BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)
yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda
dengan Indonesia Sehat 2010. Sasaran MDGs memiliki indikator dan waktu
pencapaian. Sasaran MDGs ini bisa dijadikan slogan “Indonesia Sehat di tahun 2015”
sebagai pengganti slogan sebelumnya. Pada visi Indonesia mempunyai delapan
sasaran MDGs salah satunya target untuk 2015 adalah menghentikan pencegahan
penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya (Kemkes, 2010).
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlah orang yang terjangkit HIV didunia sampai akhir tahun
2010 terdapat 34 juta orang, dua pertiganya tinggal di Afrika kawasan Selatan Sahara,
di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 persen, di Afrika Selatan 5,6 juta
orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru
HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu orang, kawasan
Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan dimana
terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS.
Menurut World Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun
2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa
infeksi baru HIV, hal ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program
pencegahan HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP). Trend
kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda
disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal
karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika
Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari
24.000 menjadi 56.000 (WHO, Progress Report 2011).
Laporan Kementerian Kesehatan RI tentang perkembangan HIV/AIDS di
Indonesia pada Triwulan III (dari bulan Juli sampai dengan September tahun 2013)
jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 10.203 kasus, rasio kasus HIV antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1, persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah
hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (51,7%), penggunaan jarum suntik
tidak steril pada Pengguna Narkotika suntik (Penasun) (11,6%) dan pada Lelaki suka
seks Lelaki (LSL) (10,6%). Jumlah kasus baru AIDS sebanyak 1.983 kasus, jumlah
AIDS tertinggi pada wiraswasta (5.430), diikuti ibu rumah tangga (5.353). Rasio
kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1, persentase faktor risiko
AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (81,9%),
penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (6,5%), pada LSL (5,3%) dan dari
Ibu (positif HIV) ke anak (4,3%). Untuk propinsi Sumatera Utara jumlah kasus HIV
sebanyak 7.588 kasus dan AIDS sebanyak 515 kasus (Ditjen PP & PL, 2013).
Berdasarkan laporan AIDS Epidemic Update USAID and WHO tahun 2006,
Serikat, hal ini terjadi akibat risiko pekerjaan. Di Indonesia walaupun belum ada data
yang pasti, namun jika melihat pengendalian infeksi di rumah sakit yang masih
lemah, maka resiko penularan infeksi terutama infeksi nosokomial termasuk HIV
terhadap tenaga kesehatan bisa dikatakan cukup tinggi (Avert HIV and AIDS, 2012).
Penolong persalinan dapat terpapar HIV di tempat kerjanya melalui percikan
darah atau cairan tubuh pada mata, hidung, mulut atau melalui diskontinuitas
permukaan kulit (misalnya luka lecet kecil), luka tusuk yang disebabakan oleh jarum
yang terkontaminasi atau peralatan tajam lainnya baik pada saat prosedur dilakukan
atau pada saat proses perawatan di rumah sakit (Depkes, 2012).
Resiko penularan HIV akibat kecelakaan kerja pada petugas yaitu 0,3-0,4%
yang biasanya akibat tertusuk jarum yang telah di pakai pasien dengan HIV dan lebih
kecil 0,1 melalui mukokutan, seperti terkena percikan darah (Maryunani, 2009).
Prinsip-prinsip tindakan kewaspadaan universal atau universal precaution
harus diterapkan dalam proses menolong persalinan karena untuk menghindari
penyakit-penyakit infeksi yang melalui jalan lahir. Bidan harus menganggap bahwa
pasien yang melahirkan potensial terinfeksi dengan salah satu penyakit, apakah itu
HIV/AIDS, atau penyakit-penyakit lainnya. Cairan pervagina serta cairan amnion dari
ibu melahirkan dengan seropositif HIV/AIDS merupakan paparan untuk menularkan
HIV dalam proses persalinan (Estiwidani, 2009).
Dengan demikian, ada kemungkinan perempuan hamil pengidap HIV/AIDS
berada diantara pasien yang ditolong bidan di pelayanan kebidanan. Dari sisi profesi
kompetensi ke sembilan, bidan harus mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada
wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi, termasuk diantaranya memiliki
pengetahuan dasar penyuluhan kesehatan mengenai HIV/AIDS (Maryunani, 2009).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tahun 2007 tentang Pedoman
Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di rumah sakit dengan
mengingat Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 dalam hal kesehatan
bagi tenaga kesehatan, penerapan universal precaution oleh tenaga kesehatan dalam
mitigasi bencana HIV/AIDS harus dilakukan.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Karo dari tahun 2006
hingga Tahun 2011 telah mencapai 254 kasus. Namun, jumlah kasus sebenarnya
diprediksi jauh lebih besar dari angka tersebut karena diperkirakan masih banyak
kasus yang belum terdeteksi karena banyaknya orang yang masih enggan, takut, dan
malu untuk melapor serta memeriksakan diri (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Karo, 2011).
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara kepada sepuluh orang bidan
yang ada di klinik-klinik bersalin Kabanjahe menunjukkan bidan belum menerapkan
praktek pencegahan penularanr HIV/AIDS pada persalinan. Pada saat melakukan
pertolongan persalinan 2 orang bidan hanya memakai sarung tangan, masker penutup
hidung, celemek plastik dan penutup kaki (sepatu), 3 orang bidan hanya memakai
sarung tangan, celemek plastik, masker penutup hidung dan sandal jepit, 1 orang
bidan hanya memakai sarung tangan, celemek plastik dan sandal jepit, 4 orang bidan
pelindung dan penutup kaki (sepatu). Umumnya bidan hanya memakai sarung tangan,
menggunakan sandal jepit saat menolong persalinan, tidak menggunakan masker dan
kaca mata pelindung. Alasan bidan tidak memakai alat pelindung diri disebabkan
alat-alat pelindung dirasakan sebagai beban atau kurang nyaman menggunakan alat
pelindung diri secara lengkap dan mempersulit dalam kegiatan pertolongan
persalinan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan bidan dalam pencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik Bersalin di
kota Kabanjahe.
1.2Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut : Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan tindakan
bidan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan
pervaginam di Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan bidan
dalam pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan faktor umur dengan tindakan bidan dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
b. Untuk mengetahui hubungan faktorpendidikan dengan tindakan bidan dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
c. Untuk mengetahui hubungan faktormasa kerja dengan tindakan bidan dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan tindakan bidan
dalampencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam
di Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
e. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan tindakan bidan dalampencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik Bersalin
di Kota Kabanjahe.
f. Untuk mengetahui hubungan faktor sarana dan prasarana dengan tindakan bidan
dalampencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam
di Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
g. Untuk mengetahui hubungan faktor dukungan teman dengan tindakan bidan
dalam pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam
1.4Hipotesis
1.4.2 Ada hubungan faktor umur dengan tindakan bidan dalampencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik
Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.3 Ada hubungan faktor pendidikan dengan tindakan bidan dalampencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik
Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.4 Ada hubungan faktor masa kerja dengan tindakan bidan dalam pencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik
Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.5 Ada hubungan faktor pengetahuan dengan tindakan bidan dalampencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik
Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.6 Ada hubungan faktor sikap dengan tindakan bidan dalampencegahan
penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di Klinik
Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.7 Ada hubungan faktor sarana dan prasarana dengan tindakan bidan dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
Klinik Bersalin di Kota Kabanjahe.
1.4.8 Ada hubungan faktor dukungan teman dengan tindakan bidan dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS pada pertolongan persalinan pervaginam di
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Menjadi masukan bagi bidan untuk menerapkan prosedur atau pedoman
pencegahan infeksi (kewaspadaan universal) pada persalinan pervaginam
dalam upaya penanggulangan pencegahan penularan HIV/AIDS.
1.5.2 Menjadi masukan bagi Klinik Bersalin untuk evaluasi terhadap penerapan
standar praktek persalinan dalam upaya penanggulangan pencegahan
penularan HIV/AIDS.
1.5.3 Penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan