• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1Pangan Pokok

Menurut Food Agricultural Organization (FAO), pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman. Sedangkan menurut Undang-Undang tentang Pangan No. 18 Tahun 2012, pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia. Sederhananya, pangan adalah segala makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia.

Pangan pokok adalah makanan yang paling sering dikonsumsi dan dalam jumlah yang paling banyak diantara bahan pangan lain. Menurut Suyono dalam Haryadi (2004), konsumsi makanan masyarakat Indonesia didominasi pangan yang mengandung karbohidrat sekitar 70% dari total seluruh makanan yang dikonsumsi. Pangan sumber kabohidrat yang banyak dikonsumsi adalah beras yang mencapai 90%.

(2)

kurang diminati masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi faktor mengapa beras dijadikan makanan pokok di Indonesia, yaitu sumber daya alam Indonesia mampu memproduksi beras, daya simpan cukup lama, pengolahannya cepat dan mudah, enak dan memiliki nilai gizi yang baik.

Tahun 1940 keberagaman konsumsi pangan di Indonesia sangat baik. Jumlah makanan di Indonesia jika dirata-ratakan maka konsumsi per kapita per tahun adalah beras 86 kg, jagung 38 kg, ubi kayu 162 kg, dan ubi jalar 30 kg. Sejak swasembada beras pada tahun 1984, konsumsi pangan pokok mengalami pergeseran angka konsumsi yang didominasi konsumsi beras bahkan pada tahun 1999, konsumsi jagung hanya 3,1% dan ubi kayu 8,83%. Selain beras, konsumsi pangan pokok yang meningkat adalah terigu, mencapai 500% yang diperoleh dari impor dari negara lain (Gardjito, 2013).

Bergesernya pola konsumsi pangan pokok di Indonesia menyebabkan ketersediaan beras tidak seimbang dengan kebutuhan penduduk Indonesia sehingga pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi seluruh kebutuhan penduduk. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

(3)

perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang (PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Pedoman Umum Penganekaragaman Pangan yang telah disusun juga turut mendukung agar sosialisasi pentingnya penganekaragaman pangan pengganti beras (Nurul Hidayah, 2011).

Konsumsi beras sebagai pangan pokok yang telah menjadi kebiasaan bagi penduduk Indonesia menyebabkan kesulitan untuk menerima pangan lain karena mengonsumsi beras/nasi sudah menjadi kebiasaan dan mudah dikombinasikan dengan berbagai macam menu lauk dan sayuran. Beberapa penelitian telah menghasilkan pembuatan beras analog untuk mencukupi kebutuhan beras dengan pemanfaatan bahan pangan pokok lain yang kurang diminati masyarakat. Beras analog adalah butiran-butiran mirip beras yang dibuat dari bahan pangan pokok lain selain beras dengan menggunakan cara yang beragam.

Menurut Lie dalam Haryadi (2006), tanah yang tingkat kesuburannya rendah seperti di daerah Gunung Kidul dan Pegunungan Seribu mengubah pola pangan mereka dari beras menjadi ubi kayu pada musim paceklik. Penggantian beras menjadi jagung juga terjadi di wilayah yang memiliki lahan kering seperti di Banjarnegara dan Jawa Timur bagian timur (Khudori dalam Haryadi, 2006).

(4)

jagung dan ubi kayu dapat tumbuh dengan baik sehingga menguntungkan untuk tetap menghasilkan bahan pangan pokok.

2.2Ubi Kayu

Ubi kayu atau yang sering disebut singkong atau ketela pohon adalah tanaman perdu yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan juga sub-tropis. Ubi kayu merupakan salah satu pangan penghasil karbohidrat yang banyak dikonsumsi di Indonesia setelah beras dan jagung (Asnawi, 2008). Tanaman ubi kayu menyimpan cadangan makanan di akar yang membesar membentuk umbi. Bagian dalam umbinya berwarna putih dan juga putih kekuningan tergantung varietas.

Ubi kayu pertama kali dikenal di Amerika Selatan dan dikembangkan di Brasil dan Paraguay. Dahulu ubi kayu hidup secara liar di daerah Brasil dan semua varietas dapat dibudidayakan. Setelah pembudidayaan ubi kayu di beberapa negara, di Brasil Selatan masih ditemukan ubi kayu yang masih tumbuh liar.

Pada abad XVI, Portugal mengenalkan ubi kayu di Indonesia yang dibawa dari Brasil dan ditanam secara komersial pada tahun 1810. Pembudidayaan ubi kayu lebih banyak di tanah-tanah marginal yang kurang subur dan banyak dikonsumsi sebagai pangan pokok di daerah yang tidak dapat memproduksi padi.

Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

(5)

Kelas : Dicotyledonae

Umbi ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, tetapi memiliki kandungan protein yang rendah, tetapi pada bagian daun ubi kayu memiliki kandungan protein yang baik karena memiliki asam amino metionina. Umbi ubi kayu rasanya agak manis karena mengandung sedikit glukosa. Jumlah kalori dalam 100 gram ubi kayu adalah 146 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu

(6)

ubi kayu sebagai pangan pokok. Masyarakat menganggap bahwa ubi kayu adalah pangan pokok kelas dua. Selain itu, kandungan lemak dan protein yang rendah serta kandungan racun HCN di dalam ubi kayu menjadi alasan mengapa masyarakat Indonesia tidak menjadikan pangan pokok (Simanjuntak, 2006).

2.2.2.Manfaat dan konsumsi

Umbi ubi kayu yang sudah dikupas tanpa pengolahan tidak memiliki daya simpan walaupun disimpan di lemari pendingin. Kerusakan dapat dilihat dengan munculnya warna biru kehitaman karena terbentuknya asam sianida (HCN) yang bersifat toksik. HCN terbentuk saat umbi ubi kayu teroksidasi sehingga glukosa berubah menjadi glukosida yang membentuk HCN. HCN menyebabkan ubi kayu menjadi pahit. Ubi kayu segar dengan HCN yang tinggi memiliki kandungan pati yang tinggi juga sehingga dalam industri pembuatan tepung tapioka biasanya menggunakan varietas ubi kayu yang mengandung HCN yang tinggi.

Dilihat dari kadar HCN, ubi kayu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm, hal ini ditandai dengan rasa pahit pada ubi kayu, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN 40-100 ppm dan rasanya agak pahit, dan (3) boleh dikonsumsi bila kadar HCN kurang dari 40 ppm, rasanya tidak pahit.

(7)

Selain itu, ubi kayu juga dapat dibuat menjadi tapai melalui proses peragian atau fermentasi.

Gaplek adalah salah satu olahan ubi kayu. Cara pembuatan gaplek sederhana adalah dengan mengupas ubi kayu kemudian dikeringkan. Ada dua jenis gaplek yaitu, gaplek putih biasanya ditepungkan dan sebagai bahan baku pembuatan tiwul dan gaplek hitam yang disebut dengan gatot. Warna hitam pada gatot dihasilkan dari bermacam fungi dan bakteri yang tumbuh selama proses penjemuran dengan tekstur yang kenyal.

Olahan ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku industri adalah tapioka yang dibuat dari pati ubi kayu. Tapioka dibuat dengan cara, ubi kayu yang sudah dikupas kemudian dicuci bersih. Setelah dicuci, ubi kayu diparut dan dicampur dengan air. Kemudian campuran itu disaring dan diperas sampai patinya keluar. Air perasan diendapkan menghasilkan gumpalan pati dan airnya dibuang. Gumpalan pati tersebut diremahkan sehingga terbentuk butiran kasar yang selanjutnya dikeringkan, digiling dan diayak. Ampas hasil olahan pati tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun masyarakat Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat mengonsumsi ampas tapioka yang dijemur terlebih dulu. Ampas tapioka yang kering dikukus dan dimakan dengan lauk dan sayur. Masyarakat Cirendeu menyebutnya rasi.

(8)

panjang, rasanya tawar, berwarna putih dengan tekstur yang keras. Sagu kabi sangat cocok sebagai bahan pangan di musim paceklik karena memiliki daya simpan yang lama, yaitu sekitar 1-2 tahun dalam kondisi baik dan kering. Masyarakat Maluku Utara mengonsumsi sagu kasbi dengan mencelupkan ke dalam air atau kuah makanan hingga lembek dan dimakan dengan lauk dan sayur seperti mengonsumsi nasi. Mengonsumsi sagu kasbi saat sarapan dapat dicelupkan ke dalam teh atau kopi. Sekarang ini telah dikembangkan sagu kasbi aneka rasa dengan penambahan gula halus dan perisa makanan seperti perisa mangga, perisa jeruk, strawberry dan coklat.

Masyarakat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengolah ubi kayu kasaomi. Kasaomi dibuat dengan cara ubi kayu dikupas, diparut, diperas untuk mengurangi kandungan air kemudian dikeringkan. Saat akan dikonsumsi, kasaomi dikukus dan dikonsumsi dengan sayur dan lauk.

2.2.3.Produksi

(9)

Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha)

Produksi (Ton)

2009 1175666.00 187.46 22039145.00

2010 1183047.00 202.17 23918118.00

2011 1184696.00 202.96 24044025.00

2012 1129688.00 214.02 24177372.00

2013 1137210.00 224.18 25494507.00

Sumber: BPS 2013

Pada tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu secara nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 selalu mengalami peningkatan. Produksi ubi kayu yang meningkat tidak mengalami perubahan walaupun luas lahan mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini menguntungkan untuk pemanfaatan ubi kayu secara maksimal di bidang pangan karena dengan luas lahan tidak mempengaruhi produksi ubi kayu.

Sentra produksi ubi kayu ada tujuh provinsi pada tahun 2002 yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTT dan Sulawesi Selatan. Namun pada tahun 2008 ditambah satu provinsi sebagai sentra produksi ubi kayu yaitu, provinsi Sumatera Utara.

Batasan provinsi disebut sebagai sentra produksi ubi kayu adalah memiliki areal luas panen ubi kayu > 50000 ha selama lima tahun terakhir. Setiap provinsi juga memiliki kabupaten sentra produksi ubi kayu dan batasan kabupaten sentra yaitu, kabupaten atau kota yang mempunyai rata-rata areal luas panen > 5000 ha untuk Pulau Jawa dan > 2500 ha untuk luar Pulau Jawa.

(10)

Bedagai, Labuhan Batu, dan Dairi. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ku/Ha) Produksi (Ton)

2009 38611.00 260.88 1007284.00

2010 32402.00 279.48 905571.00

2011 37929.00 287.83 1091711.00

2012 38749.00 302.34 1171520.00

2013 46765.00 318.85 1491108.00

Sumber: BPS 2013

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa produktivitas ubi kayu Sumatera Utara lebih tinggi dibandingkan produktivitas ubi kayu secara nasional. Produksi ubi kayu yang tinggi di Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai dasar pemanfaatan ubi kayu sebagai pangan pokok.

2.3Tepung Ubi Kayu.

2.3.1.Tahapan proses pembuatan tepung ubi kayu

(11)

Pembuatan tepung ubi kayu harus memperhatikan kadar air, pH, kadar pati, kadar pati dan amilosa. Menurut Ingram dalam Gardjito (2013), kadar air menjadi parameter penting dalam menjamin daya simpan tepung ubi kayu. Kadar air yang lebih dari 12% akan menjadi tempat tumbuh mikroba dan kadar air yang lebih rendah akan memperlama waktu simpan. Sedangkan keasaman atau pH yang rendah akan membatasi jumlah subsitusi tepung ubi kayu saat digunakan dalam pembuatan roti.

Proses pembuatan tepung ubi kayu bisa dilakukan dengan cara sederhana dalam skala rumah tangga dan dengan cara modern dalam skala yang lebih besar seperti dalam industri. Salah satu proses pembuatan tepung ubi kayu dengan cara penyawutan memiliki beberapa kelebihan, yaitu rendemen lebih tinggi dibanding tepung gaplek yang 20-22% menjadi 25-30%, hygene, awet, gizi lebih baik, dapat mensubsitusi tepung terigu, baik secara parsial maupun seluruhnya.

Tepung ubi kayu mengandung 12% air, lemak 0,32%, protein 1,19%, karbohidrat 81,75%, dan serat 3,34%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi dalam tepung ubi kayu sangat baik dalam pengolahan tepung ubi kayu sebagai bahan dalam pembuatan makanan seperti mie dan biskuit.

Tahapan proses dalam pembuatan tepung ubi kayu menurut Badan Litbang Pertanian dalam majalah Agroinovasi Sinartani adalah sebagai berikut.

1. Ubi kayu segar

(12)

sehingga umbi ubi kayu harus segera disawut dalam waktu 24 jam setelah dipanen karena keterlambatan dalam memeroses ubi kayu akan menyebabkan menurunnya kualitas tepung ubi kayu.

2. Pengupasan

Pengupasan ubi kayu secara manual dengan menggunakan pisau akan menghasilkan rendemen kupas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang banyak sedangkan menggunakan alat pengupas kulit ubi kayu lebih cepat dan tenaga yang sedikit. Ubi kayu yang dikupas dengan alat pengupas kulit ubi kayu akan menghasikan mutu kupasan yang kurang bagus.

3. Pencucian dan perendaman

Ubi kayu yang telah dikupas harus dicuci secepatnya di air mengalir atau di dalam bak. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama proses pengupasan, membersihkan lender yang terdapat di permukaan umbi dan untuk mengurangi kadar HCN. Perendaman dilakukan sampai seluruh ubi kayu tercelup agar kebersihan dan warna putihnya tetap terjaga. Jenis ubi kayu akan menentukan lama tidaknya ubi kayu direndam. Ubi kayu manis hanya perlu direndam sambil menunggu proses penyawutan sedangkan ubi kayu pahit harus direndam semalaman untuk menurunkan kadar HCN sampai ambang batas yang diizinkan oleh Departemen Kesehatan.

(13)

4. Penyawutan

Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut/perajang baik secara manual atau digerakkan mesin. Hasil penyawutan berupa irisan ubi kayu dengan lebar 0,2-0,5 cm, panjang 1-5 cm dan tebal 0,1-0,4 cm. Irisan ubi basah ditampung dalam bak plastik atau wadah yang tidak mudah berkarat. 5. Pengepresan

Alat pengepres digunakan untuk menekan irisan ubi kayu basah sampai airnya keluar. Pengepresan ini bertujuan agar pengeringan irisan ubi kayu lebih cepat dan juga untuk mengurangi kadar HCN terutama ubi kayu pahit. Irisan ubi kayu yang sudah dipres dijemur selama 10-16 jam sedangkan irisan ubi kayu tanpa dipres membutuhkan waktu 30-40 jam untuk proses pengeringan.

6. Pengeringan

Irisan ubi kayu pres harus segera dijemur, apabila cuaca buruk dapat dikeringkan dengan alat pengering. Pengeringan irisan ubi kayu harus diperhatikan secara khusus karena akan menentukan mutu tepung ubi kayu yang akan dihasilkan. Kadar air irisan ubi kayu maksimum 14% karena kadar air yang tinggi akan mempersingkat waktu simpan dan menurunkan kualitas tepung. Alas yang digunakan dalam penjemuran irisan ubi kayu bisa dari anyaman bambu atau wadah yang tidak mudah berkarat.

7. Pengemasan

(14)

kemasan irisan ubi kayu harus bersih dan kering kemudian dialasi dengan kayu untuk menghidarkan karung menyentuh lantai.

8. Penepungan

Penepungan atau proses penggilingan sawut dapat dilakukan dengan menggunakan alat penepung beras yang banyak beredar di pasaran. Agar lebih efisien, penggilingan dapat dilakukan dua kali, yaitu irisan ubi kayu kering dihancurkan menjadi butiran kecil kemudian digiling sampai halus (80 mesh).

2.3.2.Kandungan zat gizi tepung ubi kayu

Tepung ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor yang tinggi. Jumlah kalori yang terdapat dalam 100 gram tepung ubi kayu adalah 363 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu

No. Nama Zat Gizi Jumlah

(15)

pemenuhan zat gizi lain dapat diperoleh dari sayuran dan lauk-pauk sama seperti mengonsumsi nasi.

2.4Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Beras analog adalah pangan alternatif yang dibuat dari sumber pangan karbolokal non-padi berupa umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gembil dan umbi lainnya), serealia (jagung, sorgum, hotong), tanaman pohon (sagu), tanaman buah (sukun, pisang), dan sumber karbohidrat lainnya (Budijanto, 2013).

Sedangkan menurut Machmur (2011), beras analog adalah bahan pangan lokal yang diolah sampai memiliki ciri-ciri yang menyerupai beras yaitu, berbentuk butiran, ditanak dan memiliki kemiripan tekstur. Pembuatan beras analog ini dilakukan untuk menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan lokal lain sesuai dengan tujuan diversifikasi pangan.

Metode pembuatan beras analog yang dikenal adalah dengan metode granulasi dan metode ekstruksi. Metode yang paling dikenal adalah metode ekstruksi karena dengan metode ini akan dihasilkan beras analog dengan karakteristik yang sangat mirip dengan beras alami dari bahan baku yang lebih beragam dan dapat dilakukan fortifikasi (Setia Budi, 2013).

(16)

Penelitian yang dilakukan Hindarto Putra (2012) menggunakan bahan dasar tepung pisang goroho (Musa acuminate) yang banyak terdapat di Sulawesi Utara. Kandungan karbohidrat dalam pisang goroho cukup tinggi sehingga pisang ini dapat dijadikan dasar pembuatan beras analog.

Ubi jalar juga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan beras analog. Hampir semua varietas ubi jalar pernah digunakan dalam pembuatan beras analog. Ubi jalar yang akan diolah menjadi beras analog dikukus dalam jangka waktu tertentu. Kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan lain dan dibentuk menyerupai butiran beras. Beras analog ini kemudian dijemur sampai kering. Ubi jalar mengandung zat gizi yang sangat baik sehingga beras analog yang dihasilkan juga memiliki kandungan gizi yang masih baik (Hasnelly, dkk, 2013).

Tahapan proses dalam pembuatan beras analog adalah sebagai berikut. 1. Pencampuran

Proses pencampuran dilakukan dengan mencampur bahan dasar yaitu bahan pangan pokok nonberas dan bahan pengikat yang berfungsi untuk menjaga agar beras yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras seperti beras. Pencampuran harus mendapatkan adonan yang tidak terlalu encer atau terlalu kering atau seperti tekstur adonan pembuatan biskuit.

2. Pembentukan beras

(17)

3. Pemotongan

Adonan yang terbentuk pipih memanjang kemudian dipotong kecil-kecil hingga menyerupai beras.

4. Pengeringan

Beras analog yang sudah dibuat dijemur sampai kering dan mengeras. Beras analog yang sudah jadi dapat ditanak dengan cara dikukus. Sebelum dikukus beras direndam selama 5 menit. Saat proses pengukusan, beras disiram dengan air sedikit demi sedikit dan merata agar nasi yang dihasilkan tidak terlalu keras atau terlalu lembek.

2.5Uji Organoleptik

Uji organoleptik atau yang sering disebut evaluasi sensori adalah penilaian terhadap suatu produk makanan untuk memperoleh warna, tekstur, rasa dan penampakan dengan menggunakan indera manusia. Uji ini dilakukan oleh panelis atau pencicip yang dianggap paling peka. Penilaian ini dilakukan untuk menilai mutu berbagai jenis makanan.

Uji organoleptik ada empat jenis yaitu, uji pembedaan (defferent test), uji pemilihan/penerimaan (preference test/acceptance test), uji deskripsi (descriptive test), uji skalar.

1. Uji Pembedaan (defferent test)

(18)

mengetahui adanya perbedaan atau persamaan dua produk dengan komoditas yang sama.

Hasil uji ini akan efektif jika sifat dan criteria yang diujikan jelas dan dipahami panelis. Keandalan (realiabilitas) dari uji pembedaan ini tergantung dari pengenalan sifat mutu yang diinginkan, tingkat latihan panelis dan kepekaan masing-masing panelis. Pengujian pembedaan ini meliputi: Uji pasangan (Paired comparison/Dual comparation), Uji segitiga

(Triangle test), Uji duo-tri, Uji pembanding ganda (Dual standard), Uji

pembanding jamak (Multiple standard), Uji rangsangan tunggal (Single

stimulus), Uji pasangan jamak (Multiple pairs), Uji tunggal.

2. Uji Pemilihan/Penerimaan (preference test/acceptance test)

Uji penerimaan digunakan untuk melihat penilaian rasa suka seseorang terhadap sifat atau kualitas suatu bahan. Dalam pengujian ini, panelis memberikan tanggapan pribadi suka atau tidaknya terhadap sifat sensoris bahan yang dinilai. Uji ini lebih subjektif dari uji pembedaan.

Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik dapat diterima oleh masyarakat tetapi hasil uji ini tidak dapat menjamin suatu komoditi akan mudah dipasarkan. Uji penerimaan ini meliputi: Uji kesukaan atau uji hedonik dan Uji mutu hedonik.

3. Uji Skalar

(19)

yaitu, bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang sama dan bentuk pita skalar deenga degradasi yang mengarah, contohnya degradasi warna dari sangat putih sampai hitam. Uji ini meliputi: Uji skalar garis, Uji skor (Scoring), Uji perbandingan pasangan (Paired comparation), Uji perbandingan jamak (Multiple comparation), Uji penjenjangan atau uji pengurutan (Ranking).

4. Uji Deskripsi (descriptive test)

Pengujian deskripsi merupakan penilaian sensorik dengan sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks karena mutu suatu komoditi umunya ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan. Sifat yang dipilih sebagai pengukur mutu adalah yang paling peka terhadap perubahan mutu dan paling relevan terhadap mutu.

2.6Panelis

Pelaksanaan dalam penilaian organoleptik diperlukan panelis untuk menilai bertindak sebagai instrumen atau alat. Panelis ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan secara subjektif.

(20)

dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik.

1. Panel Perseorangan

Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisis organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien dan tidak cepat fatik. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi jangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan sepenuhnya ada pada seorang. 2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara anggota-anggotanya.

3. Panel Terlatih

(21)

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya

5. Panel Tidak Terlatih

Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan. Panel tidak terlatih biasanya dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.

(22)

Keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan latihan yang lama. Dengan keahlian yang diperoleh itu merupakan bawaan sejak lahir, tetapi untuk mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus.

2.7Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pikir yang digunakan sebagai acuan untuk menyusun sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Adapun kerangka pikir yang dibuat dalam pengerjaan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Kerangka Teori Konsumsi Beras Tinggi

Diversifikasi Pangan

Pembuatan Tepung dari Ubi Kayu

Diolah menjadi Beras

Analog Masyarakat

(23)

2.8Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian. Konsep tersebut akan dibuat dalam bentuk kerangka untuk mempermudah penyederhanaan pikiran dengan istilah untuk beberapa kejadian yang saling berkaitan.

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Gambar 2. Kerangka Konsep

Dalam kerangka konsep di atas dapat dilihat apakah beras analog dari tepung ubi kayu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.

Uji Organoleptik ke masyarakat Pembuatan

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu
Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia
Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013
Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah terbentuknya model klasifikasi data lama studi mahasiswa STMIK Indonesia yang nantinya dapat digunakan untuk prediksi jumlah mahasiswa lulus

Keberadaan konteks sangat penting dalam berkomunikasi, karena jika penutur menyampaikan sebuah informasi dan lawan tutur tidak memahami konteks yang terdapat dalam

Dilihat dari aspek pendapatan, pendapatan petani diluar usahatani kelapa dipengaruhi secara positif dan responsif oleh curahan kerja rumahtangga petani kelapa

Saat kemudian iklan tidak terbatas dibuat untuk korporasi, melainkan juga dibuat untuk kepentingan-kepentingan politik, maka semakin lama muncullah ketergantungan

Bertitik tolak dari uraian yang telah dipaparkan, peneliti memiliki dorongan untuk melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Penyakit TB paru (Tuberculosis) di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama,penyakit ini merupakan penyakit yang tergolong menular dan

Terdapat program menumbuhkan nilai karakter religius di SDIT Hidayaturrahman, dengan latar belakang dari adanya program tersebut yaitu supaya dapat menciptakan

bermakna sama, hanya boleh digunakan di luar klaim tentang khasiat/manfaat serta didukung bukti yang secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat