• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Stres Kerja pada Karyawan PT. X yang Mengalami Decline Stage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Stres Kerja pada Karyawan PT. X yang Mengalami Decline Stage"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES KERJA

1. Definisi Stres Kerja

Beer dan Nowman (dalam Luthans, 1998) menyatakan stres kerja sebagai

sebuah kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan

mereka, dimana terdapat ketidakpastian dan ketidaksesuaian karakteristik dan

perubahan – perubahan yang terjadi di dalam perusahaan atau organisasi . Selain itu

stres kerja juga dinyatakan sebagai suatu kondisi yang dinamis saat

seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait

dengan apa yang dihasratkan oleh individu yang hasilnya dipandang penting namun

tidak pasti (Schuller, 2002). Artinya walaupun potensi dan kesempatan ada,

seseorang juga bisa menghadapi stres akibat ketidakpastian perubahan lingkungan

pekerjaan yang harus dihadapinya.

Menurut Beehr dan Franz (1987) stres kerja adalah suatu proses yang

menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaannya,

tempat kerja atau situasi kerja tertentu. Hampir semua orang mengalami stres pada

pekerjaan mereka, dimana hal ini banyak dianggap pekerja sebagai hal yang biasa

terjadi, namun ternyata stres yang dirasakan akan semakin kuat dan lama (Sarafino,

(2)

Sementara itu, definisi stres sendiri adalah ketegangan yang berpengaruh pada

emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang (Siagian, 2003). Lebih spesifik lagi,

menurut Taylor (2009) stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai

dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif dan prilaku yang diperkirakan

seseorang untuk dapat merubah suatu kejadian yang dihadapinya ataupun

mengakomodir efek dari stres tersebut.

Rice (1987) mendefinisikan stres kerja sebagai permintaan dalam pekerjaan

yang melampaui batas kemampuan dari karyawan itu sendiri. Menurutnya stress

dapat dibedakan atas 3 cara yakni :

- Pertama, segala stimulus atau kejadian dari luar yang menyebabkan

seseorang merasa tertekan atau terangsang, yang berarti stres berada di

luar orang tersebut (eksternal).

- Kedua, stress juga dinyatakan sebagai respon subjektif terhadap apa

yang terjadi, dalam hal ini ini stress berarti internal mental state dari

tekanan tersebut.

- Ketiga, stress dilihat sebagai reaksi fisik oleh tubuh untuk menandakan

adanya kerusakan yang kemudian menjadi pertahanan tubuh terhadap

tekanan tersebut.

Stres sebagai reaksi fisik yakni pertahanan tubuh merupakan reaksi yang

dilakukan oleh tubuh untuk berhadapan dengan situasi stres tersebut. Reaksi tersebut

(3)

merespon stres dalam keadaan yang tidak spesifik untuk mengantisipasi kerusakan

imun yang diakibatkan oleh lamanya stres yang menetap dalam diri individu. General

Adaptation Syndrome atau GAS memiliki 3 tahapan reaksi yakni alarm reaction,

stage of resistance dan stage of exhausted.

Gambar 1. Fase pada General Adaptation Syndrome ( Selye, 1974)

Fase pertama yakni alarm reaction terjadi ketika tubuh menyadari ada stresor

yang hadir dan harus dihadapi. Semakin lama tubuh berjuang untuk bertahan,

resistensi tubuh akan terus berkurang yang selanjutnya akan membawanya pada

tahapan kedua. Pada tahapan kedua yakni stage of resistance, tubuh akan berada

dalam keadaan konstan untuk bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Tubuh

mencoba terus beradaptasi dan menerima paparan stres yang berkelanjutan.

Kemudian tahap terakhir yakni stage of exhaustion dimana kemampuan tubuh untuk

berhadapan dengan stres akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh lamanya paparan

stres yang terjadi, sehingga tingkat resistensi yang tadinya meningkat dari normal,

(4)

dibawah itu. Sehingga tahapan stage of exhaustion yang berkepanjangan dan berulang berpotensi mengembangkan penyakit yang dipicu oleh gangguan psikologis (Brannon

& Feist, 2007).

Demikianlah cara tubuh menyesuaikan diri dan berhadapan dengan stres yang

terjadi. Hal ini terjadi pada semua jenis stres yang dialami individu. Demikian pula

pada stres kerja yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Pemicunya dapat beragam

seperti persaingan di kantor, relasi dengan rekan kerja, pekerjaan yang terlalu banyak

dan lain sebagainya (Rice, 1999).

Pada dasarnya stres tidak selalu berdampak negatif pada tubuh. Ada stres

yang bersifat positif dan konstruktif yang disebut dengan eustress. Sebuah pekerjaan

juga membutuhkan kekuatan stres untuk meningkatkan performansinya. Sementara

sebaliknya ada stres yang sifatnya negatif yakni mengarah pada destruktif. Pada

umumnya gejala stres kerja yang sering ditampilkan lebih mengarah pada stres yang

merugikan karyawan maupun perusahaannya. Stres yang memberi dampak buruk dan

destruktif ini kemudian disebut sebagai distress (Selye dalam Rice, 1992). Distress

yang kemudian akan menjadi fokus penelitian ini mengenai stres kerja yang dialami

(5)

2. Simtom Stres Kerja

Rice (1987) mengelompokkan simtom stres kerja ke dalam 2 bagian

besar, yakni simtom psikologis dan fisik. Namun ada satu pembagian lagi

oleh Schuler (1980) yakni simtom perilaku berhubungan dengan dampak

organisasional pada karyawan. Sehingga terdapat 3 simtom stres kerja yakni

simtom psikologis, fisik dan prilaku.

a. Simtom psikologis

Berikut beberapa simtom psikologis yang sering ditemukan pada

orang yang mengalami stres kerja :

- Sangat sensitif secara emosional dan merasa tertekan.

- Efektifitas komunikasi karyawan berkurang dari kemampuannya yang

biasa.

- Merasa ditolak oleh lingkungan sekitar, dalam hal ini seorang

karyawan akan merasa tidak diterima di lingkungan kerja atau bahkan

oleh keluarganya sendiri yang kemudian akan membuatnya merasa

terasing dan terpisahkan.

(6)

- Kemampuan intelektual secara umum menurun. Kesulitan untuk

berkomunikasi, memahami perintah maupun pertanyaan serta

kecepatan kerja yang menurun bisa menjadi indikasi simtom

intelektual ini

- Kurang konsentrasi, kreatifitas dan spontanitas dalam bekerja

- Kurangnya motivasi dan kepercayaan diri dalam penyelesaian tugas.

- Adanya gejala depresi seperti gangguan tidur, gangguan makan,

kelelahan, tidak mampu menyelesaikan tugas, merasa terjebak dalam

pekerjaan hingga menurunnya hasrat seksual (Rollinson, 2005).

b. Simtom fisik

Beberapa simtom fisik dibawah ini sering dirasakan oleh seseorang

yang mengalami stres. Kelelehan secara fisik, cedera, gangguan tidur dan

gangguan pencernaan adalah beberapa hal yang paling sering terjadi (Adams

dalam Rice, 1987). Berikut simtom fisik lainnya yang dapat dialami seseorang

ketika berada dalam keadaan stres

- Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Hal ini berbanding

lurus dengan meningkatnya kecemasan. Semakin cemas seseorang,

maka semakin meningkat pula sekresi adrenalin yang meningkatkan

detak jantung . Peningkatan detak jantung akan berakibat pada

(7)

- Berpotensi mengalami gejala sakit fisik seperti maag atau dyspepsia serta sesak napas atau sakit kepala.

- Mual, sakit leher, bibir kering, pusing dan bersendawa.

- Kelelahan fisik dan ketegangan otot yang dapat diakibatkan karena

gangguan tidur yang terjadi akibat stres kerja.

c. Simtom prilaku

Pada karyawan, stres kerja sangat berpengaruh terhadap prilakunya di

organisasi di tempat ia bernaung (Rice, 1987). Organisasi dan karyawannya

akan terus saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Schuller

(1980) mengemukakan beberapa prilaku pada karyawan yang mengalami stres

kerja :

- Rendahnya performansi kerja secara kuantitatif dan kualitatif

- Rendahnya keterlibatan dalam pekerjaan, karyawan sering menolak

untuk diberi tanggung jawab.

- Menunjukkan ketidakpuasan maupun keluhan terhadap banyak tugas

yang dikerjakan dirinya sendiri maupun orang lain (Miner, 1992).

- Kurang perhatian terhadap keadaan perusahaan dan kolega. Hal ini

dapat dilihat sebagai kurangnya komitmen karyawan oleh perusahaan.

- Absensi yang tinggi diakibatkan rendahnya motivasi bekerja serta

(8)

dengan rekan kerjanya. Hal ini juga bisa terjadi karena rasa muak yang

dimiliki karyawan terhadap lingkungan kerjanya.

- Menyebabkan kecelakaan, ini disebabkan karena kurangnya

konsentrasi serta spontanitas karyawan pada saat bekerja.

- Hiperaktif, mencari-cari kegiatan dan melakukan hal yang tidak

bermanfaat

- Meningkatnya konsumsi obat-obatan, misalnya obat tidur atau obat

penenang.

- Suka menggerutu dan mengeluh tentang banyak hal, khususnya hal

yang berkaitan dengan pekerjaan, tugas maupun hubungannya dengan

teman kerja (Burke dalam Rollinson, 2005).

- Meninggalkan pekerjaan baik itu melakukan penundaan atau memang

tidak ingin menyelesaikan pekerjaan tersebut.

- Menyebabkan konflik bagi karyawan yang lain (Venniga & Spradley,

1981)

3. Dampak Stres Kerja

Stres kerja memberikan banyak dampak yang terlihat secara fisik

maupun prilaku seseorang. Berikut beberapa dampak yang dapat terlihat pada

seseorang yang mengalami stres kerja :

- Emosi yang naik dan turun dan sulit dikontrol. Emosi di lingkungan

(9)

mempersepsikan masalah dan tipe kepribadian yang dimiliki (Papalia,

2007).

- Memaksimalkan potensi burnout. Burnout adalah fenomena yang

terjadi pada seorang karyawan yang merasa memiliki perasaan, motif

dan pengalaman yang sangat buruk dengan pekerjaan mereka.

Karyawan yang mengalami burnout merasa tidak lagi dapat

mentoleransi batas kemampuan mereka untuk menghadapi masalah

sehingga merasakan kelelahan yang luar biasa baik secara fisik

maupun psikologis. Karyawan akan menunjukkan cirri-ciri seperti

hilangnya kepercayaan pada perusahaan, kehilangan minat hingga

tidak lagi ingin bekerja (Miner, 1992)

- Konsentrasi yang mudah terganggu dalam melakukan tugas yang telah

diperintahkan, atau sering salah memberi instruksi dan melakukan

kesalahan dalam pekerjaan (Rice, 1999).

- Selera makan yang berubah, bisa kehilangan nafsu makan maupun

terlalu banyak makan yang dapat mengakibatkan obesitas (Flach

dalam Rollinson, 2005).

- Lebih hiperaktif dari biasanya. Terkadang diikuti dengan agresifitas

yang meningkat, baik itu secara verbal misalnya membentak, sarkasme

ataupun memaki, ataupun secara nonverbal misalnya memukul tangan

(10)

- Karyawan akan lebih sering jatuh sakit. Stres kerja yang bersifat

distress sangat berhubungan erat dengan lemahnya kekuatan fisik dan

mental. Hal ini terjadi karena sistem saraf manusia terutama otak,

berhubungan dengan semua sistem biologis dan psikologis yang

berpengaruh kepada fungsi sistem imun (Ray, 2004).

- Kesulitan untuk tidur bahkan insomnia juga menjadi salah satu

dampak dari stres kerja akibat adanya perubahan suasana kerja (The

Association for Behavioral and Cognitive Therapies, 2010).

- Mudah lelah secara fisik maupun psikologis, menurunnya hasrat

seksual, menghindar dari kontak sosial dan kesulitan untuk menikmati

aktifitas pada seorang individu sebagai dampak dari stres kerja yang

dialami karyawan tersebut (Rollinson, 2005)

4. Faktor Penyebab Stres Kerja

Stres kerja adalah tekanan yang berasal dari karakter individual, pekerjaan dan

lingkungan (Greenberg, 2002). Artinya stres dapat berasal dari salah satu ataupun

gabungan antara faktor karakter individual, pekerjaan maupun lingkungan. Rollinson

(2005) menyebutkan banyak sekali faktor penyebab stres kerja yang digolongkannya

kedalam 4 faktor utama yakni lingkungan, faktor organisasi, faktor hubungan sosial

(11)

a. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan memiliki tekanan yang berasal di luar karyawan

atau organisasi yang kemudian dapat berpotensi mengganggu karyawan

tersebut atau organisasinya. Faktor lingkungan ini mencakup faktor ekonomi

dan stabilitasnya, faktor sosial dan politik yang dapat berupa pemerintahan

yang baru, iklim politik di sebuah daerah, dan bagaimana orang-orang

disekitar kita berinteraksi. Faktor sosial dan politik disini berkaitan dengan

adanya perubahan perubahan yang membawa nasib seorang karyawan dalam

ketidakpastian. Selain itu perubahan lingkup sosial juga akan menyebabkan

adanya rasa takut dan insecurity pada karyawan. Sehingga berpotensial

menyebabkan stres. Selain faktor ekonomi dan sosial-politik, ada faktor

teknologi serta faktor pekerjaan dan keluarga. Faktor teknologi dapat

disebabkan karena cepatnya perkembangan teknologi sehingga menyebabkan

kesulitan beradaptasi bagi beberapa orang dan dapat menjadi salah satu

penyebab stres. Pada faktor pekerjaan dan keluarga, diyakini bahwa adanya

masalah pekerjaan yang dibawa ke dalam rumah, baik oleh individu itu

sendiri maupun orang lain di dalam keluarganya, dapat memicu stres bagi

anggota keluarga yang lain (Jones & Fletcher dalam Rollinson, 2005). Selain

itu adanya ambiguitas kewajiban berperan dengan tuntutan yang berbeda pada

saat berada di tengah keluarga dan rekan kerja juga dapat menjadi salah satu

(12)

b. Faktor organisasi

Stres juga dapat berasal dari organisasi, dimana seluruh aspek dari

organisasi berpotensial membangkitkan stres pada karyawan. Adanya

kebingungan peran mengenai pekerjaan, batasan kekuasaan dan

ketidakpastian dalam pekerjaan dapat menjadi penyebabnya. Selain itu pada

sebuah perusahaan yang strukturnya bersifat kaku juga dapat menyebabkan

kecemasan dan stres, karena karyawan merasa kesempatannya untuk

berkembang atau mendapatkan promosi sangat sedikit. Iklim dan budaya

organisasi yang tidak nyaman serta politik organisasi yang tidak kooperatif

juga dapat menjadi tekanan bagi seorang karyawan. Pada sebuah organisasi

seperti perusahaan, saling bergantung dan kecendrungan untuk bekerjasama

sangat dibutuhkan. Namun tidak semua karyawan mau bersikap kooperatif

dengan karyawan lainnya. Artinya timbul iklim persaingan disini. Hal ini juga

menimbulkan stres pada karyawan dalam menghadapi tuntutan perusahaan

dan lingkungan kerjanya yang tidak kooperatif karena adanya kepentingan

politik masing-masing.

c. Faktor sosial dalam konteks organisasi

Hubungan sosial memiliki peran penting di dalam kehidupan manusia.

Bagi seorang karyawan, hal ini bisa dilihat dari hubungannya dengan atasan,

(13)

didalam kelompok tersebut. Stres bisa terjadi dari hasil hubungan seorang

karyawan dengan atasannya. Adanya instruksi yang kurang jelas, kurangnya

dukungan secara fisik maupun emosional dan kurangnya penghargaan dari

atasan dapat membuat karyawan merasa bekerja di bawah tekanan. Selain itu

kurangnya pengarahan yang adekuat mengenai apa yang boleh dan tidak

boleh dikerjakan serta apa yang mau dilakukan selanjutnya juga membuat

karyawan merasa berada di dalam ketidakpastian yang dapat

menyebabkannya berada dalam keadaan stres (Schuller, 2002).

Lebih spesifik lagi, Greenberg (2002) menyatakan bahwa stres juga

meningkat ketika seseorang merasa ada ketidakjelasan di dalam pekerjaannya.

Misalnya terlalu banyak atau terlalu sedikitnya pekerjaan, ambiguitas peran

dan ketidakjelasan tuntutan dalam pekerjaan (Schaufeli & Peeters, 2000).

Mengenai hubungan sosialnya dengan anggota kelompok pada sebuah

organisasi atau perusahaan, Argyris dalam Rollinson (2005) menyebutkan

bahwa konflik dengan teman kerja dapat menjadi faktor stres pada karyawan.

Kurangnya rasa saling percaya, kurangnya rasa saling menghargai dan tidak

bersimpati satu sama lain dapat berkembang menjadi lingkungan sosial yang

memberi distress bagi performa karyawan.

d. Faktor individu dalam konteks organisasi

Pada faktor individu, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada stres

(14)

mempengaruhi bagaimana tubuh merespon. Tubuh yang sakit secara fisik

akan menyebabkan tekanan secara biologis maupun psikologis sehingga

seseorang berada dalam keadaan stres. Selain itu, konflik yang terjadi di

dalam individu sendiri juga dapat menjadi faktor stres karena individu

dihadapkan pada pilihan untuk menjauh dan mendekat (approaching dan

avoiding) dari sumber stres (Sarafino, 2011). Dalam hal ini individu harus memutuskan untuk memilih salah satu atau menyeimbangkan keduanya, yang

mana hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan (Sarafino, 2011). Rice

(1987) juga mengemukakan bahwa stres banyak disebabkan oleh bagaimana

cara seseorang berpikir dan menginterpretasi kejadian yang ada di sekitarnya

Faktor kedua, job design yang berkaitan dengan jadwal karyawan,

setting pekerjaan dan shift pekerjaan. Pada karyawan dengan shift malam, tekanan yang dihasilkan akan lebih tinggi karena mereka harus melawan

kebutuhan biologis untuk beristirahat di malam hari. Sementara itu, pada

karyawan dengan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi sangat tinggi, juga

rentan mengalami kecemasan akibat tanggung jawab yang dipikul yang

kemudian dapat menjadikannya stres. Berbeda lagi dengan karyawan yang

memiliki pekerjaan rutin, yang lama kelamaan menjadi terbiasa dan tidak

merasakan adanya tantangan. Hal ini akan membawa mereka pada kebosanan

dan kecemasan yang mengakibatkan stres hingga depresi (Makin et al dalam

(15)

Faktor keempat adalah kompleksitas, konflik dan adanya ambiguitas

peran. Sebuah peran akan dinyatakan kompleks dan berkonflik ketika

karyawan sendiri sudah merasa tidak percaya diri dengan posisinya serta tidak

lagi berkomitmen akan perusahaan tersebut (Kahn et al. dalam Rollinson,

2005). Ambiguitas peran terjadi ketika tugas dan ekspektasi terhadap

performansi individu tidak didefinisikan dengan jelas (Aamodt, 2007, Berry

1998; Rice 1992). Ketika kebingungan ini terus terjadi, seorang karyawan

mengalami stres yang membuatnya tidak bersemangat dalam bekerja, tidak

percaya diri dalam bertindak, tidak merasa puas akan pekerjaannya hingga

depresi (French dan Caplan,1973).

Struktur perusahaan juga dapat menimbulkan stres kerja pada seorang

karyawan. Stres kerja dapat terjadi disini karena seseorang akan merasa

bekerja dibawah tekanan yang berat ketika ia bertanggung jawab akan

pekerjaan orang lain (Sarafino, 2011). Stres yang dialami seorang manajer

dalam menghadapi ketidakpastian perubahan perusahaan tidak hanya

mengenai dirinya sendiri, namun juga menyangkut ketidakpastian karyawan

yang berada dibawahnya (French & Caplan, 1973).

Faktor Internal seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan

masa kerja juga menjadi faktor penting dalam stres kerja. Ketika seorang

karyawan telah bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama, perubahan

yang timbul dalam perusahaan tersebut menimbulkan ketakutan pada

(16)

Pada jenis kelamin, Fink (2007) menyatakan bahwa wanita mengalami

banyak stres karena menghadapi stressor tertentu (role conflict) lebih sering

daripada pria, dan wanita dan pria mungkin bereaksi berbeda terhadap stres.

Pada faktor usia lebih menekankan pada adanya penurunan kesehatan fisik

pada usia yang semakin tua sehingga rentan menjadi pemicu stres (Fink,

2007).

Selain faktor- faktor di atas, Sarafino (1998) juga mengemukakan life

change events sebagai sebuah keadaan yang menyebabkan seseorang merasa

stres. Life-change events yang dimaksud adalah peristiwa yang melibatkan

perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan

penyesuaian atau adaptasi dalam menghadapinya. Ibarra (2003) menyatakan

perubahan yang terjadi dalam dunia pekerjaan akan menuntut seorang

karyawan untuk mengadaptasikan peran, sikap, nilai dan prilakunya terhadap

norma atau aturan baru yang dikehendaki perusahaan dan hal ini tentu tidak

mudah. Terutama pada pekerja dengan usia yang menengah (midlife), yang

terkategori masih produktif untuk bekerja, namun tidak untuk memulai sebuah

pekerjaan baru dengan lahan yang baru. Sementara menurut Skirbek (2003),

produktifitas pekerja akan mengalami penurunan mulai dari usia 50 tahun

keatas. Perubahan pada pekerjaan dengan rentang usia ini dapat menimbulkan

(17)

B. DECLINE STAGE

Decline stage adalah sebuah tingkatan atau fase terjadinya penurunan

terus menerus dalam seluruh kegiatan di dalam sebuah organisasi (Robbins

dan Barnwell, 2002). Sebuah organisasi akan mengalami beberapa fase pada

perkembangannya. Fase ini kemudian dikenal sebagai Organisational Life

Cycle atau OLC (Robbins, 1990). OLC membantu sebuah organisasi, dalam hal ini perusahaan untuk memprediksi keadaannya dan membantu untuk

mempersiapkan diri menuju langkah berikutnya (Dark, 2005).

Organisational Life Cycle atau OLC adalah tahapan yang dilalui

perusahaan mulai dari pembukaan hingga penutupannya (Daft & Murphy,

2010). Menurut Robbins (2008), OLC memiliki 5 tahapan yang terus

mengalami proses selama sebuah organisasi terbentuk. Kelima tahapan

tersebut adalah : start-up stage, growth stage, maturity stage, revival stage

dan berakhir di decline stage.

1. Start up stage

Start-up stage atau stase awal melibatkan banyak sekali uji coba. Pada fase ini, organisasi atau sebuah perusahaan baru saja

dibentuk. Penstrukturan organisasi masih sederhana dan terpusat

(centralized). Artinya semua keputusan dan tindakan akan

diinstruksikan dari pihak pemilik perusahaan ataupun direksi yang

berkuasa. Tujuan perusahaan saat berada pada tahap ini adalah

(18)

menempatkan produk di pasaran. Selain itu, intensitas pemasaran dan

produksi terus meningkat, beriringan dengan pengembangan brand

image atas perusahaan itu sendiri.

Masalah yang biasa terjadi pada tahap ini biasa berupa masalah

administrasi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang baru berdiri

tentunya masih harus mengurus banyak administrasi untuk melakukan

persiapan pemasaran produk, pembelian mesin, perekrutan karyawan

dan lainnya. Pada tahapan start-up stage perusahaan membutuhkan

karyawan yang kreatif, tangguh dan berani untuk bertransisi untuk

membantu perusahaan bergerak maju dan mendapatkan tempat di

pasaran. Ketika perusahaan telah mendapat tempat di pasaran dengan

penjualan yang cukup sesuai target, maka tahap start-up stage akan

berpindah ke tahapan berikutnya.

2. Growth stage

Pada tahapan ini penjualan perusahaan terus tumbuh. Produk

diterima di pasaran sehingga tidak begitu membutuhkan inovasi untuk

pengembangan produk. Struktur di dalam perusahaan juga telah lebih

matang dengan menggunakan sistem hirarki. Artinya, saat ini

keputusan tidak lagi diambil oleh pemilik perusahaan, namun sudah

(19)

permasalahan-permasalahan yang rutin terjadi, atau bukan merupakan

kasus khusus.

Masalah yang terjadi pada growth-stage adalah krisis otonomi.

Krisis otonomi disini disebabkan oleh kuangnya inovasi yang

dibutuhkan dan menyebarnya kekuasaan, sehingga sensitivitas

perusahaan mengenai persaingan pasar secara progresif berkurang.

3. Maturity stage

Pada tahapan ini, perusahaan berada dalam kedaan prima dan

kompetitif di pasaran. Selain itu pengembangan teknologi terus

dimaksimalikan sehingga produk yang dihasilkan juga semakin

membaik dan membawa profit yang tinggi untuk perusahaan.

Strukturisasi perusahaan pada tahap ini mengalami sedikit

perubahan karena kestabilan pemasaran dan efektifitas perusahaan

yang baik. Tidak terlalu banyak delegasi kekuasaan pada maturity

stage, hanya ada beberapa manajer yang menjadi kunci pengoprasian perusahaan. Namun pada tahapan ini, pengambilan keputusan menjadi

kurang inovatif, kurang proaktif dan lebih beresiko daripada tahapan

lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti sistem birokrasi,

proses perencanaan secara formal (formal planning process), teknik

(20)

Masalah yang sering terjadi pada tahapan ini adalah perhatian

perusahaan yang terpusat pada kompetisi. Pada dasarnya kompetisi

adalah hal yang baik untuk memajukan perusahaan, namun yang

terjadi pada tahapan ini adalah perusahaan yang fokus pada kompetisi

promosi, bukan kompetisi inovasi produk. Sehingga perusahaan tidak

melakukan banyak inovasi seperti yang dilakukannya pada tahap

sebelumnya. Selain itu, dana perusahaan telah diatur sedemikian rupa

untuk dikeluarkan sesuai dengan produk saja (product-based

company). Hal ini menyebabkan perusahaan akan lebih

memprioritaskan pengeluaran dana untuk hal-hal yang sifatnya lebih

kepada kebiasaan perusahaan daripada proyek berpotensial tinggi

misalnya pengembangan teknologi.

Pada akhirnya, keadaan perusahaan yang stabil dan kekurangan

inovasi inilah yang kemudian perlahan akan membawanya pada tahap

penurunan (decline stage). Selama penurunan terjadi secara perlahan,

perusahaan, manajer dan karyawan juga akan ikut terjebak oleh

kemampuan melakukan inovasi dan daya saing yang terus melemah.

4. Revival stage

Revival stage merupakan tahapan yang sifatnya opsional yang

terjadi diantara maturity stage dan decline stage. Artinya tahapan ini

(21)

sebuah perusahaan mengalami tahapan ini, maka manajer ataupun

karyawan telah menyadari adanya penurunan yang terjadi secara

perlahan maupun drastis pada perusahaan.

Tahapan ini melibatkan perkembangan yang luar biasa pada

perusahaan. Inovasi yang melonjak, pengambilan keputusan yang

cepat dan beresiko tinggi tidak dapat terelakkan. Untuk mengantisipasi

kesalahan yang mungkin akan memperburuk keadaan perusahaan,

maka akan dibentuk sebuah tim proyek (project team) yang bertugas

menganalisa masalah yang terjadi pada perusahaan. Project team juga

dibentuk untuk menciptakan inovasi baru dan melakukan analisa

secara scientific mengenai rencana langkah yang akan diambil

berikutnya. Project team terdiri dari beberapa karyawan dan manajer

yang ahli untuk masing-masing bidang yang dibutuhkan.

Masalah pada tahapan ini adalah kesalahan yang terjadi pada

tahapan sebelumnya telah membuat perusahaan rapuh. Sehingga pada

tahapan ini biasanya perusahaan seperti mengulang birth stage, namun

lebih kompleks karena harus menyelesaikan masalah yang sudah ada

terlebih dulu. Akhir dari revival stage ini hanya memiliki 2 pilihan.

Pilihan pertama adalah usaha untuk meperbaiki keadaan perusahaan

tidak berhasil, sehingga perusahaan akan memasuki tahap berikutnya

yakni decline stage, atau pilihan kedua yakni tahapan ini berhasil

(22)

bahkan mengembangkannya menjadi perusahaan yang lebih besar

daripada sebelumnya.

5. Decline stage

Decline stage merupakan tahapan terakhir yang dilalui

perusahaan sebelum akhirnya perusahaan ini dinyatakan tutup atau

berakhir. Pemasaran produk yang stagnan bahkan menurun serta profit

perusahaan yang juga ikut menurun menjadi ciri utama tahapan ini.

Perubahan sumber daya alam (dalam hal ini kehabisan sumber daya

gas) juga dapat menyebabkan penurunan produksi pada perusahaan

yang menyebabkanya masuk pada tahapan ini (Robbins dalam

Vendetti 2010).

Penjualan produk pada tahapan ini telah jauh menurun jika

dibandingkan dengan penjualan pada maturity stage. Perusahaan mulai

melakukan penjualan berbagai produk yang tidak esensial atau bukan

merupakan produk utama yang diproduksi selama ini. Secara

struktural perusahaan juga melakukan perampingan misalnya dengan

pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan. Selain itu

melemahnya proses penyampaian informasi yang terjadi antar divisi

juga dapat semakin memperburuk keadaan perusahaan. Adanya

(23)

memiliki skill untuk beberapa tugas juga terjadi, yang kemudian akan menimbulkan stres tersendiri pada karyawan (Daft & Murphy, 2010).

Akhirnya, perusahaan akan terus mendekati masa akhirnya.

Revival stage mungkin saja akan menjadi solusi untuk tahapan ini,

namun merealisasikannya akan sangat sulit sehingga perusahaan akan

terus turun dan akhirnya berakhir.

Bagi karyawan PT. X, decline stage merupakan hal yang baru bagi

kehidupan pekerjaan mereka. Banyak perubahan yang terjadi pada pekerjaan

serta kehidupan karyawan dan keluarga semenjak PT. X mengalami decline

stage. Decline stage menjadi perubahan yang besar dalam kehidupan para

karyawan yang selanjutnya disebut sebagai life change events. Life change

events adalah peristiwa yang melibatkan perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan penyesuaian atau adaptasi dalam

menghadapinya. Perubahan tidak pernah mudah dan dapat menjadi sumber

stres karena perubahan itu memaksa kita untuk menyesuaikan diri (Nevid,

2005). Perubahan yang terjadi pada PT. X ini di rasakan oleh karyawan yang

bekerja dalam rentang waktu cukup lama dan sangat familiar terhadap

keadaan perusahaan sebelum mengalami decline stage. Sehingga perubahan

ini menimbulkan stres tersendiri pada karyawan dengan usia paruh baya

(24)

Alberta Human Services, 2007). Hal inilah yang terjadi pada karyawan PT. X

yang kebanyakan sedang berada pada rentang usia paruh baya (midlife).

Menurut Papalia et al. (2007) usia paruh baya (midlife) berada pada

rentang 40-65 dimana usia ini dikarakteristikkan dengan tanggung jawab yang

semakin berat, mematuhi aturan, membesarkan dan mensukseskan anak,

masih merawat orang tua dan memulai karir baru. Usia ini masih

dikategorikan produktif dilihat dari banyaknya tanggung jawab dan tugas

yang harus mereka selesaikan (Lachman & Firth, 2004). Namun Skirbekk

(2003) menyatakan bahwa usia produktif untuk bekerja adalah sampai 50

tahun, karena lebih dari itu akan banyak terjadi pengurangan secara koginitif

maupun motorik secara perlahan.

Murphy dalam Colligan dan Higgins (2005) menyebutkan perubahan

peran, struktur dan iklim perusahaan sangat mempengaruhi performansi

seorang karyawan. Ketika perubahan organisasi ini bersifat penurunan (dalam

hal ini decline stage), maka kemungkinan adanya perampingan karyawan dan

perluasan variasi pekerjaan yang harus dilakukan seorang karyawan akan

semakin besar. Hal – hal ini dapat berkembang menjadi variety overload dan

Gambar

Gambar 1. Fase pada General Adaptation Syndrome ( Selye, 1974)

Referensi

Dokumen terkait

akomodas~ yang disediakan oleh pengelola obyek wisata Kalianda Resort antara lain cottages, ruang pertemuan, restoran yang melayani makan dan minum, sarana

Rencana Tata Ruang Kabupaten dijabarkan dari rencana propinsi dan menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan

ISDN juga dapat didefini- sikan sebagai pengembangan dari jaringan telepon IDN (Integrated Digital Network) yang menye- diakan hubungan digital dari ujung satu pelanggan ke ujung

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) untuk pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga. (2) Pangan olahan sebagaimana

Kasus filariasis di Kota Pekalongan mulai ditemukan sejak tahun 2002 dan pada tahun 2004 mulai dil- akukan Survei Darah Jari (SDJ sebagai langkah awal dalam upaya

5) Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama

Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja adalah orang yang berusaha sendiri yang pada umumnya bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal. Tujuan program

Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam