• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAITAN ANTARA KEJADIAN MENOPAUSE DENGAN PEMAKAIAN KB DMPA (DEPOMEDROXY PROGESTERONE ACETATE) JANGKA PANJANG TERHADAP PENURUNAN LUBRIKASI VAGINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KAITAN ANTARA KEJADIAN MENOPAUSE DENGAN PEMAKAIAN KB DMPA (DEPOMEDROXY PROGESTERONE ACETATE) JANGKA PANJANG TERHADAP PENURUNAN LUBRIKASI VAGINA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMAKAIAN KB DMPA (DEPOMEDROXY PROGESTERONE

ACETATE) JANGKA PANJANG TERHADAP PENURUNAN

LUBRIKASI VAGINA

Luh Ari Arini

Jurusan DIII Kebidanan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha

Email: arikarini.91@gmail.com

Abstract : The association between menopausal occurrence and long-term use of DMPA contraception to decrease vaginal lubrication. General purpose of this article is to examine the relationbetween incidences of menopause with long term of using DMPA contraception to decrease vaginal lubrication. The method in this research is literature study or review from the results of previous research. The result of this study showed that menopausal and long-term DMPA users experienced have hormonal disturbances in the body, beginning with a decrease in organ function is ovarium and directly affecting the working system of the HPG/ hypothalamus-pituitary-gonad axis, which eventually generates to estrogen deficiency. The impact of this process is decreased in sexual function mainly characterized by decreased vaginal lubrication.

Abstrak: Kaitan antara kejadian menopause dengan pemakaian KB DMPA jangka panjang terhadap penurunan lubrikasi vagina. Tujuan umum untuk mengetahui kaitan antara kejadian menopause dengan pemakaian KB DMPA jangka panjang terhadap penurunan lubrikasi vagina. Metode yang digunakan yakni studi literatur atau dari telaah hasil-hasil penelitian terdahulu. Hasil telaah menunjukan bahwa kejadian menopause dan pengguna KB DMPA jangka panjang mempunyai pengaruh yang sama, yaitu menyebabkan gangguan keseimbangan hormonal dalam tubuh, baik diawali dengan penurunan fungsi organ seperti ovarium maupun langsung mempengaruhi sistem kerja dari poros HPG/hipotalamus-pituitary-gonad, lama-kelamaan menimbulkan defisiensi estrogen sehingga pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi seksual terutama ditandai dengan penurunan lubrikasi vagina.

(2)

2 Fungsi seksual pada wanita berhubungan erat dengan kesehatan reproduksi wanita tersebut, jika seorang individu mengalami gangguan pada fungsi seksualnya maka fungsi reproduksi juga pasti terganggu. Fungsi seksual merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam kehidupan perkawinan. Berfungsi secara optimal atau tidaknya hubungan seksual dalam perkawinan dapat mempengaruhi fungsi-fungsi lain yang kemudian dapat mempengaruhi pula kualitas hidup pasangan suami-istri (Elvira, 2006). Wanita yang mengalami penurunan bahkan gangguan pada fungsi seksual yang disebut juga dengan disfungsi seksual, maka akan menyebabkan pola aktivitas seksualnya bersama pasangan terganggu.

Disfungsi seksual sendiri merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi dan vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005). Disfungsi seksual juga merupakan penurunan libido atau hasrat seksual baik pada pria maupun wanita.Faktor risiko terpenting kejadian disfungsi seksual adalah vagina kering, yang terjadi karena tidak adanya lubrikasi vagina sehingga aktivitas seksual dapat terganggu, bahkan menyebabkan hilangnya minat atau dorongan seksual, tanpa cairan ini peristiwa senggama menjadi tidak nyaman bahkan terasa sangat menyakitkan.

Cairan lubrikasi vagina merupakan cairan yang berguna dalam proses penetrasi penis ke dalam vagina, yaitu berfungsi untuk membasahi dinding vagina. Cairan ini dihasilkan oleh wanita saat mulai mengalami rangsangan seksual, dikatakan juga sebagai pelumas saat berhubungan seksual.

Cairan lubrikasi akan menurun bahkan menghilang ketika wanita tersebut mengalami penurunan hormon estrogen.Beberapa gejala yang ditemukan karena kadar estrogen yang rendah antara

lain: nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia)akibat berkurangnya lubrikasi vagina, peningkatan resiko infeksi saluran kencing akibat menipisnya dinding uretra, menstruasi tidak teratur, perubahan mood, nyeri payudara, susah berkonsentrasi, kelelahan dan osteoporosis (Stevanni, 2017). Mendukung pernyataan tersebut, Levitra (2003) dalam Pangkahila (2006), mengatakan gangguan fisik yang dapat menimbulkan disfungsi seksualyaitu, penyakit diabetes mellitus, gangguan neurologis, gangguan hormonal, menurunnya hormon estrogen seperti yang terjadi saat menopause, obat-obatan dan kontrasepsi hormonal serta alkohol.

Masa menopause merupakan masa berhentinya periode menstruasi selama 12 bulan akibat tidak aktifnya folikelsel telur di ovarium, oleh karena organ tersebut mengalami penurunan maupun hilangnya fungsi dalam memproduksi dan mensekresikan hormon-hormonnya seperti estrogen dan progesteron. Berhentinya produksi estrogen mengakibatkan perubahan pada organ genitalia seperti lubrikasi dan vasokongesti, yang mendorong menurunnya fungsi seksual sehingga menimbulkan kejadian disfungsi seksual.Terbukti dari banyak wanita menopause yang melaporkan berkurangnya dorongan seksual saat memasuki masa menopause (McKhann, 2010).

(3)

3 hubungan seksual dan mempengaruhi kualitas kehidupan seksual mereka (Sturdee & Panay, 2010). Menopause menyebabkan penipisan mukosa vagina, dispareunia, penurunan lubrikasi vagina dan keluhan-keluhan subyektif (Cuningham et al., 2010).

Penelitian menunjukkan bahwa keluhan pada wanita menopause yang berkaitan dengan atropi genital yaitu dispareunia (40%), gatal genitalia (40,8%) dan hilangnya libido (51%) (Prastiwi et al., 2016). Penelitian oleh Cabral (2014), ditemukan dari 370 wanita usia 40-65 tahun didapatkan 67% mengalami disfungsi seksual. Menurut Jaafarpour (2013), sekitar 75,7% wanita usia 40-50 tahun mengalami disfungsi seksual dinilai menggunakan kuisioner FSFI. Hasil Penelitian Wahyuni dan Rahayu (2016), didapatkan data sebagian besar wanita menopause mengalami disfungsi seksual yaitu sebesar 82,4% atau sebanyak 28 orang responden.

Penelitian yang menggunakan hewan coba telah dibuktikan oleh Irmayanti (2016), pada tikus betina yang post ovariektomi (pengangkatan ovarium) mengakibatkan penurunan drastis dari hormon estrogen, hal tersebut menyebabkan integritas struktural vagina seperti: ketebalan dinding epitelium vagina, luas area muskularis dan jumlah vaskular vagina yang berkurang.Penelitian pada tingkat gen juga membuktikan bahwa jumlah ekspresi mRNA (messanger ribonucleid acid) reseptor estrogen di vagina menurun secara signifikan pasca tikus betina diovariektomi (Armayanti, 2016). Jadi jika dianalogikan pada wanita menopause, dapat dipastikan bahwawanita yang mengalami penurunan bahkan hilangnya fungsi ovarium, oleh karena faktor penuaan menyebabkan terjadinya defisiensi estrogen dan akan berdampak terhadap penurunan fungsi seksualnya, yang ditunjukan oleh perubahan struktur vagina.

Gangguan hormonal juga terjadi pada wanita yang menjadi pengguna KB/kontrasepsi DMPA. DMPA merupakan jenis kontrasepsi pada wanita yang hanya mengandung hormon progesteron yang diberikan secara intramuskular dengan dosis 150mg/ml. Pemberian hormon progesteron secara eksternalakan langsung beredar melalui darah kemudian mempengaruhi keseimbangan hormon dan mengganggu siklus hormonal alami tubuh, sehingga sekresi hormon estrogen yang berguna untuk proses lubrikasi vagina akan terhambat. Pemberian progesterone eksternal,akan menyebabkan proses

feedbackke otak (hipotalamus dan hipofise), untuk mensekresikan FSH

(follicle stimulating hormone) kembali tidakdapat berlangsung melainkan sebaliknya menyebabkan hipofise menunda pengeluaran FSH, maupun LH

(Luteinizing hormone) oleh karena masih adanya hormon progesteron ini, dan akhirnya siklus hormonal pada wanita normal terganggu yang ditandai dengan siklus haid berikutnya tidak terjadi.

Oleh karena itu, penggunaKB hormonal dapat mengalami gangguan haid dan penurunan libido. Penurunan fungsi seksual pada pengguna KB DMPA jangka panjang terutama pemakaian lebih dari dua tahun, timbul karena faktor perubahan hormonal yang mengarah ke kondisi pengeringan pada vagina, sehingga menyebabkan nyeri saat bersanggama dan akhirnyamenurunkan gairah seksual (Saifuddin, 2006).

(4)

4 58,04%, artinya lebih dari separuh kaum wanita dalam suatu negara berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Hasil wawancara singkat yang dilakukan oleh penulis dikota Singaraja Bali, pada 10 orang pengguna KB DMPA dan 10 orang wanita menopause. Sebagian besar pengguna KB DMPA (>2 th) dan wanita menopause, mengalami masalah dalam aktivitas seksual terutama masalah pada lubrikasi vagina, karena mereka mengeluhkan vaginanya terasa kering dan beberapa merasakan nyeri saat berhubungan seksual.

Wanita yang terangsang secara seksual, mengalami proses transudasi maksimal yakni darah dalam dinding rahim akan mengalir lebih banyak ke organ-organ panggul sehingga menyebabkan cairan atau lendir vagina keluarlebih banyak. Jika terjadi masalah pada fungsi seksual maka proses lubrikasi vagina tersebut juga tidak akan terjadi, yang akhirnya mempengaruhi pola aktivitas seksual seorang wanita. Oleh karena itu disfungsi seksual pada wanita tidak bisa dipandang remeh, karena menyangkut kualitas hidup lebih dari separuh populasi wanita (Walwiener et al., 2010).

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengangkat masalahini dan selanjutnya menganalisis terkait dengan, hubungan antara peristiwa menopause dan penggunaan KB DMPA jangka panjangpada wanita terhadap menurunnya lubrikasi vagina, yang dapat mempengaruhi kehidupan seksualnya bersama pasangan.Oleh karena diperkirakan ada kesamaan dalam penurunan hormon khususnya estrogen pada kedua kasus tersebut, dan selanjutnya menimbulkan penurunan pada fungsi seksual.

Studi literatur

Pengertian penurunan fungsi seksual

Penurunan fungsi seksual yaitu berkurangnya kemampuan untuk menjalankan aktivitas seksual, yang

ditandai dengan menurunnya keinginan atau minat dalam melakukan hubungan seksual oleh karena keadaan yang bersifat fisik seperti masalah hormonal, menderita suatu penyakit tertentu, kelainan sistem reproduksi maupun masalah psikis seperti stres, cemas maupun depresi, sehingga menyebabkan tidak berfungsinya secara opitimal kemampuan dalam segi seksualitas seseorang.

Penurunan fungsi seksual dikatakan juga sebagaidisfungsi seksual yang menunjukan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Respon seksual manusia yakni: fase rangsangan (excitement phase), fase datar

(plateau), orgasme dan resolusi, sehingga adanya gangguan atau hambatan pada setiap fase diatas maka dapat menyebabkan disfungsi seksual (Heffner et al., 2008).

Macam-macam disfungsi seksual

Berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual VersionIV, disfungsi seksual dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan gairah seksual

(arousal disorder), gangguan mencapai orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri senggama (sexual pain disorder) (American Phychiatric Assocation; Rosen, 2000).

Skala yang digunakan dalam pengukuran disfungsi seksual yakni skor

(5)

5 menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik (Walwiener et al., 2010).

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berdasarkan studi literatur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kaitan antara kejadian menopause dengan pengguna KB DMPA jangka panjang,dengan waktu penggunaan selama 2 tahun atau lebih, terhadap menurunnya lubrikasi vagina pada wanita melalui telaah literatur/pustaka. Literatur yang dipergunakan dalam pembahasan ini dikumpulkan melalui sumber sekunder (internet dan jurnal ilmiah). Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian dianalisis secara deskriptif pada isi artikelterkait dengan penurunan fungsi seksual pada wanita menopause dan wanita pengguna KB DMPA.Berdasarkan penelitian oleh para pakar sebelumnyaterkait dengan permasalahan yang penulis angkat ini, seperti yang dilakukanoleh: Cabral (2014), Jaafarpour (2013), Imronah (2011), Saputra (2013), Hurrahmi (2016), Batlajery et al (2015), Rifiana & Rahmawati (2015), Wahyuni & Rahayu (2016), Hartatik (2017), Royhanaty & Gitanurani (2016), Prastiwiet al (2017), Irmayanti (2016), Armayanti(2016). Dari hasil analisis tersebut selanjutnya ditarik kesimpulan mengenai keterkaitan peristiwa penurunan fungsi seksual dalam bentuk penurunan lubrikasi pada vagina antara wanita menopause dan pengguna KB DMPA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian penurunan fungsi seksual oleh karena menopause

Berdasarkan penelitian oleh Rifiana dan Rahmawati (2015)menunjukan dari 84 responden sebagian besar yaitu sebanyak 51 orang (60,7%) mengalami penurunan seksual pada masa menopause.Studi selanjutnya oleh Wahyuni dan Rahayu tahun 2016 di Jawa Tengah, diketahui dari

34 responden didapatkan data sebagian besar perempuan menopause mengalami disfungsi seksual yaitu sebesar 82,4% atau 28 orang responden.

Penelitian oleh Hurrahmi tahun 2016 di RSUD Dr Sutomo Surabaya, didapatkan prevalensi disfungsi seksual dari 37 responden wanita menopause yaitu sebesar 78,4%. Angka disfungsi seksual khususnya pada domain lubrikasi vagina diketahui sebanyak 27 orang (73%) mengalami gangguan lubrikasi dan dispareunia sebanyak 26 orang (70,3%). Dapat disimpulkan bahwa prevalensi disfungsi seksual wanita menopause yang tinggi dipengaruhi oleh gangguan pada masing-masing domain seksual terutama lubrikasi dan dispareunia.

Penurunan fungsi seksual oleh karena penggunaan KB hormonal (DMPA) jangka panjang

Berdasarkan penelitian oleh Saputra tahun 2013 di Puskesmas Bandar Lampung, dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian didapatkan bahwa prevalensi disfungsi seksual pada akseptor/pengguna kontrasepsi hormonal yakni 68,18% (75 orang). Angka disfungsi seksual tersebut didapat menggunakan total skor FSFI, pada domain lubrikasi vagina didapat prevalensi sebesar 62,73% dan dispareunia sebesar 58,18%. Berdasarkan hal tersebut menunjukan adanya masalah pada lubrikasi vagina yang dapat menyebabkan hambatan dalam fungsi seksual. Penelitian oleh Hartatik tahun 2017 di klinik Pratama Yogyakarta, didapatkan dari 25 akseptorKB DMPA dengan lama pemakaian > 2 tahun, sebanyak 24 akseptor (82,8%) mengalami disfungsi seksual.

(6)

6 DMPA dengan tingkat fungsi seksual, artinya semakin lama pemakaian DMPA akan semakin menurunkan tingkatfungsi seksual.

Pemakaian DMPA yang lama mengakibatkan terjadi penumpukan progesteron di dalam tubuh. Progesteron yang berlebihan akan mengakibatkan hormon testosteron wanita tidak akan terbentuk, sehingga kadar estrogen menurundan akhirnya mengakibatkan gairah seksual wanita menurun. Salah satu jenis penurunan fungsi seksual yang penting dalam aktivitas seksual, juga tertera dalam kuisioner FSFI yakni gangguan pada proses lubrikasi vagina.

Lubrikasi vagina berasal dari cairan sekresi vagina yang digunakan sebagai lubrikasi saat hubungan seksual. Cairan ini terdiri dari transudat, sel epitel yang terkelupas dan bakteri, juga cairan serviks, endometrium dan tuba fallopii (Bahar et al., 2010). Bagi wanita lubrikasi merupakan cairan yang penting saat senggama, yang menandakan bahwa vagina telah siap untuk penetrasi penis, sehingga mencegah iritasi dan nyeri. Lubrikasi terjadi secara alami saat terjadi rangsangan seksual. Jumlah pelumas alami yang dibutuhkan vagina dapat optimal selama kadar hormon estrogen cukup.

Estrogen juga berfungsi menjaga lapisan vagina tetap elastis, tebal dan sehat, namun pada masa menopause produksi hormon estrogen mulai berkurang dan secara bertahap berhenti. Hal ini terjadi pada lebih dari 50% perempuan berusia 51-60 tahun. Menurunnya kadar hormon estrogen menyebabkan atrofi vagina, yaitu kondisi vagina menjadi lebih tipis dan kurang elastis. Selain itu, jumlah pelumas alami yang tersedia ikut menurun sehingga membuat vagina kering (Moudy, 2016). Sejalan dengan proses penuaan yang pasti dialami oleh setiap wanita, terjadi pula kemunduran fungsi organ-organ tubuh termasuk salah satunya organ reproduksi wanita yaitu ovarium. Terganggunya

fungsi ovarium menyebabkan berkurangnya produksi hormon estrogen, dan ini akan menimbulkan beberapa penurunan atau gangguan pada aspek fisik-biologis-seksual seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi(2017) tentang pengaruh penggunaan lubrikan terhadap peningkatan fungsi seksual pada wanita menopause. Pengamatan tersebut dilakukan pada 12 wanita menopause, diketahui 11 orang kesulitan mendapatkan lubrikasi saat melakukan hubungan seksual (Prastiwi et al., 2017).Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa saat wanita mengalami menopause, terjadi penipisan lapisan epitel vaginasehingga vagina menjadi atrofi, dan terjadi gangguan dalam pengeluaran cairan lubrikasi secara alami yaitu pengeluarannya menjadi lambat dan lama atau bahkan tidak keluar (Sturdee & Panay, 2010). Setelah penggunaan lubrikan terjadi perubahan pada aspek fungsi seksual, yaitu 11 wanita menopause tersebut mengalami peningkatan kepuasan seksual dan 12 wanita mengatakan nyeri saat melakukan hubungan seksual berkurang (Prastiwi et al., 2017).Jadi terbukti bahwa penggunaan cairan lubrikan berguna sebagai pelumas untuk melakukan aktivitas seksual, serta dapat meningkatkan fungsi seksual wanita menopause. Oleh sebab itu cairan lubrikasi ini sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seksual seseorang untuk mencapai kesejahteraan dalam hubungan intim bersama pasangannya.

(7)

7 menurun, pertahanan alami ini pun menurun. Pada akhirnya membuat lapisan vagina menjadi kurang elastis, rapuh, tipis dan meningkatnya resiko infeksi pada saluran kemih.

Mekanisme estrogen mempengaruhi vagina adalah melalui efek langsungnya pada target sel di vagina, dimediasi oleh reseptor estrogen yang terdapat di sel epitelium, sel endotelial, dan sel otot polos genetalia. Reseptor estrogen dalam jumlah banyak ditemukan pada daerah vagina, vulva, vestibulum, labia, dan uretra yang mengindikasikan bahwa genetalia tersebut memerlukan estrogen untuk pemeliharaan fungsi dan strukturnya. Penurunan kadar estrogen akan menyebabkan jaringan genetalia tersebut menjadi rentan mengalami atrofi (Goldstein et al., 2013).

Jaringan epitelium, vaskular, muskular, dan jaringan ikat vagina yang mengalami atrofi menyebabkan vagina menjadi pucat, dan hilangnya lipatan (rugae) yang biasanya ditemukan pada vagina yang terpapar estrogen. Hal yang sama juga terjadi pada klitoris yang merupakan daerah yang sangat sensitif terhadap sentuhan, sehingga wanita tidak dapat merasakan rangsangan seksual, hal itu menyebabkan lubrikasi menjadi terhambat. Atrofi pada lamina propia pembuluh darah akan mengurangi aliran darah ke jaringan, yang berdampak pada dinding vagina, sehingga menyebabkan kekeringan vagina, rasa iritasi, dispareunia, dan perubahan flora normal vagina oleh karena penurunan lubrikasi vagina.

Penipisan lapisan jaringan epitel juga akan meningkatkan kerapuhan dan penurunan elastisitas jaringan vagina. Ketika aktivitas seksual terjadi saat kondisi defisiensi estrogen, maka vagina akan menjadi memendek dan menyempit, terlebih lagi terjadi penurunan lubrikasi dan elastisitas akan menyebabkan aktivitas seksual menjadi menyakitkan, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan (Freedman, 2002; Kovalevsky, 2004; Gordon, 2007). Oleh karena itu atrofi

vagina yang terjadi karena penurunan kadar estrogen berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi seksual.

Proses berjalannya siklus hormonal pada wanita awal mulanya dikontrol melalui poros hipotalamus di otak, hipotalamus akan merangsang hipofise (kelenjar pituitary) untuk menghasilkan hormon gonadotropin dalam bentuk FSHdan LH, yang akan merangsang ovarium untuk menghasilkan hormonnya kembali yakni estrogen dan progesteron.Estrogen dan progesteron berfungsi untuk memelihara dinding endometrium, untuk proses menstruasi dan integritas struktural vagina. Saat menopause terjadi penurunan dari dua hormon yang disekresikan oleh ovarium, disebabkan karena organ tersebut mengalami penurunan fungsi oleh karena pertambahan usia. Jadi walaupun FSH dan LH tetap diproduksi oleh kelenjar namun tetap tidak dapat mempengaruhi organ ovarium yang telah menurun efekivitasnya tersebut, sehingga hormon estrogen tetap tidak dapat disekresikan. Sama halnya pada pengguna obata-obatan yang mengandung hormonal seperti kontrasepsi hormonal, dimana hormon diberikan secara eksternal (dari luar) pada wanita,

akan menghambat poros

HPG/hipotalamus-pituitary-gonad

(ovarium) untuk menjalankan siklus reproduksinya.

(8)

8 menyebabkan lubrikasi vagina yang inadekuat serta penurunan intensitas dan frekuensi kontraksi uterus dan vagina selama orgasme. Rendahnya aktivitas seksual akan memperberat atrofi vagina, dispareunia, dan memicu keengganan, kecemasan, dan penurunan gairah seksual (Goldstein & Alexander, 2005; Irmayanti, 2016). Oleh sebab itu keadaan vagina yang kering dan dispareunia sering menyebabkan keengganan untuk melakukan hubungan seksual, karena takut merasakan nyeri saat hubungan seksual.

Vagina kering merupakan tanda dari atrofi vagina, yakni penipisan dan peradangan pada dinding vagina akibat defisiensi estrogen, yang merupakan salah satu gejala yang dirasakan oleh wanita menopause seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Selama fase menopause, gangguan seksual makin banyak dilaporkan. Prevalensi gangguan ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia. Gejala mengarah ke penurunan fungsi seksual termasuk penurunan libido, lubrikasi vagina, dispareunia dan vaginismus. Proses menopause mempunyai dampak yang signifikan terhadap respon seksual seorang wanita (Bahar et al., 2010).

Proses menopause merupakan peristiwa berhentinya siklus haid atau siklus reproduksi wanita secara fisiologis, yang berkaitan dengan tingkat lanjut usia wanita yang terjadi pada usia 40-50 tahun. Ketika memasuki usia 40 tahun, wanita mulai mengalami siklus haid tanpa ovulasi. Kondisi ini berkaitan erat dengan menurunnya fungsi ovarium (indung telur) dalam memproduksi folikel de graft, karena pada masa itu hanya beberapa folikel primordial yang tersisa dan dirangsang oleh FSH dan LH, serta produksi estrogen dari ovarium akan berkurang sewaktu jumlah folikel primordial mencapai nol.(Proverawati, 2010).

Penurunan fungsi indung telur dimulai dari ketidakmampuan sel granulose untuk

menghasilkan inhibin yang mengakibatkan peningkatan kadar folikel mencapai 20-30 IU/ml, dengan kadar estrogen normal. Setelah fase ini terdapat suatu fase dengan kadar estrogen yang fluktatif dan ditandai dengan adanya siklus haid yang mulai tidak teratur. Ketika ovarium tidak lagi produktif, folikel de graft tidak dapat berkembang maka rangsangan untuk produksi hormon estrogen dan progesteron menurun (Nirmala, 2003). Haid yang mulanya tidak teratur lambat laun menjadi terhenti, akibat dari endometrium yang kehilangan rangsangan oleh hormon estrogenkarena kadar estrogen diketahui turun mencapai 10-20 pg/ml (Prawirohardjo, 2008).

Ketika produksi estrogen turun di bawah nilai kritis, estrogen tidak lagi menghambat produksi gonadotropin. Sebaliknya, gonadotropin terutama FSH diproduksi sesudah menopause dalam jumlah besar dan kontinu, tetapi ketika folikel primordial yang tersisa menjadi atretik, produksi estrogen oleh ovarium turun secara nyata menjadi nol (Guyton, 2014).

Penurunan ini menyebabkan berkurangnya reaksi umpan balik negative terhadap hipotalamus, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produksi gonadotropin sehingga membuat pola hormonal wanita klimakterium menjadi hipergonadotropin, hipogonadisme. Dengan menurunnya kadar estrogen di dalamtubuh maka fungsi fisiologis hormon tersebut akan menjadi terganggu. Perubahanfisiologik sindroma kekurangan estrogen akan menampilkan gambaran klinisberupa gangguan neurovegetatif, gangguan psikis, gangguan somatik, dangangguan siklus haid (Baziad, 2008).

(9)

9 melakukan hubungan seksual dan penurunan durasi dalam berhubungan seksual. Berbagai keluhan ketidaknyamanan tersebut menyebabkan adanya ketidakpuasan setelah berhubungan seksual, dan penurunan frekuensi hubungan seksual oleh karena adanya penurunan gairah dalam melakukan hubungan seksual (Palupi, 2010).

Masalah tersebut ternyata juga terjadi pada penggunaan kontrasepsi hormonal yang berkaitan dengan gangguan keseimbangan hormonal dalam tubuh. Pada pemakaian hormon estrogen dan progesteron sintetis, misalnya etinilestradiol akan memberikan efek-efek tertentu bagi tubuh. Efektivitas hormon ovarium terhadap fungsi gonadotropik dan hipofisis yang menonjol yakni, hormon estrogen yang menghambat sekresi FSH dan progesteron menghambat sekresi LH. Sehingga jelas bila sekresi FSH dan LH dihambat maka akan terjdi ketidaksimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh (Hartanto, 2009). Depomedroksi progesteron asetat merupakan salah satu regimen kontrasepsi progestin yang sering digunakan dan bekerja jangka panjang. DMPA merupakan analog sintetik dari hormon progesteron steroid alami yang dapat menekan sekresi gonadotropin hipofisis yang menghambat produksi FSH dan LH, sehingga digunakan sebagai kontrasepsi hormonal pada wanita. DMPA aktif bekerja secara biologis dan farmakologis setelah pemberian melalui oral dan parenteral. Secara umum, DMPA berpengaruh terhadap jaringan atau organ sistem reproduksi beserta fungsinya

(Commitee for Veterinary Medical Products. Medroxyprogesterone acetate; yunardi et al., 2008).

Penggunaan estrogen dan progestin secara terus menerus menimbulkan penghambatan sekresi GnRH dan gonadotropin, sedemikian rupa hingga tidak terjadi perkembangan folikel dan tidak terjadi ovulasi. Progestin akan

menyebabkan bertambah kentalnya mukus serviks sehingga penetrasi sperma terhambat, terjadi gangguan keseimbangan hormonal dan hambatan progesteron menyebabkan hambatan gangguan pergerakan tuba. Penggunaan KB DMPA jangka panjang dapat menimbulkan kekeringan pada vagina, menurunkan libido, gangguan emosi dan jerawat (Saifudin, 2010).

Peristiwa hormonal yang terjadi pada pengguna kontrasepsi hormonal dapat mempengaruhi efek umpan balik positif estrogen dan umpan balik negative progesteron. Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan akan menimbulkan umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH, dan dengan keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda (Moudy, 2016). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Varney (2007), terkait mekanisme kerja KB hormonal yaitu dengan cara menghambat sekresi hormon pemicu folikel serta dengan menghambat lonjakan LH. Penelitian Batlajery et al

(2015), membuktikan bahwa suntikan DMPA, memiliki efek utama yaitu mencegah ovulasi dengan kadar progestin yang tinggi akan menghambat lonjakan LH secara aktif. Hal ini lambat laun akan menyebabkan gangguan fungsi seksual berupa penurunan libido dan potensi seksual lainnya.

Estrogen dan progesteron yang diberikan secara eksternal dalam waktu yang lama akan menghambat gonadotropin dan hipotalamus untuk menghasilkan hormon-hormon secara alami, tidak bisa merangsang ovarium untuk menghasilkan hormonnya kembali, sehingga proses terhambat dan tidak dapat berjalan atau dengan kata lain mekanisme feedback

(10)

10 tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal, namun dalam jangka waktu lama menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama estrogen (Zettira dan Nisa, 2015).Bukti penelitian yang mendukung teori tersebut yakni oleh Hassan (2014) bahwa kejadian disfungsi seksual terjadi seiring dengan lama penggunaan kontrasepsi hormonal. Pada 6 bulan pertama 53,6% akseptor mengalami disfungsi seksual, 1 tahunnya meningkat menjadi 70,8%, 2 tahunnya meningkat menjadi 73,9% dan penggunaan 3 tahun meningkat 77,8% (Hassan etal., 2014).

Hasil penelitian lain yang sama disampaikan oleh Batlajery (2015) dari studi yang dilakukan di puskesmas Palmerah, terjadi disfungsi seksual pada akseptor KB hormonal lebih tinggi (32,7%) dibandingkan dengan akseptor KB non hormonal (29,1%). Hal berbeda disampaikan oleh Tekin (2014), bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal mempunyai skor FSFI lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan, namun pada dimensi nyeri saat senggama pengguna kontrasepsi hormonal mempunyai skor yang lebih tinggi dari kelompok yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, hal ini disebabkan karena berkurangnya lubrikasi saat senggama (Tekin et al., 2014). Hal tersebut menunjukan walaupun didapat skor FSFI tidak terganggu, tapi lubrikasi vagina mengalami gangguan terbukti dari nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual.

Penelitian oleh Irmayanti(2016), penggunaan kontrasepsi DMPA jangka panjang menimbulkan keadaan hipoestrogenisme yang menyebabkan terjadinya disfungsi seksual. Hasil penelitiannya menunjukan peningkatan angka kejadian disfungsi seksual seiring dengan lamanya menggunakan DMPA. Dari data didapatkan bahwa prevalensi

disfungsi seksual pada akseptor KB DMPA 2 th (44,44%) dan 4 th (55,56%). Penelitian berikutnya oleh Rahmalia (2017), dari 38 responden didapatkan sebagian besar yakni 26 orang (68,4%) mengalami disfungsi seksual, yang mana sebanyak 20 orang (76,9%) diantaranya menggunakan KB DMPA jangka panjang. Efek dari progesteron sintetik adalah mengurangi sekret, peningkatan viskositas dan menurunkan spinbarkeit. Sedangkan manfaat estrogen sendiri membantu adanya sekresi pada organ reproduksi, sehingga hipoestrogen yang terjadi pada tubuh wanita dapat menurunkan libido, nyeri saat berhubungan seksual serta penurunan densitas tulang (Baziad, 2008). Penurunan libido akibat efek hipoestrogenik dari KB DMPA dapat menurunkan frekuensi hubungan seksual seseorang dan menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan seksual seseorang oleh karena gairah seksual menurun. Hal tersebut membuktikan bahwa, sebagian besar akseptor DMPA jangka panjang mengeluh mengalami penurunan fungsi seksual. Hal ini diakibatkan pemakaian KB DMPA dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan kadar estrogen, dan mempengaruhi metabolisme hormon dalam tubuh serta efek samping yang dirasakanbisa semakin banyak.

DMPA memberikan dampak terhadap rendahnya estradiol serum seiring lamanya pemakaian, sejalan pada pernyataan oleh Manuaba (2008) bahwa penggunaan yang lebih dari 2 tahun dapat menimbulkan kekeringan pada vagina, menurunkan libido, gangguan emosi, sakit kepala dan jerawat. Winkjosastro (2009), juga mengatakan bahwa DMPA mengandung progesteron yang efek kerjanya adalah antiestrogenik, sehingga penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan defisiensi estrogen sebagian.

(11)

11 Sistem saraf pusat tersebut memainkan peran penting dalam meregulasi sistem hormonal maupun metabolisme tubuh pada pria dan wanita khususnya yang berperan dalam fungsi seksualnya. Penyimpangan dari regulasi sistem saraf pusat akan mengahasilkan disfungsi seksual. Oleh karena itu terapi farmakologi yang dapat diberikan terutama berfokus pada mekanime kerja dari sistem saraf pusat yang ada di otak, sehingga secara aman dan efektif dapat menolong wanita yang mengalami kesulitan karena masalah kesehatan seksual tersebut (Goldstein, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada menopause terjadi penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan gangguan pada mekanisme kerja dari sistem saraf pusat, sama halnya pada pengggunaan KB DMPA jangka panjang yang lama-kelamaan juga akan menggangu mekanisme dari sistem saraf pusat dalam meregulasi hormon dalam tubuh.

Jadi berdasarkan penelitian-penelitian para pakar yang telah dibahas sebelumnya dapat dianalisis antara kejadian menopause dengan penggunaan KB DMPA jangka panjang, yakni terjadi penurunan hormon estrogen yang merupakan hormon wanita yang terpenting dan berguna dalam pemeliharaan struktur maupun jaringan vagina untuk aktivitas seksual (peristiwa senggama) dan sebagai media wanita untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Mekanisme penurunan hormon estrogen memang berbeda antarawanita yang telah menopause dan wanita usia subur yang memakai KB DMPA ini. Pada wanita yang telah menopause penurunan estrogen disebabkan oleh menurunnya atau hilangnya fungsi dari organ ovarium untuk menghasilkan estrogen, sedangkan pada wanita pengguna KB DMPA jangka panjang estrogen menurun karena adanya efek penghambatan oleh progesteron terhadap siklus hormonal dalam tubuh yang akhirnya mempengaruhi produksi estrogen oleh ovarium, oleh karena

penambahan hormon progesteron ini secara eksternal atau dengan kata lain progesteron sebagai inhibitor bagi estrogen alami dari tubuh.

SIMPULAN

Peristiwa menopause dengan penggunaan KB DMPA jangka panjang pada wanita, memiliki hubungan yang erat yakni menyebabkan penurunan fungsi seksual, yang terjadi oleh karena gangguan keseimbangan hormon alami dalam tubuh. Salah satu domain dalam FSFI yang terganggu yakni lubrikasi vagina, sehingga penurunan lubrikasi vagina merupakan bagian dari penurunan fungsi seksual yang disebabkan oleh karena keadaan defisiensihormon estrogen. Jadi pada akhirnya wanita menopause dan wanita pengguna KB DMPA akan menimbulkan rasa sakit ketika berhubungan seksual karena tidak adanya pelumas atau cairan lubrikasi vagina.

DAFTAR RUJUKAN

Armayanti, L.Y. (2016). Pemberian Kombinasi Estrogen Progesteron dan Testosteron Meningkatkan Ekspresi Messenger Ribonucleaic Acid (mRNA) Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen pada Vagina Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Dewasa yang Diovarektomi.

Journal Intisari Sains Medis; 7 (1): 71-75.

Bahar,E. (2010). Jurnal kedokteran & kesehatan. Palembang: FK Universitas Sriwijaya.

Batlajery, J. Hamidah. Mardiana. (2015). Penggunaan metode kontrasepsi suntikan DMPA berhubungan dengan disfungsi seksual wanita padaakseptor KB suntik. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, 2(2). 49-56

Baziad, A. (2008). Endokrinologi Ginekologi. Jakarta: Media Aesculapius.

(12)

12 Giraldo, P.C. Goncalves, A.K. (2014). Physical Activity And Sexual Function In Middle-Aged Women. Rev Assoc Med Bras; 60 (1): 47-52.

Chandra, L.(2005). Gangguan Fungsi Atau Perilaku Seksual Dan Penanggulangannya. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.

Cuningham, G. F. Levono,K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y. (2010). Williams Obstetrics 23rd ed. USA: The McGraw-Hill Company.

Deborah, G. (2006). Management of Menopausal Symptoms. N Engl Journal Med; 355:2338-2347. Elvira,D. (2006). Disfungsi Seksual Pada

Perempuan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Goldstein, I. (2007). Female Sexual Dysfunction and The Central Nervous System. Journal Sexual Medicine: Pubmed. PMID: 17958616.

Goldstein, I. Dicks. B. Kim. N. Hartzell. R. (2013). Multidiciplinary Overview of Vaginal Atrophy and Associated Genitourinary Symptoms in Postmenopausal Women. USA: Journal of Sexual Medicine. P. 1 – 10.

Gordon, J.D. 2007. Obstetrics, Gynecology & Infertility: Handbook For Clinicians Ed-6th. Scrub Hill Press, Inc.

Guyton, A.C. Hall, J.E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12.

Jakarta: EGC.

Hartanto, H. (2009). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta.: Pustaka Sinar Harapan.

Hartatik.(2017). Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Suntik Dmpa Dengan Kejadian Disfungsi Seksual Di Klinik Pratama Bina Sehat Kabupaten Bantul.Naskah Publikasi. Prodi Bidan Pendidik Diploma IV Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta.

Hassan, R.S. Eraky, E.M. Khatwa, aMa. Ghonemy,G.I. (2014). Studi The Effect Of Hormonal Contraceptive Method On Female Sexual Function. Med Journal Cairo Univ. 83(1): 115-20.

Heffner, L.J. Schust, D.J. (2008). At A Glance, Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC pp.54-55. Hurrahmi, M. (2016). Gambaran Fungsi

Seksual Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Pada Wanita Pasca Menopause RSUD Dr Soetomo Surabaya. (Tesis).

Universitas Airlangga. URL: http://lib.unair.ac.id.Diunduh pada tanggal 10 April 2018.

Imronah. (2011). Hubungan Pemakaian Kontrasepsi Suntik DMPA Dengan Disfungsi Seksual Pada Wanita di Puskesmas Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung (Tesis). STIKES MITRA Lampung. hal. 40.

Irmayanti, P.C. (2016). Pemberian Kombinasi Estrogen, Progesteron, dan Testosteron Lebih Meningkatkan Integritas Struktural Vagina Dibandingkan dengan Kombinasi Estrogen dan Progesteron pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dewasa Post Ovarektomi.Journal Intisari Sains Medis; 7 (1): 81-86.

Jafaarpour, M. Khanf, A. Khajavikhan, J. Suhrabi, Z. (2013). Female Sexual Dysfunction: Prevalence And Risk Factors. Journal Of Clinical And Diagnostic Research, 7: 2877-2880.

Manuaba, C. (2008). Gawat Darurat Obstetric-Gynekologi & Obstetric & Gynekologi Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.

(13)

13 Melba, R.A. Utami, S. Rahmalia,S. (2017).

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntikan 3 Bulan Terhadap Disfungsi Seksual.

Artikel. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. Moudy, E.U. (2016). KB Suntik DMPA

Dan Fungsi Seksual Akseptor KB. URL:http://moudyamo.

wordpress.com. Diunduh pada tanggal 19 April 2018

Nirmala. (2003). Hidup Sehat Dengan Menopause. Jakarta: Buku Populer Nirmala.p. 12 – 36.

Pangkahila,W. (2006). Seks Yang Membahagiakan: Menciptakan Keharmonisan Suami Istri. Jakarta: Kompas.

Prastiwi, E.N. Niman, S. Susilowati, Y.A. (2017). Pengaruh Penggunaan Lubrikan Terhadap Peningkatan Fungsi Seksual Pada Wanita Menopause Di RW 01 Desa Pakuhaji Kecamatan Ngamprah

Bandung. Ejournal

StikesBorromeus. Di unduh pada tanggal 15 April 2018.

Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Proverawati. (2010). Menopause Dan

Syndrome Premenopause. Yogyakarta: Nuha Medika.

Puspita, P. (2010). Pengalaman Seksualitas Perempuan Menopause Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. (Tesis). Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok. Rifiana, A.J. Rahmawati, D. (2015).

Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Penurunan Seksual Pada Ibu Menopause Di Puskesmas Menes Kabupaten Pandeglang Banten. Journal UNAS Repository. Farmakologi, 6 (1). PP. 24-46. Issn 2086-8871.

Rosen, C. Brown, J. Heiman, S. Leiblum, C. Meston. R, Shabsigh. D,

Ferguson.D’agostino, J.R. (2000).

The Female Sexual Function Index (FSFI): A Multidimensional Self-Repor t Ins trument for the As ses sment of Female Sex ual Function.

Journal of Sex & Marital Therapy, 26:191–208.

Royhanaty, I. Gitanurani, A.(2016). Penurunan Tingkat Fungsi Seksual Sebagai Salah Satu Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Dmpa Jangka Panjang. Artikel. Prodi Kebidanan, STIKES Karya Husada Semarang.

Saifuddin, A.B. (2006). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono .

Saifuddin, A.B. (2010). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Edisi 2. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saputra. (2013). Perbandingan Angka Kejadian Disfungai Seksual Menurut Skoring FSFI pada Akseptor IUD dan Hormonal Di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. Jurnal Fakultas Kedokteran Lampung, 1(2). Stevanni, P. (2017). Ciri-ciri Hormon

Estrogen Terlalu Rendah Pada Wanita.

URL:http://hellosehat.com>tips-sehat. Diunduh pada tanggal 19 April 2018.

Sturdee. Panay. (2010). Rekomendasi Penanganan Atrofi Vagina Perempuan Postmenopause.

Journal Internasional menopause society. Diunduh pada tanggal 14 April 2018.

(14)

14 Turkey. J Turk Soc Obstet Gynecol. 3: 153-8.

Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 1. Jakarta : EGC.

Wahyuni, S.Rahayu, T. (2016). Fungsi Sexual Perempuan Pada Masa Menopause Di Wilayah Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Artikel. Departemen Maternitas, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Walwiener, M. Walwiener, L. Seeger, H. Mueck, A. Zipfel, S. Bitzer, J. Walwiener, C. (2010). Effect of Sex Hormones in Oral Contraceptives on the Female Sexual Function Score :A Study in German Female Medical Student. In Contraception (Ed) New York, Springerverlag. pp: 26.

Wiknjosastro,H. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Winkjosastro. H. (2009). Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Yunardi.Asmida,Y.Suryandari,

D.A.Moeloek, N.Wahjoedi, B. (2008). Penentuan Dosis Minimal DMPA Dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi, Viabilitas Spermatozoa, Dan Kadar Hormon Testosteron Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley.Maj Kedok Indon; 58(6); 192-199.

Referensi

Dokumen terkait

HALAMAN PERSEMBAHAN………... Latar Belakang masalah………. Perilaku Agresif Orangtua terhadap Anak..………... Pengertian Perilaku Agresif Orangtua ………..…... Bentuk

IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberkan setelah selesai IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang

Bagi anak usia 5-6 tahun bermain sambil belajar berhitung tidak mudah, namun para orangtua dan guru hendaknya tetap berusaha memberikan yang terbaik

Seperti yang kita lihat pada gambar, jika nilai lembab udara naik, maka rambt-rambut akan memanjang, sehingga D mandapat kesempatan untuk menarik tangkai C ke kiri, dengan akibat roda

Sejalan dengan hal tersebut diatas, Peraturan DKPP No.2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Pasal 1 angka 5 menyebutkan “Teradu dan/atau

Hasil pengujian outer model yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hubungan antara variabel wirausaha tidak memiliki pengaruh terhadap variabel produk makanan halal

Dengan demikian hipotesis kedua menyatakan bahwa Size secara parsial mempunyai pegaruh positif signifikan terhadap Net Interest Margin (NIM) pada Bank Buku 1

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, karena skripsi dengan judul "Analisis Pengaruh Profesionalisme, Kompetensi, Etika Profesi,