• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Penelitian - Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Penelitian - Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136) paradigma adalah “Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

(2)

mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?

Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

(3)

Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.(Eriyanto, 2001 : 6).

Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

2.2Uraian Teoritis

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2007: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125).

(4)

Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama” (Wibowo, 2011: 126).

Menurut penjelasan Berger dan Luckmann di atas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011: 125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu :

a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

(5)

Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.

b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.

c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda.’ Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

(6)

sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88).

Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

(7)

intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.

Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan Luckmann, 1990: 61).

Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15).

(8)

mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,.karenasetiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990: 39).

Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.

Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.

Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

(9)

dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.

Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers, 2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”

Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

(10)

tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi carapandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir.

Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat.

2. 2. 4. Semiotika

Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan-pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

(11)

sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40).

Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.

(12)

unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial.

Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa, denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54).

De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna.

Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas.

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi)

(13)

Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda (sign production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem tanda (sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.

Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan.

Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya.

(14)

terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu:

a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut :

(15)

seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).

Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007: 165).

Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.

(16)

sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).

Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.

Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra (sound image). Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).

(17)

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda-tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan.

Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda.

Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain.

(18)

Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.

Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified).

Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).

Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas.

(19)

Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).

Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi.

Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic) berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika (semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika. Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas (kegunaan) tanda bagi pengguna.

(20)

kombinasi tanda), tingkat semantik (makna sebuah tanda atau teks) atau tingkat pragmatik (penerimaan dan efek tanda pada masyarakat).

Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris

Level Sintaksis Semantik Pragmatik

Sifat penelitian tentang

Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995: 50

2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

(21)

pertandaan yaitu mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu.

Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan. Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001: 28).

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu (Sobur, 2004: 63 -66) :

1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)

(22)

Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. (Tinarbuko, 2009: 18).

3. Kode Simbolik

Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. (Tinarbuko, 2009: 18).

4. Kode Proaretik (kode tindakan/ perlakuan)

(23)

5. Kode Gnomik (kode kultural)

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda. (Tinarbuko, 2009: 18)

Gambar 2.1

1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda)

3.Denotative sign

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif ) (Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz , Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51

(24)

Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69).

Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek dianggap sebagai tanda karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan “makna”-nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi) anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda (komponen) tersusun dalam susunan (jukstaposisi) tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing.

Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama (sistem pertama) atau lebih kita kenal dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum (Hoed, 2011: 13). Pemakai tanda dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem kedua. Pengembangannya terjadi pada segi E (ekspresi), bila pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E ( E- R2- C )- R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C (isi), yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C ( E - R2 – C). Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

(25)

pikiran anggota masyarakatnya. Dengan menulis buku kumpulan esai yang berjudul Mythologies (1957) ia membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolah-olah sudah berterima di masyarakat itu terjadi (Hoed, 2011: 18).

1. Penanda dan Petanda

Tanda adalah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah, saling melengkapi. Petanda bukanlah ‘benda’ melainkan representasi mental dari ‘benda’ (Barthes, 2012: 36). Konsep petanda dari lembu bukanlah hewan lembu, melainkan citra atau imaji mentalnya (penjelasan ini penting untuk pembahasan selanjutnya mengenai hakikat tanda). Petanda ialah ‘sesuatu’ yang dimaksudkan oleh orang-orang yang menggunakan tanda tertentu.

Setiap sistem penanda (leksikon) terjadi korepodensi, diranah petanda, antara praktik dan teknik; kumpulan petanda-petanda ini menyiratkan dari pihak pengguna sistem (pembaca tanda) tingkat pengetahuan yang berbeda (sesuai dengan kekhasan dalam ‘budaya’ mereka), yang menjelaskan mengapa leksi yang sama (atau satuan bacaan yang lebih besar) dapat dipahami secara berlainan sesuai dengan kehendak individu (Barthes, 2012: 41)

Satu-satunya perbedaan antara penanda dan petanda adalah bahwa penanda merupakan penghubung/mediator; ia membutuhkan materi. Substansi dari penanda selalu material (bunyi, objek, citra). Barthes (dalam Barthes, 2012: 43) mengatakan penandaan dapat dipahami sebagai sebuah proses; penandaan adalah tindakan mengikat penanda dengan petanda, tindakan yang hasilnya adalah tanda. Penanda adalah merupakan mediator (material) bagi petanda.

(26)

tanpa arti (petanda) atau arti (petanda) tanpa suara (penanda). Bagi Saussure, penanda dan petanda adalah murni psikologis. Psikologis dalam arti: tanda linguistik bukanlah penghubung antara sebuah benda dengan sebuah nama, tapi antara sebuah konsep (petanda) dengan sebuah pola suara (penanda). (Birowo, 2004: 46). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, disebut juga petanda adalah aspek mental bahasa (Bertens, 2001: 180).

Gambar 2.2

Sumber: Birowo, 2004: 46

Meskipun penanda digunakan untuk ‘mewakili’ petanda. Para pakar semiotika Saussurean menekankan bahwa tidak ada hubungan yang mendasar, intrinsik, langsung maupun pasti (tak terelakkan) antara penanda dan petanda. Saussure menekankan adanya sifat kesewenangan atau arbitrer (arbitrariness) pada hubungan penanda dengan petanda. Sebagai gambaran, tidak ada hubungan langsung tulisan atau citra suara ‘kursi’ dengan konsep mental kita tentang ‘kursi’ – yakni sebuah benda yang bisa digunakan untuk duduk. Aristoteles pernah mengatakan bahwa “tidak bisa ada hubungan natural antara bunyi suatu bahasa dengan benda yang ditandainya.” Shakespeare memberikan pernyataan juga bahwa segala apa nama yang kita torehkan pada sekuntum mawar merah, aromanya tetaplah semerbak.” (Birowo, 2004: 50).

Setiap tanda selalu terdiri atas penanda dan petanda. Dalam teori ini, tanda adalah sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen-komponen (dalam hal ini ada dua) yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan (Hoed, 2011: 44). Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tidak terpisahkan, yakni unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/penanda) dan unsur konsep

Petanda

(27)

(signifie/petanda). Hubungan antara penanda dan petanda, yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur tersebut terdapat dalam kongnisi para pemakai bahasa. (Hoed, 2011: 54).

Penanda adalah “bunyi” yang bermakna atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut :

Gambar 2.3

Elemen-Elemen Makna Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier Plus Signified External Reality of The Meaning

Sumber: John Fsiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm. 44 (Sobur, 2004: 125)

(28)

terbentuk setelah seorang intepretan mendengar citra, bunyi, atau suara penanda. Sebuah kesinambungan yang terjalin antara penanda dan petanda yang akhirnya menghasilkan sebuah tanda.

Semiotika digunakan sebagai metode pembacaan dimungkinkan karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, bila seluruh praktik sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian “tanda” itu sendiri. Saussure (dalam Christomy, 2004: 90) menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bidang—seperti halnya selembar kerta—yaitu bidang penanda (signified) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan konsep atau makna

Gambar 2.4 Diagram Komponen Tanda

Dikutip oleh Saussure (dalam Christomy, 2004: 90)

. Berkaitan dengan piramida atau diagram pertandaan Saussure diatas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial atau kesepakatan sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa.

Penanda dan petanda berasal dari teori Saussure tentang tanda, yang mengatakan bahwa tanda terdiri atas signifier dan signified. Bertolak dari teori Saussure (1915), yang melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifier (penanda), yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signified (petanda), yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifier tersebut. Semiotika digunakan untuk memahami kebudayaan diterangkan oleh Barthes melalui bukunya yang cukup terkenal, Mythologies (1957).

(29)

Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda).

Saussure menyebutkan signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gamabaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signifikasi (signification). Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990: 44).

Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu (van Zoest, 1996: 23):

1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.

2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.

3. Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Misalnya adalah lampu merah yang berarti menunjukkan untuk berhenti (van Zoest, 1996: 23).

Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Sementara itu, Umar Junus menyatakan bahwa makna dianggap sebagai fenomena yang bisa dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur dengan setiap unsur itu (Sobur, 2001: 126).

2. Denotasi, Metabahasa dan Konotasi

(30)

denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap (Sobur, 2004: 70).

Roland Barthes mengembangkan dua tingkat pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu bertingkat-tingkat denotasi dan konotasi.

Menurut Pilliang (dalam Christomy, 2004: 94) denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

(31)

Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes

First Order Second Order

Reality Sign Culture

Bentuk

Isi (Content)

Sumber: John Fiske (dalam Sobur, 2001: 127)

Denotasi merupakan sebuah hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, disebut juga makna yang paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua, signifikasi yang berubah dalam bentuk. Fiske (1990) (dalam Sobur, 2001: 128), memberi pengertian denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.

Gambar 2.6 Tingkat Pertandaan

Dikutip dari Pilliang (dalam Christomy, 2004: 95) Tanda Denotasi Konotasi (Kode) Mitos

Denotasi ---Signifier

Signified

Konotasi

(32)

Secara lebih rinci Barthes mengatakan Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi dapat disebut juga dengan makna khusus (Hoed, 2011: 13). Denotasi adalah pemaknaan secara yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat. Metabahasa merupakan pengembangan makna denotasi (makna ekspresi, “e”) dalam padanan kata yang memiliki makna yang sama tetapi bentuk berbeda, atau bisa disebut dengan sinonim.

Gambar 2.7 Metabahasa

E2 R2 C2 Sistem Sekunder

METABAHASA

E1R1 C1

Orang yang pandai Sistem Primer

Mengobati secara DENOTASI spiritual

Sumber: Hoed, 2011: 8 Dukun

Paranormal

Orang Pinter

TANDA

(33)

Gambar 2.8 Konotasi

E1 R1 C1

Sistem Primer Mercedes ‘mobil buatan Jerman DENOTASI Benz Mercedes Benz’

‘mobil mewah’ Sistem E2R2 C2 mobil orang kaya’ Sekunder

KONOTASI

‘mobil konglomerat’ ‘simbol status’

Sumber: Hoed, 2011: 86

Gambar 2.9

Teori Metabahasa dan Konotasi

“Metabahasa” “Konotasi”

Sistem Sekunder Denotasi Sistem Primer

Denotasi

Sumber: Hoed, 2011: 45 Tanda

E C

E C

E C

(34)

Secara ringkas, denotasi dan konotasi bisa dijelaskan sebagai berikut (Birowo, 2004: 57), yaitu :

1. Denotasi

Interaksi antara signifier (Penanda) dan signified (Petanda) dalam sign (tanda), dan antara sign, dengan referen dalam realitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna sebuah tanda yang literal, terdefinisikan, jelas (mudah dilihat dan dipahami) atau commonsense. Dalam kasus tanda linguistik, makna denotasi adalah apa yang dijelaskan di kamus.

2. Konotasi

Interaksi yang muncul ketika signbertemu dengan perasaan atau emosi pembaca / pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Istilah konotasi, merujuk pada tanda yang memiliki asosiasi sosio-kultural.dan personal. Ini biasanya berkaitan dengan kelas, umur, gender, etnik dan sebagainya dari sang penafsir. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.

Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang ekspresifnya adalah semiotika yang lain. (Eco, 2009: 79). Yang membentuk sebuah konotasi adalah kode konotatif yang menyadarinya; sedangkan ciri kode konotatif adalah fakta bahwa signifikasi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikasi pertama.

Makna denotasi suatu kata ialah makna yang bisa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin ‘connotare’, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). (Sobur, 2004: 263).

(35)

gambaran sebuah petanda (Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridaklasana (2001: 40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan konvensi tertentu; sifatnya objektif.”

Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal + X (Pateda, 2001: 112). Misalnya kata amplop ini adalah makna denotasi yang bermakna sampul tempat surat. Pada kalimat “berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop telah berubah menjadi makna konotasi yang mempunyai pengertian berilah uang.

Devito (dalam Sobur, 2004: 263) mengatakan bahwa jika denotasi sebuah kata adalah objektif (umum) kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif (pergeseran makna umum karena ada penambahan rasa dan nilai) atau emosional. Arthur Asa Berger (dalam Sobur, 2004: 263) menyatakan bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol historis, dan hal – hal yang berhubungan dengan emosional. Denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat.itu

(36)

pernyataan-penyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.

Konotasi disebut juga makna emotif, makna konotasional atau makna evalutif (Keraf, 1994: 29). Makna konotasional adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang – tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kara yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266)

Pada dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Bahasa manusia tidak sekedar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional. Bahasa tidak hanya semata-mata menjadi alat untuk menyampaikan faktual (Palmer, 1997: 35-36). Makna konotatif sebuah kata juga dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan budaya (Sumarjo & Saini, 1994: 126). Lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dengan karangan yang menentukan makna konotatif. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda. (Sobur, 2004: 266)

(37)

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Ferdinand De Saussure mengatakan bahwa bahasa merupakan sebagai sistem tanda. Untuk bisa mencapai makna yang diharapkan melalui tanda-tanda terdapat semacam main rules atau aturan utama yang menjadikan bahasa lebih bermakna. Pada sebuah kajian mengenai strukturalisme ( dan pasca strukturalisme) bahasa, dalam melihat sebuah tanda terdapat berbagai macam fase lain. Juga tanda tidak dapat dilihat hanya dengan secara individu. Terdapat sebuah relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah sistem.

Proses penganalisaan tanda yang berdasarkan sistem atau kombinasi mengikutkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis., yaitu paradigmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Aksis sintagmatik adalah tanda tersusun dalam susunan tertentu (jukstaposisi). Barthes (1964) mengembangkan pandangan ini dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susunan yang didasari hubungan sintagmatik.

Lebih jelas mengenai sintagmatik dan paradigmatik dijabarkan melalui pembahasan dibawah ini. Contoh dalam hal ini menganalisis dari unsur busana, yaitu (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, dan (d) alas kaki. Urutan (a) sampai (d) disebut dengan urutan sintagmatis. Setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme. Keseluruhan urutan itu membentuk satu struktur. Setiap unsur sudah mempunyai tempat sendiri serta saling membedakan sehingga membentukmakna” (fungsi) masing – masing, dan, karenanya, unsur-unsur itu berada dalam suatu relasi paradigmatik. Unsur-unsur itu terjukstaposisi (teratur dalam susunan) dalam suatu susunan, yang disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2011: 12).

(38)

relasi antara komponen dalam suatu struktur dan komponen lain di luar struktur itu.

Contoh :

(1) Anjing mengigigit Ali (2) Ali Mengigigit Anjing

Dalam (1) di atas, relasi antara anjing, menggigit, dan Ali sudah tertentu sesuai dengan urutannya dan mempunyai makna tertentu. Relasi ini disebut sintagmatik. Jika urutannya berubah (lihat contoh 2 di atas) maka relasi sintagmatiknyaberubah dan maknanya pun berubah. Komponen anjing, mengigigit, dan Ali berada di dalam sebuah struktur.

Dalam pada itu, secara asosiatif, anjing merupakan sejumlah kata yang berkaitan secara maknawi, seperti kata kucing, harimau, atau ular. Begitu pula menggigit mempunyai relasi asosiatif dengan memakan, menerkam, atau melukai, dan Ali berkaitan secara relasional asosiatif dengan Ahmad, Munir, atau Johnny. Hubungan in absentia ini disebut relasi paradigmatik dan terjadi dengan komponen di luar struktur (Hoed, 2011: 31). Asosiatif mempunyai pengertian (KBBI) bersifat asosiasi. Asosiasi mempunyai pengertian tautan, pembentukan hubungan atau pertalian gagasan, ingatan, atau kegiatan panca indra.

Bahasa adalah sebuah struktur yang mempunyai aturan main tertentu. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan main bahasa (sintaks, grammar) untuk menghasilkan sebuah bahasa atau ekspresi yang bermakna.

(39)

Sintagma adalah kombinasi tanda-tanda, yang didukung oleh aspek ruang. Ruang itu bersifat linear. Aktivitas analitik yang berlaku bagi proses sintagmatik ialah proses menguraikan. Satuan-satuan yang memiliki kesamaan berasosiasi di dalam memori sehingga membentuk kelompok-kelompok yang mengandung ragam relasi atau pertautan. Aktivitas analitik yang berlaku bagi paradigmatik adalah klasifikasi. (Barthes, 2012: 56)

Gambar 2.91

Poros Paradigma dan Sintagma

Sintagma

Paradigma

Sumber : Piliang, 2012: 303

(40)

Gambar 2.92 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat

Kebahagiaan Ani Menggerakkan Mainan Beriringan Anak Luapan emosi Nita Membuat hidup Replika Berdampingan Perempuan

Keterangan : sintagmatik Paradigmatik

Sumber: Hoed, 2011: 162

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, tetapi tanda dilihat dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem (Christomy, 2004: 91). Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (the rule of combination), yang tediri dari dua aksis (poros) yaitu, aksis paradigmatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Cara pengkombinasian tanda-tanda biasanya dilandasi oleh kode (code) tertentu yang berlaku di dalam sebuah komunitas bahasa. “Kode” adalah seperangkat aturan atau konvensi (persetujuan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain. Kode menurut Umberto Eco (dalam Christomy, 2004: 91) adalah “. . . aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan konkretnya di dalam hubungan komunikasi.” Tersirat dari penjelasan tersebut adanya sebuah pengerti “kesepakatan sosial” di antara anggota komunitas bahasa tentang kombinasi seperangkat tanda-tanda dan maknanya. Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam mesin untuk memproduksi makna.

(41)

Berdasarkan aksis (poros) bahasa yang dikembangkan oleh Saussure tersebut, Roland Barthes mengembangkan sebuah ‘model relasi’ antara apa yang disebutnya dengan sistem, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, dan benda) dan sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu.

Sistem Makanan Elemen makanan yang tidak lazim dimakan pada waktu bersamaan : nasi, lontong, dan kentang.

Menu makanan

Sistem Furnitur Beragam gaya untuk jenis furnitur yang sama :

Sistem Arsitektur Beragam gaya pada elemen arsitektur yang :

(42)

4. Mitos dan Pembacaan

Mitos adalah sebuah kisah (a story) yang melalui sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas (Fiske, 1990). Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu. Barthes (dalam Birowo, 2004: 60) berpendapat bahwa mitos melayani fungsi ideologis naturalisasi. Artinya mitos melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat ‘natural’, ‘normal’, ‘abadi’, ‘masuk akal’, ‘objektif’ dan ‘benar’ secara apa adanya.

Dalam kajian tentang kebudayaan, teori konotasi dikembangkannya menjadi teori tentang mitos. Mitos dalam pengertian umum adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib. (KBBI, 1995). Mitos (Webster’s Dictionary) adalah kepercayaan populer atau tradisi yang telah tumbuh berkembang di sekitar masyarakat atau suatu hal.

Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (semiotika), yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia. Pemaknaannya bersifat arbitrer (sewenang-wenang – sesuka-suka) sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun, dalam kebudayaan massa (la culture de masse) konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal, sehingga lama kelamaan menjadi mitos.

(43)

Mitos merupakan bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. (Sobur, 2001: 128). Mitos menurut Susilo (2000, 204) adalah suatu wahana dimana ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya.

Roland Barthes (dalam Christomy, 2004: 94) juga melithat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Roland Barthes adalah pengodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sesunggunya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah

Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari ‘perlindungan alam khayal’. Sebaliknya dalam dunia politik, mitos kerap dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan ‘menglegalisasikan’ sikap dan jalan anti sosial. Tujuan dari suatu mitos politik adalah selalu kekuasaan dalam , karena dianggap bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220). Demikianlah mitos mudah menjadi “alat kekuasaan” yang sukar dibuktikkan kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa “lebih depan” lagi (Sobur, 2004: 223 - 224).

(44)

Mitos (myth) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang hampir mirip dengan “representasi kolektif” di dalam sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Barthes (dalam Sudibyo, 2001: 245) mengartikan mitos sebagai :

“Cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu sebuah cara mengonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan.”

Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep atau suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun gagasan, melainkan cara mitos itu disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan maupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan non verbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan komik (Sobur, 2004: 224).

(45)

mitos atau mytheme. Mytheme didapat dari konteks budaya dan teks lain yang menyertai tokoh atau subjek.

2.2.5 Komunikasi Massa

Pengertian Komunikasi Massa menurut pendapat ahli Tan dan Wright (dalam Elvinaro dkk 2004: 1) adalah bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu.

Terdapat perbedaan yang besar dalam public speaking atau retorika dengan komunikasi massa, walaupun proses komunikasinya berjalan secara masif dan komunikannya pada umum sangat heterogen. Komunikasi massa menggunakan sebuah media massa, perbedaan tersebut yang menjadikan komunikasi massa lebih luas cakupan penyebaran informasi. Media massa disini terdiri dari berbagai macam, elektronik (televisi, radio, dan internet) dan cetak (majalah, surat kabar, dan buletin).

(46)
(47)

2.3Model Teoritik

Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif.

Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari dalam Trilogy Film

Hunger Games

Objek Penelitian

Scene yang menampilkan simbol pemberontakan salam tiga jari dalam trilogy

film Hunger Games

Semiotika Roland Barthes

- Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan

- Denotasi dan Konotasi

-Pemaknaan dalam scene

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan residu dalam ruang lingkup agama mempunyai makna yang sama dengan Ashobah, dimana Ashobah dalam ilmu waris adalah ahli waris yang tidak mempunyai bagian yang tegas

Pilot plant ThO2 dari tailing pengolahan monasit kapasitas 100 kg/hari merupakan proses untuk mengambil thorium dalam bentuk oksida ThO2 yang terdiri dari 3 tahap

Penelitian berfokus pada mekanisme rekrutmen dan pengusulan calon legislatif perempuan dengan menggunakan 3 tahap rekrutmen calon kandidat, yakni tahap

Source: Bisnis Indonesia Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2021 menye- diakan anggaran untuk program

Karena kesuksesan proyek juga ditentukan oleh pemilihan metodologi yang akan digunakan dalam proyek itu, dengan demikian dalam proyek pengembangan aplikasi web

Hal ini mengambarkan bahwa pemberian Ekstrak Air Buah Pepaya Muda mempunyai pengaruh terhadap jumlah folikel atresia yang ditemukan pada ovarium tikus pada

Khususnya untuk Ameng Bin Akab, Awang Bin Kudi, Dido Bte Lanau, Harun Bin Sirak, Jelang Binti Lemon, Linggi Bin Tekoso, Moi Binti Kudi, Putu Bin Chehok, Rahim Bin Kantan, Rempuyan

Perlakuan akuntansi yang tepat untuk website adalah yang sesuai dengan ISAK 14 (revisi 2009), dimana pengeluaran-pengeluaran yang memenuhi syarat seperti yang