman” Majalah Basis Edisi Khusus Akhir Abad XX Mengenang 100 tahun matinya Friedrich Nietzsche” Hal 54-55

10

   Dionysos salah satu dewa mitologi Yunani yang terkenal terkenal dalam cerita-cerita tragedy

(6)

Neitzsce seolah ingin menunjukan bahwa filsafat, dan juga masyarakat modern tidak dapat begitu saja dapat mengabaikan hal-hal diluar rasio. Adanya tuntutan dari masa pencerahan, bahwa semua harus terang, jelas, dan teratur, terbukti telah menemui kebuntuan. Hal ini justru menempatkan manusia dalam keseragaman yang membosankan dan jauh dari nilai kemanusiaan dan lebih dekat pada moralitas budak. Sudah waktunya manusia modern untuk kembali sedikit menengok kebelakang untuk memungut apa yang mereka tinggalkan dan kemudia melangkah mantap kedepan untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaannya.

4. Refleksi Dan Kritik Bagi Gagasan-Gagasan Friedrich Nietzsche

Tak bisa dipungkiri bahwa gagasan filsafat Neitzsche telah menggoyang kemapanan pemikiran Eropa. Ia merupakan salah satu filsuf yang menjadi millestone

kematian filsafat rasionalisme dan juga gagasannya menjadi anutan bagi filsuf-filsuf setelahnya, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan para filsuf pengusung panji postmodernisme. Kita tahu bahwa para pemikir kontemporer dari Prancis yang memungkinkan lahirnya posmodernisme, seperti Bataille, Klossowski dan Lacan, pada mulanya merupakan figur yang dekat dengan wacana Surealisme. Dan Surealisme sendiri, sebagai aliran lukisan dan gaya pemikiran yang menentang hegemoni rasionalitas. Bagaimana dengan primasi pada peran perasaan (feeling) yang dipandang lebih lincah ketimbang rasio? Romantisisme dari abad ke-18 sudah mengekplorasinya. Dan jauh sebelumnya, pada permulaan masa Modern.

Posmodernisme, dengan demikian, tidak mengkonstitusikan secara efektif suatu patahan radikal (radical break) dengan modernisme. Ia hanyalah kelanjutan terhadap modernisme. Artinya, ada tendensi posmodernis di dalam jantung modernitas itu sendiri. Ia eksis sebagai tendensi imanen dari modernisme. Apa artinya? Dalam Imanensi dan Transendensi dijelaskan bahwa posmodernisme adalah fenomena kultural.11 Posmodernisme adalah sebuah gejala kultural yang timbul di zaman modern. Ia tumbuh, pertama-tama, sebagai pesimisme terhadap ideal-ideal modernitas sendiri. Dalam arti inilah kita dapat memahami mengapa Nietzsche berbicara tentang “nihilisme pasif” sebagai ekspresi subyektif pertama di era kematian Tuhan—sejauh Nietzsche tidak membedakan ide, atau Idea, dari Tuhan. Pesimisme posmodern ini, walau bagaimanapun, tidak pernah membuktikan kegagalan teoretik ide-ide modernitas. Ia hanyalah simtom atau gejala dari daya-daya yang lemah, yang lebih memilih untuk menyerah pada kefanaan hal-ikhwal ketimbang mencari, di dalam kefanaan itu, suatu inti pejal yang tak lekang oleh waktu—sesuatu yang Plato kenali sebagai Idea. Modernitas, sedari mula, berpegang

       

11

(7)

pada Idea ini: bahwa ada kepastian di tengah gurun nihilitas, bahwa ada kebenaran yang berbeda secara kualitatif dari opini kebanyakan orang, bahwa ada prinsip yang mesti dipegang teguh dalam laku kehidupan.

Lantas bagaimana posmodernisme bisa berakhir pada kesimpulan penumbangan segala “Narasi Besar” ini? Ada sebuah kekeliruan yang sudah terjadi sejak dari sumber posmodernisme, yakni dalam filsafat Nietzsche. Modernisme tumbuh dengan semangat yang khas, yakni sekularisasi. Semangat dasar inilah yang menjadi alasan mengapa dikotomi filsafat x teologi adalah dikotomi modern. Inilah yang termaterialisasikan secara konkret dalam Revolusi Prancis 1789, simbol pembangunan patung Dewi Rasio di atas puing-puing gereja dan pengusiran pater-pater Jesuit dari Eropa.. Terdapat momen penting yakni dalam adegan dramatis pemenggalan raja Charles oleh Oliver Cromwell12.

Di mana rakyat menyaksikan bahwa apa yang tertumpah dari kepala terpenggal Sang Raja tak lain adalah darah manusia biasa, bukan darah figur semi-supranatural, bukan darah sesosok imago Dei13 yang konon ditakdirkan oleh Tuhan untuk memimpin Britania Raya. Modernisme, dengan demikian, telah sedari mula bergerak dalam semangat penolakan atas transendensi dan afirmasi atas imanensi. Modernitas selalu dilandasi oleh Idea imanensi. Dan persis inilah locus kekeliruan Nietzsche. Ia sekan mengulang kembali kesalahan para guru sofisme14 dua millennia yang lalu di zaman Yunani kuno. Ia tidak pernah mampu membedakan Tuhan dari Idea. Baginya, segala yang memberikan pegangan untuk orientasi hidup, entah apapun nama bagi pegangan itu (Idea kesetaraan, emansipasi, militansi), adalah sama saja dengan Tuhan. Oleh karena itu, tatkala Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan dalam Also Sprach Zarathoustra, Idea-Idea Besar ini mesti ikut mati bersama Tuhan. Dan dalam penyamaan antara Tuhan dan Idea inilah posmodernisme berangkat. Jadi, di satu sisi, posmodernisme seolah meneruskan proyek sekularisasi modern namun, di sisi lain, ia ikut membuang pula Narasi atau Idea Besar yang telah mereka persamakan terlebih dahulu dengan Tuhan.

Kita telah sering mendengar tentang bagaimana posmodernisme memisahkan dengan tegas antara partikularitas di atas universalitas, kesementaraan di atas keabadian, kelabilan di atas kestabilan, fragmentasi di atas totalisasi. Begitu juga dengan pengertian bahwa ide tentang totalitas, keabadian dan universalitas itu totaliter dan bahwa apa yang mesti kita upayakan hanyalah afirmasi atas kefanaan,

       

12   Ibid  13

  Konsep Imago Dei adalah merujuk pada suatu mahkluk yang fana dan kekal atau singkatnya

perwujudan Tuhan itu sendiri dalam darah dan daging manusi. 14

(8)

kerapuhan manusia. Pengertian-pengertian macam ini sebetulnya merupakan pengertian yang “alamiah”. Tanpa berpikir berat-berat pun kita tahu bahwa di dunia ini segalanya fana, bahwa kebenaran sejati, kalaupun ada, mestilah di luar dunia ini, dan bahwa kita apa yang kita ketahui hanyalah fragmen partikular saja. Dalam konfigurasi ini, pengetahuan manusia dipandang tidak lebih dari pencerapan inderawi, yakni pengetahuan dasariah tentang hal-hal yang partikular: kopi itu pahit, pagi ini hujan, rokok ini nikmat. Semua ini tidak lebih dari akal sehat (common sense).

Di mana peran filsafat? Peran itu justru terletak pada semangat ilmiah yang berjuang mencari tahu apa itu yang-benar, apa itu yang-universal, dan apa itu Idea yang tetap namun sekaligus menyatukan segala ikhwal yang berbeda. Filsafat eksis sejauh manusia tak mau berhenti pada common sense, pada opini, atau pada takhayul-takhayul sosial tentang mana yang pantas dan tidak pantas, mana yang dosa dan mana yang berpahala. Semangat menolak tunduk pada opini inilah yang telah mendasari sikap filsafat sejak Plato. Adalah jauh lebih mudah mengatakan kita tidak tahu kebenaran ketimbang mengerahkan segala upaya untuk menjawab apa itu kebenaran. Dan jalan yang sulit inilah jalan filsafat. Inilah juga jalan yang, lebih dari dua milenia yang lampau, ditempuh oleh Parmenides ketika ia membedakan jalan pemikiran tentang yang tetap dan tak terubahkan (Ada) dari jalan dugaan tentang yang berubah-ubah (ikhwal sensibel). Parmenides memilih jalan pertama dan inilah momen fondasional dari filsafat: filsafat memilih untuk berpikir tentang yang benar ketimbang berdiam dalam pengenalan inderawi tentang realitas yang senantiasa berubah dan partikular.

(9)

tak lain adalah konservasi15. Menyadari hal ini, pertanyaan sentralnya kemudian pada filsafat zaman kita, adalah: Bagaimana menyudahi posmodernisme? Itu artinya: mengembalikan takhta bagi pemikiran, rasionalitas dan Idea serta dengan cara paling Platonis saya katakana untuk mengusir keluar “Akademia” semua “yang tidak mengerti matematika dan statistik”. Semua yang tidak mengerti “matematika”—itu artinya, bagi kita di zaman sekarang, sejauh filsafat mau tetap eksis, adalah memikirkan ulang proyek modernitas: menegaskan otonomi rasio manusia dalam pertempuran melawan tirani politik dari agama dan modal.

Namun ini memang bukan upaya yang mudah. Jauh lebih mudah mengakui keterbatasan rasio dan mencari ketenangan dan keamanan melalui opini banyak orang untuk lantas takluk pada rezim status quo, ketimbang mendorong rasio untuk mematerialisasikan kebenaran-kebenaran baru yang merombak situasi secara radikal. Dan justru dalam tugas yang nyaris mustahil inilah filsafat menjadi ikhwal yang layak dijalani. Memang kita, sekarang, tidak mengetahui segala sesuatu. Namun harus tetap ada optimisme di sana, daripada membuang begitu saja visi radikal tentang rasionalitas yang otonom, kita, kini, lebih dari kapanpun, memerlukan otonomi pikiran—dan membuktikan bahwa kebebasan, kesetaraan, bukanlah privilese bagi para malaikat dan jurubicara kapitalisme melainkan milik para pemikir otonom yang adalah kita semua, individu dan rakyat itu sendiri.

 

       

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan asam lemak C18:1 dalam rumput alam lebih mudah dibiohidrogenasi tidak sempurna oleh mikroba dalam rumen sehingga terjadi peningkatan konsentrasi

Garis insisi ditandai dengan Gentian violet dan setelah tindakan antiseptik kulit dianestesi, biopsi mulai dari kulit normal sejajar dengan garis kulit, kulit diinsisi

Komunikasi yang didambakan setiap orang adalah komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif merupakan komunikasi yang berdayaguna dan berhasilguna. Komunikasi ini

Dengan nilai OR 12,88 yang artinya ibu yang memberikan makanan tidak beragam lebih berisiko 12,88 kali mempunyai balita dengan pertumbuhan kurang dibandingkan dengan ibu

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Hak Perlindungan Varietas Tanaman 'PVT( adalah hak yang diberikan kepada pemulia dan3atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau

Isu sentral dunia pendidikan saat ini terfokus pada isu pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang mewakili nilai-nilai dan budaya nusantara yang telah diajarkan oleh