• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Bekas Kebakaran

Kebakaran mempengaruhi vegetasi tanaman, kebakaran menyebabkan

peningkatan pH tanah karena adanya endapan abu yang bersifat basa yang terdiri

dari elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor (Daniel et al, 1987)

dalam Marjenah (2007). Akibat dari kebakaran akan mempengaruhi sifat fisik,

kimia dan biologi tanah. Terganggunya pembentukan tanah secara tidak langsung

akan mempengaruhi pH dan bahan organik tanah. Bird et al (2000) berpendapat

bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam tanah

adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah,

tingkat aerasi tanah, topografi tanah dan sifat penyediaan hara.

Kebakaran mempengaruhi sifat fisik, kimia, mineral dan biologi tanah.

Efek negatif dari kebakaran tergantung luas lahan terbakar serta intensitas api

yang terjadi. Kebakaran yang besar akan mengakibatkan hilangnya vegetasi

tanaman, hilangnya bahan organik tanah, merusak struktur dan porositas tanah,

hilangnya beberapa unsur hara karena terjadi penguapan serta musnahnya

beberapa jenis mikroba yang hidup didalam tanah karena suhu yang timbulkan

oleh api ( Certini, 2005). Luas dan durasi kebakaran dipengaruhi oleh jumlah dan

ketersediaan bahan bakar, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan

topografi tempat terjadinya kebakaran (Caldararo, 2002).

Sifat fisik tanah mengalami penurunan kualitas setelah dibakar ditandai

dengan meningkatnya kepadatan tanah, penurunan porositas total, penurunan

(2)

adanya perubahan iklim mikro, curah hujan, aktifitas mikroorganisme dan

kandungan bahan organi Yudasworo (2001) dalam Darwiati dan Nurhaedah (2010). Perubahan sifat fisik tanah juga dipengaruhi kemiringan tanah. Tanah

yang curam mudah terkisis saat hujan turun menyebabkan hilangnya bahan

organik dan menurunkan pH tanah (Ladrach, 2009).

Bahan organik merupakan cadangan karbon terbesar ketiga, dengan

perkiraan total 1526 pgC. Perubahan yang paling terlihat setelah pembakaran

adalah hilangnya bahan organik. Lapisan organik merupakan komponen penting

pada kelestarian ekosistem, berfungsi sebagai penutup tanah yang melindungi dan

mengurangi terjadinya erosi tanah, membantu dalam mengatur suhu tanah,

menyediakan habitat dan substrat bagi biota tanah (Verma dan Jayakumar, 2012).

Kebakaran menyebabkan hilangnya bahan organik yang terdapat pada

lantai hutan. Pada suhu 200 – 250oC bahan organik yang terbakar hanya sedikit,

namun kebakaran yang mencapai 400 – 460oC akan mengabiskan seluruh bahan

organik pada lantai hutan Giovannini et al., (1988) dalam Certini (2005). Dampak kebakaran pada bahan organik sangat tergantung pada jenis dan intensitas api,

kelembaban tanah, dan sifat bahan yang terbakar, serta komposisi humus yang

terkandung. Intensitas kebakaran yang rendah biasanya tidak berpengaruh nyata

terhadap perubahan karbon tanah, tetapi intensitas kebakaran yang tinggi dapat

mengakibatkan kehilangan karbon tanah (Johnson dan Curtis, 2001).

Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah akan jelas nampak, seperti

perubahan pada tektur, warna tanah, kerapatan lindak (Bulk Density), ruang pori, kadar air tanah (kapasitas lapang, titik layu permanen, kadar air tersedia).

(3)

menguntungkan. Pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu

yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium,

kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan

proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci (Marjenah, 2007).

Potensial of Hydrogen akan meningkat tajam oleh pamanasan akibat terbakarnya bahan – bahan organik tanah. Namun, peningkatan pH tanah ini

hanya akan terjadi bila suhu tanah mencapai 400 – 5000oC. Hal ini terjadi

dikarenakan terjadinya pembakaran yang sempurna dan pelepasan basa yang juga

mengarah pada kejenuhan basa (Arocena dan Opio, 2003). Ulery et al, (1993)

dalam Certini (2005), menemukan bahwa pH tanah pada lapisan atas akan meningkat tiga kali lipat setelah pembakaran, kenaikan pH tanah pada dasarnya

disebabkan oleh produksi K dan Na. Namun setelah 3 tahun pembakaran tanah

akan semakin basa. Kenaikan pH juga disebabkan karena terdapatnya abu yang

bersifat alkalis (Monali et al, (2007) dalam Verma dan Jayakumar (2012).

Peningkatan pH ini mempengaruhi jenis mikroba yang terdapat didalam

tanah. Umumnya mikroba tanah hidup dengan pH berkisar 6,6 – 8,0

(Buckle et al, 1987). Susanti (2005) menyatakan bahwa pH optimum bakteri adalah mendekati normal yaitu 6,5 – 7,5 sedangkan fungi berkisar 2,0 – 11,0

sedangkan aktiminosetes pertumbuhan optimalnya pada pH netral 6,5 – 8,0 dan

masih dapat aktif walau pH tinggi (Hanafiah et al., 2009). Populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12x106 organisme per gram tanah, sedangkan populasi

fungi pelarut fosfat berkisar 2x104 – 1x106 organisme per gram tanah

(4)

Kemasaman tanah merupakan sifat fisik-kimia tanah yang paling banyak

diteliti pengaruhnya terhadap ekologi mikroba. Salah satu konsekuensi yang

sangat penting dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara

(keracunan dan kekurangan), seperti unsur Fe, Mn, dan Zn akan berkurang

ketersediannya pada pH melampaui netral, dan akan bersifat racun bila pH

dibawah 5. Hara P kurang tersedia pada pH rendah maupun tinggi

(Bird et al., 2000).

Sumber dan Peranan Fosfat

Unsur P merupakan unsur yang sering menjadi pembatas pertumbuhan

tanaman. Sumber utama P adalah batuan yang bersifat tidak dapat diperbaharui

sehingga menyebabkan sumber ini menjadi terbatas (Vitousek, 2004) dalam

Hanafiah et al (2009).

Fosfor dijumpai dalam bentuk fosfat organik dan fosfat anorganik ditanah.

Mineralisasi fosfat organik menjadi fosfat anorganik melibatkan peranan mikroba

tanah melalui produksi enzim fosfatase. Fosfatase merupakan salah satu enzim

tanah yang terlibat dalam proses transformasi unsur hara P di tanah. Enzim

fosfatase terbagi menjadi fosfatase asam dan basa. Beberapa enzim fosfatase

seperti fosfomonoesterase, fosfodiesterase, trifosfomonoesterase dan fosfoamidase

pada umumnya terdapat dalam tanah. Enzim-enzim tersebut bertanggungjawab

pada proses hidrolisis fosfat organik menjadi fosfat anorganik (Lal, 2002).

Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam

proses pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam

jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk

(5)

keterediaan fosfat bagi tanaman diusahakan dengan pengunaan pupuk fosfat

anorganik maupun organik. Tetapi setelah aplikasi, ternyata sejumlah besar fosfat

bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk tidak terlarut

Sehingga pemanfaatan pupuk tersebut kurang efektif sehingga memerlukan

perlakuan yang berkelanjutan dan tentunya biaya yang tinggi (Lal, 2002).

Fosfat di dalam tanah terdapat dalam bentuk fosfat anorganik dan fosfat

organik. Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman

dan mikroba dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Fosfor diserap

oleh tanaman sebagai H2PO4-, HPO42- dan PO43- yang terutama berada di dalam

larutan tanah. Ada hubungan yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam larutan

tanah dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul

akibat dari terlalu rendahnya konsentrasi H2PO4- dan HPO42-di dalam larutan

tanah. Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang dimasukkan ke dalam tanah untuk

mengatasi defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan terikat oleh matriks tanah.

Elemen fosfor di dalam tanah kebanyakan ada dalam keadaan tidak larut,

sehingga tidak mungkin masuk ke dalam sel-sel akar, tetapi sebagai anion fosfat

mudah bertukar dengan OH- (Suprihadi, 2007).

Fosfor merupakan nutrisi tanaman yang memainkan peran penting dalam

metabolisme tanaman. Penyerapan fosfor oleh tanaman yang dapat dilakukan

tanaman hanya sedikit disebabkan fosfor yang tidak tersedia. Mikroorganisme

tanah memainkan peran penting dalam menyedikan fosfor bagi tanaman. Bakteri

dan fungi pelarut fosfat berpotensi sebagai pupuk hayati. Mikroba pelarut fosfat

melarutkan P tanah melalui produksi asam organik, terutama glukonat dan asam

(6)

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba tanah yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah

mikroba pelarut unsur fosfat (P) dan kalium (K). kandungan P yang cukup tinggi

(jenuh) pada tanah pertanian kita, sedikit sekali yang dapat digunakan oleh

tanaman karena terikat pada mineral liat tanah. Disinilah peran mikroba pelarut P

yang melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman.

Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang

berkemampuan tinggi dalam melarutkan P (Nurtjahyani, 2011).

Fosfat merupakan unsur yang tidak mobil di dalam tanah, hilangnya P

larut dalam tanah dijumpai pada tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan

besar P larut yang hilang sebanding dengan jumlah input P dalam bentuk larut.

Unsur P tidak dimediasi secara biologi untuk berubah ke atmosfer seperti unsur C

dan N, unsur P tidak juga menjadi sumber energi utama untuk oksidasi mikroba.

Meskipun demikian, organisme tanah terlibat dalam siklus P, organisme ini

berperan dalam kelarutan P anorganik dan mineralisasi P organik, serta berperan

dalam menyebabkan imobilisasi P tersedia dalam tanah (Hanafiah et al.,2009). Sebagian besar mikrobia tanah berpotensi sebagai biofertilizer, terutama

mikrobia yang hidup pada daerah perakaran (rhizosphere). Mikrobia tersebut telah terbukti mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi

tanaman. Proses solubilisasi dan insolunilisasi unsur hara makro dan mikro di

dalam tanah banyak dipengaruhi oleh pH dan status mikrobia tanah yang pada

akhirnya berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara tersebut bagi tanaman.

(7)

fosfat difiksasi oleh Fe dan Al menjadi Fe-fosfat dan Al-fosfat terutama pada

tanah mineral masam (pH<5). Pada pH yang tinggi (pH>7) fosfat akan terikat

menjadi Ca-fosfat. Ca-fosfat yang telah terikat dapat tersedia bagi tanaman

melalui proses pelarutan dan pembentukan senyawa organik oleh mikrobia tanah

(Cunningham dan Kuiack, 1992).

Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri yang berperan dalam penyuburan

tanah karena bakteri tipe ini mampu melakukan mekanisme pelarutan fosfat

dengan mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti

oksalat, suksinat, fumarat, malat. Asam organik ini akan bereaksi dengan bahan

pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang

stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat

diserap oleh tanaman hidupnya (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Strain

dari genera bakteri Pseudomona, Bacillus, Rhizobium dan Enterobacter serta

Aspergillus dan Penicillium merupakan mikroba yang paling petensial melarutkan

fosfat (Khan et al., 2009).

Kebanyakan mikroba selulotik hidup pada lapisan atas dari tanah pada

kedalaman 0-30 cm dan bersifat aerob (Jensen, 2001). Sedangkan fosfat

merupakan senyawa esensial yang sangat diperlukan oleh tumbuhan dan juga

mikroba tanah. Fosfat yang bisa digunakan tumbuhan sebagai nutrisi adalah fosfat

dalam bentuk bebas, sedangkan fosfat yang dalam bentuk terikat tidak mampu

dimanfaatkan oleh tumbuhan (Scheffer dan Scachtshabel, 1992 dalam Peix et.al,

2001). Beberapa mikroba tanah ada yang mampu melarutkan fosfat terikat

menjadi fosfat bebas dalam tanah yang dapat diserap oleh tumbuhan. Bakteri dari

(8)

Flavobacterium, Mycobacterium, Pseudomonas dan Serrateria merupakan bakteri

yang mampu melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi fosfat tersedia bagi tanaman

(Sashidhar dan Podile, 2009).

Keberadaan Mikroba Pelarut Posfat pada Berbagai Ekosisem

Berdasarkan hasil penelitian Marista et al (2013) pada tanah rizosfer tanaman pisang nipah di Kota Singkawang diperoleh data keberdaan mikroba

pelarut fosfat sebanyak 12 isolat untuk tanah aluvial, 10 isolat untuk tanah gambut

dan 8 isolat untuk tanah podsolik merah kuning (PMK). Berdasarkan hasil

karakterisasi mikroskopis dari isolat bakteri pelarut fosfat pada tanah aluvial,

tanah gambut dan tanah PMK diperoleh 9 genus bakteri pelarut fosfat. Genus

bakteri-bakteri tersebut adalah Acetobacter, Azotobacter, Bacillus, Escherichia,

Flavobacterium, Micrococcus, Paracoccus, Pseudomonas dan Staphylococcus.

Widawati dan Suliasih (2006) dalam penelitiannya menemukan empat

jenis bakteri pelarut fosfat (BPF) pada sampel tanah kebun biologi wamena.

Keempat jenis BPF itu adalah (Bacillus megaterium, B. pantothenticus,

Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes). Nurkanto (2007)

menemukan tujuh genus aktiminosetes pada tanah hutan paska kebakaran di Bukit

Bangkirai Kalimanatan Timur. Ketujuh genus yaitu Streptomyces, Nocardia,

Microbiospora, Micromonospora, Microtetraspora, Streptosporangium dan

Actinoplanes. Wibowo, et al, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa genus bakteri pelarut fosfat yang terdapat pada tanah gambut kecamatan Samarinda

Utara provinsi Kalimantan Timur adalah Bacillus dan Pseudomonas.

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tallapragada dan Usha (2012) dari

(9)

flavus str 1, A. terreus, A, clavatus, A. flavus str 2, A. fumigates dan A. niger serta

mengemukakan bahwa A. niger merupakan jenis fungi pelarut fosfat yang paling

optimal dalam melarutkan fosfat. Kucey (1983) berpendapat Penicillium dan

Aspergillus merupakan jenis fungi pelarut fosfat yang berpotensi dapat

melarutkan batuan fosfat dan dapat ditemukan pada permukaan akar

(rhizosphere).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Kecamatan Pangururan

Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal hutan terbakar di desa Siogung –

ogung dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir,

Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Samosir (2013), tahun 2012 di desa Siogung – ogung kawasan hutan

lindung yang terbakar seluas 0.5 ha. Pada tahun 2013 di desa Sosor Dolok luas

hutan yang terbakar seluas 60 Ha.

Topografi wilayah umumnya berbukit – bukit. Kemiringan lahan

umumnya landai hingga curam. Menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika (2014) dapat dilihat pada lampiran, curah hujan pada wilayah ini

termasuk pada kategori tinggi dengan angka curah hujan rata – rata 100-250 mm

tiap tahunnya. Wilayah kabupaten samosir tergolong dalam iklim tropis basah

dengan suhu berkisar antara 17oC – 29oC dan rata – rata kelembaban udara

sebesar 85.04 %. Sebaran jenis tanah di wilayah pangururan didiominasi oleh

(10)

2. Kecamatan Simanindo

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak

dan Curaman Tomok dan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar

(kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010 di

kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun

2011 luas kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman Tomok mencapai

3 Ha, dan pada tahun 2014 contoh tanah diambil pada kawasan kebakaran hutan

lidung di desa Curaman Tomok (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Samosir, 2013).

Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya

berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir

memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di

daerah Kecamatan Simanindo Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September

dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya Kecamatan

Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis basah dengan

suhu berkisar antara 17oC-29oC dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04%.

Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah litosol dan

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini meliputi bahagian kajian literatur yang mana akan membincang dan menerangkan dengan lebih jelas mengenai teoritikal ke atas kajian-kajian yang terdahulu yang

Untuk itu pemahaman teori informasi dan komunikasi serta teknologi penunjangnya merupakan sesuatu yang penting diketahui seberapa-pun besarnya, agar penyampaian

selaku Sekretaris Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.. Bapak Faisal Eriza, S.Sos.MSP sebagai

[r]

Relung makanan adalah kebiasaan makan suatu spesies ikan terhadap satu atau beberapa jenis makanan yang mengindikasikan adanya perbedaan sumberdaya makanan yang

Kecapi suntul dicirikan dengan buah berbentuk bulat m em anjang, pangkal buah m eruncing, ukuran lebih kecil dibandingkan kecapi m asam dengan rasa daging buah m anis.. Tanam an

The roads are classified into village roads, District roads, State Highways, National Highway, Golden Quadrilateral Super ways, Express ways, Border roads and

Dengan berpedoman data diatas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kemandirian pemerintah daerah Kabupaten Klaten dari periode tahun 2011–2014 dengan berdasarkan kriteria