BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Keluarga Berencana (KB)
Menurut World Health Organization (WHO, 1970), Keluarga Berencana
adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk :
mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan
menentukan jumlah anak dalam keluarga (Anggraini, 2012).
Dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 Pasal 1 ayat 8 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa
Keluarga Berencana adalah Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran
anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
yang berkualitas.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana
adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu untuk
mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat dan metode kontrasepsi.
Tujuan umum keluarga berencana adalah membentuk keluarga kecil sesuai
dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran
anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagian sejahtera yang dapat memenuhi
Menurut Undang-undang nomor 52 tahun 2009 pasal 21 ayat 2, Keluarga
berencana mempunyai tujuan sebagai berikut : (1) mengatur kehamilan yang
diinginkan, (2) menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan
anak, (3) meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan
pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, (4) meningkatkan partisipasi
dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana, (5) mempromosikan penyusuan
bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.
Tujuan keluarga berencana berdasarkan rencana strategis 2005-2009 meliputi
: (1) keluarga dengan anak ideal, (2) keluarga sehat, (3) keluarga berpendidikan, (4)
keluarga sejahtera, (5) keluarga berketahanan, (6) keluarga yang terpenuhi hak-hak
reproduksinya, (7) penduduk tumbuh seimbang (PTS).
Sehingga kesimpulan dari tujuan keluarga berencana adalah memperbaiki
kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa, mengurangi angka
kelahiran untuk menaikkan tarif hidup rakyat dan bangsa, memenuhi permintaan
masyarakat akan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang
berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak
serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Sasaran program keluarga berencana yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009
meliputi : (1) menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14
persen per tahun, (2) menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per
perempuan, (3) menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin
(unmet need) menjadi 6 persen, (4) meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5
persen, (5) meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi rasional, efektif dan
efisien, (6) meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21
tahun, (7) meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang
anak, (8) meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 yang
aktif dalam usaha ekonomi produktif, (9) meningkatnya jumlah institusi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan program KB nasional.
2.2.Partisipasi Pria dalam Program KB
Partisipasi adalah bentuk tanggung jawab pria dalam keterlibatan dan
kesertaan dalam ber-KB dan kesehatan reproduksi, serta perilaku yang sehat dan
aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya. Partisipasi pria dalam program KB
adalah bentuk nyata dan kepedulian serta keikutsertaan pria dalam pelaksanaan
program KB. Peningkatan dan perluasan pelayanan KB termasuk pria merupakan
salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang
sedemikian tinggi akibat kehamilan (BKKBN, 2002).
Program Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dimaksudkan
untuk membantu pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi
mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden
kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu,
terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan
dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB,
dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2002).
2.2.1. Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB
BKKBN melalui Direktorat Badan Partisipasi Pria telah menyusun kebijakan
peran pria dalam KB (BKKBN, 2004), yang dijabarkan sebagai berikut :
a. Sebagai peserta KB
Partisipasi pria dalam program KB dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung dapat menggunakan salah satu metode seperti kondom,
senggama terputus atau vasektomi (MOP). Salah satu hambatan dalam menggunakan
alat kontrasepsi secara langsung adalah terbatasnya metode KB pria. Sedangkan
partisipasi pria secara tidak langsung dalam program KB yaitu menganjurkan,
mendukung atau memberikan kebebasan kepada pasangannya (istri) untuk
menggunakan kontrasepsi.
b. Mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi
Peran pria (suami) dalam menganjurkan, mendukung dan memberikan
kebebasan kepada wanita pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi atau
cara/metode KB. Diawali sejak pria tersebut melakukan pernikahan dengan wanita
pasangannya, merencanakan jumlah anak yang akan dimiliki sampai akhir masa
reproduksi (menopause). Dukungan ini antara lain :
- Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan
- Membantu pasangannya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti
mengingatkan saat minum pil KB, mengingatkan istri untuk kontrol
- Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi
- Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan
- Mencari alternatif lain bila kontrasepsi bila kontrasepsi yang digunakan saat ini
terbukti tidak memuaskan
- Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan istrinya tidak memungkinkan
- Membantu menghitung waktu subur apabila menggunakan metode pantang
berkala.
c. Sebagai pemberi layanan KB
Diharapkan juga pria mampu memberi pelayanan KB kepada masyarakat,
baik sebagai motivator maupun sebagai mitra. Seorang calon motivator harus sudah
menjadi peserta KB karena keteladanannya sangat dibutuhkan. Calon motivator harus
telah mengetahui tentang : keuntungan dan kelemahan memakai salah satu alat
kontrasepsi, bersedia melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keluarga
Berencana (KIE KB) kepada masyarakat sekitarnya, dan bersedia menjadi kader atau
relawan.
d. Merencanakan Jumlah Anak Bersama Pasangan
Perlu dibicarakan antara suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai
aspek antara lain kesehatan dan kemampuan untuk memberikan pendidikan dan
kehidupan yang layak. Perencanaan keluarga menuju keluarga berkualitas perlu
- Masa menunda kehamilan untuk istri yang dibawah usia 20 tahun
- Masa mengatur jarak kehamilan untuk istri yang berusia 20-30 tahun
- Masa mengakhiri kehamilan untuk usia istri di atas 30 tahun.
2.3.Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti
“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur
yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud
dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang
aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal
namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya ini
dapat bersifat sementara maupun bersifat permanen, dan upaya ini dapat dilakukan
dengan cara, alat atau obat-obatan (Proverawati, 2010).
Kontrasepsi adalah alat yang digunakan untuk menunda, menjarangkan
kehamilan, serta menghentikan kesuburan. Kontrasepsi adalah menghindari atau
mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur dengan
sperma tersebut. Ada dua pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi
2.3.1. Metode Kontrasepsi Pria
Pilihan kontrasepsi yang tersedia bagi pria terbatas dibandingkan yang
tersedia bagi wanita. Sebagian besar penelitian telah ditujukan pada klien wanita
karena wanitalah yang akan hamil dan karena lebih mudah menghentikan ovulasi
bulanan dari pada proses sperma yang terus-menerus.
Adapun metode kontrasepsi yang tersedia bagi pria adalah :
1. Koitus Interuptus
Adalah metode kontrasepsi dimana senggama diakhiri sebelum terjadi ejakulasi
intra-vaginal. Ejakulasi terjadi jauh dari genitalia eksterna wanita, sehingga sering
disebut dengan senggama terputus.
2. Kondom
Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan
diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang
dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom dipakai untuk menutupi
penis yang sedang ereksi sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga air mani
tertampung didalamnya sehingga tidak terjadi pertemuan antara sperma dan sel
telur.
3. Sterilisasi pria
Sterilisasi pria adalah salah satu jenis alat kontrasepsi mantap yang sama halnya
ada pada wanita. Kontrasepsi mantap ini sering juga disebut dengan istilah Medis
Operasi Pria (MOP) atau vasektomi. Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi
sederhana dan sangat efektif, memakan waktu yang singkat dan tidak memerlukan
anastesi umum (Hartanto, 2004).
2.4.Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP)
Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan pemotongan vas deferens (ductus
deferens) dengan maksud memutuskan kontinuitas transportasi sperma dari testis
keluar, sehingga terjadi azoosperma pada pria (PKMI, 1996).
Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan memotong dan menutup saluran
mani (vas deferens) yang menyalurkan sel mani (sperma) keluar dari pusat
reproduksinya di testis. (Anggraini, 2012)
Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi adalah istilah dalam ilmu bedah
yang terbentuk dari dua kata yaitu vas dan ektomi. Vas atau vasa deferensia artinya
saluran benih yaitu saluran yang menyalurkan sel benih jantan (spermatozoa) keluar
dari buah zakar (testis) yaitu tempat sel benih itu diproduksi menuju kantung mani
(vesikulaseminalis) sebagai tempat penampungan sel benih jantan sebelum
dipancarkan keluar pada saat puncak senggama (ejakulasi). Ektomi atau ektomia
artinya pemotongan sebagian. Jadi, Vasektomi artinya adalah pemotongan sebagian
(0,5 cm - 1 cm) pada vasa deferensia atau tindakan operasi ringan dengan cara
mengikat dan memotong saluran sperma sehingga sperma tidak dapat lewat dan air
mani tidak mengandung spermatozoa, dengan demikian tidak terjadi pembuahan,
operasi berlangsung kurang lebih 15 menit dan pasien tidak perlu dirawat (Mulyani,
2.4.1. Syarat Menjadi Akseptor MOP
Adapun syarat-syarat menjadi akseptor MOP adalah :
1. Harus secara sukarela
Artinya klien memutuskan pilihan atas keinginannya sendiri dengan mengisi dan
menandatangani informed concent.
2. Mendapat persetujuan istri dalam melakukan vasektomi.
3. Jumlah anak yang cukup
Setiap suami dari suatu pasangan usia subur yang telah memiliki jumlah anak
yang cukup minimal 2 orang dan yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun.
4. Mengetahui akibat-akibat vasektomi
Calon akseptor vasektomi harus mengetahui akibat setelah melakukan vasektomi
yaitu setelah melakukan vasektomi maka akseptor tidak bisa lagi memiliki
keturunan.
5. Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun (Suratun, 2008).
2.4.2. Efektifitas MOP
Efektifitas MOP sebagai berikut :
1. Angka kegagalan : 0 – 2,2%, umumnya < 1%
2. Kegagalan MOP umumnya disebabkan oleh :
a. Senggama yang tidak terlindung sebelum semen/ejakulat bebas sama sekali
b. Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya terjadi setelah pembentukan
granuloma spermatozoa
c. Pemotongan dan oklusi granuloma spermatozoa
d. Jarang : duplikasi congenital dari vas deferens (terdapat lebih dari 1 vas
deferens pada satu sisi)
2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan MOP
Kelebihan MOP adalah :
1. Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon,
2. Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan
seumur hidup.
3. Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri
4. Lebih aman (keluhan lebih sedikit),
5. Lebih praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan),
6. Lebih efektif (tingkat kegagalannya sangat kecil),
7. Lebih ekonomis (hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan),
8. Tidak akan mengakibatkan dampak kematian (mortalitas),
9. Pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit,
10.Tidak ada resiko kesehatan,
11.Tidak harus diingat-ingat, tidak harus selalu ada persediaan sifatnya
Sedangkan kekurangan MOP adalah :
1. Harus ada tindakan pembedahan,
2. Tidak dilakukan pada suami yang masih ingin memiliki anak,
3. Kadang-kadang terasa nyeri, atau terjadi perdarahan setelah operasi,
4. Kadang-kadang timbul infeksi pada kulit skrotum, apabila operasinya tidak
sesuai dengan prosedur (Meilani dkk, 2010).
2.4.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB MOP
Ada beberapa faktor yang memengaruhi suami dalam memilih alat
kontrasepsi MOP, antara lain :
1. Umur
Umur adalah jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang.
Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur
muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi
saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah
kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup (life style).
Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi,
jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005).
Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi,
khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi/MOP). Umur calon akseptor tidak
kurang dari 30 tahun. Pada umur tersebut kemungkinan calon peserta sudah memiliki
jumlah anak yang cukup dan tidak menginginkan anak lagi. Apabila umur calon
seandainya masih menginginkan anak lagi. Umur istri tidak kurang dari 20 tahun dan
tidak lebih dari 45 tahun. Pada umur istri antara 20-45 tahun bisa dikatakan istri
dalam usia reproduktif sehingga masih bisa hamil. Sehingga suami bisa mengikuti
kontrasepsi mantap (BKKBN, 1993).
Menurut Suprihastuti (2000), bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat
kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi
petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti
dalam kehidupan keluarga. Sementara menurut Singarimbun (1996), usia suami
menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor
kontrasepsi MOP atau tidak. Hal disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat
berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun,
sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7 tahun. Dan menurut Simanullang (2011)
ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan penggunaan kontrasepsi
MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi
masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo,
Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku
masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan.
Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah
karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan
menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan
agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita
keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut
tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin
menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan
bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi
keuangan atau pendapatan yang terbatas.
Hasil penelitian yang dilakukan Litbangkes (penelitian pengembangan
kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa
pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, semakin tinggi tingkat
pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB
(BKKBN, 2010). Namun dari hasil analisis lanjut SDKI 1997, pendidikan ternyata
berpengaruh negatif terhadap pemakaian vasektomi, yang artinya semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin rendah kesertaan suami dalam program KB MOP.
3. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan
seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan
pekerjaan seseorang (Notoatmodjo, 2005).
Tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan
suami dalam berKB. Nampaknya, bila PUS keduanya bekerja, berarti istri tidak
bekerja atau memiliki pendapatan sendiri. Wijayanti (2004) akibat ketidaktahuan
masyarakat di desa Timpik tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai
alasan, salah satunya biaya MOP atau vasektomi yang mahal. Alasan tersebut
dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap
tidak akan mampu menjangkau metode ini. Pernyataan responden bahwa biaya
pelaksanaan MOP ini mahal, bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya
sebetulnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali
selamanya. Sedangkan untuk metode lain, misalnya IUD yang sekali pasang hanya
untuk jangka waktu tertentu, yang mana setelah itu harus dilepas dan tentunya
dipasang lagi bila masih menginginkan metode kontrasepsi yang tentunya
membutuhkan biaya lagi. Inilah yang membuktikan bahwa metode lain justru lebih
mahal dari pada MOP.
4. Jumlah Anak
Jumlah anak dapat didefenisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki
oleh pasangan. Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam
menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah
anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi
memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak
terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi,
pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga.
5. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yakni : indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal
dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku
petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat, dan sebagainya.
Pengetahun dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga berperilaku sesuai
keyakinan tersebut.
Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau
menolak inovasi. Roger (1974) dalam Notoadmodjo 2012 mengungkapkan bahwa
sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri seseorang tersebut terjadi
proses berurutan, yaitu :
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) .
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus tersebut, disini sikap subjek mulai
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya.
4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau pun melalui
pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik
secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang
bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan materi yang ingin diukur
dari objek penelitian atau responden kedalam pengetahuan yang ingin diketahui
(Notoatmodjo, 2012).
Dari penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh BKKBN
tahun 2001 menunjukkan pengetahuan menjadi salah satu faktor rendahnya
partisipasi pria dalam KB. Hal ini didukung dalam penelitian Anggraeni (2007) juga
menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi keikutsertaan pria
dalam ber-KB adalah akses pengetahuan yang masih rendah tentang keluarga
berencana, sosial ekonomi keluarga, stigma di masyarakat bahwa KB adalah urusan
terhadap masalah kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan tanggung jawab
keluarga.
6. Sikap
Sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya.
Kaitan ini didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten selaras dengan
kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Sikap sering diperoleh
dengan orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau
menjauhi orang lain atau obyek lain. Sikap-sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan
tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Notoatmodjo, 2007) bahwa sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang stimulus atau obyek. Karena itulah adalah logis untuk mengharapkan
bahwa seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendesi perilaku terhadap
obyek. Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak
maupun perasaan tidak mendukung pada obyek tertentu.
7. Nilai Budaya
Sejumlah faktor budaya dapat mempengaruhi klien dalam memilih metode
kontrasepsi. Faktor -faktor ini meliputi salah pengertian dalam masyarakat mengenai
berbagai metode, kepercayaan religius, serta budaya, tingkat pendidikan persepsi
mengenai resiko kehamilan dan status wanita. Penyedia layanan harus menyadari
dan harus memantau perubahan-perubahan yang mungkin mempengaruhi pemilihan
metode. Sosial budaya adalah suatu keadaan/kondisi yang diciptakan untuk mengatur
tatanan kehidupan bermasyarakat, yang mencakup semua bidang (Proverawati, 2009).
Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak
laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu
keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan
anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya
dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki atau perempuan.
Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan
bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan.
Beberapa pandangan budaya terhadap perkawinan dalam keluarga dapat
digambarkan sebagai berikut (Endang, 2002) :
a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga dan menurunkan anak cucu.
Menurunkan anak cucu dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Sebaliknya, putusnya keturunan dianggap sebagai hal yang
mengecewakan bahkan ada yang menganggap suatu kebinasaan.
b. Di dalam keluarga nilai anak laki-laki sering dianggap lebih penting dibanding
perempuan. Hal ini berarti bahwa walaupun sudah beranak banyak dipandang
kurang sempurna tanpa hadirnya anak laki-laki.
c. Adanya pandangan mengenai keluarga yang tidak memiliki anak merupakan
d. Tidak pernah terpikirkan bahwa anak yang banyak akan mendatangkan
kesengsaraan atau kemelaratan, berkurangnya pendapatan akan menimbulkan
penderitaan berupa gangguan kesehatan ibu. Tiap anak dianggap membawa
rejeki, tidak terpikirkan bahwa dengan terbatasnya jumlah anak seorang ibu akan
mempunyai kondisi kesehatan yang lebih baik daripada ibu yang mempunyai
banyak anak.
Masih adanya pandangan bahwa perkawinan mengharapkan banyak anak,
tanpa pembatasan, banyak anak dianggap sebagai tanda kemakmuran keluarga (bukan
dari segi material saja).
8. Jarak dengan fasilitas kesehatan
Menurut Wijono (1999) dalam Manuaba (2008), bahwa akses berarti bahwa
pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, budaya,
organisasi atau hambatan bahasa. Keterjangkauan ini dimaksudkan agar pria dapat
memperoleh informasi yang memadai dan pelayanan KB yang memuaskan.
Keterjangkauan ini meliputi :
1) Keterjangkauan fisik
Keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah
menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran, khususnya pria.
2) Keterjangkauan ekonomi
Keterjangkauan ekonomi ini dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat
dijangkau oleh klien. Biaya untuk memperoleh pelayanan menjadi bagian penting
serta nilai yang akan diperoleh klien. Untuk itu dalam mengembangkan pelayanan
gratis atau subsidi perlu pertimbangan biaya pelayanan dan biaya klien.
3) Keterjangkauan psikososial
Keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan
partisipasi pria dalam KB secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider,
pengambil kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat.
4) Keterjangkauan pengetahuan
Keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar pria mengetahui tentang
pelayanan KB serta dimana mereka dapat memperoleh pelayanan tersebut dan
besarnya biaya untuk memperolehnya.
5) Keterjangkauan administrasi
Keterjangkauan administrasi dimaksudkan agar ketetapan administrasi medis
dan peraturan yang berlaku pada semua aspek pelayanan berlaku untuk pria dan
wanita. Selama ini dirasakan faktor aksesabilitas atau keterjangkauan pelayanan KB
bagi pria masih sangat terbatas. Aksesabilitas informasi KB baik media Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE), konseling yang tersedia, informasi yang diberikan oleh
petugas, tempat pelayanan yang ada masih bias gender.
9. Dukungan istri
Menurut Friedmen (1998) dukungan keluarga merupakan salah satu faktor
yang sangat berpengaruh terhadap perilaku positif. Peran dukungan keluarga sendiri
terbagi menjadi peran formal yaitu peran yang tampak jelas, bersifat eksplisit
Dukungan keluarga mengacu pada dukungan sosial yang dipandang oleh anggota
keluarga. Dukungan keluarga (suami/ istri) memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Baik
keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi
anggota anggotanya.
Dukungan sosial keluarga dapat berupa :
a) Dukungan sosial keluarga internal : seperti dukungan dari suami, istri/dukungan
dari keluarga kandung
b) Dukungan sosial keluarga eksternal, yaitu dukungan keluarga eksternal bagi
keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Baik keluarga inti maupun
keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi angota-anggotanya
2.5. Teori Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dalam dirinya. Respons ini
dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
2.5.1. Determinan Perilaku Manusia
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal
(lingkungan). Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yakni
aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk
ditarik garis tegas batas-batasnya. Secara lebih terinci, perilaku manusia sebenarnya
merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan,
kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
Namun demikian, pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala
kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala
kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya
adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio-budaya masyarakat dan
sebagainya sehingga proses terbentuknya perilaku dapat diilustrasikan seperti gambar
berikut :
2.5.2. Determinan Perilaku Kesehatan
Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku disebut determinan.
Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada
asumsi-asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 (tiga) teori
yang sering menjadi acuan dalam bidang-bidang penelitian kesehatan masyarakat.
Ketiga teori tersebut adalah :
1. Teori Lawrencen Green
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu :
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yaitu faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain :
pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (Enabling faktors), yaitu faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan dalam bentuk fisik. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana kesehatan,
misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, alat kontrasepsi, obat-obatan,
jamban, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga,
makanan bergizi, uang, dan sebagainya.
c. Faktor-faktor penguat (Reinforcing faktors), yaitu faktor yang mendorong atau
mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Seorang ibu hamil
tahu manfaat periksa hamil dan di dekat rumahnya ada Polindes, dekat dengan
dengan bidan, tetapi ia tidak mau melakukan periksa hamil, karena ibu lurah dan
ibu-ibu tokoh lainnya tidak pernah periksa hamil, namun anaknya tetap sehat. Hal
ini berarti, bahwa berperilaku sehat memerlukan contoh dari para tokoh
masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :
dimana :
B = Behaviour
PF = Predisposing factors
EF = Enabling factors
RF = Reinforcing factors
f = fungsi
2. Teori Snehandu B. Karr
Karr mencoba mengidentifikasi bahwa ada 5 (lima) determinan perilaku,
yakni :
a. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau
stimulus di luar dirinya.
b. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam
kehidupan masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi
dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak
memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak
“nyaman”. Demikian pula untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan
dukungan masyarakat di sekitarnya, paling tidak, tidak menjadi gunjingan atau
bahan pembicaraan masyarakat.
c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya
informasi-informasi yang terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.
Sebuah keluarga mau ikut program keluarga berencana, apabila keluarga ini
memperoleh penjelasan yang lengkap tentang keluarga berencana : tujuan
ber-KB, bagaimana cara ber-KB (alat-alat kontrasepsi yang tersedia), akibat-akibat
sampingan ber-KB, dan sebagainya.
d. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil
keputusan.
e. Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk
bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat.
Kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia
serta kemampuan yang ada.
Uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
dimana :
B = behaviour
F = fungsi
BI = Behaviour Intention
SS = Social support
AI = Accessibility of information
PA = Personal autonomy
AS = Action situation
3. Teori WHO
Tim kerja dari WHO merumuskan bahwa penyebab seseorang berperilaku
tertentu adalah karena adanya 4 (empat) faktor, yaitu :
a. Pemahaman dan pertimbangan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seorang
terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
1. Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Seorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah
memperoleh pengalaman tangan atau kakinya kena api. Seorang itu akan
mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit
polio sehingga cacat, karena anak tetangganya tersebut belum pernah
memperoleh imunisasi polio.
2. Kepercayaan
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa ada pembuktian
terlebih dahulu, misalnya : wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak
kesulitan waktu melahirkan.
3. Sikap
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.
Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu
tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :
a) Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat
itu. Misalnya, seorang ibu yang anaknya sakit segera ingin membawanya
ke puskesmas, tetapi pada saat itu tidak mempunyai uang sepeser pun
sehingga ia gagal membawa anaknya ke puskesmas.
b) Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu pada
pengalaman orang lain. Seorang ibu tidak mau membawa anaknya yang
sakit keras ke rumah sakit, meskipun ia mempunyai sikap yang positif
terhadap rumah sakit, sebab ia teringat akan anak tetangganya yang
meninggal setelah beberapa hari di rumah sakit.
c) Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada
banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang. Seseorang akseptor KB
dengan alat kontrasepsi IUD mengalami pendarahan. Meskipun sikapnya
sudah positif terhdap KB, tetapi ia kemudian tidak mau ikut KB dengan
alat kontrasepsi apapun.
d) Nilai (value)
Di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi
pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.
Misalnya, gotong-royong adalah suatu nilai yang selalu hidup di
b. Orang penting sebagai referensi (personal Reference)
Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh
orang-orang yang dianggap penting. Apabila seorang itu dipercaya, maka apa yang ia
katakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah
misalnya, maka gurulah yang menjadi panutan perilaku mereka. Orang-orang yang
dianggap penting ini sering disebut kelompok referensi (reference group), antara lain:
guru, alim ulama, kepala adat, kepala desa, dan sebagainya.
c. Sumber-sumber daya (resources)
Sumber-sumber daya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan
sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok
masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun
negatif. Misalnya, pelayanan puskesmas dapat berpengaruh positif terhadap perilaku
penggunaan puskesmas tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya.
d. Kebudayaan (culture), nilai-nilai, tradisi, kebiasaan.
Sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola
hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk
dalam waktu yang lama sebagai akibat dari suatu kehidupan masyarakat bersama.
Kebudayaan selalu berubah, baik secara lambat atau pun cepat, sesuai dengan
peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat disini merupakan
kombinasi dari semua yang telah disebutkan sebelumnya. Perilaku yang normal
adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai
Secara sederhana teori WHO dapat diilustrasikan sebagai berikut :
dimana :
B = Behaviour
F = fungsi
TF = Thoughts and feeling
PR = Personal reference
R = Resources
C = Culture
2.6. Landasan Teori
Keputusan konsumen untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tidak terlepas
dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing individu. Adapun faktor-faktor
yang merupakan penyebab perilaku dapat dijelaskan dengan Teori Lawrence Green
dalam Notoatmodjo (2012), yang dibedakan dalam tiga faktor yaitu :
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah dan mendasari untuk
terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu
pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, kepercayaan dari orang tersebut tentang dan
terhadap perilaku tertentu, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan,
dan status ekonomi.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pendukung adalah faktor yang mendukung untuk terjadinya perilaku
tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ketersediaan sumber daya
kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen
pemerintah terhadap kesehatan dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor pendorong atau penguat adalah faktor yang memperkuat atau kadang
memperlunak untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk faktor ini adalah
pendapat, dukungan pasangan dan keluarga. Kritik baik dari teman sekerja, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan sendiri juga berpengaruh meskipun
2.7. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan teori Lawrence Green.
Kerangka konsep ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu ingin diketahui
pengaruh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat terhadap
kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP.
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Predisposisi :
a. Umur
b. Tingkat Pendidikan c. Pendapatan
d. Jumlah anak dalam keluarga e. Pengetahuan
f. Sikap
g. Nilai Budaya
Faktor Pemungkin :
Sarana dan Prasarana
Faktor Penguat :
a. Dukungan istri b. Dukungan keluarga c. Dukungan teman