JHECDs, I (1), 2015, hal. 20-26
Penelitian
Infeksi kecacingan pada siswa sekolah dasar di desa program dan
non program PAMSIMAS Karang Intan Kabupaten Banjar
Prevalences of worm infection at elementary school students in
village with PAMSIMAS and without PAMSIMAS program Karang
Intan Kabupaten Banjar
Darmiah1*, Sa’dillah1, Syarifudin Ansari1, Yuniarti Suryatinah2
1. Politeknik Kesehatan Kemenkes Banjarmasin Jl. H. Mistar Cokrokusumo No. 1A – Banjarbaru
2. Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Litbang P2B2) Tanah Bumbu. Jl. Loka Litbang Komplek Perkantoran Pemkab Tanah Bumbu, Gunung Tinggi – Batulicin, Kalimantan Selatan
*Korespondensi: darmiah0708@gmail.com DOI : 10.22435/jhecds.v1i1.4804.20-26
Tanggal masuk 28 Agustus 2015, Revisi pertama 08 Oktober 2015, Revisi terakhir 20 November 2015, Diterima 11 Desember 2015, Terbit daring 2 Januari 2016
Abstract. Worm infection in Indonesia is the largest public health problem, after malnutrition. Approximately 12% of total morbidity in children aged 5-14 years infected with worms, this age are the age of schools and the group which are vulnerable to disease transmission. The study aims to determine differences in the incidence of worm infection at elementary school student in the village with PAMSIMAS and without PAMSIMAS program, in the working area of "UPT Puskesmas Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar". The observed population was elementary school students, grades 3 and 4. The sample was all total populasi. Data was analyzed with the Chi-square test. The results showed that in village with PAMSIMAS (10,8%) and without PAMSIMAS program (36,6%) Chi-Square statistic had significant result (Pvalue<0,05, =0,01).In conclusion, there are differences in the incidence of worm infection at elementary school student in the village with PAMSIMAS and without PAMSIMAS program, in the working area of "UPT Puskesmas Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar".
Keywords:Worm infection, elementary school student, PAMSIMAS
Abstrak. Di Indonesia penyakit kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak, setelah malnutrisi. Diperkirakan sebesar 12 % dari kesakitan total pada siswa umur 5 – 14 tahun terinfeksi cacing, umur ini merupakan umur sekolah dan kelompok yang rentan terhadap penularan penyakit. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan infeksi kecacingan pada siswa sekolah dasar (SD) di desa program dan non program PAMSIMAS di wilayah kerja UPT Puskesmas Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Populasi yang diamati adalah siswa SD Kelas 3 dan 4. Sampel penelitian adalah total populasi siswa. Analisis data menggunakan uji statistik Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi kecacingan siswa di SD desa program PAMSIMAS 4 sampel positif (10,8%). Non program PAMSIMAS 11 sampel positif (36,6%).Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh hasil significant (Pvalue<0,05, =0,01). Kesimpulan terdapat perbedaan infeksi kecacingan pada siswa SD di desa program dan non program PAMSIMAS di wilayah kerja UPT Puskesmas Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar.
Pendahuluan
Penyakit kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi yang cukup tinggi terutama di daerah tropis.
Diperkirakan 800 juta – 1 milyar penduduk
mengalami infeksi kecacingan Ascaris Lumbricoides,
700 – 900 juta infeksi Ancilostoma doudenale dan
Necator Americanus dan 500 juta infeksi Trichuris trichura.1.
Di negara berkembang termasuk Indonesia diperkirakan sebesar 12 % dari kesakitan total
siswa umur 5 – 14 tahun terinfeksi cacing, umur
ini merupakan umur sekolah dan kelompok yang
rentan terhadap penularan penyakit..Letak
geografis Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangbiakan
cacing terutama soil transmitted helminthes
(nematoda usus yang ditularkan melalui tanah). Di
Indonesia penyakit kecacingan merupakan
masalah kesehatan masyarakat terbanyak, setelah malnutrisi. Hasil survei Sub Direktorat Diare dan Kecacingan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 di 40 SD pada 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar 2,2%-90,8%. 2Di
Kalimantan Selatan, hasil survei yang dilakukan pada siswa SD Negeri Pasar Jati I kecamatan
Astambul Kabupaten Banjar menunjukan
prevalensi Ascaris lumbricoides sebesar 82%,
Trichuris trichiura 95% dan Ancylostoma duodenale
sebesar 26%.3 Hasil pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2011 pada siswa SD kelas 3 dan 4
ditemukan Ascaris lumbricoides sebesar 30,4%,
Trichuris trichiura21,25%.2
Masalah kesehatan di sekolah sangat kompleks dan bervariasi terkait dengan kesehatan peserta didik yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan perilaku kebersihan perorangan, seperti perilaku cuci tangan sebelum makan dan minum, pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan di sekolah, gosok gigi yang benar, potong kuku
dan lain-lain.4 Program Nasional Pembangunan Air
Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(PAMSIMAS) bertujuan untuk meningkatkan penyediaan layanan air minum dan sanitasi masyarakat terutama dalam menurunkan angka infeksi penyakit diare, penyakit terkait air, penyakit terkait lingkungan seperti kecacingan dan praktek perilaku hidup bersih dan sehat (PAMSIMAS, Program 2010). Di Kabupaten Banjar program PAMSIMAS dilaksanakan mulai tahun 2008 sebanyak 9 desa, tahun 2009 sebanyak 15 desa, tahun 2010 sebanyak 13 desa dan tahun 2011 sebanyak 12 desa, sehingga
jumlah keseluruhan sebanyak 49 desa.5 Desa Bi-ih
merupakan desa program PAMSIMAS tahun 2010 dan dinyatakan desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Pada tahun 2011 desa tersebut telah mendapat sertifikat desa bebas BABS oleh Bupati Banjar. Tempat pelaksanaan penelitian di Desa Bi-ih (Program PAMSIMAS) dan desa Loktangga (desa non program PAMSIMAS).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui
perbedaan infeksi kecacingan pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program dan non program PAMSIMAS wilayah kerja UPT Puskesmas Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar.
Metode
Jenis penelitian bersifat observasional analitik
dengan pendekatan metode Studi Cross Sectional,
analisis data menggunakan uji statistik Chi-square.
Sampel penelitian siswa SD program PAMSIMAS kelas 3 sebanyak 24 orang, kelas 4 sebanyak 13 orang total sampel 37 orang. Siswa SD non program PAMSIMAS kelas 3 sebanyak 13 orang, kelas 4 sebanyak 17 orang total sampel 30 orang.
Sampel diambil menggunakan teknik Proporsional
Stratified Random Sampling, yaitu suatu rancangan
yang dilakukan pada populasi yang
heterogenitasnya diwarnai oleh adanya beberapa kelompok atau kelas (stratum) dengan batas yang jelas antar kelompok,jumlah subyek berbeda
antara stratum yang satu dengan yang
lain.6Metode pemeriksaan tinja yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode sediaan basah dengan kaca penutup.
Hasil
1. Personal hygiene dan infeksi
kecacingan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal hygiene siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dengan kriteria baik 70,3%, tidak baik 29,7%. Sedangkan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS kriteria baik 43,3%, tidak baik 56,7% (Tabel 1).
2. Infeksi kecacingan dan karakteristik
siswa SD
Kejadian infeksi kecacingan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS positif infeksi
cacing Ascaris lumbricoides 8,1%, infeksi cacing
Ascaris lumbricoides dan trichuris trichiura 2,7%.
Kejadian infeksi kecacingan siswa SD kelas 3 dan
4 di desanon program PAMSIMAS 33,3% sampel
positif infeksi cacing Ascaris lumbricoides dan
infeksi cacing Ascaris lumbricoides dan trichuris
Pembahasan
1. Personal hygiene dan infeksi kecacingan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal hygiene siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dengan nilai baik sebanyak 70,3%, nilai tidak baik sebanyak 29,7%, siswa SD di desa non program PAMSIMAS dengan nilai baik sebanyak 43,3%, nilai tidak baik sebanyak 56,7%, personal hygiene siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS lebih baik dari non program
PAMSIMAS. Kebersihan perorangan sangat
berperan dalam memutuskan mata rantai
penularan penyakit kecacingan.7 Peranan personal
hygiene dalam mencegah penularan penyakit adalah sangat besar, kegiatan ini meliputi kebersihan tangan dan kuku, kebiasaan cuci tangan sebelum makan, cuci tangan pakai sabun dan cuci tangan dengan air yang mengalir, dapat
menurunkan penyakit infeksi termasuk kecacingan sebesar 23 % demikian juga halnya dengan
kebiasaan memakai alas kaki.8 Hasil dari analisis uji
statistik menunjukkan bahwa personal hygiene pada kelompok siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dengan kelompok siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS
menunjukkan ada perbedaan/asosiasi yang
bermakna (Pvalue<0,05, =0,048). Personal hygiene
siswa secara keseluruhan memberikan hubungan bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardiana dan Djarismawati hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai Pvalue = 0,000 , maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara personal hygiene siswa dengan infeksi kecacingan dimana siswa yang memiliki personal hygiene yang tidak baik berpeluang
Tabel 1. Personal hygiene dan infeksi kecacingan pada siswa SD
Karakteristik
Frekuensi
PAMSIMAS Non PAMSIMAS
n % n %
Personal Hygiene:
Baik 26 70,3 13 43,3
Tidak baik 11 29,7 17 56,7
Jumlah Mandi Sehari:
2 kali 26 70,3 19 63,3
1 kali 11 29,7 11 36,7
Mandi Menggunakan Sabun:
Ya 37 100 30 100
Tidak 0 0 0 0
Menggunakan Alas Kaki:
Selalu Pakai Alas 27 72,9 21 70
Kadang-kadang 10 27,1 9 30
Cuci Tangan Sebelum Makan dan Minum:
Selalu cuci tangan 35 94,5 30 100
Kadang-kadang 2 5,5 0 0
Cuci Tangan Pakai Sabun:
Selalu Pakai Sabun 17 45,9 13 43,2
Kadang-kadang 20 54,1 17 56,6
Cuci Tangan Dengan Air Mengalir:
Selalu dengan Air mengalir 2 5,4 0 0
Kadang-kadang 35 94,6 30 100
Kebersihan Tangan dan Kuku
Bersih 26 70,2 18 60
Kotor 11 29,8 12 40
Spesies Cacing
Negatif 33 89,2 19 63,4
Ascaris lumbricoides 3 8,1 10 33,3
Asacrais l.+ Trichuris trichiura 1 2,7 1 3,3
Hasil Pemeriksaan Menurut Umur:
8,0 – 8,9 tahun 2 50 6 54,5
9,0 – 9,9 tahun 1 25 5 45,5
≥10 tahun 1 25 0 0
Hasil Pemeriksaan Menurut Jenis Kelamin:
Laki – Laki 3 75 5 45,5
terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang
memiliki personal hygiene yang baik.9
Frekuensi mandi siswa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi mandi siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS yang melakukan mandi 2 kali dalam sehari sebanyak 70,3%, 1 kali mandi dalam sehari sebanyak 29,7%, sedangkan frekuensi mandi siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS yang melakukan mandi 2 kali dalam sehari 63,3%, siswa yang melakukan mandi 1 kali dalam sehari sebanyak 36,7%. Kebiasaan mandi 2 kali atau 1 kali dalam sehari bagi siswa SD kelas 3 dan 4 di desa desa program PAMSIMAS dan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS terhadap infeksi kecacingan tidak ada beda. Hasil analisis data statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kebiasaan mandi 2 kali dalam sehari dan mandi 1 kali dalam sehari pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dan non program
PAMSIMAS dengan nilai Pvalue>0,05 (= 0,73).
Kebiasaan mandi dengan menggunakan sabun
Dalam penelitian ini semua siswa di desa program PAMSIMAS dan non program PAMSIMAS 100% menggunakan sabun untuk mandi. Kebiasan ini sangat mendukung untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan kecacingan ke tubuh manusia. Karena mandi menggunakan sabun dapat menghilangkan kuman-kuman atau bakteri yang menempel pada kulit. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa kebiasaan mandi
menggunakan sabun kelompok siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dengan kelompok siswa SD di desa non program PAMSIMAS menunjukkan ada perbedaan yang
bermakna(Pvalue<0,05 = 0,01). Kebiasaan mandi
dengan menggunakan sabun dapat mendukung keadaan hygiene perorangan yang baik bagi siswa.
Kebersihan perorangan yang baik dapat
memutuskan mata rantai penularan infeksi kecacingan. Faktor hygiene perorangan siswa mempunyai peran yang sangat penting dalam
penularan askariasis.10
Menggunakan alas kaki
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,9 % siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS menggunakan alas kaki, dan kadang-kadang menggunakan alas kaki sebanyak 27,1% sedangkan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS yang menggunakan alas kaki sebanyak 70% dan kadang-kadang mengunakan alas kaki sebanyak 30%. Jumlah yang menggunakan alas kaki pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS non program PAMSIMAS
tidak jauh berbeda. Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna penggunaan alas kaki siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dan non
program PAMSIMAS, Pvalue>0,05 ( =0,50).
Menurut penelitian Fitri dkk, penggunaan alas kaki sangat penting dalam mencegah penularan kecacingan karena dengan alas kaki tidak terjadi kontak langsung dengan tanah yang merupakan
sumber penularan dari kecacingan.11
Cuci tangan sebelum makan dan minum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 94,5% siswa di desa program PAMSIMAS dengan kebiasaan selalu cuci tangan sebelum makan dan minum, sebanyak 5,5% dengan kebiasaan kadang-kadang mencuci tangan sebelum makan dan minum. Siswa di desa non program PAMSIMAS seluruhnya 100% melakukan kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan minum. Cuci tangan sebelum makan/minum sangat penting dalam personal hygiene karena dengan cara ini dapat memutus mata rantai penularan penyakit yang
masuk dari tangan ke mulut.13 Hal ini sejalan
dengan penelitian Nita Rahayu dan Muttaqien
Ramdani, bahwa transmisi Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura dapat terjadi secara langsung karena tertelan larva infektif yang melekat di jari tangan pada waktu anak menghisap jari atau tidak
mencuci tangan sebelum makan.14 Hasil analisis uji
statistik menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan minum pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dengan siswa SD di desa non program PAMSIMAS
menunjukkan ada perbedaan yang
bermakna(Pvalue<0,05, =0,029).
Cuci tangan pakai sabun
memakai sabun sebelum makan dengan kejadian
kecacingan.16 Kebiasaan cuci tangan pakai sabun
dapat memberikan pengaruh terhadap kejadian
kecacingan pada siswa. Telur cacing ascaris
lumbricoides dapat menempel dikulit pada saat siswa bermain di tanah, mencuci tangan dengan menggunakan sabun dapat melarutkan kotoran yang menempel ditangan sehingga terbebas dari
telur infektif dari tanah yang tercemar.15
Penggunaan sabun dalam mencuci tangan berfungsi sebagai anti septik yang dapat membunuh kuman dan penyebab penyakit. Menurut WHO, cuci tangan adalah tindakan paling utama dan menjadi salah satu cara
mencegah terjadinya penularan penyakit.17 Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rawina menyatakan bahwa pemberian informasi cuci tangan disertai dengan peragaan tangan yang benar memberikan efek pada penurunan angka
infeksi kecacingan.16
Cuci tangan dengan air mengalir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS yang cuci tangan selalu dengan air mengalir sebanyak 5,4%, kadang-kadang dengan air mengalir sebanyak 94,6%. Siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS 100% cuci tangan kadang-kadang dengan air mengalir. Tujuan dilakukan cuci tangan dengan air mengalir ini,
dimaksudkan agar sewaktu cuci tangan
kuman/parasit akan larut dibawa air sewaktu cuci tangan, kebiasaan siswa SD program PAMSIMAS dan non program PAMSIMAS mencuci tangan dengan air mengalir ini perlu ditingkatkan, agar personal hygiene siswa tetap terjaga dalam kondisi baik. Walaupun dalam penelitian ini kebiasaan siswa mencuci tangan selalu dengan air mengalir dan kadang-kadang dengan air mengalir tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (Pvalue>0,05, =0,32).
Kebersihan tangan dan kuku
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS sebanyak 70,2% kebersihan tangan dan kuku siswa bersih, dan sebanyak 29,8% kotor. Sedangkan non program PAMSIMAS sebanyak 60% bersih dan 40% kotor. Data Tabel 1 menunjukkan bahwa kebersihan tangan dan kuku siswa SD di desa program PAMSIMAS lebih baik dari non program PAMSIMAS. Walaupun hasil uji
statistik kebersihan tangan dan kuku
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kebersihan tangan dan kuku siswa dengan yang kotor (Pvalue>0,05, =0,49), tetapi kebersihan tangan dan kuku dapat menunjang dalam penularan kecacingan, karena telur/larva yang
infektif ditanah yang tercemar akan menempel ditangan yang kotor dan bersembunyi di kuku yang panjang sehingga masuk ketubuh manusia. Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekat berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya
bakteri dan telur cacing.9
2. Infeksi kecacingan dan karakteristik
siswa SD infeksi kecacingan
Hasil pemeriksaan dari 37 sampel siswa SD di desa program PAMSIMAS sebanyak 89,2%
dinyatakan negatif, dan sebanyak 10,8%
dinyatakan positif. Dari 10,8% yang dinyatakan
positif ini ditemukan prevalensi Ascaris
lumbricoides sebanyak 8,1% dan positif campuran
Ascaris lumbricoides + Trichuris trichiura sebanyak 2,7%. Sedangkan siswa SD di desa non program PAMSIMAS dari 30 sampel yang diperiksa terdapat 63,3% dinyatakan negatif dan 39,9% dinyatakan positif. Dari 39,9% positif ini
ditemukan prevalensi Ascaris lumbricoides
sebanyak 36,6% dan campuran Ascaris
lumbricoides + Trichuris trichiura sebanyak 3,3%.
Hasil uji statistik Chi – Square signifikan
(Pvalue<0,05, =0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara infeksi kecacingan siswa SD di desa program PAMSIMAS dan non program PAMSIMAS di wilayah kerja UPT Puskesmas Karang Intan Kabupaten Banjar.
Umur dan infeksi kecacingan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa SD
kelas 3 dan 4 program PAMSIMAS umur 8,9 – 8,9
kecacingan. Secara epidemiologi puncak
terjadinya infeksi kecacingan pada umur 5 – 10
tahun.17
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Sadjimin, bahwa infeksi cacing perut mencapai
puncak intensitasnya pada umur 5-10 tahun.8 Di
negara berkembang diperkirakan siswa umur 5 –
14 tahun, penyakit cacing merupakan 12 % dari beban kesehatan total karena itu kecacingan merupakan penyumbang tunggal terbesar beban
kesakitan pada kelompok umur tersebut.18 Hasil
analisis uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara umur dengan infeksi kecacingan pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program PAMSIMAS dan non program
Departemen Kesehatan RI siswa umur sekolah merupakan frekwensi terbanyak yang menderita kecacingan yang dapat menyebabkan gangguan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan
seorang siswa.19
Jenis kelamin dan infeksi kecacingan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki siswa SD di desa program PAMSIMAS lebih besar dari pada perempuan yaitu sebesar 75%, perempuan hanya 25%, sedangkan siswa SD di desa non program PAMSIMAS jenis kelamin laki-laki sebesar 45,5% dan perempuan 54,5%. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang bermakna infeksi kecacingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan siswa SD di desa
program PAMSIMAS dan non program
PAMSIMAS (Pvalue>0,05, =0,31). Hal yang sama
juga dinyatakan dalam penelitian Samuel Sandy, bahwa jumlah infeksi askariasis lebih banyak ditemukan pada anak perempuan dibanding
laki-laki namun tidak terdapat perbedaan signifikan.20
Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan perilaku antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kebiasaan bermain anak laki-laki dan perempuan yang menggunakan tanah sebagai tempat bermain mendukung terjadinya infeksi kecacingan pada anak.
Kesimpulan dan Saran
Terdapat perbedaan infeksi kecacingan pada siswa SD kelas 3 dan 4 di desa program dan non program PAMSIMAS di wilayah kerja UPT Puskesmas Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Kejadian infeksi kecacingan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program
PAMSIMAS lebih tinggi daripada infeksi
kecacingan siswa SD di desa program PAMSIMAS.
Analisis data uji statistik Chi-square dengan tingkat
significant (Pvalue<0,05, =0,01) menunjukkan bahwa infeksi kecacingan siswa SD kelas 3 dan 4 di desa non program PAMSIMAS positif 36,6% negatif 63,4%. Sedangkan infeksi kecacingan siswa SD di desa non program PAMSIMAS positif 10,8% dan negatif 89,2%.
Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar program PAMSIMAS terus dilanjutkan dan melengkapi dengan fasilitas sanitasi disekolah.
Kepada pelaksana program meningkatkan
jangkauan pelayanan kesehatan dan
penyebarluasan informasi kepada anak sekolah dan masyarakat serta kepada siswa agar melaksanakan kebiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Ucapan Terima Kasih
Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, yang telah memberikan izin penelitian. Pimpinan Puskesmas Karang Intan beserta jajarannya dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. WHO. Soil transmitted helminthes. Intestinal
Worms 2011; (online),
(http://WWW.who.int/intestinal worm/en), diakses 18 November 2011.
2. Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Laporan Tahunan, Tahun 2011.
3. Tabrani, Prevalensi Cacing Parut pada Siswa SDN Jati 2 Kec. Astambul Kabupaten Banjar, Stikes Cahaya Bangsa Banjarmasin; 2004.
4. Departemen Kesahatan RI, Pedoman Umum Sanitasi dan Hygiene Sekolah,program PAMSIMAS Komponen B. Jakarta; 2010.
5. Ginting Sri Alemina, Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi dengan Infeksi Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kab. Karo Propinsi Sumatera Utara, Medan. 2003, Website http://usu digital library.
6. Notoatmojo, S. Metode Penelitian Kesehatan., Rineka CiptaJakarta. 2002.
7. Aria Gusti, Hubungan Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing Yang Ditularkan melalui Tanah di Nagari Kumanis Kab. Sawahlunto Sijunjung, UGM. Yogyakarta. 2004.
8. Sadjimin, Journal Epidemiologi Indonesia, Volume 4, Edisi I, Jakarta, 2000.
9. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid SD Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7(2):769 – 774.
10. Samuel S, Maxsi I. Analisis model faktor risiko infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides)pada murid SD di Distrik arso Kabupaten Keerom Papua. Jurnal Buski. 2014;5(1):35 – 42.
11. Fitri, J., Saam, Z., Hamidy, MY. Analisis Faktor-faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan. 2012;6(2):146 – 61.
12. Arif, Iqbal M. Risiko Terjadinya Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Pannampu Kec. Tallo Kotamadya Makassar, Airlangga University Library, Surabaya. 2005.
13. Windarrusliana Y.V. Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Murid SDN 02 -04 Bandarharjo Tanjung Mas Semarang Utara. Semarang. 1999. (diakses tanggal 10 Maret 2010) diunduh dari: http://www.fkm.undip.ac.id
15. Rawina W, Mulyati, Hendri A. Upaya Pemberantasan Kecacingan di Sekolah Dasar. Makara Kesehatan. 2012;16(2):65 – 71.
16. WHO. World Health Organization (WHO). Guidelines On Hand Hygiene In Health Care. 2009.
17. Kharis Faridan, Lenie Marlina, Nelly Al Audah. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. Jurnal Buski. 2013;4(3): 121 – 27.
18. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri KesehatanNomor 4264/menkes/SK/VI/2006. Tentang Pedoman Pengendalian Kecacingan. Jakarta. 2006.
19. Departemen KesehatanRepublik Indonesia.Pedoman Usaha Kesehatan Sekolah. Jakarta. 1990.