BAB II
LANDASAN TEORI
A. STRES KERJA
1. Definisi Stres Kerja
Beer dan Nowman (dalam Luthans, 1998) menyatakan stres kerja sebagai
sebuah kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan
mereka, dimana terdapat ketidakpastian dan ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan – perubahan yang terjadi di dalam perusahaan atau organisasi . Selain itu
stres kerja juga dinyatakan sebagai suatu kondisi yang dinamis saat
seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait
dengan apa yang dihasratkan oleh individu yang hasilnya dipandang penting namun
tidak pasti (Schuller, 2002). Artinya walaupun potensi dan kesempatan ada,
seseorang juga bisa menghadapi stres akibat ketidakpastian perubahan lingkungan
pekerjaan yang harus dihadapinya.
Menurut Beehr dan Franz (1987) stres kerja adalah suatu proses yang
menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaannya,
tempat kerja atau situasi kerja tertentu. Hampir semua orang mengalami stres pada
pekerjaan mereka, dimana hal ini banyak dianggap pekerja sebagai hal yang biasa
terjadi, namun ternyata stres yang dirasakan akan semakin kuat dan lama (Sarafino,
Sementara itu, definisi stres sendiri adalah ketegangan yang berpengaruh pada
emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang (Siagian, 2003). Lebih spesifik lagi,
menurut Taylor (2009) stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai
dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif dan prilaku yang diperkirakan
seseorang untuk dapat merubah suatu kejadian yang dihadapinya ataupun
mengakomodir efek dari stres tersebut.
Rice (1987) mendefinisikan stres kerja sebagai permintaan dalam pekerjaan
yang melampaui batas kemampuan dari karyawan itu sendiri. Menurutnya stress
dapat dibedakan atas 3 cara yakni :
- Pertama, segala stimulus atau kejadian dari luar yang menyebabkan
seseorang merasa tertekan atau terangsang, yang berarti stres berada di
luar orang tersebut (eksternal).
- Kedua, stress juga dinyatakan sebagai respon subjektif terhadap apa
yang terjadi, dalam hal ini ini stress berarti internal mental state dari
tekanan tersebut.
- Ketiga, stress dilihat sebagai reaksi fisik oleh tubuh untuk menandakan
adanya kerusakan yang kemudian menjadi pertahanan tubuh terhadap
tekanan tersebut.
Stres sebagai reaksi fisik yakni pertahanan tubuh merupakan reaksi yang
dilakukan oleh tubuh untuk berhadapan dengan situasi stres tersebut. Reaksi tersebut
merespon stres dalam keadaan yang tidak spesifik untuk mengantisipasi kerusakan
imun yang diakibatkan oleh lamanya stres yang menetap dalam diri individu. General
Adaptation Syndrome atau GAS memiliki 3 tahapan reaksi yakni alarm reaction,
stage of resistance dan stage of exhausted.
Gambar 1. Fase pada General Adaptation Syndrome ( Selye, 1974)
Fase pertama yakni alarm reaction terjadi ketika tubuh menyadari ada stresor
yang hadir dan harus dihadapi. Semakin lama tubuh berjuang untuk bertahan,
resistensi tubuh akan terus berkurang yang selanjutnya akan membawanya pada
tahapan kedua. Pada tahapan kedua yakni stage of resistance, tubuh akan berada
dalam keadaan konstan untuk bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Tubuh
mencoba terus beradaptasi dan menerima paparan stres yang berkelanjutan.
Kemudian tahap terakhir yakni stage of exhaustion dimana kemampuan tubuh untuk
berhadapan dengan stres akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh lamanya paparan
stres yang terjadi, sehingga tingkat resistensi yang tadinya meningkat dari normal,
dibawah itu. Sehingga tahapan stage of exhaustion yang berkepanjangan dan berulang berpotensi mengembangkan penyakit yang dipicu oleh gangguan psikologis (Brannon
& Feist, 2007).
Demikianlah cara tubuh menyesuaikan diri dan berhadapan dengan stres yang
terjadi. Hal ini terjadi pada semua jenis stres yang dialami individu. Demikian pula
pada stres kerja yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Pemicunya dapat beragam
seperti persaingan di kantor, relasi dengan rekan kerja, pekerjaan yang terlalu banyak
dan lain sebagainya (Rice, 1999).
Pada dasarnya stres tidak selalu berdampak negatif pada tubuh. Ada stres
yang bersifat positif dan konstruktif yang disebut dengan eustress. Sebuah pekerjaan
juga membutuhkan kekuatan stres untuk meningkatkan performansinya. Sementara
sebaliknya ada stres yang sifatnya negatif yakni mengarah pada destruktif. Pada
umumnya gejala stres kerja yang sering ditampilkan lebih mengarah pada stres yang
merugikan karyawan maupun perusahaannya. Stres yang memberi dampak buruk dan
destruktif ini kemudian disebut sebagai distress (Selye dalam Rice, 1992). Distress
yang kemudian akan menjadi fokus penelitian ini mengenai stres kerja yang dialami
2. Simtom Stres Kerja
Rice (1987) mengelompokkan simtom stres kerja ke dalam 2 bagian
besar, yakni simtom psikologis dan fisik. Namun ada satu pembagian lagi
oleh Schuler (1980) yakni simtom perilaku berhubungan dengan dampak
organisasional pada karyawan. Sehingga terdapat 3 simtom stres kerja yakni
simtom psikologis, fisik dan prilaku.
a. Simtom psikologis
Berikut beberapa simtom psikologis yang sering ditemukan pada
orang yang mengalami stres kerja :
- Sangat sensitif secara emosional dan merasa tertekan.
- Efektifitas komunikasi karyawan berkurang dari kemampuannya yang
biasa.
- Merasa ditolak oleh lingkungan sekitar, dalam hal ini seorang
karyawan akan merasa tidak diterima di lingkungan kerja atau bahkan
oleh keluarganya sendiri yang kemudian akan membuatnya merasa
terasing dan terpisahkan.
- Kemampuan intelektual secara umum menurun. Kesulitan untuk
berkomunikasi, memahami perintah maupun pertanyaan serta
kecepatan kerja yang menurun bisa menjadi indikasi simtom
intelektual ini
- Kurang konsentrasi, kreatifitas dan spontanitas dalam bekerja
- Kurangnya motivasi dan kepercayaan diri dalam penyelesaian tugas.
- Adanya gejala depresi seperti gangguan tidur, gangguan makan,
kelelahan, tidak mampu menyelesaikan tugas, merasa terjebak dalam
pekerjaan hingga menurunnya hasrat seksual (Rollinson, 2005).
b. Simtom fisik
Beberapa simtom fisik dibawah ini sering dirasakan oleh seseorang
yang mengalami stres. Kelelehan secara fisik, cedera, gangguan tidur dan
gangguan pencernaan adalah beberapa hal yang paling sering terjadi (Adams
dalam Rice, 1987). Berikut simtom fisik lainnya yang dapat dialami seseorang
ketika berada dalam keadaan stres
- Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Hal ini berbanding
lurus dengan meningkatnya kecemasan. Semakin cemas seseorang,
maka semakin meningkat pula sekresi adrenalin yang meningkatkan
detak jantung . Peningkatan detak jantung akan berakibat pada
- Berpotensi mengalami gejala sakit fisik seperti maag atau dyspepsia serta sesak napas atau sakit kepala.
- Mual, sakit leher, bibir kering, pusing dan bersendawa.
- Kelelahan fisik dan ketegangan otot yang dapat diakibatkan karena
gangguan tidur yang terjadi akibat stres kerja.
c. Simtom prilaku
Pada karyawan, stres kerja sangat berpengaruh terhadap prilakunya di
organisasi di tempat ia bernaung (Rice, 1987). Organisasi dan karyawannya
akan terus saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Schuller
(1980) mengemukakan beberapa prilaku pada karyawan yang mengalami stres
kerja :
- Rendahnya performansi kerja secara kuantitatif dan kualitatif
- Rendahnya keterlibatan dalam pekerjaan, karyawan sering menolak
untuk diberi tanggung jawab.
- Menunjukkan ketidakpuasan maupun keluhan terhadap banyak tugas
yang dikerjakan dirinya sendiri maupun orang lain (Miner, 1992).
- Kurang perhatian terhadap keadaan perusahaan dan kolega. Hal ini
dapat dilihat sebagai kurangnya komitmen karyawan oleh perusahaan.
- Absensi yang tinggi diakibatkan rendahnya motivasi bekerja serta
dengan rekan kerjanya. Hal ini juga bisa terjadi karena rasa muak yang
dimiliki karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
- Menyebabkan kecelakaan, ini disebabkan karena kurangnya
konsentrasi serta spontanitas karyawan pada saat bekerja.
- Hiperaktif, mencari-cari kegiatan dan melakukan hal yang tidak
bermanfaat
- Meningkatnya konsumsi obat-obatan, misalnya obat tidur atau obat
penenang.
- Suka menggerutu dan mengeluh tentang banyak hal, khususnya hal
yang berkaitan dengan pekerjaan, tugas maupun hubungannya dengan
teman kerja (Burke dalam Rollinson, 2005).
- Meninggalkan pekerjaan baik itu melakukan penundaan atau memang
tidak ingin menyelesaikan pekerjaan tersebut.
- Menyebabkan konflik bagi karyawan yang lain (Venniga & Spradley,
1981)
3. Dampak Stres Kerja
Stres kerja memberikan banyak dampak yang terlihat secara fisik
maupun prilaku seseorang. Berikut beberapa dampak yang dapat terlihat pada
seseorang yang mengalami stres kerja :
- Emosi yang naik dan turun dan sulit dikontrol. Emosi di lingkungan
mempersepsikan masalah dan tipe kepribadian yang dimiliki (Papalia,
2007).
- Memaksimalkan potensi burnout. Burnout adalah fenomena yang
terjadi pada seorang karyawan yang merasa memiliki perasaan, motif
dan pengalaman yang sangat buruk dengan pekerjaan mereka.
Karyawan yang mengalami burnout merasa tidak lagi dapat
mentoleransi batas kemampuan mereka untuk menghadapi masalah
sehingga merasakan kelelahan yang luar biasa baik secara fisik
maupun psikologis. Karyawan akan menunjukkan cirri-ciri seperti
hilangnya kepercayaan pada perusahaan, kehilangan minat hingga
tidak lagi ingin bekerja (Miner, 1992)
- Konsentrasi yang mudah terganggu dalam melakukan tugas yang telah
diperintahkan, atau sering salah memberi instruksi dan melakukan
kesalahan dalam pekerjaan (Rice, 1999).
- Selera makan yang berubah, bisa kehilangan nafsu makan maupun
terlalu banyak makan yang dapat mengakibatkan obesitas (Flach
dalam Rollinson, 2005).
- Lebih hiperaktif dari biasanya. Terkadang diikuti dengan agresifitas
yang meningkat, baik itu secara verbal misalnya membentak, sarkasme
ataupun memaki, ataupun secara nonverbal misalnya memukul tangan
- Karyawan akan lebih sering jatuh sakit. Stres kerja yang bersifat
distress sangat berhubungan erat dengan lemahnya kekuatan fisik dan
mental. Hal ini terjadi karena sistem saraf manusia terutama otak,
berhubungan dengan semua sistem biologis dan psikologis yang
berpengaruh kepada fungsi sistem imun (Ray, 2004).
- Kesulitan untuk tidur bahkan insomnia juga menjadi salah satu
dampak dari stres kerja akibat adanya perubahan suasana kerja (The
Association for Behavioral and Cognitive Therapies, 2010).
- Mudah lelah secara fisik maupun psikologis, menurunnya hasrat
seksual, menghindar dari kontak sosial dan kesulitan untuk menikmati
aktifitas pada seorang individu sebagai dampak dari stres kerja yang
dialami karyawan tersebut (Rollinson, 2005)
4. Faktor Penyebab Stres Kerja
Stres kerja adalah tekanan yang berasal dari karakter individual, pekerjaan dan
lingkungan (Greenberg, 2002). Artinya stres dapat berasal dari salah satu ataupun
gabungan antara faktor karakter individual, pekerjaan maupun lingkungan. Rollinson
(2005) menyebutkan banyak sekali faktor penyebab stres kerja yang digolongkannya
kedalam 4 faktor utama yakni lingkungan, faktor organisasi, faktor hubungan sosial
a. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan memiliki tekanan yang berasal di luar karyawan
atau organisasi yang kemudian dapat berpotensi mengganggu karyawan
tersebut atau organisasinya. Faktor lingkungan ini mencakup faktor ekonomi
dan stabilitasnya, faktor sosial dan politik yang dapat berupa pemerintahan
yang baru, iklim politik di sebuah daerah, dan bagaimana orang-orang
disekitar kita berinteraksi. Faktor sosial dan politik disini berkaitan dengan
adanya perubahan perubahan yang membawa nasib seorang karyawan dalam
ketidakpastian. Selain itu perubahan lingkup sosial juga akan menyebabkan
adanya rasa takut dan insecurity pada karyawan. Sehingga berpotensial
menyebabkan stres. Selain faktor ekonomi dan sosial-politik, ada faktor
teknologi serta faktor pekerjaan dan keluarga. Faktor teknologi dapat
disebabkan karena cepatnya perkembangan teknologi sehingga menyebabkan
kesulitan beradaptasi bagi beberapa orang dan dapat menjadi salah satu
penyebab stres. Pada faktor pekerjaan dan keluarga, diyakini bahwa adanya
masalah pekerjaan yang dibawa ke dalam rumah, baik oleh individu itu
sendiri maupun orang lain di dalam keluarganya, dapat memicu stres bagi
anggota keluarga yang lain (Jones & Fletcher dalam Rollinson, 2005). Selain
itu adanya ambiguitas kewajiban berperan dengan tuntutan yang berbeda pada
saat berada di tengah keluarga dan rekan kerja juga dapat menjadi salah satu
b. Faktor organisasi
Stres juga dapat berasal dari organisasi, dimana seluruh aspek dari
organisasi berpotensial membangkitkan stres pada karyawan. Adanya
kebingungan peran mengenai pekerjaan, batasan kekuasaan dan
ketidakpastian dalam pekerjaan dapat menjadi penyebabnya. Selain itu pada
sebuah perusahaan yang strukturnya bersifat kaku juga dapat menyebabkan
kecemasan dan stres, karena karyawan merasa kesempatannya untuk
berkembang atau mendapatkan promosi sangat sedikit. Iklim dan budaya
organisasi yang tidak nyaman serta politik organisasi yang tidak kooperatif
juga dapat menjadi tekanan bagi seorang karyawan. Pada sebuah organisasi
seperti perusahaan, saling bergantung dan kecendrungan untuk bekerjasama
sangat dibutuhkan. Namun tidak semua karyawan mau bersikap kooperatif
dengan karyawan lainnya. Artinya timbul iklim persaingan disini. Hal ini juga
menimbulkan stres pada karyawan dalam menghadapi tuntutan perusahaan
dan lingkungan kerjanya yang tidak kooperatif karena adanya kepentingan
politik masing-masing.
c. Faktor sosial dalam konteks organisasi
Hubungan sosial memiliki peran penting di dalam kehidupan manusia.
Bagi seorang karyawan, hal ini bisa dilihat dari hubungannya dengan atasan,
didalam kelompok tersebut. Stres bisa terjadi dari hasil hubungan seorang
karyawan dengan atasannya. Adanya instruksi yang kurang jelas, kurangnya
dukungan secara fisik maupun emosional dan kurangnya penghargaan dari
atasan dapat membuat karyawan merasa bekerja di bawah tekanan. Selain itu
kurangnya pengarahan yang adekuat mengenai apa yang boleh dan tidak
boleh dikerjakan serta apa yang mau dilakukan selanjutnya juga membuat
karyawan merasa berada di dalam ketidakpastian yang dapat
menyebabkannya berada dalam keadaan stres (Schuller, 2002).
Lebih spesifik lagi, Greenberg (2002) menyatakan bahwa stres juga
meningkat ketika seseorang merasa ada ketidakjelasan di dalam pekerjaannya.
Misalnya terlalu banyak atau terlalu sedikitnya pekerjaan, ambiguitas peran
dan ketidakjelasan tuntutan dalam pekerjaan (Schaufeli & Peeters, 2000).
Mengenai hubungan sosialnya dengan anggota kelompok pada sebuah
organisasi atau perusahaan, Argyris dalam Rollinson (2005) menyebutkan
bahwa konflik dengan teman kerja dapat menjadi faktor stres pada karyawan.
Kurangnya rasa saling percaya, kurangnya rasa saling menghargai dan tidak
bersimpati satu sama lain dapat berkembang menjadi lingkungan sosial yang
memberi distress bagi performa karyawan.
d. Faktor individu dalam konteks organisasi
Pada faktor individu, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada stres
mempengaruhi bagaimana tubuh merespon. Tubuh yang sakit secara fisik
akan menyebabkan tekanan secara biologis maupun psikologis sehingga
seseorang berada dalam keadaan stres. Selain itu, konflik yang terjadi di
dalam individu sendiri juga dapat menjadi faktor stres karena individu
dihadapkan pada pilihan untuk menjauh dan mendekat (approaching dan
avoiding) dari sumber stres (Sarafino, 2011). Dalam hal ini individu harus memutuskan untuk memilih salah satu atau menyeimbangkan keduanya, yang
mana hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan (Sarafino, 2011). Rice
(1987) juga mengemukakan bahwa stres banyak disebabkan oleh bagaimana
cara seseorang berpikir dan menginterpretasi kejadian yang ada di sekitarnya
Faktor kedua, job design yang berkaitan dengan jadwal karyawan,
setting pekerjaan dan shift pekerjaan. Pada karyawan dengan shift malam, tekanan yang dihasilkan akan lebih tinggi karena mereka harus melawan
kebutuhan biologis untuk beristirahat di malam hari. Sementara itu, pada
karyawan dengan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi sangat tinggi, juga
rentan mengalami kecemasan akibat tanggung jawab yang dipikul yang
kemudian dapat menjadikannya stres. Berbeda lagi dengan karyawan yang
memiliki pekerjaan rutin, yang lama kelamaan menjadi terbiasa dan tidak
merasakan adanya tantangan. Hal ini akan membawa mereka pada kebosanan
dan kecemasan yang mengakibatkan stres hingga depresi (Makin et al dalam
Faktor keempat adalah kompleksitas, konflik dan adanya ambiguitas
peran. Sebuah peran akan dinyatakan kompleks dan berkonflik ketika
karyawan sendiri sudah merasa tidak percaya diri dengan posisinya serta tidak
lagi berkomitmen akan perusahaan tersebut (Kahn et al. dalam Rollinson,
2005). Ambiguitas peran terjadi ketika tugas dan ekspektasi terhadap
performansi individu tidak didefinisikan dengan jelas (Aamodt, 2007, Berry
1998; Rice 1992). Ketika kebingungan ini terus terjadi, seorang karyawan
mengalami stres yang membuatnya tidak bersemangat dalam bekerja, tidak
percaya diri dalam bertindak, tidak merasa puas akan pekerjaannya hingga
depresi (French dan Caplan,1973).
Struktur perusahaan juga dapat menimbulkan stres kerja pada seorang
karyawan. Stres kerja dapat terjadi disini karena seseorang akan merasa
bekerja dibawah tekanan yang berat ketika ia bertanggung jawab akan
pekerjaan orang lain (Sarafino, 2011). Stres yang dialami seorang manajer
dalam menghadapi ketidakpastian perubahan perusahaan tidak hanya
mengenai dirinya sendiri, namun juga menyangkut ketidakpastian karyawan
yang berada dibawahnya (French & Caplan, 1973).
Faktor Internal seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan
masa kerja juga menjadi faktor penting dalam stres kerja. Ketika seorang
karyawan telah bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama, perubahan
yang timbul dalam perusahaan tersebut menimbulkan ketakutan pada
Pada jenis kelamin, Fink (2007) menyatakan bahwa wanita mengalami
banyak stres karena menghadapi stressor tertentu (role conflict) lebih sering
daripada pria, dan wanita dan pria mungkin bereaksi berbeda terhadap stres.
Pada faktor usia lebih menekankan pada adanya penurunan kesehatan fisik
pada usia yang semakin tua sehingga rentan menjadi pemicu stres (Fink,
2007).
Selain faktor- faktor di atas, Sarafino (1998) juga mengemukakan life
change events sebagai sebuah keadaan yang menyebabkan seseorang merasa
stres. Life-change events yang dimaksud adalah peristiwa yang melibatkan
perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan
penyesuaian atau adaptasi dalam menghadapinya. Ibarra (2003) menyatakan
perubahan yang terjadi dalam dunia pekerjaan akan menuntut seorang
karyawan untuk mengadaptasikan peran, sikap, nilai dan prilakunya terhadap
norma atau aturan baru yang dikehendaki perusahaan dan hal ini tentu tidak
mudah. Terutama pada pekerja dengan usia yang menengah (midlife), yang
terkategori masih produktif untuk bekerja, namun tidak untuk memulai sebuah
pekerjaan baru dengan lahan yang baru. Sementara menurut Skirbek (2003),
produktifitas pekerja akan mengalami penurunan mulai dari usia 50 tahun
keatas. Perubahan pada pekerjaan dengan rentang usia ini dapat menimbulkan
B. DECLINE STAGE
Decline stage adalah sebuah tingkatan atau fase terjadinya penurunan
terus menerus dalam seluruh kegiatan di dalam sebuah organisasi (Robbins
dan Barnwell, 2002). Sebuah organisasi akan mengalami beberapa fase pada
perkembangannya. Fase ini kemudian dikenal sebagai Organisational Life
Cycle atau OLC (Robbins, 1990). OLC membantu sebuah organisasi, dalam hal ini perusahaan untuk memprediksi keadaannya dan membantu untuk
mempersiapkan diri menuju langkah berikutnya (Dark, 2005).
Organisational Life Cycle atau OLC adalah tahapan yang dilalui
perusahaan mulai dari pembukaan hingga penutupannya (Daft & Murphy,
2010). Menurut Robbins (2008), OLC memiliki 5 tahapan yang terus
mengalami proses selama sebuah organisasi terbentuk. Kelima tahapan
tersebut adalah : start-up stage, growth stage, maturity stage, revival stage
dan berakhir di decline stage.
1. Start up stage
Start-up stage atau stase awal melibatkan banyak sekali uji coba. Pada fase ini, organisasi atau sebuah perusahaan baru saja
dibentuk. Penstrukturan organisasi masih sederhana dan terpusat
(centralized). Artinya semua keputusan dan tindakan akan
diinstruksikan dari pihak pemilik perusahaan ataupun direksi yang
berkuasa. Tujuan perusahaan saat berada pada tahap ini adalah
menempatkan produk di pasaran. Selain itu, intensitas pemasaran dan
produksi terus meningkat, beriringan dengan pengembangan brand
image atas perusahaan itu sendiri.
Masalah yang biasa terjadi pada tahap ini biasa berupa masalah
administrasi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang baru berdiri
tentunya masih harus mengurus banyak administrasi untuk melakukan
persiapan pemasaran produk, pembelian mesin, perekrutan karyawan
dan lainnya. Pada tahapan start-up stage perusahaan membutuhkan
karyawan yang kreatif, tangguh dan berani untuk bertransisi untuk
membantu perusahaan bergerak maju dan mendapatkan tempat di
pasaran. Ketika perusahaan telah mendapat tempat di pasaran dengan
penjualan yang cukup sesuai target, maka tahap start-up stage akan
berpindah ke tahapan berikutnya.
2. Growth stage
Pada tahapan ini penjualan perusahaan terus tumbuh. Produk
diterima di pasaran sehingga tidak begitu membutuhkan inovasi untuk
pengembangan produk. Struktur di dalam perusahaan juga telah lebih
matang dengan menggunakan sistem hirarki. Artinya, saat ini
keputusan tidak lagi diambil oleh pemilik perusahaan, namun sudah
permasalahan-permasalahan yang rutin terjadi, atau bukan merupakan
kasus khusus.
Masalah yang terjadi pada growth-stage adalah krisis otonomi.
Krisis otonomi disini disebabkan oleh kuangnya inovasi yang
dibutuhkan dan menyebarnya kekuasaan, sehingga sensitivitas
perusahaan mengenai persaingan pasar secara progresif berkurang.
3. Maturity stage
Pada tahapan ini, perusahaan berada dalam kedaan prima dan
kompetitif di pasaran. Selain itu pengembangan teknologi terus
dimaksimalikan sehingga produk yang dihasilkan juga semakin
membaik dan membawa profit yang tinggi untuk perusahaan.
Strukturisasi perusahaan pada tahap ini mengalami sedikit
perubahan karena kestabilan pemasaran dan efektifitas perusahaan
yang baik. Tidak terlalu banyak delegasi kekuasaan pada maturity
stage, hanya ada beberapa manajer yang menjadi kunci pengoprasian perusahaan. Namun pada tahapan ini, pengambilan keputusan menjadi
kurang inovatif, kurang proaktif dan lebih beresiko daripada tahapan
lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti sistem birokrasi,
proses perencanaan secara formal (formal planning process), teknik
Masalah yang sering terjadi pada tahapan ini adalah perhatian
perusahaan yang terpusat pada kompetisi. Pada dasarnya kompetisi
adalah hal yang baik untuk memajukan perusahaan, namun yang
terjadi pada tahapan ini adalah perusahaan yang fokus pada kompetisi
promosi, bukan kompetisi inovasi produk. Sehingga perusahaan tidak
melakukan banyak inovasi seperti yang dilakukannya pada tahap
sebelumnya. Selain itu, dana perusahaan telah diatur sedemikian rupa
untuk dikeluarkan sesuai dengan produk saja (product-based
company). Hal ini menyebabkan perusahaan akan lebih
memprioritaskan pengeluaran dana untuk hal-hal yang sifatnya lebih
kepada kebiasaan perusahaan daripada proyek berpotensial tinggi
misalnya pengembangan teknologi.
Pada akhirnya, keadaan perusahaan yang stabil dan kekurangan
inovasi inilah yang kemudian perlahan akan membawanya pada tahap
penurunan (decline stage). Selama penurunan terjadi secara perlahan,
perusahaan, manajer dan karyawan juga akan ikut terjebak oleh
kemampuan melakukan inovasi dan daya saing yang terus melemah.
4. Revival stage
Revival stage merupakan tahapan yang sifatnya opsional yang
terjadi diantara maturity stage dan decline stage. Artinya tahapan ini
sebuah perusahaan mengalami tahapan ini, maka manajer ataupun
karyawan telah menyadari adanya penurunan yang terjadi secara
perlahan maupun drastis pada perusahaan.
Tahapan ini melibatkan perkembangan yang luar biasa pada
perusahaan. Inovasi yang melonjak, pengambilan keputusan yang
cepat dan beresiko tinggi tidak dapat terelakkan. Untuk mengantisipasi
kesalahan yang mungkin akan memperburuk keadaan perusahaan,
maka akan dibentuk sebuah tim proyek (project team) yang bertugas
menganalisa masalah yang terjadi pada perusahaan. Project team juga
dibentuk untuk menciptakan inovasi baru dan melakukan analisa
secara scientific mengenai rencana langkah yang akan diambil
berikutnya. Project team terdiri dari beberapa karyawan dan manajer
yang ahli untuk masing-masing bidang yang dibutuhkan.
Masalah pada tahapan ini adalah kesalahan yang terjadi pada
tahapan sebelumnya telah membuat perusahaan rapuh. Sehingga pada
tahapan ini biasanya perusahaan seperti mengulang birth stage, namun
lebih kompleks karena harus menyelesaikan masalah yang sudah ada
terlebih dulu. Akhir dari revival stage ini hanya memiliki 2 pilihan.
Pilihan pertama adalah usaha untuk meperbaiki keadaan perusahaan
tidak berhasil, sehingga perusahaan akan memasuki tahap berikutnya
yakni decline stage, atau pilihan kedua yakni tahapan ini berhasil
bahkan mengembangkannya menjadi perusahaan yang lebih besar
daripada sebelumnya.
5. Decline stage
Decline stage merupakan tahapan terakhir yang dilalui
perusahaan sebelum akhirnya perusahaan ini dinyatakan tutup atau
berakhir. Pemasaran produk yang stagnan bahkan menurun serta profit
perusahaan yang juga ikut menurun menjadi ciri utama tahapan ini.
Perubahan sumber daya alam (dalam hal ini kehabisan sumber daya
gas) juga dapat menyebabkan penurunan produksi pada perusahaan
yang menyebabkanya masuk pada tahapan ini (Robbins dalam
Vendetti 2010).
Penjualan produk pada tahapan ini telah jauh menurun jika
dibandingkan dengan penjualan pada maturity stage. Perusahaan mulai
melakukan penjualan berbagai produk yang tidak esensial atau bukan
merupakan produk utama yang diproduksi selama ini. Secara
struktural perusahaan juga melakukan perampingan misalnya dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan. Selain itu
melemahnya proses penyampaian informasi yang terjadi antar divisi
juga dapat semakin memperburuk keadaan perusahaan. Adanya
memiliki skill untuk beberapa tugas juga terjadi, yang kemudian akan menimbulkan stres tersendiri pada karyawan (Daft & Murphy, 2010).
Akhirnya, perusahaan akan terus mendekati masa akhirnya.
Revival stage mungkin saja akan menjadi solusi untuk tahapan ini,
namun merealisasikannya akan sangat sulit sehingga perusahaan akan
terus turun dan akhirnya berakhir.
Bagi karyawan PT. X, decline stage merupakan hal yang baru bagi
kehidupan pekerjaan mereka. Banyak perubahan yang terjadi pada pekerjaan
serta kehidupan karyawan dan keluarga semenjak PT. X mengalami decline
stage. Decline stage menjadi perubahan yang besar dalam kehidupan para
karyawan yang selanjutnya disebut sebagai life change events. Life change
events adalah peristiwa yang melibatkan perubahan di dalam kehidupan seseorang, sehingga membutuhkan penyesuaian atau adaptasi dalam
menghadapinya. Perubahan tidak pernah mudah dan dapat menjadi sumber
stres karena perubahan itu memaksa kita untuk menyesuaikan diri (Nevid,
2005). Perubahan yang terjadi pada PT. X ini di rasakan oleh karyawan yang
bekerja dalam rentang waktu cukup lama dan sangat familiar terhadap
keadaan perusahaan sebelum mengalami decline stage. Sehingga perubahan
ini menimbulkan stres tersendiri pada karyawan dengan usia paruh baya
Alberta Human Services, 2007). Hal inilah yang terjadi pada karyawan PT. X
yang kebanyakan sedang berada pada rentang usia paruh baya (midlife).
Menurut Papalia et al. (2007) usia paruh baya (midlife) berada pada
rentang 40-65 dimana usia ini dikarakteristikkan dengan tanggung jawab yang
semakin berat, mematuhi aturan, membesarkan dan mensukseskan anak,
masih merawat orang tua dan memulai karir baru. Usia ini masih
dikategorikan produktif dilihat dari banyaknya tanggung jawab dan tugas
yang harus mereka selesaikan (Lachman & Firth, 2004). Namun Skirbekk
(2003) menyatakan bahwa usia produktif untuk bekerja adalah sampai 50
tahun, karena lebih dari itu akan banyak terjadi pengurangan secara koginitif
maupun motorik secara perlahan.
Murphy dalam Colligan dan Higgins (2005) menyebutkan perubahan
peran, struktur dan iklim perusahaan sangat mempengaruhi performansi
seorang karyawan. Ketika perubahan organisasi ini bersifat penurunan (dalam
hal ini decline stage), maka kemungkinan adanya perampingan karyawan dan
perluasan variasi pekerjaan yang harus dilakukan seorang karyawan akan
semakin besar. Hal – hal ini dapat berkembang menjadi variety overload dan