• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

Oleh

M. Iskandar Putra, Eddy Rifai, Rini Fathonah (Email: iskandarputra308@gmail.com)

Hukum dalam perkara Pemerasan secara terencana yang dilakukan oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi kepada tersangka Hadi Wibowo bin M. Hasan yaitu putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan jaksa namun setelah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, Hakim memutuskan terdakwa Hadi Wibowo bin M. Hasan dijatuhi hukuman penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Dapat dilihat karena hokum bukan hanya menjadi parameter keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban tetapi juga menjamin kepastian hokum. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai perlunya kehati-hatian serta di hindari sedikit mungkin ketidak cermatan, baik bersifat formil maupun materil. Hakim yang cermat dalam merumuskan putusannya akan menghasilkan putusan yang berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum.

Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan, mencari literature-literetur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, serta melakukan wawancara secara lisan terhadap narasumber untuk mendapatkan data pendukung guna penulisan skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa, dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan terhadap pelaku tindak pidana turut serta melakukan pemerasan adalah secara yuridis yaitu terpenuhinya minimal dua alat bukti dalam persidangan dan terdapat hal-hal yang memberatkan terdakwa. Secara sosiologis hakim mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat dan menilai bahwa perbuatan terdakwa bertendensi menganggu dan meresahkan masyarakat, khususnya para pengguna jalan lintas Sumatera. Secara filosofis, hakim mempertimbangkan pemidanaan yang bersifat membina, agar terdakwa dapat memperbaiki kesalahannya, sehingga pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara 10 (sepuluh) bulan. Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan. terhadap pelaku tindak pidana turut serta melakukan pemerasan dipandang telah memenuhi rasa keadilan, baik terhadap terdakwa, korban, maupun masyarakat. Penjatuhan pidana tidak hanya untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya tetapi lebih penting lagi agar terdakwa menyadari perbuatannya tersebut salah, sehingga dengan sadar tidak akan mengulanginya lagi.

Penulis memberikan saran majelis hakim yang menangani tindak pidana turut serta melakukan pemerasan di masa yang akan datang diharapkan untuk mempertimbangkan dalam menjatuhkan putusan, sebab tindak pidana berdampak pada kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Selain itu untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindak pidana serupa di masa yang akan datang.

(2)

ANALYSIS OF THE CRIME OF JUDGE'S DECISION MADE BY BLACKMAIL PERSON GOVERNMENTAL ORGANIZATION (NGO)

(Case Study Decision Number: 50 / Pid. / 2015 / PT.TJK)

By

M. Iskandar Putra, Eddy Rifai, Rini Fathonah (Email: iskandarputra308@gmail.com)

Law in the case of a planned extortion committed by unscrupulous Governmental Organization (NGO) and the sentence imposed by the District Court judge Kotabumi to suspect M. Hasan bin Hadi Wibowo that the judge's ruling is not in accordance with the prosecution, but after an appeal to the High Court tanjungkarang, The judge decided the defendant Hadi Wibowo bin M. Hassan was sentenced to ten (10) months. Can be seen because the law is not only the parameters of justice, order, peace and order but also ensures legal certainty. The judge in making the decision must consider all aspects in it, that started the need for caution and avoided possible slight lack cermatan is both formal and material. Judge careful in formulating its decision will result in a decision that is based on justice and fulfills the legal certainty.

The study was conducted using normative juridical and juridical empirical, that is by studying the literature, looking literetur literature-related research problems, and conduct interviews orally to the speaker to get the data to support this thesis.

Based on the results of the study authors point out that, basic legal consideration of judges in imposing imprisonment for ten (10) months against the offender was involved in the extortion was legally is the fulfillment of a minimum of two items of evidence in the trial, and there are things that incriminate the accused. Sociologically judge to consider the status of the accused as members of NGOs, and considers that the actions of the defendant tendency to disturb and disturbing the public, especially users of Sumatra highway. Philosophically, the judge considered sentencing which is to foster, so that the defendant can fix the error, so that the sentence imposed is imprisonment of ten (10) months. The court ruling that impose imprisonment of ten (10) months. against criminals participated in extortion seen to have sense of fairness, both to the defendant, the victim, and the community. Criminal punishment not only for deterrent effect on perpetrators but more importantly that the defendant realize his actions were wrong, so consciously not do it again.

The authors suggest the judges who handle criminal act was involved in the extortion in the future is expected to consider in decisions, for the crime of an impact on the loss caused by the act of the perpetrator. In addition to provide a deterrent effect to the perpetrators and as an attempt to anticipate in order to avoid similar criminal conduct in the future.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum hal tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat 3, berbunyi negara Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang menegakkan kekuasaan hukum tertinggi untuk menegakkan kebenaan dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan. Maka peranan hukum menjadi sangat penting untuk mengatur hubungan perilaku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin kompleks dan bahkan multi kompleks, akibat perkembangan teknologi dan informasi yang akan mempengaruhi setiap tingkah laku individu-individu yang ada dalam masyarakat, baik dari segi budaya maupun pengetahuannya. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang tentunya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat.

Perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan norma, misalnya melakukan pemerasan dengan kekerasan, meskipun ia tahu bahwa melakukan pemerasan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat tetapi tetap saja kejahatan ini masih banyak ditemukan, apalagi di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sangat multi kompleks. Karena semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin tinggi juga tingkat kriminalitasnya. Karena dalam memperoleh kebutuhan yang

sifatnya primer terkadang seseorang melakukan jalan pintas dengan melakukan perbuatan yang melawan

hukum seperti kejahatan

pengancaman dengan kekerasa Kasus pemerasan dengan kekerasan yang terjadi di jalan raya lintas sumatera, karena merupakan jalan lintas yang berawal dari Banda Aceh, Provinsi Aceh sampai ke Pelabuhan Bakauheni, Provinsi Lampung dengan total panjang jalan 2.508,5 km.

Jalan raya lintas sumatera merupakan bagian keseluruhan Jaringan Jalan Asia rute AH 25. Jalan raya lintas sumatera merupakan jalur darat yang

digunakan sebagai jalur

pendistribusian barang dari pulau sumatera ke pulau jawa, begitu juga sebaliknya.1 Sehingga hal ini

dimanfaatkan oleh oknum

masyarakat untuk mendapatkan uang dengan cara memeras pengguna mobil yang melintas, dengan dalih sebagai uang keamanan. Pemasaran yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang pelaku dengan menyalahgunakan keanggotaan salah satu organisasi kepemudaan terjadi pada tanggal 25 Oktober 2014 di

Kecamatan Abung Tinggi,

Kabupaten Lampung Utara.

Pelaku pemerasan mengaku sebagai anggota organisasi kepemudaan bernama Laskar Bangsa. Pemerasan ini tejadi pada supir truk fuso bernama Amron Lubis Bin Herman Lubis dan Kernet yang bernama Peri Wahyudi Bin Rusli. Korban yang sedang beristirahat di rumah makan didatangi pelaku pemerasan, Hadi Wibowo Bin M. Hasan dan Herman Kodri Bin Samsudin yang meminta

1

(4)

uang sebesar Rp. 10.000-, (sepuluh ribu rupiah) sebagai uang keamanan. Karena korban tidak memberikan uang tersebut, Hadi Wibowo Bin M. Hasan melakukan pengancaman kepada korban Amron Lubis Bin Herman Lubis. Akibat kejadian tersebut korban kehilangan uang sebesar Rp. 6.000.000, yang diambil oleh pelaku Hadi Wibowo Bin M. Hasan. Berdasarkan laporan pihak perusahaan kepada pihak Kepolisian, pada tanggal 26 Oktober 2014, para pelaku berhasil dibekuk dengan salah satu barang bukti berupa uang sebesar Rp. 6.000.000, para tersangka didakwa dengan Pasal 368 KUHP, hal ini terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Kotabumi Nomor: 60/Pid.B/2015/PN.Kbu, terdakwa bernama Hadi Wibowo bin M. Hasan dan pelaku lain dalam berkas terpisah bernama Herman Kodri Bin Samsudin, secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “Turut Serta Melakukan Pemerasan” terhadap

korban sopir truk fuso bernama Amron Lubis bin Herman Lubis dan Kernet yang bernama Peri Wahyudi bin Rusli.

Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana penjara kepada terdakwa Hadi Wiboo bin M. Hasan dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan 10 (sepuluh) hari. Pada tingkat banding, dalam putusan Nomor:

50/Pid/2015/PT.TJK. Hakim

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang memvonis terdakwa Hadi Wibowo bin M. Hasan dengan pindan penjara selama 10 (sepuluh) bulan.2 Isu hukum dalam perkara ini adalah pemerasan secara terencana yang dilakukan oleh oknum Lembaga

2

putusan.mahkamahagung.go.id

Swadaya Masyarakat (LSM), pencemaran nama baik LSM,

concursus dan pidana yang

dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi kepada tersangka Hadi Wibowo bin M. Hasan yaitu pidana penjara selama 8 (delapan) bulan 10 (sepuluh) hari, namun setelah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, Hakim memutuskan terdakwa Hadi Wibowo bin M. Hasan dijatuhi hukuman penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Dapat dilihat perbedaan pada kedua Hakim dalam penganbilan keputusan, antara hakim Pengadilan Negeri Kotabumi dengan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai perlunya kehati-hatian serta di hindari sedikit mungkin ketidak cermatan, baik bersifat formil maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Hakim yang cermat dan hati- hati dalam merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang benar-benar berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum. Hakim dalam membuat putusan harus sesuai dengan keadilan dan harapan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan pandangan negatif masyarakat kepada hakim.

(5)

bahan refrensi lagi bagi kalangan teoritis dan prtaktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan idak dibatalkan oleh Pengadilan atau Mahkamah Agung jika perkara itu sampai naik ketingkat banding atau kasasi. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana. Hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter keadilan, keteraturan, ketentraman, dan ketertiban, tetapi juga menjamin adanya kepastian hukum.

Pada tatran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Lembaga

Swadaya Masyarakat (Studi

Putusan Nomor:

50/Pid./2015/PT.TJK)”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang, maka dapat dikemukakan rumusan permasalah antara lain : 1. Apakah dasar pertimbang Hakim

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat dalam

putusan Nomor:

50/Pid./2015/PT.TJK?

2. Bagaimanakah dasar

pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh

oknum Lembaga Swadaya

Masyarakat dalam putusan Nomor: 50/Pid./2015/PT.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat?

C. Metode Penelitian

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan metode yuridis normatif yaitu metode pendekatan penelitian yang dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji serta menelaah peraturan Perundang-Undangan, asas-asas, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan atau yang kaitannya dengan studi dasar

pertimbangan hakim dalam

(6)

kuisioner atau alat bukti lain yang diperoleh dari narasumber.

II. PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam

hukum pidana. Kata “pidana” pada

umumnya diartikan sebagai

hukuman, sedangakan “pemidanaan”

diartikan sebagai penghukuman.3

Pada hakikatnya hakim adlaah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Tindaka mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asad bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan.4

Putusan pengadilan pada dasarnya memiliki 3 (tiga) macam putusan yang akan dibeirkan kepada terdakwa di akhir persidangan yang dapat berbentuk sebagai berikut :5 a. Putusan bebas (vrijpraak);

b. Putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van allerechtsvervolging);

3

Leden Marpaung,2009, Asas Teori Praktik

Hukum Pidana, sinar Grafika, Jakarta, hlm.2

4

Pasal 1 Ayat (9) KUHAP. 5

Yahya Harahap, Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,

Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta.

Sinar Grafika. 2000. hlm 374

c. Putusan pemidanaan

(veroordeling).

Terdapat dua bagian yang terkandung dalam putusan hakim, yaitu:6

a. Ratio decidenci (fakta-fakta

materil persidangan);

b. Obiter dictum (pertimbangan

hakim yang tidak mengikat pada putusan).

Disparitas pidana Menurut Chaeng Molly, adalah penerapan perkara pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa pembenaran yang jelas.7

Dalam memberikan pidana hakim

selalu berpedoman pada

pertimbangan yang bersifat yuridis dan normatif, adapun yang menjadi pedoman tersebut adalah :8

a. Dakwaan jaksa penuntut umum; b. Keterangan saksi;

c. Keterangan terdakwa; d. Barang bukti;

e. Pasal-pasal dalam undang-undang terkait.

Hakim tidak selalu mengikuti teori-teori tersebut dalam memberikan pertimbangannya pada putusan pengadilan, terdapat faktor-faktor lain yang akan menimbulkan

6

Wahyu Sasongko,2011, Dasar-Dasar Ilmu

Hukum, Bandar Lampung, Universitas

Lampung. hlm.33 7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998,

Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung. hlm.52 8

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,

(7)

disparitas pidana pada putusan hakim, yaitu :9

1. Faktor Subjektif :

a. Sikap perilaku yang apriori; b. Sikap perilaku emosional; c. Sikap arrogance power;

d. Moral.

2. Faktor Objektif :

a. Latar belakang budaya; b. Profesionalisme.

Disparitas putusan dalam hal penjatuhan pidana diperbolehkan menurut Pasal 12 huruf (a) KUHP yang menyatakan pidana penjara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan selama-lamanya seumur hidup.

Berdasarkan hasil uraian diatas maka dapat di analisis, bahwa ada banya faktor terjadinya disparitas tetapi pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan terjadinya disparitas pidana. Masalah ini akan terus berlanjut karena adanya jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal.

Penyebab lain timbulnya disparitas, karena KUHP yang berlaku saat ini tidak memiliki pedoman pemidanaan untuk hakim dalam memberikan putusan pengadilan.

Hal yang menyababkan kedua putusan tersebut mengandung unsur disparitas adalah perbuatan dari terdakwa sendiri, bahwa terdakwa Rachmat Baiduri bin Tejo Kusumo mendapat hukuman lebih ringan dari terdakwa Kadis bin Sarkun dikarenakan Rachmat Baiduri bin Tejo Kusumo memiliki tanggungan

9

Yahya Harahap, 1989, “Putusan Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan

Keadilan”, Fakultas Hukum, Universitas

Airlangga, Surabaya, hlm. 8, dalam Loebby Loqman, Ibid

keluarga dan perbuatannya murni

karena kealpaannya dalam

berkendara, sedangkan pada perkara Kadis bin Sarkun dijatuhi hukuman lebih berat karena terdakwa berniat menghindari polisi karena tidak menggunakan perlengkapan seperti yang seharusnya dalam berkendara, sehingga membuat korban meninggal akibat perbuatannya tersebut.

Bagaimanapun juga disparitas pidana tidak dapat dihilangkan secara mutlak. Diperlukan suatu pedoman bagi hakim untuk menentukan jenis pemidanaan yang tepat, untuk mengedepankan transparansi dan kosnsistensi dalam menjatuhkan pidana. Seperti yang dikatakan oleh Muladi, masalah yang sebenarnya adalah bukan menghilangkan disparitas itu secara mutlak, tetapi disparitas pidana tersebut harus rasional.10

B. Unsur Keadilan Substantif Pidana dalam Perkara Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK

Hakim selain memiliki tugas mempertimbangkan hukum dalam putusan perkara yang dihadapi, juga harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan adanya kepastian hukum oleh karena itu hakim memiliki tugas yang berat. Sebagai manusia hakim tidak selalu memuaskan para pihak dalam setiap putusan pengadilan yang di buatnya, namun dengan berpedoman pada asas-asas hukum yang berlaku serta teori-teori hakim dalam membeirkan pertimbangan hukumnya (asas legalitas), diharapkan hakim dapat berlaku adil dan dapat memberikan

10

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum

(8)

putusan yang seimbang untuk pihak-pihak yang berperkara.

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.

Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil

(hakim dapat menoleransi

pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan).

Keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan ketentuan undang-undang, melalui keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.11

Nilai keadilan substantif yang akan menjadi pertimbangan hakim dalam pertimbangan yuridisnya, sudah terkandung dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal ini telah menyatakan bahwa melalui tindakan hakim yang harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

11

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan

Konstitusionalisme, Sinar Grafika, Jakarta,

2010, hlm.3.

dimasyarakat, merupakan cerminan atau bentuk dari rasa keadilan substantif yang akan menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan nanti.12

Bahwa hal-hal yang membuat kedua putusan diatas mengacu pada keadilan substantif , yaitu :

1) Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim);

2) Hasil pengukuran nilai positif,

maka dianggap memenuhi

keadilan substantif, sebaliknya jika hasil pengukuran nilainya negatif tidak ada keadilan substantif;

3) Majelis hakim sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 183 dan 184 KUHP;

4) Majelis hakim menerpakan hukum pembuktian.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dalam menjatuhkan pidana 10 (sepuluh) bulan penjara terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum

12

(9)

Lembaga Swadaya Masyarakat adalah :

1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan terhadap pelaku tindak pidana

turut serta melakukan

pemeraasan adalah secara yuridis yaitu terpenuhinya minimal dua alat bukti dalam persidangan dan

terdapat hal-hal yang

memberatkan terdakwa. Secara

sosiologis hakim

mempertimbangkan status

terdakwa sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat dan menilai bahwa perbuatan terdakwa bertendensi menganggu dan meresahkan masyarakat, khususnya para pengguna jalan lintas Sumatera. Secara filosofis,

hakim mempertimbangkan

pemidanaan yang bersifat membina, agar terdakwa dapat memperbaiki kesalahannya, sehingga pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara 10 (sepuluh) bulan.

2.

3. Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan terhadap pelaku tindak pidana turut serta melakukan pemerasan dipandang telah memenuhi rasa keadilan, baik terhadap terdakwa, korban, maupun masyarakat. Penjatuhan pidana tidak hanya untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya tetapi lebih penting lagi agar terdakwa menyadari perbuatannya tersebut salah, sehingga dengan sadar tidak akan mengulanginya lagi.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andrisman, Tri. 2007. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Indonesia. Bandar Lampung.

Fakultas Hukum UNILA.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga

Rampai Kebijakan Hukum

Pidana. Bandung. PT. Citra

Aditya Bakti.

- - - -. 2007. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/

Rekonstruksi Sistem Hukum

Pidana Indonesia. Badan

Penerbit Universitas

Diponegoro. Semarang.

Chazawi, Adami. 2010. Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo,

Harahap, Yahya. 2005. Hukum

Acara Perdata : tentang

gugatan. persidangan.

penyitaan. pembuktian. dan

putusan pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Loqman, H. Loebby. 1995.

Percobaan. Penyertaan dan

Gabungan Tindak Pidana.

Jakarta : Universitas

Tarumanegara UPT Penerbitan.

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syariah. Jakarta:

Sinar Grafika.

(10)

- - - -. 2012. Asas- Teori – Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2007.

Hukum Acara Perdata

Indonesia. Yogyakarta : Liberty.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana

dan Pertanggung jawaban

Dalam Hukum Pidana.

Jakarta.Bina Aksara.

- - - -. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.

Hukum dan penelitian hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi. 1992.

Bunga Rampai Hukum Pidana,

Bandung : Alumni.

Nur Rasaid. 1996. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Poernomo, Bambang. 1985.

Asas-Asas Hukum Pidana.

Yogyakarta. Yudhistira.

Prasetyo, Teguh. dan Abdul Halim Barkatullah, 2005Politik Hukum

Pidana (Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan

Dekriminalisasi), Jakarta :

Pustaka Pelajar.

Priyanto, Dwidja. 2009. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama.

Soekanto, Soejono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.

- - - -. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Rajawali Pers.

Soeparmono. 2005. Hukum Acara

Perdata dan Yurisprudensi.

Bandung: Mandar maju.

Soeroso. 1996. Praktik Hukum Acara Perdata. Tata Cara Dan Proses

Persidangan. Jakarta: Sinar

Grafika.

Syahrani, Riduan. 2000. Buku Materi

Dasar Hukum Acara Perdata.

Bandung : Citra Aditya Bakti.

Djamali R. Abdoel ,2012, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta. PT RajaGrafindo Persada

Harkristuti Harkrisnowo, 2003,

Rekonstruksi Konsep

Pemidanaan : Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan

Pemidanaan di Indonesia”,

Jakarta : KHN Newsletter.

Jimily Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta : Sinar Grafika.

Komisi Yudisial RI, 2014,Disparitas

Putusan Hakim:”Identifikasi

dan Implikasi,Jakarta, Sekjen Komisi Yudisial RI.

Leden Marpaung, 2009. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan kebijakan

Pidana,Bandung, Alumni.

Soekanto, Soerjono. 2012.

(11)

Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudarto, 1981, Kapita Selekta

Hukum Pidana, Bandung:

Alumni

Wahyu Sasongko,2011,Dasar-Dasar

Ilmu Hukum, Bandar Lampung ,

Universitas Lampung.

Yahya Harahap, 1989, “putusan

pengadilan Sbegai Upaya

Penegakkan Keadilan”, Fakultas Hukum, Surabaya, Universitas Airlangga.

Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,

dan Peninjauan Kembali.

Jakarta. Sinar Grafika.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No 73 Tahun 1958 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Referensi

Dokumen terkait

Padahal, dalam konteks sebagai produk pemikiran manusia yang lahir dalam ruang historis, status pemikiran-pemikiran Islam (baik di bidang fiqih, kalam, tasawuf) adalah

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

Whereas duty ethics would urge such an agent to follow moral principles when she is in doubt as to what to do in a given situation, virtue ethics suggests that agents are guided

‘I have matter here that will vindicate John the moment it is seen by the right people, and make Ned Kelley a wanted man.’.. Jane

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran berbasis praktikum dengan pendekatan inkuiri dan di kelas kontrol dengan menggunakan

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi