• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma - Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma - Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma

Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu

berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan

deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara

simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton

mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian

adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata

yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran.

Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.

Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat

menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan

suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu

yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma,

kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya,

bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.

Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk

memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada

pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif

memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu.

(2)

objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial.

Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial

adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan

sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut

sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan

bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks

interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini

dengan model ilmu pengetahuan alam.

Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku

manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat,

paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour

dan holistik.

Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang

sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi

peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam

sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja.

Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam

menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris),

bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini

dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.

Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena

secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi

holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari

ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu

penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.

Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara

(3)

a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa

saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka

ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik

perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari

kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan

bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada

makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam

studi ilmu sosial.

b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan

dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah

laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau

situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada

analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari

banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif.

Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian,

situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi

yang perkasa.

c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti

kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru

adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis

kerja.

d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini

akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku,

suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.

e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih

memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang

diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling

(4)

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya

sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang

meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui

berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa

mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas

konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio

memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif

membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget

dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah

penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan

konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran

dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan

dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))

Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang

menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu

realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa

positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan

harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara

ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk

konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan

spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas

yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang

sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas

dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara

pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil

perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).

Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan

dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui

identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh

melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang

(5)

merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik

mengenai hal-hal tertentu.

Tabel 1.1

TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan

Post-seperti ilmu alam, yaitu

metode terorganisir untuk

mengkombinasikan

‘deductive logic’ melalui pengamatan empiris, agar

atas “socially meaningfull action” melalui pengamatan langsung terhadap aktor

sosial dalam setting yang

alamiah, agar dapat

memahami dan menafsirkan

bagaimana aktor sosial

mencipta dan memelihara

dunia sosial.

Mentakrifkan ilmu sosial

sebagai proses kritis

mengungkap ‘the real

structure’ di balik ilusi dan kebutuhan palsu yang

Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori

Ekonomi Politik Liberal construction of reality Peter L. Berger).

(Sumber: Salim, 2006: 72)

Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai

(6)

sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku”

berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial”

manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau

alasan-alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan

kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah

tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior).

Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan

alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan

interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan

(Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi

Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba

memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu

(atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba

untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”.

Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat

memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif

insider.

Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi

tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus

pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman

atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan

tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian

fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada

penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas

dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).

Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi

tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk

pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti

(7)

keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering

digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir

tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui

bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan

pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai

prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).

Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi

transedental dari Husserl:

a. Epoche

Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak

memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari

prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan

pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain,

epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang

kita miliki sebelumnya.

Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama

ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method).

Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika

mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk

melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.

Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru

terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan,

kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam

dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri

dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini

adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek

yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya

sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh

segala hal yang ada dalam diri kita.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi,

pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam

(8)

menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya,

epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara

pandang yang radikal.

b. Reduksi Fenomenologi

Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari

pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah

menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya

dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,

pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan

makna dari pengalaman.

Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami

sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi

tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu

fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk

melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

c. Variasi Imajinasi

Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin

dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan,

serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi

yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari

sebuah pengalaman.

Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan

untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir

imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat

sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat

fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni

adalah inti dari variasi imajinatif.

Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala

(9)

makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun

murni imajinatif.

d. Sintetis Makna dan Esensi

Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah

integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu

pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku

universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah

terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan

mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif

dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2Uraian Teoritis 2.2.1 Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi

suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya

seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan

disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi

merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara

intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).

Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan

fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan

mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,

fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana

(10)

Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode

berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan

penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti

yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak

itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena

yang tampak itu.

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena

dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena

tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari

pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep

penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman

kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun

makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas

yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013:

2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi

Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode

berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan

penampakannya.

Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali

dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,

khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin

Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre

memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.

Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia

makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).

Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad

(11)

tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan

yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich

Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah

fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan

fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund

Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai

“kesengajaan”.

Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang

saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan

muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat

apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang

memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk

mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan

di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul

dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh

melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah.

Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk

mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan

pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat

menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).

Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk

menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak

kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil

sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran

tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada

abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.

Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan

logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang

tipe-tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran

Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya

mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk

(12)

pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan

terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat

hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan

makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya

memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di

balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).

Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang

tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran

sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan

manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.

Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks,

karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri.

Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu

alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada

akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini

Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang

kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan

mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan

ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran

bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih

berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman

manusia dan realitas.

Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari

fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita,

cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita.

Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena

yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya

secara langsung).

Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran,

(13)

sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.

Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan

dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur

kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan

menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali berbeda dengan “penampakannya” , karena sudah ada penambahan makna

padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam

analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari

pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).

Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui

pendekatan fenomenologi:

1. Kesadaran temporal

2. Ruang kesadaran (persepsi)

3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau

hal umum yang ada di sekelilingnya)

4. Kesadaran dari seseorang

5. Pengalaman sadar seseorang

6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau

bertindak)

7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain

8. Tujuan dan kesengajaan dari tindakan

9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan

kolektivitas).

10.Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi).

11.Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya

tertentu.

Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar

belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman.

Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya,

bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang

(14)

Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada

kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut.

Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman

subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut.

Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang menggarisbawahi kajiannya pada neural subtrate dari sebuah pengalaman. Yaitu bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan

dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang

sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak

asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno,

2013: 23).

Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada

mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat

diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur

pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan

kondisi-kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada

latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur

kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman

terhubung langsung dengan objek.

Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka

kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama,

metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa,

seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya.

Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar.

Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman

sadar kita.

Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika

pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang

dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias

kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita

(15)

ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat

dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita

sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan

“kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi

fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan,

ketimbang pengalaman yang dengan cepat/mudah dilupakan (Kuswarno, 2013:

24).

Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja

memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan

positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah

pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian.

Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda

antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh

Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari

pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).

2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan

menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang

melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini

sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial

dan bahasa).

3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih

lanjut.

Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah

disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:

4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar

kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan

(misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).

(16)

6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman.

Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang

elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam

otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman.

Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa

pengalaman sadar itu terletak dalam aktivitas syaraf yang akan

menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi

ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis

Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma

penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan

sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi

metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif

(Kuswarno, 2013: 36):

(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.

(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian

yang membentuk keseluruhan itu.

(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari

pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari

ukuran-ukuran dari realitas.

(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama,

melalui wawancara formal dan nonformal.

(5) Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk

memahami perilaku manusia.

(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan

komitmen pribadi dari peneliti.

(7) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun

(17)

Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri

penelitian fenomenologi berikut ini:

(1) Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya

(esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini

sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari,

(2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati

entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat

pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.

(3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,

dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui

pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide,

konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.

(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan

atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat

dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat

penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan

fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah

dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat

fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran

dengan yang terlihat oleh panca indra.

(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung

berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan

demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan

fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah

satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.

(6) Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan

sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya.

Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi

subjek dan subjek menjadi objek.

(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas

(18)

(8) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi dan

penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.

(9) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat

hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana kata yang terpilih

adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan

makna yang utama pula.

Dengan demikian, fenomenologi sangat relevan menggunakan

penelitian kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam

mengungkapkan realitas.

2.2.5 Teori Interaksi Simbolik

Paham mengenai interaksi simbolik (symbolic interactionism) adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun

teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini

mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling

membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu

(Morissan, 2013: 110).

Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer

sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih

dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh

Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi

tidak terlalu dalam sebagaimana yang diajukan G.H.Mead. Karakteristik dasar

teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam

masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi

antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan

(Wirawan, 2012: 109).

Realitas sosial merupakan rangkaian sosial yang terjadi pada beberapa

individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar-individu itu

berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh,

antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh yang semuanya itu

(19)

disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif. Selain itu teori ini ternyata sangat

dipengaruhi oleh ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga

didasarkan pada persoalan konsep diri.

Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan

studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada

keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi

simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena

ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual

menjadi penting di dalam interaksi simbolik (Wirawan, 2012: 114).

Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu

lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya

menjawab pertanyaan siapakah Anda sebagai manusia? Manford Kuhn

menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Menurutnya, rasa diri

seseorang merupakan jantung komunikasi. Diri merupakan hal yang penting

dalam interaksi. Misalnya seorang anak bersosialisasi melalui interaksi dengan

orang tua, saudara dan masyarakat sekitarnya. Orang memahami dan berhubungan

dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial (Morissan, 2013:111).

Suatu objek dapat berupa aspek tertentu dari realitas individu apakah itu

suatu benda, kualitas, peristiwa, situasi atau keadaan. Satu-satunya syarat agar

sesuatu menjadi objek adalah dengan cara memberikannya nama dan

menunjukkannya secara simbolis. Dengan demikian suatu objek memiliki nilai

sosial sehingga merupakan objek sosial (social object). Menurut pandangan ini, realitas adalah totalitas dari objek sosial dari seorang individu. Bagi Khun,

penamaan objek adalah penting guna menyampaikan makna suatu objek.

Menurut Khun, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya

sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain, kita berbicara

dengan diri kita sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan di antara

benda-benda dan orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana

bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu menciptakan apa yang

disebut Kuhn “suatu rencana tindakan” (a plan of action) yang dipandu dengan sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap mana

(20)

kuliah harus terlebih dahulu membuat rencana tindakan yang dipandu oleh

seperangkat-seperangkat nilai-nilai (sikap) positif dan negatif terhadap kuliah.

Jika nilai positif lebih kuat maka ia akan melanjutkan kuliah, namun jika

nilai-nilai negatif yang lebih dominan maka ia tidak akan melanjutkan kuliah

(Morissan, 2013: 111-112).

Menurut pandangan interaksi simbolik, makna suatu objek sosial serta

sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama

lain. Makna muncul melalui interaksi manusia satu dengan yang lain.

Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah

orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti

orang tua atau saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru,

konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya

memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat

membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita

terus memiliki sense of self.

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi

simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang

menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial

manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak

terpisah, tidak linier dan tidak terduga; (4) perilaku manusia itu berlaku berdasar

penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan

tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep mental

manusia berkembang; (6) perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif

(Wirawan, 2012: 114).

Menurut Blumer, pokok pikiran interaksi simbolik ada tiga: (1) bahwa

manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning); (2) makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya; (3) makna itu

diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Intinya,

Blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut

tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkan

(21)

mendapat rangsangan dari luar. Seseorang itu semestinya melakukan penilaian

dan pertimbangan terlebih dahulu; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses

yang ia sebut dengan definisi atau penafsiran situasi. Definisi situasi ada dua

macam yaitu: (1) definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu; (2)

definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (Wirawan, 2012: 115-116).

Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang

mengatur interaksi antarmanusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku

manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh

David A. Karp dan W.C. Yoels dalam bukunya Symbols, Selves, and Society:

Understanding Interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang; (2) aturan mengenai waktu; (3) aturan mengeni gerak dan sikap tubuh. Hall dan Hall (1971)

mengemukakan bahwa komunikasi non verbal atau bahasa tubuh, yang

menurutnya ada sebelum bahasa lisan, merupakan bentuk komunikasi yang

pertama yang dipelajari manusia. Karp dan Yoels menyebutkan faktor-faktor yang

memengaruhi interaksi, yaitu: (1) ciri yang dibawa sejak lahir, misalnya jenis

kelamin, usia dan ras; (2) penampilan; (3) bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh

pakaian; dan (4) apa yang diucapkan oleh aktor (pelaku) (Wirawan, 2012: 116).

2.2.6 Teori Konstruksi Sosial Diri

Teori konstruksi sosial diri realitas merupakan ide atau prinsip utama

dalam tradisi sosiokultural. Ide menyatakan bahwa dunia sosial kita tercipta

karena adanya interaksi antara manusia. Cara bagaimana kita berkomunikasi

sepanjang waktu mewujudkan pengertian kita mengenai pengalaman, termasuk

ide kita mengenai diri kita sebagai manusia dan sebagai komunikator. Dengan

demikian, setiap orang pada dasarnya memiliki teorinya masing-masing mengenal

kehidupan. Teori itu menjadi model bagi manusia untuk memahami pengalaman

hidupnya. Teori berkembang dan diperbaiki terus-menerus sepanjang waktu

kehidupan manusia melalui berbagai interaksi (Morissan, 2013: 113-114).

Di antara para ahli sosial kontemporer yang membuat banyak asumsi

mengenai konstruksi sosial adalah Rom Harre. Ia mengakui bahwa manusia

memiliki aspek individual dan sosial dan seperti pengalaman lainnya, diri manusia

(22)

dirinya dengan menggunakan ide atau teori mengenai manusia (personhood) dan teori mengenai diri (selfhood).

Menurut Harre, manusia adalah makhluk yang terlihat atau diketahui

secara publik serta memiliki sejumlah atribut dan sifat yang terbentuk di dalam

kelompok budaya dan sosial. Misalnya masyarakat berkebudayaan barat (Eropa

dan Amerika) pada umumnya memandang manusia sebagai makhluk otonom

yang membuat pilihannya sendiri untuk mencapai tujuannya. Adapun diri adalah

ide atau pandangan pribadi yang bersangkutan sebagai manusia. Dengan

demikian, terdapat dua ide dalam hal ini, yaitu ide “saya sebagai manusia” yang

bersifat publik dan ide mengenai “diri” yang bersifat pribadi atau privat

(Morissan, 2013: 114).

Menurut pandangan ini, sifat manusia diatur oleh kebudayaan sedangkan

sifat diri diatur oleh teori yang dimiliki orang bersangkutan mengenai dirinya

sendiri sebagai salah satu anggota kebudayaan. Dengan demikian manusia sebagai

makhluk pribadi (personal being), memiliki dua sisi yaitu sisi sebagai makhluk sosial dan sisi lainnya sebagai makhluk pribadi (diri).

Banyak masyarakat di dunia dengan kebudayaan tradisionalnya memiliki

konsep tersendiri mengenai manusia yang dipandang sebagai perwujudan dari

perannya dalam masyarakat seperti ibu, ayah, pendeta, petani dan dukun. Manusia

secara umum dipandang sebagai manifestasi dari peran-peran tersebut. Sedangkan

setiap orang akan memberi sifat, perasaan dan karakter tertentu terhadap dirinya,

sebagai individu, sebagai individu di dalam suatu peran: “Saya bapaknya Yusuf,

saya adalah seorang petani. Saya bapak yang baik dan petani yang baik.”

Teori mengenai diri dipelajari melalui pengalaman berinteraksi dengan

orang lain. Seluruh pemikiran, keinginan dan emosi dipelajari melalui interaksi

sosial. Namun teori mengenai diri ini berbeda-beda antara satu masyarakat dengan

masyarakat lainnya yang disebabkan kondisi sosial dan kebudayaan yang juga

berbeda. Misalnya pada budaya masyarakat barat terdapat teori mengenai diri

yang menekankan pada keseluruhan, tidak terbagi serta independen. Sebaliknya

orang Jawa melihat diri mereka menjadi dua bagian yang independen yaitu

perasaan yang berada dalam diri serta tingkah laku luar yang dapat diamati. Orang

(23)

dari tempat dan situasi. Dengan demikian, identitas mereka selalu terikat kepada

situasi di mana mereka berada .

Menurut teori ini, “diri” terdiri atas seperangkat elemen yang dapat

ditinjau ke dalam tiga dimensi. Dimensi yang pertama adalah “dimensi

penunjukan” (display) yaitu, apakah aspek dari diri itu dapat ditunjukkan kepada pihak luar (public) atau merupakan sesuatu yang bersifat privat. Misalnya, orang dapat menganggap emosinya sebagai sesuatu yang pribadi sementara

kepribadiannya (personality) adalah berdimensi publik. Pada kebudayaan lain, emosi dapat dinilai sebagai memiliki dimensi publik (Morissan, 2013: 115).

Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber, yaitu tingkatan atau derajat

pada bagian atau wilayah tertentu dari “diri” yang dipercaya berasal dari dalam

individu sendiri atau berasal dari luar. Dengan demikian terdapat elemen pada diri

yang berasal dari internal ataupun eksternal. Elemen diri yang dipercaya berasal

dari internal disebut dengan istilah individually realized atau “disadari sendiri” sedangkan elemen diri yang dipercaya berasal dari hubungan orang itu dengan

kelompoknya disebut collectivelly realized atau “disadari bersama”. Misalnya, kata “tujuan” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari sendiri karena

merupakan sesuatu yang dimiliki individu. Sebaliknya kata “kerja sama” dapat

dianggap sebagai sesuatu yang disadari bersama karena merupakan sesuatu yang

hanya dapat dilakukan sebagai anggota dari suatu kelompok.

Dimensi ketiga disebut dengan “agen” (agency) yaitu derajat atau tingkatan kekuatan aktif yang ditimbulkan oleh diri. Elemen aktif merupakan

tindakan yang dilakukan orang seperti “berbicara” atau “mendengarkan radio”

atau “menonton televisi”. Diri seseorang bisa berbeda seperti emosi, kepribadian,

tujuan dan kerja sama yang diberi makna secara berbeda di dalam tiga skema

dimensi tadi. Misalnya, masyarakat Anglo-Saxon di Eropa Utara cenderung untuk

memperlakukan emosi mereka sebagai sesuatu yang diperlihatkan secara pribadi

(privately displayed), disadari sendiri dan menjadikan emosi sebagi elemen pasif. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa emosi hanya terjadi kepada mereka dan

di dalam diri mereka saja. Sebaliknya, masyarakat di Eropa Selatan memandang

(24)

percaya bahwa emosi adalah sesuatu yang mereka ciptakan sebagai suatu

kelompok ditunjukkan bersama-sama.

Seluruh teori mengenai diri yang sudah dibahas tersebut memiliki tiga

elemen yang sama. Pertama, semua teori itu membahas mengenai kesadaran diri

(self-consciousness), ini berarti bahwa orang memikirkan dirinya atau berbicara mengenai dirinya maka ia menunjukkan kesadaran dirinya. Dengan demikian

terdapat dua hal dari kata “saya” yang harus diketahui yaitu “saya” sebagai diri

yang “mengetahui” dan “saya” sebagai diri yang “diketahui” (known about).

Misalnya contoh berikut ini: “Saya tahu bahwa saya takut.” Saya yang pertama

menunjukkan rasa menyadari (sense of being aware) dan saya kedua menunjukkan rasa menjadi orang yang takut.

Hal lain yang perlu ditambahkan mengenai ide tentang kesadaran diri atau

self-consciousness ini adalah mengenai bagian diri yang terdiri atas dua bagian yang disebut dengan “agen” dan “autobiografi”. Diri selalu dilihat memiliki

kekuatan tertentu untuk melakukan berbagai hal. Manusia memandang diri

mereka sebagai agen yang mampu memiliki keinginan dan dapat melakukan

tindakan. Auto-biografi adalah suatu rasa memiliki pengalaman sejarah dan masa

depan. Agen berperan ketika seseorang merencanakan sesuatu dan autobiografi

berperan ketika orang itu menceritakan mengenai dirinya kepada orang lain.

2.2.7 Teori Tindakan Beralasan

Teori tindakan yang beralasan adalah sebuah teori yang menyatakan

bahwa keputusan untuk melakukan tingkah laku tertentu adalah hasil dari sebuah

proses rasional di mana pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi dan

hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi dan sebuah keputusan sudah dibuat,

apakah akan bertingkah laku tertentu atau tidak. Kemudian keputusan ini

direfleksikan dalam tujuan tingkah laku, yang sangat berpengaruh terhadap

tingkah laku yang tampil (Baron, 2003: 135).

Teori ini juga menegaskan peran dari niat seseorang membentuk apakah

sebuah perilaku akan terjadi dan teori ini secara tidak langsung menyatakan

bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa

(25)

apakah ia merasa suatu perilaku itu penting (Graeff dkk, 1996: 27). Berdasarkan

teori ini, intensi pada gilirannya ditentukan oleh dua faktor, yaitu sikap terhadap tingkah laku (attitudes toward a behavior)- evaluasi positif atau negatif dari tingkah laku yang ditampilkan (apakah orang seorang berpikir tindakan itu akan

menimbulkan konsekuensi positif atau negatif)- dan norma subjektif- persepsi orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak tingkah laku tersebut.

Teori ini berasumsi bahwa kita berperilaku sesuai dengan niat sadar kita,

yang didasarkan pada kalkulasi rasional tentang efek potensial dari perilaku kita

dan tentang bagaimana orang lain akan memandang perilaku kita (Taylor dkk,

2009: 204). Poin utama teori ini adalah perilaku seseorang dapat diprediksikan

dari behavioral intention (niat perilaku). Niat perilaku dapat diprediksikan melalui dua variabel utama: sikap seseorang terhadap perilaku dan norma sosial subjektif

atau dengan kata lain sikap kita terhadap segala sesuatu, yang berasal dari diri kita

sendiri dan norma (yang secara subjektif) berlaku di masyarakat/perkumpulan

dalam situasi yang sama yang mempengaruhi sikap kita akan segala sesuatu.

Teori tindakan beralasan sendiri lahir pada tahun 1980 yang

dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen, adalah model yang bertujuan

untuk memprediksi tujuan/motif/intensi dari sebuah perilaku dan tingkah laku,

termasuk dari motif awal terjadinya perilaku hingga kenapa seseorang melakukan

sebuah tingkah laku tersebut.

Motif itu merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak,

alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia

berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif

juga tingkah laku yang disebut tingkah laku secara refleks dan yang berlangsung

secara otomatis, mempunyai maksud tertentu walaupun maksud itu tidak

senantiasa sadar bagi manusia. Motif-motif manusia dapat bekerja secara sadar

dan juga tidak sadar bagi diri manusia. Motif manusia merupakan dorongan,

keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya,

untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu itu memberi tujuan dan arah kepada

tingkah laku kita (Gerungan, 1986: 140-141)

Teori tindakan beralasan memiliki asumsi-asumsi dasar dalam teorinya,

(26)

1. Manusia adalah makhluk yang rasional dan akan melakukan

pilihan/keputusan yang dapat diprediksi dalam ketentuan/kondisi tertentu

yang spesifik.

2. “intention of Act”, atau motif dari sebuah tindakan adalah faktor paling determinan dalam penentuan sebuah perilaku/tingkah laku/tindakan.

3. Manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang ia harapkan/inginkan.

2.2.8 Makna

a. Makna Dalam Komunikasi

Selama bertahun-tahun para dosen komunikasi menunjukkan kepada para

mahasiswa mereka bahwa asal linguistik dari kata komunikasi adalah communis,

menurut bahasa latin yang berarti “bersama” (common). Gode bahkan mendefinisikan komunikasi secara etimologis sebagai “proses yang membuat

menjadi sama kepada dua orang atau lebih apa yang tadinya menjadi monopoli

satu atau beberapa orang saja”. Karena itu, satu karakteristik yang jelas dari

makna yang relevan dengan komunikasi manusia adalah “ kebersamaan”: makna

yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan fenomena sosial.

Makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih daripada sekedar penafsiran

atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak

pemahaman - aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki komunikator

(Fisher dalam Rakhmat, 1990: 346).

Akan tetapi, aspek kebersamaan itu tidaklah mesti menunjukkan bahwa

semua peserta dalam proses komunikatif memiliki pemahaman yang identik

tentang lambang atau pikiran-pikiran-pikiran (atau apapun), namun bahwa

pemahaman tertentu menjadi milik bersama mereka semua. Tanpa adanya suatu

derajat tentang apa yang disebut oleh Goyer “kebersamaan makna (commonality of meaning)- yakni “pemilikan pengalaman secara bersama”- komunikasi tidak akan terjadi. Shands lebih tegas lagi ketika ia menyatakan: ”Makna dari makna

merupakan konsensus, dan makna lahir dalam proses sosial yang memungkinkan

konsensus itu berkembang”. “Proses sosial” itu dalam “teori umum

komunikasi”-nya Shands adalah proses komunikasi itu sendiri (Fisher dalam Rakhmat, 1990:

(27)

Perspektif interaksional memandang diri sebagai ciptaan sosial yang hanya

dicapai melalui komunikasi dengan orang lain. Jadi, makna secara psikologis

dimiliki secara bersama melalui kesamaan pengalaman individual. Individu

dipandang sebagai “korban” yang agak pasif dari pengalaman di masa lalu. Akan

tetapi makna secara interaksional dimiliki bersama dengan proses empati melalui

pengambilan peran yang aktif. Individu memainkan peranan yang lebih aktif,

mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi makna itu dengan

orang lain. Dengan cara ini, individu keluar dari diri yang terinternalisasikan itu

dengan jalan melibatkan dirinya dalam pengambilan peran yang generalized other.

Mead menempatkan makna interaksional dalam apa yang ia namakan

suatu percakapan isyarat (conversation of gestures) di mana suatu isyarat (gesture) berarti tindakan yang bermakna secara potensial. Jadi makna terjadi sebagai suatu “hubungan segitiga antara isyarat seseorang, respons kepada isyarat

itu oleh orang yang kedua, dan penyelesaian tindakan sosial tertentu yang dimulai

oleh isyarat orang yang pertama tadi” (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 354-355).

Komunikasi percakapan ditinjau dari suatu perspektif interaksional,

menurut Meerloo memberikan penekanan pada “ saling pengertian” dan “empati

timbal balik” sebagai sumber makna kebersamaan. Proses pengambilan peran dan

kebersamaan makna secara maksimal dimungkinkan melalui apa yang disebut

Meerloo “keinginan yang wajar untuk saling beridentifikasi, untuk memiliki

pengertian psikologis dan saling mendekati dengan kasih-sayang.”

Walaupun konsep abstrak yang dicakup dalam hampiran Meerloo itu

lemah untuk dioperasionalisasikan, konsep itu menekankan hal bahwa

pengambilan peran interaksional melintas diri individu dan memungkinkan setiap

individu yang berkomunikasi untuk mencari secara aktif sudut pandang itu –

dengan cara itu, terjadilah makna kebersamaan. Kata-kata kuncinya adalah saling

(tiap peserta melibatkan diri dalam pengambilan peran) dan identifikasi

(mengambil kerangka rujukan orang lain).

Konsep identifikasi interaksional masih tetap merupakan suatu konsep

abstrak, yakni mengandung diri individual dan pada saat yang bersamaan diri itu

(28)

adalah sama dengan konsep Kenneth Burke tentang consubstantiality- pada saat yang bersamaan mengandung unsur diri sendiri maupun orang lain sebagai produk

identifikasi. Ruesch menyatakan hal yang sama pada waktu ia membedakan antara

pengertian dan sebagai kesepakatan sebagai proses komunikatif.

Menurut Ruesch, pengertian terjadi bilamana para komunikator

menciptakan kaitan informasi. Tetapi kesepakatan menunjukkan pengucilan salah

satu aspek atau topik komunikasi dan “pengambilan keputusan dan keterlibatan

diri” yang berhubungan dengan aspek tersebut. Jadi, para komunikator dapat

mengerti satu sama lainnya selama komunikasi, akan tetapi dapat saja tidak

bersepakat (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 356-357).

Perspektif interaksional secara langsung membahas kebersamaan atau

berbagi makna melalui partisipatif aktif (melalui pengambilan peran dalam proses

komunikatif). Interaksionisme menempatkan makna di luar diri individu dalam

perilaku atau isyarat komunikator. Akan tetapi, rasa ketergantungannya yang

besar pada konsep-konsep internal seperti “empati”, “identifikasi” dan

“pengertian”, menyatakan bahwa banyak proses komunikatif yang menyangkut

konsep makna masih tetap berada dalam diri individu yang bersangkutan. Tetapi

pada saat itu pun individu itu merupakan produk maupun peserta dalam situasi

sosial - dialog proses komunikatif (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 357-358).

2.2.9 Tato

Secara kebahasaan, tato mempunyai istilah yang nyaris sama digunakan di

berbagai belahan dunia. Beberapa di antaranya adalah tatoage, tatouage, tatowier, tatuaggio, tatuar,tatoos,tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattos dan tatu. Tato yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda

yang dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias dengan pigmen

berwarna-warni (Olong, 2006: 83).

Dalam bahasa Indonesia, kata tato merupakan pengindonesiaan dari kata

(29)

Ensiklopedia Americana disebutkan bahwa tatto, tattoing is the production of pattern on the face and body by serting dye under the skin some anthropologist think the practice developed for the painting indication of status, or as mean of obtaining magical protection.

Konon kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau” yang berarti

menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu

yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Anne

Nicholas dalam “The Art of the New Zealand” menjelaskan bahwa kata tato yang

berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks yang pertama kali

bersandar di Tahiti pada 1769 dan di sana ia mencatat berbagai fenomena manusia

Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato (Olong, 2006: 84).

Amy Krakov mengungkapkan secara teknis bahwa tato adalah pewarnaan

permanen pada tubuh dengan cara diresapkan dengan benda tajam ke dalam kulit

(dermis). Secara literer bahasa ekspresi Belanda, tato berarti doe het tap toe yang berarti the signal for closing public houses, given by continuous drum beating or rapping; this rapping or tapping was to the sound made by early tattoers as they tapped a needle with a small hammer in the process of puncturing the skin. Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di beberapa

kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan Thailand. Dalam

bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni

kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka” yang

menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuh sendiri maupun

perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain.

Menurut Kent-Kent, seni tato dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian

(Olong, 2006: 85).

1. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau

bentuk muka.

2. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan

blok warna. Tato ini banyak dipakai oleh suku Maori.

3. Out school, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu,

(30)

4. New school, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk grafiti dan

anime.

5. Biomekanik, berupa gambar aneh yang merupakan imajinasi dari

teknologi, seperti gambar robot dan mesin.

Dengan berbagai macam bentuk dan desain, ini menunjukkan sebuah

perkembangan tato ke tahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya mampu

menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

2.2.10 Komunitas

Manusia dalam masyarakat selalu hidup secara berkelompok-kelompok

atau bergolong-golongan dan jarang sekali hidup sendiri-sendiri. Hal ini

disebabkan karena manusia sebagai anggota masyarakat, dia ingin mencukupi

kebutuhan-kebutuhan hidupnya untuk mempertahankan kehidupannya. Untuk

mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu sebagian besar tidak dapat dicukupi sendiri

melainkan harus bersama-sama orang lain karena itu manusia mudah untuk

berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan kelompoknya.

Disamping itu pembentukan kelompok ditentukan oleh faktor-faktor lain,

misalnya (Wiyarti, 2008: 35):

1. Faktor waktu dan jaman

2. Sebab dan tujuan pembentukan tersebut

3. Sifat-sifat dari para anggota-anggotanya

4. Cara pembentukan kelompok tersebut

Adapun pengertian kelompok menurut beberapa ahli, salah satunya

Andersen dan Parker yang berpendapat bahwa (Wiyarti, 2008: 36):

(31)

Ikatan tersebut dapat berbentuk norma-norma yang mengikat. Walaupun dalam

kelompok itu tidak perlu adanya pendapat yang seragam (group thinking), boleh saja satu sama lain ada ketidakcocokan atau ketidakseragaman pendapat, tetapi

antara ketidakseragaman pendapat dengan persamaan pendapat harus seimbang.

Sebab kalau tidak seimbang, misalnya perbedaan pendapat terlalu besar, maka

kelangsungan kelompok akan terancam.

Menurut Ronald Freedman c.s. dalam bukunya “Principles of Sociolog”

mengemukakan, bahwa pada dasarnya terdapat 5 tipe yang terpenting dari

kelompok-kelompok sosial yaitu (Wiyarti, 2008: 41):

a. Primaty group

b. Community

c. Association

d. Societies

e. Ephemeral group

Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah komunitas (community).

Ada kalanya community di-Indonesiakan dengan paguyuban. Community

menunjukkan arti masyarakat yang terbatas. Hanya pada umumnya suatu

masyarakat-community ini, selain karena sentimen yang sama juga menunjukkan suatu lokalitas, suatu pembatasan letak kediamannya, karena itu dinamakan juga

masyarakat setempat, masyarakat sini (Shadily, 1993: 60).

Komunitas merupakan suatu unit atau kesatuan sosial yang

terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama

(communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat

menunjuk pada warga sebuah dusun (dukuh atau kampung), desa, kota atau suku

bangsa. Dalam perspektif sosiologi, komunitas dapat dibedakan dari masyarakat

(32)

Berikut perbedaan komunitas dan masyarakat menurut beberapa ahli:

Ilmuwan Komunitas Masyarakat

F. Tonnies Gemeinschaft Gesselschaft

E. Durkhaim Mechanic Solidarity Organic Solidarity

Tjondronegoro Gejala Organisasi

(Sodality)

Organisasi

Berdasarkan pendekatan para ahli tersebut, maka komunitas dan masyarakat dapat

dibedakan sebagai berikut:

Komunitas Masyarakat

Kecil Besar

Homogen Heterogen

Kultural Struktural

Parsitipatif-Efektif Produktivitas-Efesiensi

Relatif Otonom Dependent

Sumber:

Di samping adanya tempat tinggal yang tertentu, ada perasaan saling

memerlukan di antara para anggota-anggotanya, serta adanya tempat tinggal yang

berdekatan bagi kehidupan mereka. Perasaan bersama ini disebut community sentiment.

Adapun unsur-unsur dari community sentiment adalah (Wiyarti, 2008: 44):

1. Seperasaan

Unsur seperasaan adalah akibat bahwa seseorang berusaha

mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam

kelompok tersebut, sehingga semua menyebutkan “kelompok kita”,

(33)

mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama di dalam memenuhi

kebutuhannya.

2. Sepenanggungan

Setiap individu sadar akan peranannya di dalam kelompoknya dan

keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa peranannya tadi

dijalankan, sehingga ia mempunyai kedudukan yang pasti dalam struktur

sosial masyarakatnya.

3. Saling memerlukan

Individu yang tergantung dalam komunitas, merasakan dirinya tergantung

pada komunitasnya yang meliputi kebutuhan fisik maupun

kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Kelompok yang tergabung dalam komunitas tadi

memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik misalnya perumahan, makanan atau

kebutuhan psikologis. Misalnya individu akan mencari (berlindung) pada

kelompoknya apabila dia berada dalam ketakutan. Perwujudan

individu-individu dalam komunitasnya, merupakan kebiasaan yang khas yang

merupakan ciri-ciri dari komunitas itu.

2.3 Model Teoritik

Untuk mengetahui keseluruhan teori dalam penelitian ini, maka di bawah

ini dapat dilihat bagaimana model teoritik dalam penelitian ini.

Gambar 2.1

Makna Tato

Anggota komunitas

Black Cat Tattoo

Teori Interaksi Simbolik

Teori Konstruksi Sosial Diri

Gambar

Tabel 1.1
Gambar 2.1

Referensi

Dokumen terkait

menyampaikan SPT secara e-Filling, wajib menyampaikan induk SPT yang memuat tanda tangan basah dan Surat Setoran Pajak (bila ada) serta bukti penerimaan secara elektronik ke

(1) DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), diumumkan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa pada tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat desa

 Today, DB2, Oracle, and SQL Server are the most prominent commercial DBMS products based on the relational model.. Personal

(2) Musyawarah pemilihan Anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terbuka dengan dihadiri oleh Kepala Desa, Perangkat Desa, dan

Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana

Hasil penelitian menyatakan ada hubungan riwayat anemia dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Puskesmas Jetis II Bantul Yogyakarta, berdasarkan Uji Chi Square didapat

Untuk memenuhi diskripsi kerja dari suatu rangkaian terprogram (misal untuk mengendalikan beberapa motor dengan waktu kerja yang berbeda / berurutan), maka diperlukan alat

Hasil: Hasil uji hipotesis I menggunakan Paired Sample t-test diperoleh nilai p<0,05 (p = 0,000) yang berarti pemberian perlakuan sit-up exercise dapat