BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)
2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan
antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat
menjadi indikator atau menggambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang.
IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan
bahwa IMT berkolerasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti
underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn
LM et al., 2002). IMT merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran lemak
tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah
dilakukan. Untuk mengetahui IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:
Menurut rumus metrik: (CDC,2009)
Berat Badan (Kg)
IMT= ---
[ Tinggi badan (m) ]2 Atau menurut rumus Inggeris:
IMT= Berat badan (lb)/ [Tinggi badan (in)]2 x 703
Indeks massa tubuh (IMT) diartikan sebagai berat dalam kilogram yang
dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Bandini, Flynn dan Scampini,
2011). Indeks massa tubuh yang digunakan sebagai alat skrining untuk
mendeteksi masalah berat badan pada anak (CDC, 2011). Setelah dilakukan
pengukuran pada tinggi dan berat badan anak, maka kita dapat melakukan plot
hasil IMT pada kurva CDC BMI-for-age growth chart yang dibedakan
berdasarkan jenis kelamin (Gambar 2.1; Gambar 2.2) (CDC, 2000). Perhitungan
remaja spesifik terhadap umur dan jenis kelamin (CDC, 2011). Jenis kelamin dan
umur pada anak dan remaja dipertimbangkan karena jumlah lemak tubuh yang
berubah sesuai dengan umur dan jumlah lemak tubuh yang berbeda antara
perempuan dan laki-laki (CDC, 2011).
2.1.2 Kategori Indeks Massa Tubuh
Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun ke atas, IMT diinterpretasi
menggunakan kategori status berat badan standard yang sama untuk semua umur
bagi pria dan wanita. Untuk anak-anak dan remaja, interpretasi IMT adalah
spesifik mengikuti usia dan jenis kelamin (CDC, 2009).
Secara umum, IMT 25 ke atas membawa arti pada obesitas. Standar baru
untuk IMT telah dipublikasikan pada tahun 1998 mengklasifikasikan BMI di
bawah 18,5 sebagai sangat kurus atau underwegiht, IMT melebihi 23 sebagai
berat badan lebih atau overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai obesitas. IMT
yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5 sehingga 22,9. Obesitas
dikategorikan pada tiga tingkat: tingkat I (25-29,9), tingkat II (30-40), dan tingkat
III (>40) (CDC, 2002).
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan
pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa egara berkembang. Pada
akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai
Tabel 2.1 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO
Sumber: WHO technical series,2000
Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT
Berat Badan Kurang <18,5
Kisaran Normal 18,5-22,9
Berat Badan Lebih ≥ 23,0
Beresiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II ≥30,0
Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:
Redefining Obesity and its Treatment (2000)
Klasifikasi IMT (Kg/m2)
Berat Badan Kurang <18,5
Kisaran Normal 18,5-24,9
Berat Badan Lebih >25
Pre-Obes 25-29,9
Obes Tingkat I 30-34,9
Obes Tingkat II 35-39,9
Tabel 2.3 Klasifikasi IMT Berdasarkan Depkes RI (1994)
IMT (Kg/m2) Klasifikasi
< 17,0 Kekurangan Berat Badan Tingkat Berat Kurus
17,0-18,4 Kekurangan Berat Badan Tingkat Ringan
18,5-25,0 Normal Normal
25,1-27,0 Kelebihan Berat Badan Tingkat Ringan
>27,0 Kelebihan Berat Badan Tingkat Berat Gemuk
Sumber: Depkes RI 1994 dalam Supariasa, 2001
Saat ini,IMT secara internasional diterima sebagai alat untuk
mengidentifikasi kelebihan berat badan dan obesitas (Hill, 2005).
Penggunaan IMT hanya berlaku unutk orang dewasa yang berusia 18
tahun ke atas. IMT tidak diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. Disamping itu pula, IMT tidak diterapka pada keadaan khusus
(penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali (Supariasa,2001).
2.1.3 Kekurangan dan Kelebihan Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu indikator yang dapat
dipercayai untuk mengukur lemak tubuh. Walau bagaimanapun, terdapat beberapa
kekurangan dan kelebihan dalam mengggunakan IMT sebagai indikator
pengukuran lemak tubuh.
Kekurangan indeks massa tubuh adalah:
1. Pada olahragawan: tidak akurat pada olahragawan (terutama atlet bina)
yang cenderung berada pada kategori obesitas dalam IMT disebabkan
2. lemak tubuh mereka dalam kadar yang rendah. Sedangkan dalam
pengukuran berdasarkan berat badan dan tinggi badan, kenaikan nilai IMT
adalah disebabkan oleh lemak tubuh.
3. Pada anak-anak: tidak akurat karena jumlah lemak tubuh akan berubah
seiringan dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh badan seseorang.
Jumlah lemak tubuh pada lelaki dan perempuan juga berbeda selama
pertumbuhan. Oleh itu, pada anak-anak dianjurkan untuk mengukur berat
badan berdasarkan nilai persentil yang dibedakan atas jenis kelamin dan
usia.
4. Pada kelompok bangsa: tidak akurat pada kelompok bangsa tertentu
karena harus dimodifikasi mengikuti kelompok bangsa tertentu. Sebagai
contoh IMT yang melebihi 23,0 adalah berada dalam kategori kelebihan
berat badan dan IMT yang melebihi 27,5 berada dalam kategori obesitas
pada kelompok bangsa seperti Cina, India, dan Melayu (CORE, 2007).
Kelebihan indeks massa tubuh adalah:
1. Biaya yang diperlukan tidak mahal
2. Untuk mendapat nilai pengukuran, hanya diperlukan data berat badan dan
tinggi badan seseorang
3. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai standar yang telah
dinyatakan pada tabel IMT.
2.2 Hal-Hal yang Mempengaruhi Indeks Massa Tubuh
Banyak sekali hal-hal yang dapat mempengaruhi Indeks Massa Tubuh
seseorang,baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Hal-hal tersebut ialah
sebagai berikut:
a. Usia
Usia merupakan faktor yang secara langsung berhubungan dengan
Indeks Massa Tubuh Seseorang. Prevalensi obesitas (berdasarkan IMT)
meningkat secara terus menerus dari usia 20-60 tahun. Setelah 60 tahun
angka obesitas mulai menurun (Hill, 2005).
Hasil survey kesehatan di Inggris (2003) menyatakan bahwa kelompok
kelompok usia yang lebih tua. Kelompok usia setengah baya dan pensiun
memiliki risiko obesitas yang lebih tinggi. Semakin bertambah usia
seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi
akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun
menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Gayle
Galleta, 2005).
b. Genetik
Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh
faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun
begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin
seseorang itu juga akan mengalami obesitas (Gayle Galleta, 2005)
c. Jenis Kelamin
Berat badan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada obesitas,
jumlah lemak tubuh lebih banyak. Pada dewasa muda laki-laki lemak
tubuh >25% dan perempuan > 35% (Sugondo, 2010). Distribusi lemak
tubuh juga berbeda berdasarkan jenis kelamin, pria cenderung mengalami
obesitas viseral (abdominal) dibandingkan wanita. Proses-proses fisiologis
dipercaya dapat berkontribusi terhadap meningkatnya simpanan lemak
pada perempuan (Hill,2005).
d. Pola Makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang dapat dilihat
ketika makanan itu dimakan. Terutama sekali berkenaan dengan jenis
makanan dan proporsinya dan atau kombinasi makanan yang dimakan
individu, masyarakat, dan sekelompok individu (Idapola, 2009).
Pada zaman modern seperti sekarang ini, semuanya menjadi serba
mudah, Salah satunya adalah dengan adanya makanan cepat saji. Makanan
cepat saji mempunyai pengaruh terhadap berat badan karena
kandungannya yang tinggi lemak dan gula. Meningkatnya porsi makan
juga dapat mempengaruhi berat badan.
Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mengonsumsi
dibanding mereka yang mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan
jumlah kalori yang sama. Ukuran dan frekuensi asupan makanan juga
mempengaruhi peningkatan berat badan dan lemak tubuh (Abramovitz,
2004).
e. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik mencermikan gerakan tubuh yang disebabkan oleh
kontraksi otot menghasilkan energy ekspenditur (Idapola, 2009). Bermain
bola, berjalan kaki,naik-turun tangga merupakan aktvitas fisik yang baik
untuk dilakukan. Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung
lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka panjang
dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur (Sugondo, 2010).
f. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya
hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi
oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif
(tidak aktif) merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Gayle
Galleta, 2005)
2.3 Obesitas
2.3.1 Definisi
Obesitas merupakan kelainan sistem pengaturan berat badan yang ditandai
oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Dalam masyarakat primitif, dimana
kehidupan sehari-hari membutuhkan aktivitas fisik yang tinggi dan makanan
hanya tersedia sesekali, kecenderungan genetik akan berperan dalam
penyimpanan kalori sebagai lemak karena makanan yang dikonsumsi tidak
melebihi kebutuhan (Richard Harvey dan Champe PC., 2005).
Obesitas didefinisikan sebagai keadaan dimana adanya peningkatan yang
sangat berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa
disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi
obesitas tidak bisa diambil akbiat peningkatan berat badan semata-mata melainkan
adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Gabriel Uwaifo, 2009).
Obesitas dan kegemukan merupakan faktor resiko utama untuk sejumlah
penyakit kronis seperti diabetas, penyakit jantung, dan kanker. Obesitas dianggap
merupakan masalah hanya di negara berpenghasilan tinggi, tetapi sekarang jumlah
penderita obesitas dan kegemukan semakin meningkat di negara berpenghasilan
rendah dan menengah khususnya di perkotaan (WHO, 2010).
2.3.2 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan jumlah orang di seluruh dunia dengan IMT 30 kg/m2
melebihi 250 juta orang, yaitu sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia.
Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan
makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan
perubahan status ekonomi yang terjadi di Negara-negara yang sedang berkembang
berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara-negara
ini, termasuk di Indonesia (Sugondo, 2010).
Penelitian epidemiologi yang dilakukan di daerah sub urban di dareah
Koja, Jakarta Utara, pada tahun 1982, mendapatkan prevalensi obesitas sebesar
4,2%; di daerah Kayu Putih, Jakarta Pusat, sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun
1992, prevalensi obesitas obesitas sudah mencapai 17,1%, dimana ditemukan
prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan masing-masing 10,9% dan
24,1%. Pada populasi obesitas ini, dislipidemia terdapat pada 19% laki-laki dan
10,8% perempuan, dan hipertrigliseridemia pada 16,6% laki-laki (Sugondo,
2010).
Pada penelitian epidemiologi di daerah Abadijaya, Depok pada tahun 2001
didapatkan 48,6%, pada tahun 2002 didapat 45% dan 2003 didapat 44% orang
dengan berat badan lebih dan obes; sedang IMT pada tahun 2001 adalah 25,1
kg/m2, tahun 2002; 24,8 kg/m2 dan tahun 2003; 24,3 kg/m2.Pada tahun 1997 dan 1998 dilakukan penelitian komposisi tubuh di beberapa daerah di Indonesia dan
didapatkan bagwa umur,jenis kelamin, dan IMT yang sama dibandingkan dengan
seharusnya IMT juga 3kg/m2 lebih rendah.Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama obesitas sentral,sangat erat hubungannya dengan sindrom
metabolik. Sindrom metabolik merupakan satu kelompok kelainan metabolic,
yang selain obesitas, meliputi reisistensi insulin gangguan toleransi glukosa,
abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel dan hipertensi yang
kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama merupakan factor risiko
utama untuk terjadinya aterosklerosis dengan menifestasi penyakit jantung
koronerdan/atau strok (Sugondo, 2010).
2.3.3 Etiologi
Berbagai hal dapat menyebabkan obesitas. Penyebab utamanya adalah
gaya hidup yang tidak aktif, hal ini dikarenakan aktivitas otot adalah cara
terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh sehingga ini merupakan satu
cara efektif untuk mengurangi simpanan lemak (Guyton, 2007).
2.3.4 Patofisiologi
Pengaturan keseimbangan energy diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Obesitas terjadi karena adanya gangguan keseimbangan energi yang dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan factor endogen (obesitas sekunder) akibat kelainan hormonal, sindrom, atau defek genetic (10%) (Hidajat et al., 2006).
Proses pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui 2 kategori sinyal, yaitu sinyal pendek dan panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan factor distensi lambung dan peptide gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan kesimbangan energi (Hidajat et al., 2006).
sehingga terjadi penurunan nafsu makan, demikian pula sebaliknya. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Hidajat et al., 2006).
Pada obesitas, jumlah lemak tubuh meningkat. Pada dewasa, pria lemak tubuh > 25% dan perempuan > 35% (Sugondo, 2006).
Berdasarkan distribusi jaringan lemak, dibedakan menjadi (Hidajat et al.,2006) : a. Apple shape body ( distribusi jaringan lemak lebih banyak di daerah perut
dan mempunyai faktor resiko penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes mellitus, atau gangguan lemak darah). Keadaan ini disebut obesitas sentral.
b. Pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak lebih banyak di glutea dan paha, belum terbukti sebagai faktor resiko). Keadaan ini disebut obesitas perifer
2.4 Manajemen Berat Badan
Penurunan berat badan sangat menguntungkan pasien yang mengalami
berat badan lebih dan obesitas.
Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu dengan
berat badan lebih dan obesitas mengurangi factor risiko diabetes, penyakit
kardiovaskular, menurunkan tekanan darah, mengurangi serum terigliserida,
meningkatkan kolesterol-HDL, mengurangi serum kolesterol-LDL, mengurangi
konsentrasi gula darah, dan mengurangi konsentrasi HbA1c pada beberapa pasien
dengan diabetes tipe 2 (Sugondo, 2010).
2.5 Cara Menurunkan dan Memelihara Berat Badan
Menurut Sugondo (2010), ada beberapa cara untuk menurunkan dan
memelihara berat badan yaitu:
1. Terapi Diet
Terapi diet ini harus dilakukan pada pasien dengan berat badan lebih. Hal
ini bertujuan untuk membuat deficit 500-1000 kcal/hari. Sebelum
kebutuhan energy basal pasien terlebih dahulu dengan rumus dari
Harris-Benedict berikut:
Laki-laki:
B.E.E= 66,5+(13,75x kg)+(5,003xcm)-(6,775 x usia)
Wanita:
BEE= 655,1+ (9563xkg)+(1,850x cm)-(4,676 x usia)
Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah factor stress
dan aktivitas. Faktor stress ditambah aktivitas berkisar 1,2 sampai lebih dari
2.
2. Akrivitas Fisik
Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program
penurunan berat badan; walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan
penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam bulan.
Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan kalori.
Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pencegahan peningkatan berat
badan. Keuntungan tambahan aktivias fisik adalah terjadi pengurangan risiko
penyakit kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan penurangan
beran badan tanpa aktivitas fisik saja.
3. Terapi Perilaku
Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,
diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat
terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan
mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress,
stimulus control, pemecahan masalah, contingency management, cognitive
restructuring dan dukunga sosial.
4. Obat-Obatan
Sibutramine dan orlistat merupakan oabt-obatan penurun berat badan yang
telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka
panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif
menutunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian
sibutramine dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung.
Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan permberian
orlistat, dibutuhkan vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial.
5. Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan.
Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan
BMI ≥ 40 ATAU ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus
dilakukan sebagai alternative terakhir untuk pasien yang gagal farmakoterapi