• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 PARADIGMA KAJIAN

Paradigma adalah pandangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan dan sifat dasar bahan kajian. Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum. Konseptualisasi, katagorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Paradigma kulitatif menerangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tenatng kehidupan sosial dan paradigma kulitatif ini memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu. Oleh karena itu, melalui paradigma kualitatif dapat menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara objektif dan dapat diketahui yang melakukan interaksi sosial. Menurut Maxwell, kelebihan paradigma adalah pemahaman makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intense dan apa saja yang berada dalam perspektif partisipan (Ghony dan Almanshur, 2012:73).

Penelitian ini menggunakan paradigma positivist sebagai pandangan mendasar dalam kasus penelitian ini. Positivis dibidangi oleh dua pemikir Perancis, Henry Sain Simon (1760-1825) dan muridnya Augus Comte (1798-1857). Henry merupakan penggagas utama sedangkan Comte adalah penerus dan pengembang gagasan ini (dalam Ardianto dan Q-aness, 2007:88).

(2)

Burgoon disebut defenisi berorientasi sumber (source oriented defenition). Ini berarti komunikasi terjadi secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menyampaikan rangsangan dalam membangkitkan respons orang lain. Penggunaan paradigma pada penelitian ini dikarenakan adanya hubungan sebab akibat dari pola komunikasi dalam keluarga dalam pembentukan perilaku para remaja pelaku pernikahan usia remaja. Pola asuh kedua orang tua diartikan sebagai sebab dan respon berupa perilaku anak di maknakan sebagai akibat.

2.2 URAIAN TEORITIS

2.2.1 KOMUNIKASI

Pengertian komunikasi secara etimologi dapat disebutkan bahwa istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu communication berasal dari kata latin communis, artinya sama. Maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan suatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan arti. Kesepakatan arti disini dibatasi kepada pengertian bahasa dan makna dari objek yang diperbincangkan. Kehadiran komunikasi menurut perjalanan sejarah sama tuanya dengan umur peradaban manusia dipermukaan bumi ini. Perkembangan kegiatan komunikasi itu sendiri sejak permulaan sejarah hingga sekarang ini secara sistematis selalu diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusian itu maka semakin maju pula kegiatan komunikasi tersebut, yang selalu berorientasi kepada pola kehidupan manusia tersebut ( Lubis, 2011:6-7).

Beberapa pakar komunikasi memberikan definisi komunikasi diantaranya Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” ( Lubis, 2011:9) menjelaskan Communication is the process by which an individual (the communication) transmits stimuli (usually verbal symbol) to midife the behavior

(3)

menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang kata/gambar) guna merubah tingkah laku orang lain).

Menurut Lewis Caroll, Komunikasi merupakan suatu proses memindahkan, mengoperkan atau menyampaikan sesuatu secara teliti dari jiwa yang satu kepada jiwa yang lain, dan hal itu adalah tepat seperti pekerjaan yang harus kita ulangi dan ulangi lagi (Praktikto, 1983: 10). Untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan agar pesan atau pernyataan yang disampaikan kepada orang lain bisa dimengerti serta dipahami.

Berbicara mengenai defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar ataupun salah. Seperti juga model atau teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan dan mengevaluasinya. Beberapa defenisi mungkin terlalu sempit, misalnya “komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik,” atau lebih luas, misalnya “komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih.” Tidak dipungkiri bahwa komunikasi adalah istilah yang begitu populer di zaman sekarang ini . Manusia modern disuguhkan dengan pesan-pesan komunikasi dari berbagai jurusan, baik secara terang-terangan, halus, verbal maupun non verbal.

2.2.1.1 Tujuan dan Fungsi Komunikasi

Tujuan Komunikasi ( Effendy, 2005 : 55 ) yaitu : a. Mengubah sikap (to change the attitude)

b. Mengubah opini / pendapat / pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku(to change the behavior)

d. Mengubah masyarakat (to change the society)

Sedangkan fungsi komunikasi ( Effendy , 2005 :55) yaitu : a. Menginformasikan (to inform)

(4)

2.2.1.2 Ruang Lingkup Komunikasi

Kegunaan dari ruang lingkup pengetahuan untuk mempermudah mempelajari pengertian suatu pengetahuan. Dengan kata lain fungsi dari ruang lingkup untuk memberikan jawaban yang tegas meliputi apa saja studi ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini pun berlaku dengan ilmu komunikasi yang juga membutuhkan ruang lingkupnya sehingga lebih mudah dimengerti dan dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah komunikasi.

Ruang lingkup komunikasi menurut pendapat Little John (dalam Lubis, 2011:31) mencakup beberapa hal:

1. Komunikasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dalam segi kehidupan manusia karena untuk memberikan batasan komunikasi itu merupakan suatu yang sulit da abstrak sifat inflikasinya. Komunikasi bukan sekedar proses penyampaian pertukaran kesamaan menggunakan lambang-lambang yang berarti.

2. Beberapa pengertian sederhana mengenai komunikasi sering ditampilkan sebagai berikut :

a. Merupakan proses penyampain komunikasi dengan menyampaikan lambang-lambang yang berarti.

b. Komunikasi merupakn proses penglihatan lambang-lambang berarti kedalamnya meliputi: ide-ide, pemikiran, sikap, pendapat, tingkah laku, sejumlah pengetahuan yang ditujukan kepada sejumlah orang. c. Merupakan proses dengan menggunakan antara sumber dan

pandangan.

d. Komunikasi adalah pertukaran informasi

Berdasarkan uraian tentang ruang lingkup ilmu komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang batasannya tidak terlepas dari multidispliner. Maksudnya, perekembangan studi komunikasi didukung oleh ilmu sosial lainnya.

2.2.2 KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

(5)

“Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik”. Berdasarkan defenisi devito, komunikasi antarpribadi berlasngsung antara dua orang yang sedang berduaan seperti suami-istri yang bercakap-cakap, atau antara dua orang dalam suatu pertemuan. Pentingnya komunikasi antarpribadi adalah proses memungkinkan secara dialog.

Effendi (dalam Liliweri, 1991:12) mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Menurut Vandeber (1986) bahwa komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan atau perasaan.

Tekanan ulasan komunikasi antarpribadi terletak pada unsur-unsur, ciri-ciri, situasi terjadinya peristiwa komunikasi, jumlah orang yang terlibat dalam prosese komunikasi (untuk membedakannya dengan komunikasi kelompok maupun massa), jarak fisik dalam suatu pesan dari penerima kepada pengirimnya. Banyak ahli berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya bermuara pada perspektif situasi, yaitu suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antar pribadi sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua orang atau sebagian kecil orang dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga dari pada memperhatikan umpan balik yang tertunda (misalnya dalam hal komunikasi antar manusia bermedia seperti surat menyurat, percakapan, telepon).

(6)

manusia demikian bebasnya dan selalu dapat berubah-ubah. Komunikasi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaan, maupun menanggapi tingkah laku, seseorang yang sudah saling mengenal secara mendalam lebih baik ketimbang yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban (Liliweri, 1991:30).

2.2.2.1Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi

Ciri-ciri komunikasi antarpribadi menurut De Vito (dalam Liliweri 1991:13) yaitu:

a. Keterbukaan (openes), yakni komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas ( tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu.

b. Empati (emphaty), yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain.

c. Dukungan (suppotiveness), yakni setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang di dambakan.

d. Rasa positif (positiveness), adalah setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka, sehingga menggangu jalinan interaksi.

e. Kesamaan (equality), yakni suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antar pribadi lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, usia, ideologi, dan sebagainya.

2.2.2.2Sifat-Sifat Komunikasi Antapribadi

(7)

terangkum dari Reardon, Effendy, Porter dan samovar (dalam Liliweri 1991:31). Secara ringkas sifat sifat tersebut adalah:

a. Komunikasi antarpribadi melibatkan didalamnya perilaku verbal maupun non verbal.

b. Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, scripted dan contrived.

c. Komunikasi antarpribadi sebagai suatu proses yang berkembang.

d. Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik, mempunyai interaksi dan koherensi.

e. Komunikasi antarpribadi biasanya diatur dengan tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

f. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. g. Komunikasi antarpribadi merupakan persuasi antar manusia.

2.2.2.4 Konsep Komunikasi Antarpribadi dalam Hubungan keluarga

Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan pria dan wanita, hubungan yang berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Cara orang tua berinteraksi dengan anaknya akan tercermin dengan sikap dan perilaku seorang anak, meskipun dampaknya tidak terlihat secara langsung. Teman sepermainan pertama seorang anak adalah saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Dari interaksi tersebut seorang anak akan memperoleh pelajaran berharga tentang bagaimana ia menjalin hubungan dengan teman dan orang lain nantinya.

(8)

Kemampuan keluarga untuk bertahan hidup perubahan ini menujukkan bahwa keluarga yang fleksibel dan bahwa fleksibilitas mereka dibantu oleh anggota keluarga bagaimana berkomunikasi. Selanjutnya, meskipun jumlah fungsi keluarga telah didelagasikan kepada lembaga sosial lainnya, keluarga yang diharapkan untuk memelihara satu sama lain dan memberikan pengasuhan dan dukungan. Apakah dipahami sebagai sebuah proses pembuatan fakta saling nyata atau pengembangan dan mempertahankan defenisi realitas dalam hubungan, komunikasi memainkan peran sentral dalam keluarga (Kurniawati, 2014:48).

Menurut Fitzpatrick dan koleganya (dalam Kurniawati, 2014:48-49), komunikasi keluarga tidak terjadi secara acak, tetapi sangat berpola berdasarkan skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana keluarga saling berkomunikasi. Skema-skema ini terdiri atas pengetahuan tentang:

1. Seberapa dekat keluarga tersebut; 2. Tingkat individualitas dalam kelurga;

3. Faktor-faktor eksternal terhadap keluarga, misalnya teman, jarak geografis, pekerjaan dan masalah-masalah lain di luar keluarga.

Disamping pengetahuan tersebut, sebuah skema keluarga akan mencakup bentuk orientasi atau komunikasi tertentu. Ada dua tipe yang menonjol: pertama adalah orientasi percakapan (conversation orientation) dan kedua, orientasi kesesuaian (conformity orientation). Beragam skema akan menciptakan tipe-tipe keluarga yang berbeda. Fitzpatick dan koleganya (dalam Kurniawati, 2014:49-52) mengenali empat tipe keluarga :

(9)

Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memilki orientasi pernikahan yang tradisional. Ini berarti bahwa mereka akan lebih konvensional dalam cara memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran daripada keragaman dan spontanitas. Data penelitian menyatakan bahwa tidak terlalu banyak konflik dalam pernikahan tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagikan menurut norma-norma yang biasa. 2. Pluralistis, yaitu tipe keluarga yang tinggi dalam percakapan, tetapi rendah

dalam kesesuaian. Tipe keluarga pluralistis memilki banyak kebebasan percakapan, tetapi apada akhirnya setiap orang akan membaut keputusan sendiri tentang tindakan apa yang harus diambil berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orang tua merasa tidak perlu untuk mengendalikan anak-anaknya.Opini di nilai berdasarkan kelayakan dan setiap orang ikut serta dalam pengambilan keputusan keluarga.

Orang tua dari keluarga pluralistis cenderung digolongkan sebagai orang tua yang mandiri, karena mereka biasanya tidak kaku dalam memandang pernikahan. Ada banyak konflik dalam pernikahan mandiri yang umum. Masing-masing saling berlomba untuk mendapatkan kekuasaan, menggunakan berbagai teknik persuasif dan tidak segan untuk saling menyangkal argumen.

(10)

4. Laissez-faire atau toleran, yaitu tipe keluarga yang rendah dalam percakapan dan rendah dalam kesesuaian. Tipe keluarga ini tidak suka ikut campur dan keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga ini sangat tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang-buang waktu untuk membicarakannya. Orang tua dalam tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi yang bercampur, yang berarti bahwa mereka tidak memiliki skema yang ssama dari mana mereka akan bekerja. Mereka merupakan kombinasi dari orang tua yang mandiri dan terpisah atau kombinasi lain.

2.2.2.5 Faktor-faktor Hubungan Interpersonal dalam Keluarga

Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi interpersonal (face to face communication) yang pada intinya merupakan komunikasi langsung dimana masing-masing peserta komunikasi dapat beralih fungsi, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bahwa reaksi yang diberikan masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh langsung. Karena itulah keluarga dapat dikategorikan sebagai satuan sosial terkecil dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam membicarakan komunikasi orang tua dan anak melalui komunikasi interpersonal, formula dari George Gebner dapat menjadi pedoman. Model yang dibuatnya meskipun sedikit komplek tetapi mempunyai banyak kegunaan karena model ini lebih memberikan suatu pemikiran yang seksama (accurate) dari apa komunikasi interpersonal itu, yaitu : proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau dari sejumlah orang-orang dalam suatu kelompok dengan sejumlah efek yang dapat diketahui dengan segera (Devito, 1986:4).

(11)

digambarkan sebagai komunikasi yang memerlukan tempat antara keduanya, dan orang menyebutnya sebagai “koneksi”, yang dicontohkan dengan hubungan antara ayah ibu dan anak, dua saudara, guru dan murid, insane bercinta, dua teman dan sebagainya ( Devito, 1986:13).

Dalam kaitannya dengan komunikasi orang tua dan anak, maka faktor-faktor yang berperan dalam hubungan interpersonal adalah bagaimana anak mempunyai persepsi (pandangan) terhadap orang tua dan kemampuan menampilkan diri sebagai orang tua yang baik, yaitu:

1. Persepsi anak terhadap orang tua.

Kualitas hubungan interpersonal antara orang tua dan anak dimulai dari bagaimana persepsi anak terhadap orang tua. Kalau seorang anak beranggapan bahwa orang tua adalah sosok yang memiliki sifat-sifat yang baik, ramah, menyayangi, bertanggung jawab dan sebagainya biasanya anak akan menaruh hormat terhadap orang tua.

2. Kemampuan menjadi orang tua yang baik

Selain faktor pembentukan kesan terhadap anak, kemampuan anak memiliki kesan yang baik terhadap orang tua adalah hal yang sangat menentukan keberhasilan dari hubungan interpersonal, antara lain dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan anak seperti kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, pendidikan dan sebagainya.

3. Prinsip hubungan interpersonal

(12)

2.2.3 POLA KOMUNIKASI KELUARGA 2.2.3.1 Pemahaman tentang Pola Komunikasi

Dalam kamus besar bahasa indonesia, pola diartikan sebagai bentuk(struktur) yang tetap. Sedangkan (1) komunikasi adalah proses penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. (2) Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dengan demikian, pola komunikasi dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1)

2.2.3.2Pengertian Komunikasi Keluarga

Wursanto (dalam Djamarah 2004:36) mengatakan bahwa komunikasi dapat berlangsung setiap saat, dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja. Semenjak lahir manusia sudah mengadakan hubungan dengan kelompok masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami individu yang baru lahir, ialah keluarga. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan.

(13)

2.2.3.3Pola Komunikasi Keluarga

Banyak teori mengenai komunikasi keluarga yang menyatakan bahwa anggota keluarga menjalankan pola interaksi yang sama secara terus menerus. Pola ini bisa negatif ataupun positif, tergantung dari sudut pandang dan akibat yang diterima anggota keluarga. Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut.

Keluarga membuat persetujuan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dikomunikasikan dan bagaimana isi dari komunikasi itu di interpretasikan. Keluarga juga menciptakan peraturan kapan bisa berkomunikasi, seperti tidak boleh bicara bila orang sedang mencoba tidur, dan sebagainya. Semua peraturan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikomunikasikan melalui cara yang sama secara terus menerus sehingga membentuk suatu pola komunikasi keluarga.

Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi yang terjadi dalam keluarganya, apakah pola tersebut benar-benar diinginkan dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang sehat dan bahagia dengan keluarga yang dangkal dan bermasalah. Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain”. (Liliweri, 1997 : 45).

(14)

(sign) yang selalu dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum (Liliweri, 1997 : 45).

Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan pada kehidupan atas dasar landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk sebagian besar terbatas pada rumah. Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah, mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.C. H. Cooley berpendapat bahwa keluarga sebagai kelompok primer, setiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam kelompok” (Daryanto, 1984 : 64).

Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya mempunyai status dan peranan masing-masing, sehingga interaksi dan inter-relasi mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain. “Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk kehidupan sosial” (Daryanto, 1984 : 64).

(15)

Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986) mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu :

1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)

Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersonal lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama.

Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang.

2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)

(16)

dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.

3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberitahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.

4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)

(17)

hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama.

2.2.3.4Interaksi Sosial dalam Keluarga

Setiap keluarga adalah suatu sistem- suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan tidak pernah berlangsung hanya satu arah. Contohnya, interaksi antara ibu dan bayinya terkadang dilambangkan sebagai tarian di mana tindakan yang sinambung dari pasangan dikoordinasikan secara ketat. Tarian terkoordinasi ini bisa diartikan sebagai mutual syncrony, yang berarti bahwa perilaku setiap orang bergantung pada perilaku sebelumnya dari mitranya (Santrock, 2007:157).

Pendidikan dasar yang baik harus diberikan kepada anggota keluarga sedini mungkin dalam upaya memerankan fungsi pendidikan dalam keluarga, yaitu menumbuhkembangkan potensi laten anak, sebagai wahana untuk mentrnasfer nilai-nilai dan ebagai agen trasformasi kebudayaan. Ada beberapa bentuk interaksi dalam keluarga, yaitu interaksi antara suami dan istri, interaksi antara ayah, ibu dan anak, interaksi antara ayah dan anak, interaksi antara ibu dan anak dan interaksi antara anak dan anak (Djamarah, 2004:49-60)

1. Interaksi antara suami dan istri

Interaksi sosial antara suami dan istri selalu saja terjadi, dimana dan kapan saja. Tetapi interaksi sosial dengan intensivitas yang lebih tinggi lebih sering terjadi dirumah, karena berbagai kepentingan. Misalnya karena masalah kehangatan cinta, karena ingin berbincang-bincang, karena ada permasalahan keluarga yang harus dipecahkan, karena masalah anak, karena masalah sandang pangan, dan sebagainya.

(18)

pasangan suami istri selalu mendambakan kehangatan cinta dari lawan jenisnya. Ada beberapa indikator yang dapat menghantarkan kepada kehangatan cinta, yaitu ungkapan cinta, efek sentuhan, beri bantuan, siap dengan dukungan, jangan pelit pujian, munculkan segala kebaikannya, sisihkan waktu berdua serta panggilan khusus antara suami dan istri.

2. Interaksi antara Ayah, Ibu dan Anak

Suatu ketika ayah dan ibu sering terlibat dalam perbincangan mengenai masalah anak. Mereka bermusyawarah sikap dan perilaku bagaimana yang sebaiknya ditampilkan untuk memberikan pengalaman yang baik kepada anak di dalam rumah. Walaupun tanpa disadari sikap dan perilaku negatif ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Mendidik anak memang tidak mudah, karena banyak faktor yang ikut terlibat dalam memberikan pengalaman. Sumber informasi dalam bentuk media elektronik dan media cetak memberikan efek psikologis terhadap anak. Ayah dan ibu sering resah karena anaknya sering menonton perilaku yang berbau seks dan adegan kekerasan di TV. Ayah dan ibu merasa khawatir karena anaknya sering melihat gambar pornografi yang dipajang di cover depan kora-koran picisan.

Orang tua yang baik adalah ayah-ibu yang pandai menjadi sahabat sekaligus sebagai teladan bagi anaknya sendiri. Karena sikap bersahabat dengan anak mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi jiwanya. Sebagai sahabat, tentu saja orang tua harus menyediakan waktu untuk anak. Menemani anak dalam suka dan duka, memilihkan teman yang baik untuk anak dan bukan membiarkan nak memilih teman sesuka hatinya tanpa petunjuk bagaimana cara memilih teman yang baik.

(19)

yang kurang baik bagi perkembangnnya. Pemberian nasihat perlu waktu yang tepat dan dengan sikap yang bijaksana, jauh dari kekerasan dan kebencian.

Untuk mendukung ke arah pengembangan diri anak yang baik salah satu upayanya adalah pendidikan disiplin. Pendidikan disiplin dapat diberikan dalam bentuk keteladanan dalam rumah tangga. Ayah dan ibu harus memberikan teladan dalam hal disiplin yang baik dengan bijaksana dan dengan menggunakan pujian, buak selalu dengan kritik atau hukuman. Sebab anak yang tumbuh dalam suasana pujian dan persetujuan akan tumbuh lebih bahagia, lebih produktif dan lebih patuh daripada anak yang terus menerus di kritik.

Untuk melahirkan anak dengan disiplin yang baik tidak mungkin da[at terbentuk dalam waktu singkat, tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dalam siklus proses. Karenanya mendidik anak perlu kesabaran dan memiliki kepekaan terhadap anak. Kesabaran ada, tetapi tidak peka terhadap anak, akan melahirkan anak dengan kepribadian yang labil.

Hal lain yang juga penting untuk diberikan kepada anak adalah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Caranya memperkuat kemauan anak, menumbuhkan kepercayaan sosial, menumbuhkan kepercayaan ilmiah, dan menumbuhkan kepercayaan ekonomi dan bisnis. Keprcayaan diri dapat melahirkan kepribadian yang unggul dengan keyakinan yang kuat terhadap apa yang pernah diucapkan atau yang dilakukan. Jauh dari ketergantungan orang lain. Punya sikap yang konsisten. Bahkan yang terpenting adalah tidak membeo.

3. Interaksi antara ibu dan anak

Peranan seorang ibu terhadap proses sosialisasi anak sangat besar (lebih besar daripada seorang ayah). Proses sosialisasi tersebut mengantarkan anak kedalam sistem kehidupan sosial yang berstruktur. Anak diperkenalkan dengan kehidupan kelompok yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dalam jalinan interaksi sosial.

(20)

dan anak bersifat fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis makanan yang dimakan oleh ibu yang sedang hamil akan mempengaruhi pertumbuhan fisik anak. Kalau tidak ada kelainan karena fakto lain diluar perkiraan, maka anak akan tumbuh dengan organ-organ tubuh yang sempurna.

Secara psikologis, antara seorang ibu dan anak terjalin hubungan emosional. Ada tali jiwa yang turbuhul utuh dan tidak bisa diceraiberaikan. Sentuhan kasih sayang seorang ibu dapat meredakan tangisan anak. Sambil menyusui, seorang ibu tidak pernah lupa memandangi sekujur tubuh anaknya dan berusaha berdialog denagn anak. Rabaan dan belaian adalah saluran naluri insani serang ibu kepada anak kesayangannya.

Hubungan darah antara ibu dan anak melahirkan pendidikan yang bersifat kodrati. Karenanya secara naluriah, meskipun mendidik anak merupakan suatu kewajiban, tetapi seorang ibu merasa terpanggil untuk mendidik anaknya dengan cara mereka sendiri. Bagi seorang ibu yang terbiasa hidup dalam alam tradisional, mendidik anaknya berdasarkan pengalaman yang diberikan oleh leluhurnya atau berpedoman pada warisan budaya tradisional setempat. Bagi seorang ibu yang hidup dalam alam modern, juga mendidik anaknya berdasarkan pengalaman atau ilmu pengetahuan yang pernah diterimanya dalam kehidupan modern.

Dari kultur kehidupan keluarga yang kontradiktif di atas melahirkan perilaku pendidikan yang berlainan, sehingga upaya pendidikan yng diberikan kepada anak dengan pendekatan yang tidak selalu sama. Pada umumnya pendekatan pendidikan yang sering dilakukan dalam suatu keluarga berkisar pada pendekatan individual, pendekatan kelompok, pendekatan edukatif, pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, pendekatan fungsional dan pendekatan keagamaan.

Sedangkan pendidikan dasar yang baik yang harus dibelrikan dalam keluarga adalah pendidikan dasar agama, pendidikan dasar akhlak, pendidikan dasar moral, pendidikan dasar sosial, pendidikan dasar susila dan pendidikan dasar etika.

(21)

Di indonesia, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempnyai sifat-sifat kepemimpinan yang baik. Sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional (jiwa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan yang baik (ing ngarso sung tulodo), memberi semangat sehingga pengikut itu kreatif (ing madyo mangun karso), dan membimbing (tut wuri handayani). Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya.

Pada fase awal dari kehidupan anak, dia tidak hanya berkenalan dengan ibunya, tetapi juga berkenalan dengan ayahnya sebagai orang tuanya. Keduanya sama-sama memerikan cinta, kasih dan sayang serta berusaha memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Karena setiap pengalaman baik atau pun buruk yang dimiliki seorang anak akan menjadi referensi kepribadian anak pada masa-masa selanjutnya, maka yang harus diberikan kepada anak adalah pengalaman yang baik-baik saja. Karenanya menjadi tugas dan tanggung jawab orang tau untuk memberikan pengalaman yang baik kepada anak melalui pendidikan yang diberikan dalam keluarga.

Dengan posisi dan peranan yang sedikit berbeda, antara ibu dan ayah melahirkan hubungan yang bervariasi dengan anak. Meski begitu, baik ibu maupun ayah sama-sama berusaha berda sedekat mungkin dengan anaknya, seolah-olah tidak ada jarak. Karena hanya dengan begitu, orang tua dapat memberikan pendidikan lebih intensif kepada anaknya di rumah.

Seorang ayah dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anaknya akan berusaha meluangkan waktu dan mencurahkan pikiran untuk memperhatikan pendidikan anaknya serta menjadi pendengar yangn baik ketika anak menceritakan berbagai pengalaman yang didapatkannya diluar rumah.

(22)

berdialog dan diselingi tanya jawab dalam perspektif kependidikan tentang sesuat dengan anak, agar dia memperoleh pelajaran yang baik dari ayahnya.

5. Interaksi antara anak dan anak

Kehidupan keluarga di masa lalu mencerminkan keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak dala rumah tangga. Tetapi bukan semata-mata didasari oleh persepsi bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Kekurangan pengetahuan tentang cara-cara pengendalian kelahiranlah yang menjadi pangkal penyebabnya. Program KB yang dicanangkan pemerintah belum dikenal di masa lalu, sehingga wajar saja masyarakat tradisional tidak mengenal NKKBS ( Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera ). Tradisi memiliki banyak anak untuk keluarga tertentu dirasakan sebagai kebanggan tersendiri.

Sampai sekarang tradisi banyak anak masih ada di kalangan keluarga tertentu. Meskipun mereka sudah hidup dalam kehidupan mpdern dengan tingkat pengendalian kelahiran yang tidak diragukan. Tetapi, karena berhasilnya program KB di Indonesia, kebanyakan kehidupan keluarga di huni oleh ayah, ibu, dan dua orang anak.

Dengan hadirnya anak-anak dalam keluarga berarti komunitas keluarga bertambah. Di sini interaksi semakin meluas. Semula hubungan antara suami dan istri, kemudian meluas hubungan antara anak dan anak. Hubungan antara anak tidak selalu melibatkan orang tuanya. Bisa saja berlangsung antara sesama anak. Mereka bermain bersama, saling membantu antara sesama mereka, atau melakukan apa saja yang dapat menyenangkan hati.

(23)

yang memulai untuk membicarakan suatu hal kepada adiknya. Tetapi dilain kesempatan bisa saja seorang adik yang memulai pembicaraan untuk membicarakan sesuatu hal kepada kakaknya. Mereka berbicara antar sesama mereka, tanpa melibatkan orang tua. Bahasa yang mereka pergunakan sesuai dengan alam pemikiran dan tingkat pengusaan bahasa yang dikuasai. Mereka bertukar pengalaman, bersenda gurau, bermain atau melakuka aktivitas apa saja menurut cara mereka masing-masing dalam suka dan duka.

2.2.3.5Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi dalam Keluarga

Sukarnya berkomunikasi dengan baik, karena yanng berkomunikasi itu adalah manusia dengan segala perbedaannya. Setiap orang mempunya ciri-ciri khas tertentu dalam bersikap, bertingkah laku, memandang orang lain, melihat keadaan dunia ini ataupun dalam merasa diri. Dalam keluarga, ketika dua orang berkomunikasi, sebetulnya mereka berada dalam perbedaan untuk mencapai kesamaan pengertian dengan cara mengungkapkan dunia sendiri yang khas, mengungkapkan dirinya yang tidak sama dengan siapa pun. Sekalipun yang berkomunikasi itu adalah antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara ibu dan anak dan antara anak dan anak, hanya sebagian kecil mereka itu sama-sama tahu, sama-sama mengalami, sama pendapat dan sama pandangan. Pada bidang tertentu selalu ada perbedaan, tidak dialami oleh pihak lain. Oleh karena itu, berkomunikasi mengenai bidang yang sama jauh lebih komunikatif dari pada berkomunikasi mengenai bidang yang berbeda (Djamarah, 2004:62).

Dalam konteks itulah, diyakini ada sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga, seperti yang akan diuraikan berikut ini :

1. Citra Diri dan Citra Orang lain

(24)

berbicara, menyaring bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannnya terhadap segala yang berlangsung disekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menunjukka ekspresi dan persepsi orang.

Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Orang lain mempunyai gambaran yang khas bagi dirinya. Jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia yang lemah, ingusan tidak tahu apa-apa, harus diatur, harus diawasi, maka ia berbicara kepada anaknya itu secara otoriter, yaitu lebih banyak mengatur, melarang atau memerintah. Tetapi jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia cerdas, kreatif dan berpikiran sehat, maka ia mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya dalam bentuk anuran daripada perintah, pertimbangan dari pada larangan, kebebasan terpimpin daripada banyak mengatur.

2. Suasana Psikologis

Suasana psikologis di akui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi sulit berlangsung apabila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka, dan suasana psikologis lainnya. Seseorang dalam keadaan sedih karena di tinggal ayah atau ibunya misalnya, sulit diajak bicara karena suasana hati dalam keadaan duka cita, seseorang tidak mampu mengungkapkan kalimat dengan sempurna. Derasnya air mata yang keluar karena tangis kesedihan sebagai pertanda bahwa gejolak emosinya lebih dominan daripada akal pikirannya sehingga dia lebih banyak menampilkan luapan emosinya yang terkadang tak terkendali, dan ketika itu sulit diajak bicara.

3. Lingkungan Fisik

(25)

berbeda dengan kehidupan keluarga yang meremehkan norma agama. Kehidupan keluarga dengan segala perbedaannya itu memiliki gaya dan cara berkomunikasi yang berlainan. Oleh karena itu, lingkungan fisik, dalam hal ini lingkungan keluarga, mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi.

4. Kepemimpinan

Dinamika hubungan dalam keluarga dipengaruhi oleh pola kepemimpinan. Karakteristik seorang pemimpin akan menentukan pola komunikasi bagaimana yang akan berproses dalam kehidupan yang membentuk hubungan-hubungan tersebut. Kepeimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan komunikasi kelompok. Dinamika kelompok bagaimana akan terjadi ditentukan oleh gaya-gaya kepemimpinan. Tetapi bisa juga sebaliknya, kelompok bagaimana yang dipimpin, akan mempengaruhi pola kepemimpinan. Tipe-tipe kepemimpinan melahirkan bermacam-macam sikap dan perilaku seseorang dalam memimpin kelompoknya. Karenanya, cara-cara kepemimpinan yang berlainan yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya mempunyai akibat-akibat berlainan terhadap interaksi kelompok. Cara-cara kepemimpinan itu bisa otoriter, demokratis, atau laissez faire.

5. Bahasa

(26)

Akibatnya komunikasi mengalami hambatan dan pembicaraan tidak komunikatif.

6. Perbedaan Usia

Komunikasi dipengaruhi oleh usia. Setiap orang tidak bisa berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang di ajak bicara. Berbicara kepada anak kecil berbeda ketika berbicara kepada remaja. Mereka mempunyai dunia masing-masing yang harus dipahami. Selain kemampuan berpikir yang berbeda, anak juga memiliki penguasaan bahasa terbatas.

Secara umum, rentang berpikir anak itu bergerak dari yang konkret ke yang abstrak. Pergerakan dari berpikir konkret kepada berpikir abstrak seiring dengan peningkatan usia anak. Oleh karena itu, bahasa yang dipergunakan dalam berkomunikasi harus disesuaikan dengan tingkat usia dan pengalaman anak. Dalam berkomunikasi, orang tua tidak bisa menggiring cara berpikir orang tua. Karena anak belum mampu untuk melakukannya. Dalam berbicara, orang tualah yang seharusnya mengikuti cara berpikir anak dan menyelemi jiwanya. Bila tidak, maka komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Harus diperhatikan, bahwa pembicaraan yang sesuai dengan tingkat usia seseorang menjadi salah satu faktor penentu kualitas komunikasi.

2.2.4 PENGAMBILAN KEPUTUSAN

2.2.4.1 Pengertian Pengambilan Keputusan

(27)

cara pemilihan bertindak, Suatu keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh pengelola sebagai suatu proses yang paling efektif untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah”.

Pengambilan keputusan merupakan proses untuk membuat suatu pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan. Proses ini dipengaruhi masa lalu, masa sekarang dan perkiraan masa yang akan datang. Pengambilan keputusan merupakan proses memilih dan berkomitmen atas apa yang telah dipilih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses memilih alternatif serta mengidentifikasi kebutuhan untuk mencapai tujuan berdasarkan keinginan, pengetahuan dan pengalaman (Library.binus.ac.id)

2.2.4.2 Tahap-Tahap Pengambilan Keputusan

Kleindorfer (1993) menyatakan bahwa kebutuhan, nilai dan tujuan yang hendak dicapai seseorang merupakan faktor dasar dalam mengambil keputusan. adanya tahapaan yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung, yaitu :

1. Tahap penemuan masalah dan definisi masalah.

Merupakan tahap dimana individu menyadari adanya masalah yang perlu diselesaikan. Dan individu berfokus pada apa yang mereka anggap sebagai masalah. Persepsi terhadap sesuatu sebagai pokok permasalahan atau apa yang menjadi masalah utama dipengaruhi oleh kebutuhan, nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam tahap ini individu juga menyadari kondisi, dan definisi masalah

2. Tahap pencarian atau tahap evaluasi.

Merupakan tahap mengumpulkan informasi tentang kemungkinan alternatif pemecahan masalah dan kemudian mengevaluasi alternatif tersebut. Dalam tahap ini individu mencari kepentingan dari suatu masalah, kesulitan, sumber daya, dan waktu

3. Tahap memilih alternatif dan membuat keputusan.

(28)

semua informasi untuk menyelesaikan masalah, dengan cara yang meminimalisasi kerugian.

4. Tahap evaluasi hasil.

Setelah membuat keputusan dan mengambil tindakan sesuai keputusan, pengambil keputusan mengevaluasi tepat-tidaknya keputusan yang dibuat berdasarkan hasil atau akibat dari keputusan tersebut. Dan kemudian mempertahankan hasil keputusan.

2.2.4.3 Fungsi Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan masalah yang sangat penting? Menurut pengamatan, masalah intinya ada dua, yaitu (Manullang & Fadli, 2014:8) :

1. Keputusan merupakan pangkal atau permulaan dari semua jenis aktivitas manusia, yang sadar dan terarah, baik secara invidual maupun secara kelompok, secara institusional atau organisasional. Jadi, bagi yang menghendaki adanya aktivitas-aktivitas tertentu, maka dirinya harus mampu dan berani mengambil keputusan-keputusan, secara efektifdan efesien.

2. Keputusan tersebut bersifat futuristik, yaitu mengenai hari yang akan datang dan efeknya akan berlangsung di hari-hari yang akan datang. Padahal, hari kemudian itu, hanya terdiri atas ketidakpastian (uncertainties, onzekerheden). Para pemimpin Agama berkata, bahwa yang pasti di dunia ini hanya ada dua, yakni kematian dan hari kiamat. Keharusan akan adanya keputusan di satu pihak dan kenyataan berupa serba ketidakpastian, yang dihadapi oleh manusia di pihak lain, merupakan masalah inti dari persoalan pengambilan keputusan.

(29)

zekerheden, relative certaities), yaitu kepastian-kepastian yang dapat dijangkau oleh penglihatan atau otak manusia, sehingga dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan-keputusan besar dan kecil, penting dan tidak penting, darurat dan tenag, individual dan organisasional dan lain sebaginya. Dengan perkataan lain, semua keputusan manusia, selalu bersifat atau berwarna subjektif. Bahkan dalam mempergunakan teknik analisa stastik atau matematika pun, dia masih terikat kepada kempuannya, untuk menentukan data mana yang relevan dan mana yang tidak.

2.2.4.4 Seni dan Teori

Pengambilan keputusan merupakan seni, namun pengembangnnya tidak tergantung dari bakat seseorang, Untuk pengembangan seni, diperlukan teori-teori. Teori pengambilan keputusan, dikembangkan oleh manusia untuk menentukan sampai dimana, dia masih dapat berpikir dan memperhitungkan segala sesuatunya secara rasional, namun di luar garis tersebut, memang harus menyerah pada nasib. Teori pengambilan keputusan dikembangkan oleh manusia agar dapat mengetahui apa yang di hadapi, karena tidak dapat mengetahu inflasi, apabila tidak memahami atau menguasai teori inflasi. Manusia tidak akan dapat mengambil keputusan, apabila tidak memahami dan menguasai teori-teori, tentang pengambilan keputusan, sehingga dengan mengusai teori-teori pengambilan keputusan, maka dapat meningkatkan kemampuan, untuk mengambil keputusan yang tepat, dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

2.2.5 Remaja

2.2.5.1 Pengertian Remaja

(30)

tingkat orang-orang yang lebih tua melainan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial, yang kenyataannya merupak ciri khas dari periode perkembangan ini (Hurlock, 1980 : 206).

Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai definisi tentang remaja, yaitu:

1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2. Menurut Undanng Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3. Menurut Undang Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.

4. Menurut Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila sudah matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.

5. Menurut Departemen Pendidikan Nasional anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai saat lulus Sekolah Menengah.

6. Menurut WHO remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun

2.2.5.2 Tahap Perkembangan Remaja

Secara umum tahap perkembangan remaja dibagi 3 bagian yaitu sebagai berikut :

1. Remaja awal, 12-15 tahun (early adolesccence)

(31)

tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dari teman sebaya.

2. Remaja Pertengahan, 15-18 tahun (middle adolescence)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas dan membuat keputusan – keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan lawan jenis menjadi penting bagi individu.

2. Masa Remaja Akhir, 18-22 Tahun (late adolescence)

Masa ini ditandai dengan persiapan masa akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha menetapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman dan orang dewasa menjadi tahap ini.

2.2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Remaja

(32)

Pihak-pihak tersebut saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian tertentu sebagai akibatnya (Soekanto, 1992:69).

Bila berhadapan dengan seorang remaja yang dinilai atau dicap nakal antara lain karena terjerumus dalam perilaku yang tidak baik, maka lingkungan disekitarnya akan dirangsang utnuk mengetahui lebih lanjut, apakah perbuatan seorang remaja tersebut sebagai reaksi ataukah sebagai akibat. Perbuatan sebagai reaksi atau sebagai akibat, menunjukkan ada faktor yang mendasari munculnya suatu perilaku tertentu, yakni ada sumbernya. Untuk mengubah suatu perilaku, termasuk perilaku yang tidak dikehendaki, perlu memahami sumber dan penyebabnya (Gunarsah, 2000:182). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku remaja adalah, sebagai berikut :

1. Faktor Pribadi

Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak, bisa menjadi sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan konstitusi, potensi, bakat atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses perkembangan, kematangan atau perangsangan dari lingkungan menjadi aktual, muncul atau berfungsi. Seorang remaja bisa memperlihatkan perilaku yang tampil sebagai pelarian-pelarian karena ia mengalami kesulitan yang disebabkan oleh tuntutan atau tekanan yang berasal dari orang tua serta kekecewaan atas tidak tercapainya keinginannya.

2. Faktor Keluarga

(33)

kepribadiannya. Lingkungan keluarga acapkali disebut sebagai pendidikan informal yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak.

Gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan oleh seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya, jelasnya apa yang dialami lingkungan keluarganya. Buruk yang dialami dalam keluarga akan buruk pula yang diperlihatkan terhadap lingkungannya. Perilaku negatif yang dialami dalam keluarga. Hubungan antrapribadi dalam keluarga, yang meliputi pula hubungan antar saudara menjadi faktor yang penting munculnya perilaku seorang remaja. Agar terjamin hubungan yag baik dalam keluarga, dibutuhkan peran aktif orang tua utnuk membina hubugan yang serasi dan harmonis antara semua pihak keluarga. Namun tentunya terlebih dahulu harus diperlihatkan adalah hubungan yang baik antara suami istri. 3. Faktor Lingkungan Sosial

(34)

Lingkungan pergaulan untuk remaja adalah sesuatu yang harus dimasuki karena di lingkungan pergaulan seorang remaja bisa terpengaruh ciri kepribadiannya. Lingkungan sosial sewajarnya menjadi sorotan agar bisa menjadi lingkungan yang baik yang bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau patologis pada remaja.

2.2.5.4 Pengambilan Keputusan Remaja

Menurut Steinberg (2010), remaja memiliki pengambilan keputusan yang berbeda dan memiliki karakteristik pengambilan keputusan yang berbeda dengan tahap perkembangan lain. Terdapat 6 karakteristik yang membedakan pengambilan keputusan remaja, yaitu (library.binus.com) :

1. Remaja sangat sensitif terhadap penghargaan/hadiah(reward), termasuk stimulus penghargaan tersebut, status sosial atau merasa dikagumi dan dihargai. Sensitivitas tinggi terhadap penghargaan inilah yang diwujudkan dengan 2 cara yang berbeda seperti apa remaja menyelesaikan masalah, dan apa saja yang akan menjadi pertimbangan ketika mereka membuat keputusan. Demikian juga, ketika dihadapkan dengan sebuah pilihan antara dua alternatif tindakan, remaja akan cenderung memilih alternatif yang memiliki potensi reward yang lebih besar pada setiap alternatif daripada kerugian dari masing-masing alternatif.

2. Dibanding dengan orang dewasa, remaja lebih fokus pada konsekuensi yang langsung pada suatu keputusan daripada berpikir tentang jangka panjang pada suatu keputusan.

3. Orientasi yang lemah dalam memprediksi masa depan mempengaruhi remaja dalam melihat kerugian dalam pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan mereka cenderung memperhatikan dan fokus pada kerugian yang secara langsung dan jangka pendek dari sebuah pilihan daripada kerugian jangka panjang.

(35)

keputusan. Pengaruh kelompok cenderung memperuncing sensitivitas remaja terhadap reward dan pilihan remaja terhadap reward secara langsung (jangka pendek). Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung memilih untuk sendiri dalam keputusan akan suatu resiko.

5. Ketidakmatangan yang terkait bagian otak dengan kontrol kognitif. Remaja relatif berbeda dengan orang dewasa, yaitu kurang mampu untuk mengatur perilaku mereka. Hal tersebut tercermin pada remaja sebagian besar cenderung untuk bertindak sebelum berpikir, sulit membuat rencana dan mengontrol emosi mereka.

6. Pengambilan keputusan pada remaja lebih mudah terganggu oleh rangsangan emosi dan sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Pada penelitian yang membandingkan pengambilan keputusan pada remaja dan dewasa, penelitian dilakukan pada mereka yang sedang sendiri dan ketika berada dibawah kondisi rangsangan emosional diminimalkan.

2.3. MODEL TEORITIK

Gambar 2.1 Model Teoritik

Gambar

Gambar 2.1 Model Teoritik

Referensi

Dokumen terkait

Untuk perilaku mengganti pakaian terdapat 3 responden (42.9%) penderita DBD dan 4 responden (57.1%) bukan penderita DBD yang berperilaku buruk dari total 80 responden dalam

Abortus insipiens ialah peristiwa peradrahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi

Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan Korelasi Pearson karena data berdistribusi normal terdapat hubungan pemahaman konsep dengan keterampilan berpikir

Pengeringan yang dilakukan pada buah mahkota dewa bertujuan mengurangi kadar air dalam bahan, sehingga air yang tersisa tidak dapat digunakan sebagai media hidup

kegiatan berpikir relasional meliputi : membangun keterkaitan berdasarkan informasi dalam suatu permasalahan beradasar pengetahuan sebelumnya, membangun/menciptakan gambaran

yang menunjukan bahwa variabel harga berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian, selain itu temuan ini juga mendukung teori Kotler dan Armstrong (2004:200)

Berdasarkan langkah-langkah yang telah di berikan oleh guru di RA Al- Hidayah untuk melaksanakan metode bermain peran sejalan dengan pendapat Yuliana Nuraini

Instrumen yang digunakan untuk mengetahui aspek sikap ilmiah pada dimensi rasa ingin tahu siswa melalui pendekatan saintifik berbantuan alat peraga penjernihan air.. HASIL