• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEHIDUPAN MASYARAKAT PARSALAKAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Kondisi Alam dan Geografis - Kehidupan Petani Salak di Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan (1970 – 200)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KEHIDUPAN MASYARAKAT PARSALAKAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Kondisi Alam dan Geografis - Kehidupan Petani Salak di Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan (1970 – 200)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEHIDUPAN MASYARAKAT PARSALAKAN SEBELUM TAHUN 1970

2.1 Kondisi Alam dan Geografis

Pada zaman penjajahan Belanda, Kabupaten Tapanuli Selatan disebut

Afdeeling Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan

di Padangsidimpuan. Afdeeling Padangsidimpuan dibagi atas 3 onder afdeeling,

masing-masing dikepalai oleh seorang Controleur yang dibantu seorang , yaitu Onder

Afdeeling Angkola dan Sipirok yang berkedudukan di Padangsidimpuan dan dibagi

atas 3 onder distrik, yang kedua Onder Afdeeling Padang Lawas, berkedudukan di

Sibuhuan dan dibagi atas 3 onder distrik dan yang terakhir Onder Afdeeling

Mandailing Natal, berkedudukan di Kota Nopan dan terbagi atas 5 onder distrik.

Masing-masing onder distrik dikepalai oleh Asisten Demang.

Tiap-tiap Onder Distrik dibagi atas beberapa Luhat yang dikepalai

masing-masing oleh seorang Kepala Luhat ( Kepala Kuria) dan tiap-tiap Luhat dibagi atas

beberapa kampung yang dikepalai masing-masing oleh seorang Kepala Kampung

(Kepala Hoofd) dan dibantu seorang Kepala Ripo apabila kampung itu mempunyai

penduduk yang jumlahnya banyak. Sepanjang Onder Distrik Angkola menjadi bagian

dari Afdeling Sidimpuan, begitu besar pengaruh kontak langsung yang didapatkan,

yaitu karena letak Onder Distrik Angkola yang letaknya strategis di pertigaan jalur

(2)

tenggara dan Bukittinggi di selatan membuat Padangsidimpuan menjadi kota transit

bagi para pengunjung.

Pada zaman penjajahan Jepang tak banyak pergantian struktur birokrasi di

Afdeeling Sidimpuan.Controleur-controleur semuanya ditangkapi dan tampuk

kepemimpinan diserahkan kepada Demang (Gun Tyo) dan tiap-tiap Onder-Onder

Distrik dipegang oleh seorang Hukugun Tyo.Semenjak kemerdekaan Indonesia

diproklamirkan, Tapanuli Selatan dikepalai oleh seorang Kepala Luhat Besar yang

bernama Binanga Siregar dan berkedudukan di Sidimpuan. Akibat dari agresi

Belanda militer pertama dan kedua, maka daerah administrasi pemerintahan berubah

sebagai berikut :

a. Daerah Padang Lawas yang berkedudukan di Gunungtua yang dipimpin

Parlindungan Lubis

b. Daerah Angkola-Sipirok yang berkedudukan di Padangsidimpuan dipimpin Muda

Siregar

c. Daerah Mandailing-Natal berkedudukan di Panyabungan dipimpin Junjungan

Lubis.

Pada periode Bupati Tapanuli Selatan dipegang oleh Junjungan Lubis, terjadi

penambahan 6 kecamatan, antara lain, Kecamatan Batang Angkola, Siabu, Sipirok

(3)

Sejak tanggal 30 November 1982, wilayah Padangsidimpuan dimekarkan

menjadi Kecamatan Padangsidimpuan Timur, Padangsidimpuan Barat,

Padangsidimpuan Utara, dan Padangsidimpuan Selatan dimana Kecamatan

Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan Selatan dibentuk menjadi Kota

Administratif Padangsidimpuan ( PP Nomor 32 tahun 1982).

Pada tahun 1992 dibentuk kecamatan Siais dengan ibukotanya Simarpinggan

yang berasal dari sebagian Kecamatan Padangsidimpuan Barat.Padangsidimpuan

Barat merupakan kecamatan kedua terbesar di Kota Padangsidimpuan dengan 34 desa

dan 1 kelurahan.Yang terbesar ialah kecamatan Padangsidimpuan Timur.Pada tahun

1993 ada 6 desa di kecamatan Padangsidimpuan Barat yang dilebur menjadi 1 desa

yaitu Desa Parsalakan.

Pada awalnya Desa Parsalakan merupakan gabungan dari 6 desa yaitu, Desa

Hutalambung, Huta Tonga, Huta Koje, Huta Tunggal, Aek Lubuk, dan Lobu Jelok.

Keenam desa tersebut kemudian dilebur menjadi 1 desa pada tahun 1993.Penyebab

keenam desa tersebut dilebur mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa pada pasal 1A, dimana suatu wilayah dapat dikatakan

sebagai suatu desa jika ditempati oleh sejumlah penduduk dan diatur dalam peraturan

Menteri Dalam Negeri. Oleh karena Desa Parsalakan pada masa tersebut hanya terdiri

dari 6 desa dengan jumlah kepala keluarga tidak lebih 50 kepala keluarga per desanya

maka pemerintah pun pada masa itu mengambil keputusan untuk melebur ke 6 desa

(4)

rencana peleburan dan sekalaian sosialisasi mengenai syarat terbentuknya desa yang

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979. Akhirnya setelah berembuk dan

mengerti mengapa pemerintah merencanakan peleburan ke 6 desa tersebut

disepakatilah nama desa tersebut Desa Parsalakan.Nama Parsalakan dipilih karena

karena keenam desa tersebut merupakan kawasan perkebunan salak yang terbesar di

Kecamatan Angkola Barat dengan luas lahannya 6.458 ha.

Desa Parsalakan terletak di Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli

Selatan yang luasnya sekitar 182,17 km2 atau 4,80 persen dari total luas Kabupaten

Tapanuli Selatan terdiri dari, 12 desa dan 2 kelurahan yaitu, Siuhom, Sisundung,

Parsalakan, Sialogo, Lembah Lubuk Raya, Sitaratoit, Lobu Layan Sigordang, Aek

Nabara, Sibangkua, Sigumur, Sitinjak, Simatorkis Sisoma, Panobasan, Panobasan

Lombang. Desa yang terbesar di Kecamatan Angkola Barat yaitu, Desa Parsalakan

dengan luas 28,60 km2. Topografi di desa-desa yang ada di Kecamatan Angkola

Barat berbukit-bukit dan datar dan diapit oleh 2 gunug yaitu Gunung Sanggarudang

dan Gunung Lubuk Raya.

Kecamatan Angkola Barat secara administratif berbatasan dengan Kecamatan

Batang Toru di sebelah utara, Kecamatan Angkola Sangkunur di sebelah barat,

Kecamatan Angkola Selatan di sebelah selatan dan Kota Padangsidimpuan di sebelah

timur. Jarak Desa Parsalakan dengan Kecamatan Angkola Barat (ibukota kecamatan)

adalah 9 km, jarak ke Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota kabupaten) adalah 8 km

(5)

administrasi Desa Parsalakan mempunyai batas – batas sebagai berikut : sebelah utara

berbatasan dengan Desa Paya Tobotan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Aek

Latong Siamporik. sebelah barat berbatasan dengan Desa Paya Pusat Aek Nabara

,sebelah timur berbatasan dengan Desa Sawah Sialogo.

Untuk dapat mengakses Desa Parsalakan,maka terlebih dahulu dari

Padangsidimpuan dengan jarak 7 km hingga ke perbatasan Padangsidimpuan dengan

Kabupaten Tapanuli Selatan akan melewati Hutaimbaru dan Palopat Maria.

Hutaimbaru berada di perbatasan antara Kota Padangsidimpuan dengan

Padangsidimpuan Barat ( kini Angkola Barat). Hutaimbaru dulunya merupakan

bagian dari kecamatan Padangsidimpuan Barat, tetapi sesuai dengan UU No. 4 tahun

2001 maka Padangsidimpuan Barat berubah nama menjadi Angkola Barat dan

menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan dan Hutaimbaru pun menjadi

kelurahan dari Kota Administratif Padangsidimpuan. Sepanjang jarak tersebut dapat

ditempuh dengan sepeda motor atau dengan mobil. Jalanan pun terbilang mulus,

tetapi sedikit menanjak dan tidak ada tikungan-tikungan tajam hingga ke Palopat

Maria. Dari Palopat Maria kira-kira 1 km lagi maka akan sampai ke daerah

Parsalakan. Desa Parsalakan merupakan jalur lintas Sibolga-Sidimpuan.Di sepanjang

melewati daerah Parsalakan, disuguhi pemandangan yang asri dan sejuk karena di

pinggir-pinggir jalan tersebut selain rumah warga ada juga pohon-pohon salak yang

berbaris rapi di sepanjang jalan.Jalanan di sepanjang Desa Parsakan juga terbilang

(6)

membentuk terasering pada sawah, banyak juga jalan yang berlobang dan

bergelombang terutama di bagian tikungan tajamnya.Topografi desa Parsalakan itu

berbukit-bukit dan sampai dengan datar.Setiap bukitnya ditempati 1 desa.Desa

pertama yang dilewati pertama kali yaitu Huta Koje atau Pertanian, Aek Lubuk, dan

Huta Tunggal jadi ada 4 bukit yang dilewati. Sedangkan dua desa lagi yaitu Lobu

Jelok dan Huta Lambung berada di daerah pedalamannya Jalanan di Huta Koje

hingga ke Huta Tunggal terbilang mulus dan sedikit tikungan. Di sepanjang jalannya

selain rumah warga yang berada di pinggir jalan, juga ada pohon-pohon salak,

karet,pisang. Dalam pola pertanian ladang pada umumnya ditemukan desa atau

kampung dimana penghuninya mempunyai rumah tetap/permanen dan dimana

terdapat pasar, toko-toko dan lain sebagainya, agak ramai setelah panen sampai

musim kemarau.Warga di daerah tersebut selain tinggal di pinggir jalan juga

mendirikan depot salak di depan rumahnya dan di bagian belakang rumahnya

ditanami kebun salak. Dalam perjalanan juga kadangkala ditandai dengan nampaknya

asap-asap yang keluar dari tengah-tengah kebun salak. Asap-asap tersebut berasal

dari kayu bakar yang dikumpulkan hingga menyerupai api unggun dan di bakar di

tengah-tengah kebun. Menurut masyarakat setempat dibuatnya api unggun tersebut

untuk mengusir hama-hama yang ada di kebun dan berfungsi untuk menjaga

kesuburan tanah agar tetap lembab.

Semakin jelas terdengar suara ayam berkokok seturut juga sebagai penanda

(7)

bermain dan juga yang sedang menunggu angkutan umum untuk berangkat sekolah

ke Hutaimbaru atau ke pusat kota Padangsidimpuan, dan ada yang berangkat ke

Sitinjak, yang merupakan ibukota kecamatan Angkola Barat. Di Parsalakan hanya

ada 2 sekolah sehingga dan tidak bisa menampung siswa dalam jumlah banyak,

sehingga membuat orangtua menyekolahkan anak-anaknya ke luar Desa Parsalakan

yaitu, Hutaimbaru yang berada di Padangsidimpuan dan juga Sitinjak.Para orangtua

juga memulai kegiatannya dengan pergi ke ladang salaknya untuk memanen

salaknya, meskipun belum musim panen mereka tetap berangkat untuk memeriksa

kebunnya dan memetik buah salak yang sudah matang meskipun dalam jumlah yang

sedikit, sekitar 2-3 karung.1 karung beratnya 25-30 kg tergantung daya tampun

karungnya.Harga 1 kg bervariasi berada di kisaran Rp3000-Rp5000, sehingga 1

karung dihargai di kisaran Rp120.000-Rp130.000.

Tekstur tanah yang ada di Desa Parsalakan merupakan tempat yang cocok

untuk menanam salak. Tanaman salak akan tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m di

atas permukaan laut. Selain itu, faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap

perkembangan tanaman salak adalah curah hujan. Tanaman salak akan tumbuh baik

pada daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata perbulan 200-400 mm. Desa

Parsalakan mempunyai curah hujan yang merata sepanjang tahun, sehingga membuat

tanah untuk menanam salak tetap lembab. Hal ini sangat baik untuk pertumbuhan

(8)

Hampir semua struktur lapisan tanah di sekitar Desa Parsalakan merupakan

perbukitan terjal dan jurang yang curam.Setidaknya hal tersebut kemudian menjadi

latar belakang spesifikasi profesi dalam struktur masyarakat Parsalakan.

2.2 Keadaan Penduduk

Angkola adalah salah satu sub suku bangsa Batak yang berasal dari Sumatera

Utara yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Suku Batak Angkola

mengenal paham kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan berdasarkan marga

orangtua laki-laki. Di Angkola dikenal beberapa marga saja, antara lain, Siregar,

Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan Hutasuhut.

Di daerah Parsalakan ada 2 marga yang menguasai 6 desa tersebut yaitu

marga Harahap dan Hasibuan. Marga Harahap menguasai daerah Hutalambung,Aek

Lubuk, dan Hutakoje, sedangkan marga Hasibuan menguasai daerah Lobujelok,Huta

Tunggal dan Huta Tonga.8

Masyarakat Parsalakan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat suku

Angkola. Upacara-upacara adat ( ritual) seperti Horja Godang dan Mangupa

merupakan rangkaian upacara adat perkawinan yang hingga sekarang masih selalu

diselenggarakan secara turun-temurun. Menurut tradisi atau adat masyarakat tersebut

upacara mangupa merupakan sarana utama bagi para kerabat untuk menyampaikan

8

(9)

doa dan harapan mereka agar pengantin yang baru memasuki gerbang pernikahan

memperoleh kebahagiaan dan kesentosaan dalam hidup berumah tangga. Di samping

itu, upacara mangupa merupakan ritual yang digunakan oleh para kerabat untuk

menetapkan berbagai kebijaksanaan tradisional(traditional wisdom) yang diperlukan

oleh sepasang pengantin untuk membina rumah tangga yang harmonis menurut

konsep masyarakat Angkola-Sipirok.

Sehubungan dengan adat mangupa ini dalam masyarakat Angkola ada

beberapa hal yang selalu mendapat upah-upah, yaitu anak yang baru lahir, keluarga

yang memasuki rumah baru, yang baru menikah, dan hal-hal yang dianggap penting

untuk menguatkan semangat seseorang misalnya baru lulus ujian, baru sembuh sakit,

atau menunaikan ibadah haji. Sedangkan Horja Godang merupakan ritual yang

paling tinggi dan besar bagi masyarakat Angkola-Sipirok. Berbicara tentang Horja

Godang, ada beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu martahi sabagas, martahi

godang, mandohoni, mangalo-alo mora, panaek gondang, maralok-alok,

margalanggang, mambuat ipon, kehe tu tapian raya bangunan, mangupa dan paulak

anak boru.9Menurut tradisi masyarakat Angkola-Sipirok, untuk melaksanakan

upacara Horja Godang yang di dalamnya harus disertai seni tor-tor dan onang-onang

dilaksanakan pada satu tempat yang dinamakan galanggang paradaton.Dalam

pelaksanaannya sejumlah kerabat pengantin laki-laki dan tokoh pimpinan adat

menyampaikan pidato adat.

9

Parlaungan Ritonga dan Ridwan Azhar, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan,

(10)

Pelaksanaan adat Angkola bisa dikategorikan rumit, karena banyaknya

ritual-ritual yang harus dilalui dan membutuhkan waktu yang sangat lama.Pesta-pesta adat

di Angkola bisa menghabiskan waktu 3 hari 3 malam bahkan hingga seminggu jika

mampu untuk membiayainya. Biaya yang diperlukan untuk mengadakan pesta adat di

Angkola tidaklah sedikit, kira-kira membutuhkan dana sekitar 80 juta-an dan itupun

untuk pesta yang 3 hari 3 malam, sedangkan untuk yang seminggu bisa memakan

biaya 100 juta lebih. Dari biaya tersebut sudah termasuk biaya untuk membeli kerbau,

dan memesan gondang dan pemainnya

Tidak sulit untuk menspesifikasikan pekerjaan penduduk yang ada di Desa

Parsalakan.Seperti telah disebutkan sebelumnya, lahan yang ada di Desa Parsalakan

merupakan yang cocok untuk ditanami tanaman salak, sehingga masyarakat pun

berlomba-lomba untuk bertanam salak.Kira-kira hampir 90 persen masyarakat yang

ada di Desa Parsalakan merupakan parsalak. Lahan yang subur, tidak memerlukan

perawatan yang intensif serta hasil yang diperoleh juga menggiurkan, tidak hanya

membuat masyarakat Parsalakan saja yang berlomba-lomba untuk menanam salak,

melainkan mengundang masyarakat tetangganya, yaitu orang-orang Mandailing

untuk menanam salak, meskipun hanya dalam jumlah kecil saja masyarakat yang

datang ke sana.Selain orang Mandailing, masyarakat dari suku-suku utara seperti

Karo, Batak Toba, Sidikalang- Dairi juga datang ke Angkola Barat.Mereka mencoba

peruntungan mereka dengan datang ke daerah Angkola untuk merubah nasib

(11)

di Angkola Barat.Mereka melihat bahwa masyarakat Angkola Barat yang banyak

menanam salak dan memperoleh penghasilan yang cukup besar membuat mereka

juga mencoba untuk menanam salak di Angkola Barat.Kemudian dengan meminta

izin dari kepala desa setempat, mereka kemudian mendapat lahan yang berada di

daerah perbatasan antara Angkola Barat dengan Angkola Selatan.Tantangan untuk

menanam salak bagi masyarakat pendatang tersebut yaitu harus membuka

lahan-lahan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon.Hal tersebut tidak menyurutkan semangat

mereka malah menjadi motivasi bagi mereka demi memperoleh hidup yang baik dari

bertanam salak.Bibit salak mereka peroleh dari petani-petani salak secara gratis tanpa

ada pungutan.Akan tetapi, ketika masyarakat meminta salak yang dihasilkan oleh

mereka, mereka tidak keberatan karena itu sebagai tanda balas budi mereka karena

telah diperbolehkan menanam salak dan diberikan bibit salak secara gratis

.Lama-kelamaan hasil yang mereka peroleh dianggap cukup untuk mendatangkan keluarga

yang ditinggalkan di kampung asal untuk hidup dan tinggal bersama-sama dengan

mereka.Pada tahun 1982 sudah mulai berkembang sebuah pemukiman masyarakat

(12)

2.3 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Desa Parsalakan

Mengandalkan potensi alam lingkungan merupakan ciri khas penduduk

Parsalakan.Hal ini bisa dilihat dari bagaimana penduduk Parsalakan mengelola tanah

mereka.Menurut masyarakat setempat, mereka bertanam salak sudah sangat lama

sekali.Tidak jelas sejak tahun berapa, yang jelas lahan salak milik orangtua mereka

diwariskan kepada anak-anaknya begitu seterusnya, sehingga sangat sulit untuk

menelusuri siapa sebenarnya yang pertama kali menemukan dan menanam salak di

Desa Parsalakan.10

Aktivitas sehari-hari dalam mata pencaharian bertani salak dilakukan secara

bergotong royong.Pada masyarakat Parsalakan dikenal dengan istilah

Marsialapari.Marsialapari yaitu melakukan pekerjaan secara bersama-sama

ke(ladang).Sistem Marsialapari ini dikerjakan secara bersama-sama oleh 3-4

keluarga.Keluarga tersebut biasanya keluarga yang satu marga, maka secara

bergiliran mereka mengerjakan ladang berdasarkan urutan yang telah mereka

tentukan sendiri.Dalam mengerjakan ladang tersebut, bukan hanya si ayah atau yang

laki-laki saja yang pergi ke ladang salak, tapi ibu beserta anak perempuannya juga

turut serta dibawa ke ladang salak.Keluarga-keluarga tersebut biasanya pergi ke

ladang setelah mereka sarapan pagi dan menyiapkan bekal untuk dibawa ke

ladang.Dalam kebiasaan masyarakat Parsalakan, biasanya yang menyiapkan bekal

adalah keluarga yang pada minggu tersebut ladangnya hendak dikerjakan. Bekal yang

10

(13)

disediakan tergantung kemampuan keluarga tersebut untuk menyediakannya, jika

dirasa mampu maka keluarga tersebut kadang-kadang akan memasak ayam untuk

bekal, tetapi kalaupun tidak mampu juga tidak menjadi masalah yang berarti, sebab

ladang tersebut juga tetap akan dikerjakan, dan bagi keluarga yang lain juga itu

adalah hal yang lumrah karena keluarga tersebut masih satu keluarga/marga dengan

mereka. Dalam pengerjaannya di ladang tersebut, pekerjaan yang laki-laki dan

perempuan tentunya berbeda. Para pihak ayah dan anak laki-lakinya akan

mengerjakan pekerjaan yang berat seperti, membuka lahan salak, menanam biji,

memotong pelepah salak, dan memanen salak. Dalam memotong salak yang hendak

dipanen, ada suatu parang khusus yang yang biasanya digunakan yaitu parang yang

ujungnya makin melebar ke ujungnya. Sedangkan para ibu-ibu dan anak-anaknya

yang perempuan, akan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar

pohon salak, selain itu mereka juga yang akan mempersiapkan makanan ke piring

untuk disantap bersama-sama dengan keluarga yang lain ketika waktunya untuk

makan siang.

Pada waktu panen tiba, keluarga-keluarga tersebut juga menjual hasil panen

salak mereka secara bersama-sama juga.Pada waktu itu jalan dari ladang salak ke

jalan yang menjadi jalan utama di Desa Parsalakan belum semulus sekarang.Untuk

masuk ke ladangsalak, misalnya dari Desa Hutalambung jalan belum dibuka.Oleh

karena itu transportasi yang mereka pakai yaitu menggunakan kuda untuk

(14)

tersebut mereka letakkan diatas kuda.Pada kuda tersebut dipasangi dua kantung yang

berada pada dua sisi kuda tersebut.Ketika kuda tersebut telah sampai ke jalan utama

yang ada di Parsalakan, maka hasil panen salak tersebut kemudian dipindahkan ke

atas gerobak pedati yang ditarik oleh sapi atau kerbau.Hasil panen yang telah

dipindahkan tersebut biasanya dijual ke Sibolga.Dalam perjalanannya ke Sibolga,

keluarga-keluarga yang Marsialapari tadi juga menjual hasil salak mereka juga

bersama-sama. Mereka menjualnya bersama-sama karena takut akan bahaya yang

akan mereka dapati di sepanjang perjalanan, misalnya seperti ancaman dari binatang

liar seperti harimau ataupun perompak-perompak yang kadang-kadang beraksi di

sepanjang jalan Parsalakan-Sibolga. Ketika mereka telah sampai di Sibolga, para

petani salak tadi menjual salak mereka dengan pedagang-pedagang yang ada di

Sibolga dengan menggunakan sistim barter. Petani salak tadi membarter salaknya

dengan kebutuhan pokok sehari-hari yang mereka butuhkan yaitu dengan beras, ikan,

sayuran, dan lainnya tergantung kebutuhan dari petani-petani salak yang menjual

tersebut.Selain ke Sibolga, para petani juga ada yang menjual salaknya ke Sidimpuan

meskipun dalam jumlah yang kecil.

Tanaman salak tidak hanya tanaman yang berkembang di Parsalakan. Di

samping salak, masyarakat juga menanam tanaman lain seperti karet, pisang, durian,

jambu dan kelapa. Tanaman karet cukup berkembang di Parsalakan, karena tanaman

salak membutuhkan pohon naungan/pelindung yang cukup rimbun pada masa awal

(15)

pohon naungan tersebut terlebih dahulu. Naungan yang paling baik untuk

pertumbuhan awal tanaman salak adalah tanaman pisang. Tanaman pisang hanya

digunakan sebagai naungan sementara, sedangkan untuk naungan tetap digunakan

tanaman tahunan seperti kelapa, karet, durian, petai, lamtoro, mangga, sirsak, jambu,

sawo, dan sebagainya.Sehingga tak jarang dijumpai pohon-pohon seperti pisang,

karet, petai dan sebagainya di samping pohon salak. Tanaman salak mutlak

memerlukan pohon pelindung, jika tidak ada pohon pelindung, pertumbuhan tanaman

salak akan terhambat. Tanaman salak yang yang daunnya tidak terlindung, sering

terdapat bercak-bercak terbakar sinar matahari dan bercak-bercak serangan penyakit

bercak daun. Di samping itu buahnya juga akan menjadi kecil-kecil, warnanya kusam

dan penampakannya tidak menarik. Pohon pelindung tanaman salak dapat dibagi

menjadi dua kategori, yaitu pohon pelindung sementara dan pohon pelindung

permanen, dan tanaman karet tergolong ke kategori pohon pelindung permanen.

Tanaman karet, cukup banyak ditanami oleh penduduk Parsalakan, meskipun

bukan menjadi komoditas utama. Memang ada sedikit perhatian dari masyarakat yang

menanam karet dan hal tersebut dilihat dari aktivitas manderes( bacamenderes) yaitu

dilakukan dengan cara menyayat kulit batang karet dari kiri ke kanan bawah dengan

pisau sadap. Selain itu yang menjadi penghambat bagi penduduk Parsalakan untuk

memproduksi karet dalam jumlah yang lebih banyak lagi adalah karena faktor

geografis di Parsalakan sendiri.Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah,

(16)

tempat, pertumbuhannya makin lambat dan hasilnya secara kualitas lebih

rendah.Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk

tanaman karet, sementara daerah Parsalakan berada di daerah dataran tinggi dan

topografinya juga berbukit-bukit. Selain itu curah hujan juga menjadi faktor

penghambat lainnya, karena Parsalakan termasuk memiliki curah hujan yang cukup

tinggi yaitu kira-kira antara 2000-4000 mm/tahun, sedangkan curah hujan yang cocok

untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm/tahun. Faktor

pendistribusian juga menjadi masalah yang pelik yang dihadapi jika hendak menanam

karet, dikarenakan daerah pendistribusiannya cukup jauh yaitu di daerah Panompuan

ada sebuah perusahaan karet yang berada di Kabupaten Padang Lawas dan PT.

Sihitang Raya yang berada di pinggiran Kota Padangsidimpuan. Jika menghitung

biaya yang dihabiskan untuk memproduksi dan mendistribusikannya maka tidak

sebanding dengan keuntungan yang didapatkan, apalagi lahan untuk menanam karet

tidak sebanyak lahan untuk menanam salak.Jika dibandingkan dengan tanaman salak

yang tidak membutuhkan perhatian yang lebih dari tanaman karet, membuat

masyarakat lambat laun hanya menganggap karet sebagai pohon penaung saja.Dari

segi hasil produksi juga, salak lebih menjanjikan karena tanaman salak dapat berbuah

sepanjang tahun sedangkan karet membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk dapat

memproduksi getah. Selain itu dalam menderes juga diperlukan waktu yang tepat

yaitu sepagi mungkin agar diperoleh hasil lateks yang tinggi, karena turgor pembuluh

(17)

berlangsung dengan aliran yang kuat, dan apabila hujan jatuh sejak dini hari

penyadapan harus dimulai agak siang, karena penyadapan setelah hujan akan

menghasilkan lateks yang encer dan mudah keluar dari alur sadapan serta mudah

mengalami prakolugasi. Peralatan yang dibutuhkan guna melakukan penyadapan juga

cukup banyak, yaitu pisau sadap, talang lateks atau spout, mangkok, cinicin

mangkok, tali cincin, quadri/signat, ember dan spatel.Peralatan dan perlengkapan

tersebut harus ada jika menginginkan kualitas yang baik.Berbanding terbalik dengan

salak yang hanya membutuhkan parang dan sarung tangan ketika hendak memanen

hasil salak tersebut.Hal tersebut menjadi pembanding bagi masyarakat yang ada di

Parsalakan untuk menggantungkan kehidupannya dari usaha bertanam salak,

sehingga masyarakat banyak yang menjadi petani salak. Selain itu,masyarakat hanya

menganggap tanaman karet tersebut sebagai tanaman tumpangsari.

Pada awalnya sebelum tahun 1970 hingga akhir 1980an masyarakat

Parsalakan tidak menganggap penting pendidikan bagi anak-anaknya

kelak.Anggapan-anggapan tersebut berkembang dikarenakan mereka menganggap

dengan hasil bertanam salak saja mereka sudah makmur bahkan pendapatan yang

dihasilkan dari bertanam salak lebih besar dari pendapatan seorang pegawai negeri

sipil (PNS) yang tamatan SMA ataupun S-1. Dari bertanam salak dirasa sudah cukup

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli beras dan lauk pauk, bahkan

hasil dari menjual salak ketika hasil penjualannya berlebih, maka uang tersebut akan

(18)

Parsalakan memang tidak punya latar belakang pendidikan yang baik, tetapi

pemikiran mereka tentang masa depan, bagaimana memenuhi kebutuhan ke depannya

sudah cukup terlihat ketika mereka berani menginvestasikan uangnya. Hal sebaliknya

akan mereka dapati jika bekerja sebagai pegawai negeri sipil, mereka merasa tidak

ada jaminan akan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan. Selain

itu masyarakat juga belum merasakan dampaknya jika menyekolahkan anaknya,

karena ketika si anak telah selesai bersekolah, pada akhirnya mereka juga akan

menjadi petani salak. Hal tersebut membuat masyarakat Parsalakan tidak tertarik

untuk menyekolahkan anak mereka, dan lebih memilih untuk membawa serta

anaknya ikut bersama mereka ke ladang salak. Membawa serta anaknya ke ladang

tidak hanya sekedar untuk membantu pekerjaan sang ayah dalam merawat ataupun

memanen salak tersebut, melainkan juga untuk mengajarkan si anak bagaimana

caranya menanam, merawat hingga memanen salak, karena kelak lahan-lahan salak

Referensi

Dokumen terkait