• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menghindari Tafsir Bias Gender Rekonteks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menghindari Tafsir Bias Gender Rekonteks"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MENGHINDARI TAFSIR BIAS GENDER: REKONTEKSTUALISASI DALAM MENANGKAP MISI RAMAH PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN

Mamang M. Haerudin

Tafsir bias gender yang memiliki kecenderungan tekstualis, tidak disangsikan bahwa ia telah banyak memengaruhi paradigma arus utama dalam menyelami kandungan Al-Qur’an. Kecenderungan seperti ini bukan tanpa masalah, akibat kecenderungan tersebut telah menimbulkan banyak sekali dampak yang bias dan diskriminatif gender. Korban utamanya tentu saja perempuan. Kondisi di mana perempuan sama sekali tidak punya kedaulatan dan kebebasan terhadap dirinya sendiri.

Betapa tidak, melalui tafsir bias gender dan tekstual ini, perempuan dipersepsikan sebagai pihak yang marginal dan subordinat secara terberi (given). Padahal jelas Al-Qur’an memiliki visi rahmatan lil’alamin, sebagai agama yang memiliki prinsip kasih sayang terhadap semesta alam, apalagi perempuan. Oleh karena itu, atas fakta tafsir bias gender dan implikasi negatifnya, segera dibutuhkan rekontekstualisasi dengan melakukan tafsir ulang dan kontekstualisasi sebagai rangkaian ikhtiar dalam menangkap misi ramah gender dalam Al-Qur’an.

Kata Kunci: Tafsir Bias Gender, Rekontekstualisasi, Ramah Perempuan, dan Al-Qur’an

Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai sumber asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu misalnya seperti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Darras, “Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan”. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan melihat banyak dibanding apa yang kita lihat. [1]

Menarik, ketika Al-Qur’an diumpamakan sebagai intan yang memancar cahaya. Menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan bukan benda yang sembarang dan biasa. Konsekuensi logisnya adalah, bagi siapa pihaknya yang hendak menyamuderai kemilau intan Al-Qur’an, mestilah bukan sembarang pihak. Pihaknya selain mesti memahami pelbagai disiplin ilmu yang berkenaan dengan seluk-beluk Al-Qur’an, juga kejernihan pikir dan jiwa mutlak dibutuhkan agar kemilau cahayanya tidak meyengsarakan, melainkan menyejukkan.

(2)

hanya punya satu sudut, melainkan memiliki banyak sudut yang bercahaya. Dalam tradisi umat Islam, upaya manusia dalam mengambil hikmah dan memahami tuntunan dari Al-Qur’an, biasa dikenal dengan disiplin tafsir. Disiplin yang memuat prosedur untuk bagaimana manusia membedah kata demi kata maupun kalimat demi kalimat dalam Al-Qur’an dengan pelbagai disiplin ilmu yang berkenaan dengan hal itu.

Dalam menganalisa sebuah teks, tidak terkecuali teks Al-Qur’an dan kitab suci lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, misalnya darimana teks itu diperoleh, bagaimana autensitas dan orsinilitas teks itu, teks aslinya dari bahasa apa, siapa yang menerjemahkannya, terjemahan dari bahasa asli atau dari bahasa lain, jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan, atau atas sponsor siapa teks dan penerjemahan itu? [2] Jelaslah, bahwa pertanyaan-pertanyaan krusial ini membuktikan bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an banyak hal yang mesti dipertimbangan dan diperhatikan. Sehingga sekali lagi, ini menunjukkan bahwa melakukan kerja tafsir terhadap Al-Qur’an tidak sederhana, seperti yang dibayangkan.

Meskipun demikian, menjadi penting agar kemilau-kemilau cahaya yang terkandung di dalam Al-Qur’an, dapat mebuahkan kemilau cahayanya yang hakiki pula, ketika ia dipahami oleh manusia, untuk kemudian difungsikan bagi keselarasan dan kemaslahatan hidup umat manusia di muka bumi. Bukan tanpa sebab, karena sejak semula Al-Qur’an diimani oleh umat Islam sebagai kitab “sempurna” yang memuat segala tuntunan dan petunjuk hidup manusia dan kemanusiaan.

Pentingnya menghadirkan Al-Qur’an sebagai nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebuah keniscayaan, khususnya di tengah krisis pelanggaran kemanusiaan sejak beberapa tahun pasca wafatnya hingga pada milenium ketiga, terutama tatkala sektarianisme dan kekuasaan mendominasi daripada tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Harus diakui, dalam kurun waktu yang cukup lama, perilaku umat Islam ditengarai lebih menonjolkan hal-hal yang ahumanis. Ironisnya, kerumitan dan kesemrawutan semakin nyata tatkala tafsir atas pelanggaran kemanusiaan bercampur dengan semangat pembebasan. Di tengah suasana ketidakadilan global, antara pelanggaran kemanusiaan dan spirit pembebasan makin menyudutkan posisi umat Islam di panggung global. [3]

Satu di antara problem tafsir dalam kajian keilmuan umat Islam yang hingga dewasa ini masih marak menggejala, adalah tafsir-tafsir yang punya kesan bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam menyikapi problem ini, Husein Muhammad misalnya berpendapat bahwa tafsir arus utama(mainstream) yang masih dipercayai oleh mayoritas masyarakat muslim hingga saat ini tetap meletakkan laki-laki sebagai pusat dari kehidupan domestik maupun publik. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa dalam pandangan para penafsir konservatif ide ketidaksetaraan dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari pandangan Islam. Cara pandang seperti itu jelas berlawanan dengan pengakuan dan kesepakatan kaum muslimin atas prinsip kesetaraan dan keadilan universalitas Islam. [4]

(3)

Demikian juga dengan hadirnya tulisan sederhana ini, adalah serangkaian ikhtiar untuk bagaimana melakukan interpretasi ulang terhadap tafsir yang berkecenderungan bias gender, dengan menganggap Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang terbuka dan hidup, Al-Qur’an yang memiliki spirit on going process yang dengannya bersemayam nilai-nilai kemanusiaan yang kontekstual dengan setiap perubahan sosial yang ramah terhadap siapapun, terutama perempuan. Maka dari itu, serangkaian ikhtiar tersebut saya istilahkan dengan rekontekstualisasi.

Tafsir dan Diskursusnya: Tafsir Tekstual Vs Tafsir Kontekstual

Secara etimologis, tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, yaitu menjelaskan dan menerangkan (al-idhah wa al-tabyin). Pandangan ini didasari sebuah ayat dalam surat Al-Furqan [25]: 33, Dan Kami tidak mendatangi kamu dengan sebuah perumpamaan kecuali dengan sebuah kebenaran dan tafsir yang paling baik. Jadi, tafsir adalah penjelasan dan penyingkapan. [6]

Nampaknya urgensi tafsir Al-Qur’an ini sejalan dengan dawuh Ali bin Abi Thalib; “Al-Qur’an baina daftay al-Mushaf la yanthiq, innama yanthiqu (yatakallamu) bihi al-Rijal” (Al-Qur’an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan manusia). Dengan dawuh ini, seyogianya Ali bin Abi Thalib hendak memberikan pelajaran kepada umat Islam agar Qur’an mesti dipahami secara kontinyu, seiring dengan perkembangan zaman, karena Al-Qur’an tak ubahnya benda “mati” sehingga ia mesti dihidupkan oleh manusia. Sehingga dengan semangat dawuh ini, spirit Al-Qur’an sebagai cahaya dapat bekesesuaian dalam menerangi segala kegelapan dan kebodohan manusia.

Dalam perkembangannya, ulama berikut tafsirnya, terpolarisasi kepada dua kelompok. Pertama, ulama dan tafsirnya yang berkecenderungan memakai paradigma tekstual. Dan kedua, ulama dan tafsirnya yang berkecenderungan memakai paradigma kontekstual. Kedua paradigma ini misalnya dapat dibaca dalam buku “Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an” (2009) karya Dr. H. U. Syafrudin. Dalam bukunya dinyatakan bahwa tafsir dan perkembangannya, memiliki perkembangan yang amat beragam, dilihat dari sumber penafsirannya terbagi menjadi dua model: tafsir bi al-Ma’sur atau tafsir riwayah [7] dan tafsir bi al-Ra’y atau tafsir dirayah [8]. Kemudian dari dua model tafsir itu berkembang dan menghasilkan turunan dengan munculnya empat model tafsir baru yakni tafsir tahlili, tafsir jamali, tafsir muqarin, dan tafsir maudlu’i. Sementara itu, kalau dilihat dari dinamisasi dan tren keilmuan Al-Qur’an dari klasik hingga modern, sebagaimana mengutip pendapatnya Ignaz Goldziher, menyimpulkan adanya lima kecenderungan, yakni studi Al-Qur’an tradisional, studi Al-Qur’an dogmatis, studi Al-Qur’an mistik, studi Al-Qur’an sectarian, dan studi Al-Qur’an modern. Dan lain seterusnya.

(4)

peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekitar teks). [9]

Pernyataan tegas Nasr Hamid Abu Zaid di atas kiranya, dapat memberikan pemahaman kepada kita, betapa tafsir dengan kecenderungan tekstual telah berlangsung lama, hingga tidak mengherankan jika kemudian tradisi tafsir tekstual melanggeng hingga dewasa ini, yang pada akhirnya membuahkan satu kesimpulan bahwa semakin tekstual seseorang dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka ia akan semakin dekat dan menemukan kebenaran. Dan sebaliknya, jika seseorang menjauhi makna tekstual Al-Qur’an maka akan jauh dari kebenaran.

Tafsir ini dibangun di atas dua kerangka konseptual. Pertama, memahami Al-Qur’an hanya berhenti dalam konteks kesejarahannya. Tafsir berorientasi tekstual ini tidak berupaya mengembangkan substansi teks ke dalam persoalan ke masa sekarang. Kedua, tidak mengikutsertakan fenomena-fenomena sosial ke dalam kerangka tujuan pokok diwahyukannya Al-Qur’an. Artinya, persoalan sosial masa sekarang berusaha dipecahkan oleh teks masa lalu. [10]

Ulil Abshar Abdalla—salah seorang intelektual muda NU—pernah melontarkan banyak pertanyaan; kenapa teks tetap menarik, kenapa teks mudah menarik perhatian umat Islam, dan kenapa dalam situasi krisis (identitas), teks selalu “dipanggil” ke depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan?. Dalam menjawab persoalan ini, ia mengemukakan dua asumsi yang mendasari dalam pemahaman yang tekstualistik. Pertama, adanya pra anggapan bahwa teks adalah sesuatu yang dengan sendirinya tembus pandang, transparan. [11] Kalangan tekstualis meyakini bahwa dengan bentuk tafsirnya yang harfiah maka pesan Al-Qur’an dengan sendirinya akan tertangkap. Hal demikian akan segera terbantahkan bahwa asumsi tersebut sama sekali tak bisa diterima, pasalnya setiap teks akan selalu menyimpan lapisan dan tingkatan yang kompleks, terutama jika diperhadapkan dengan realitas sosial pada konteks tertentu. Berkaitan dengan realitas sosial, antara satu tempat dengan tempat yang lain pasti lah berbeda. Dengan kenyataan, bahwa kita tidak pernah tahu persis bagaimana realitas sosial pada zaman Nabi Saw dahulu.

Kedua, seolah-olah yang disebut dengan Al-Qur’an hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam mushaf saja. [12] Kalangan tekstualis menganggap bahwa teks berdiri sendiri, sehingga ketika teks dibutuhkan konteks maka konteks harus tunduk kepada teks. Asumsi yang kedua kalangan tekstualis ini juga sebetulnya tidak bisa kita terima, karena meskipun Al-Qur’an berbentuk teks atau tulisan, tetapi urgensinya sangat lekat dengan dimensi realitas sosial pada konteks tertentu. Artinya, Al-Qur’an itu dapat bermakna karena berkomunikasi realitas sosial. Jadi antara teks dan konteks, keduanya tidak dapat dinegasikan peran dan keberadaannya.

(5)

Hal serupa, dikonsepsikan juga oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri bahwa, setidaknya dibutuhkan cara pandang sebuah cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Ia menganjurkan model pembacaan terhadap Al-Qur’an, yang di satu sisi mempunyai relevansi pada konteks diturunkannya, tetapi di sisi lain juga mempunyai konteks pada zaman kontemporer (ja’l al-maqru’ mu’ashiran linafsihi wa mu’ashiran lana). [13] Berkenaan dengan tafsir kontekstual, Zuhairi Misrawi—salah seorang intelektual muda NU—memberikan pandangan bahwa, diperlukan dua metodologi sekaligus, yaitu klasik dan kontemporer. Sebab untuk memahami Al-Qur’an sebagaimana konteks diturunkannya membutuhkan penguasaan yang kuat terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an di masa lalu, seperti asbab al-nuzul, ‘am-khas, nasikh-mansukh, makki-madani, dan lain-lain. Dan teori tafsir kontemporer dapat menjadi pelengkap, terutama dalam rangka melihat secara kritis relasi antara tafsir keagamaan dengan kepentingan politik. [14]

Berdasarkan uraian sederhana di atas, demikian jelas, kita akan dapat membedakan keberartian antara tafsir yang berparadigma tekstual dan kontekstual. Dan, kalau saya bandingkan antara keduanya, harus lah diakui bahwa tafsir kontekstual mesti dikedepankan oleh umat Islam. Bukan tanpa alasan, dengan tafsir kontekstual, Al-Qur’an tidak dipahami sebagai teks yang “mati” (hanya dalam bentuk tulisan), melainkan dipahami sebagai teks yang “hidup” karena punya keterikatan dengan realitas dan konteks sosial masyarakat. Namun perlu dicatat, tafsir kontekstual bukan berarti menegasikan teks Al-Qur’an itu sendiri, hanya saja ia dierat kaitkan dengan dengan realitas dan konteks sosial dalam masyarakat.

Sekelumit Ayat yang Ditafsirkan Bias Gender

Membicangkan tafsir dan diskurusnya sebagaimana di atas, akan semakin menemukan signifikansinya tatkala dihadapkan dengan sejumlah fakta dalam kerja tafsir yang menghasilkan tafsir bias gender. Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bias gender adalah tafsir yang secara mutlak menempatkan dan mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, marjinal, subordinat, di atas laki-laki. Laki-laki dipandang sebagai sosok yang memiliki otoritas untuk mengatur, mendikte segala kiprah dan keberadaan perempuan tanpa kecuali. Karenanya, segala sesuatunya diukur antara baik atau tidaknya dengan perspektif dan kapasitas laki-laki. Hal demikianlah yang pada akhirnya membuahkan sebuah budaya patriarkhi.

Hal senada diungkapkan oleh Husein Muhammad bahwa, hal yang paling krusial dalam hal ini adalah ketika para ahli tafsir tersebut meyakini bahwa posisi laki-laki di atas perempuan ini merupakan sesuatu yang terberi (given), dan karena itu tidak dapat dirubah. Keyakinan bahwa kodrat perempuan di bawah laki-laki pada gilirannya melahirkan pandangan bahwa perempuan berkewajiban melayani laki-laki dan tidak bisa menjadi kepala rumah tangga. Tak pelak bahwa ini kemudian membawa implikasi lebih jauh atas nasib perempuan. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan sekehendaknya, termasuk dengan cara kekerasan. Laki-laki adalah pemilik hak kontrol dan hak menentukan atas segala tindakan perempuan, bukan hanya pada wilayah domestik, tetapi juga pada wilayah publik. [15]

(6)

Pertama, dalam QS. Al-Nisa [4]: 34: “Al-Rijalu qawwamuna ‘ala al-Nisa bima fadldlala Allah ba’dluhum ‘ala ba’dlan wa bima anfiqu min amwalihim” (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka).

Menurut kalangan tekstualis, termasuk di dalamnya mufassir klasik, ayat ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur’an betul-betul menyatakan bahwa laki-laki lebih utama daripada perempuan. Penyebutan Al-Qur’an “laki-laki adalah pemimpin perempuan” adalah satu bentuk perintah Allah kepada laki-laki untuk mengatur segala hal yang berkenaan dengan perempuan. Karena itu juga, menjadi otomatis bahwa perempuan sama sekali tidak diperkenankan untuk menjadi pemimpin. Perempuan ada dan berada hanya untuk menjadi makmum atau pihak yang dipimpin. Kesimpulannya, selamanya laki-laki adalah superior dan perempuan inferior.

Kedua, dalam QS. Al-Nisa [4]: 3: “Wa inkfiftum alla taqsithu fi al-Yatama fankihu ma thabalakum mina al-Nisa matsna wa tsulasa wa ruba’ fain khiftum alla ta’dilu fawahidatan aw ma ma lakat aimanukum dzalika adna alla ta’ulu”. (Dan jika kamu sekalian takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang kemudian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya).

Berdasarkan ayat ini, bagi kalangan tekstualis memiliki kesimpulan bahwa laki-laki dibolehkan menikah dengan perempuan manapun lebih dari satu, hingga dua, tiga, atau empat istri asalkan dapat berlaku adil ke semuanya. Konsekuensi dari pemahaman tekstualis seperti ini yang pada akhirnya menyulut maraknya poligami di kehidupan sosial masyarakat. Praktik poligami dijalankan dengan tanpa malu-malu, bahkan dewasa ini telah berani dipublikasikan agar ditiru oleh banyak umat Islam, dengan dalih meneladani Nabi Saw. Realitas Nabi Saw menikah dan memiliki banyak istri tidak diteliti secara kritis-kontekstual, realitas itu hanya dipahami secara fisik-tekstual.

Ketiga, dalam QS. Al-Ahzab [33]: 33: “Wa qarna fi buyutikum wa la tabarrajna tabarruja al-Jahiliyyah … “. (Dan hendaklah kamu (kaum perempuan) tetap berada di rumah, dan janganlah kamu berhias seperti orang-orang jahiliyah dahulu …). Dan ayat serupa dalam QS. Al-Thalaq [65]: 1: “La tukhrijuhunna min buyutihinna wa la yakhrujna …” (Janganlah kamu mengeluarkan mereka (istri-istrimu) dari rumah dan janganlah mereka keluar rumah …).

(7)

Keempat, dalam QS. al-Nisa [4]: 1: “Ya ayyuha al-Nas ittaqullaha rabbakum alladzi khalaqakum min nafsi wahidatin wa khalaqa minha zaujaha wa batstsa minhuma rijalan katsiran wa nisa’an”. (Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu (Adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak).

Ya, ayat ini dijadikan dasar sebagai legitimasi bahwa perempuan merupakan bagian kecil dari laki-laki. Tulang rusuk, adalah sebutan yang kerap di-stereotipe-kan kepada perempuan. Sebagaimana kedudukan tulang rusuk dalam tubuh laki-laki yang sempurna, tulang rusuk tersebut bengkok, maka mesti diluruskan oleh laki-laki. Maka ini menjadi abash jika perempuan harus tunduk dalam komando laki-laki, tanpa kecuali.

Dari out put tafsir yang dihasilkan sebagaimana mengemuka di atas, sampai pada kesimpulan bahwa model penafsiran ini memiliki paradigma tekstualis atau tafsir tahlily banyak memiliki kelemahan. Aisyah Bint Asy-Syati’ mengemukakan bahwa, kajian metode tafsir tahlily yang selama ini banyak dipakai menyimpulkan sedikitnya lima kekurangan. Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (al-ta’milah al-ashhabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan non-Islam, seperti pandangan isra’iliyat atau dipengaruhi tradisi Judo-Kristiani kuno. Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional ini. Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufassir yang memakai metode tradisional ini. [16]

Demikian, beberapa kelemahan-kelemahan tafsir tekstual dengan sekian banyak ayat yang kerap dijadikan legitimasi kalangan tekstualis dalam melanggengkan tafsir tekstual, yang berimplikasi mengebiri dan mengerangkeng peran dan kiprah perempuan di wilayah domestik, apalagi di wilayah publik. Sebenarnya banyak ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an yang kerap ditafsirkan secara tekstual, beberapa ayat yang berkenaan dengan persaksian perempuan dalam QS. al-Baqarah [2]: 282, hak-hak reproduksi dalam QS. al-Baqarah [2]: 223, hak-hak politik perempuan dalam QS. al-Nisa [4]: 34, dan lain sebagainya. Kalau saja Al-Qur’an dan Islam, seperti apa yang dipahami oleh banyak kalangan tekstualis, sungguh benar, bahwa Islam sedang dalam kondisi yang amat membahayakan.

Rekontekstualisasi, untuk Ramah Perempuan

Beranjak dari sekelumit ayat Al-Qur’an yang kerap ditafsiri secara tekstual oleh banyak kalangan. Sekali lagi, ini sungguh menjadi fakta ironis. Betapa tidak, Islam sejak kemunculannya memiliki misi rahmtan lil’alamin, sebagai agama yang memiliki spirit dan prinsip kasih sayang terhadap semesta alam. Lalu, apa relevansinya antara Islam rahmatan lil’alamin dengan sejumlah fakta tafsir bias gender, yang diskriminatif tersebut. Sungguh kontradisktif, dan ini satu bukti bahwa di sini terdapat kejanggalan. Karenanya, sungguh sangat mustahil jika Islam melegitimasi ajaran-ajaran yang memarjinalkan dan mendiskriminasi perempuan.

(8)

Qur’annya yang diskriminatif, melainkan orang dan caranya dalam menafsirkan Al-Qur’an lah yang partikular, sehingga mengahasilkan tafsir yang bias dan diskrimatif gender. Maka melakukan rekontekstualisasi menjadi seyogia, yakni dengan tetap berpegang teguh pada kajian keilmuan ulama klasik di satu sisi, dan memadukannya dengan kajian keilmuan kontemporer di sisi lain. Perpaduan inilah yang kemudian akan membuahkan Al-Qur’an tetap berkesesuaian dengan konteks sejarah dimana ia turun, juga selaras dengan realitas dan konteks sosial kekinian.

Husein Muhammad, menengarai sekurangnya ada tiga kemungkinan mengapa kemudian pespektif diskriminatif atau subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran keagamaan seperti itu. Pertama, boleh jadi karena kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, karena cara penafsiran yang dilakukan eklektik atau partikulatif; sebuah cara penafsiran secara sepotong-potong, tidak holistik, dan mengabaikan visi pandangan dunia Islam. Ketiga, boleh jadi karena didasarkan pada hadits yang lemah dan palsu. [17]

Dalam era kontemporer ini, sebenarnya telah banyak bermunculan para cerdik cendikia yang punya kepedulian besar terhadap problematika yang kerap bersentuhan langsung dengan kajian tafsir, perempuan, dan gender. Beberapa di antaranya, Asghar Ali Enginer, Ibrahim Musa, Fatimah Mernisi, Amina Wadud, Qasim Amin, dan lain sebagainya. Atau dalam konteks Indonesia, Siti Musdah Mulia, Husein Muhammad, Nasaruddin Umar, Masdar Farid Mas’udi, Lies Marcus Natsier, dan lain sebagainya.

Dalam upaya rekontekstualisasi tafsir ini, atau dalam istilah Siti Musdah Mulia rekonstruksi metodologi, ia menawarkan tiga metodologi baru yang mesti dipegangi dalam upaya rekonstruksi atau pembaruan penafsiran demi terwujudnya wajah agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan.

Pertama, prinsip maqashid al-Syariah. Menurutnya, meski Al-Qur’an dan hadits mempunyai aturan yang bersifat hukum, namun jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya persoalan sosial manusia. Meski pembaruan harus tetap mengacu pada al-Qur’an dan hadits, akan tetapi pamahamannya tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks dengan mengacu pada tujuan hakikat syariat (maqashid al-syariah). Musdah mengutip pendapatnya Imam Al-Ghazali yang merumuskan lima prinsip dasar yang mencerminkan maqashid al-syariah yang disebutnya al-huquq al-khamsah. Kelima hak asasi yang dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak reproduksi.

Kedua, prinsip relativitas fiqh. Musdah menyatakan, meskipun Al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak lah abadi. Penafsiran selalu bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab fiqih merupakan bukti positif reativitas fiqih. Perlu dipahami bahwa seorang bahwa seorang fasih atau mufassir, seobjektif apa pun dia, akan sulit melepaskan diri dari pengaruh budaya, hukum, dan tradisi yang berkembang pada masa atau lingkungan di mana dia hidup.

(9)

turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-‘am). Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus. [18]

Dengan demikian, dalam kesempatan ini, saya pun hendak memberikan pelbagai ikhtiar dalam rangka membangun kembali sebuah paradigma yang ramah, paradigma yang memiliki kandungan setara dan adil gender, terhadap perempuan. Rangkaian ikhtiar ini saya istilahkan dengan rekontekstualisasi dalam menangkap misi ramah al-Qur’an sebagai bentuk menghindari sekaligus membongkar biasnya tafsir bias gender.

Pertama, melakukan tafsir ulang terhadap ayat yang berpotensi bias gender— asal-usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, dan peran publik perempuan—dengan melakukan analisis ulang dengan pisau kritisisme-kontekstual.

Kedua, memberikan pendidikan kepada masyarakat awam tentang pentingnya memahami prinsip kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dengan mensosialisasikan dan memberikan pendidikan yang tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan hadits, tetapi di saat yang sama, masyakarat diberikan pencerahan terhadap jalinan dan relasi gender yang setara dan adil.

Ketiga, membangun solidaritas sosial yang konstruktif dengan melibatkan pelbagai elemen masyarakat. Sekurangnya, mulai dari kalangan masyarakat awam, ulama-Kiai, aktivis LSM, sampai pemerintah. Ya, kesemua elemen tersebut mesti bahu-membahu dalam upaya membangun sebuah relasi sosial yang dibangun atas dasar solidaritas dan kepekaan gender. Pemerintah dengan segala bentuk regulasi publiknya mesti punya perhatian besar terhadap soal ini. Dengan begitu, para ulama-Kiai dan aktivis LSM secara bersama akan ikut memperkuat pemenuhan kepekaan gender ke tengah-tengah masyarakat. Ulama-Kiai dengan basis kajian keagamaan mendalam dan aktivis LSM dengan berbasis realitas sosial.

Sehingga dengan demikian beberapa ayat yang sering kali ditafsirkan secara tekstual dan bias gender, akan membuahkan tafsir yang ramah gender setelah direkontektualisasikan. Berikut antara lain; Pertama, rekontekstualisasi terhadap ayat dalam QS. Al-Nisa [4]: 34, akan membuahkan tafsir yang memberikan pemahaman bahwa ayat tersbebut turun dalam konteks ada seorang perempuan yang mengadu kepada Nabi Saw karena perlakuan kasar suaminya. Karenanya Nabi Saw membela dan menegurnya, disertai turunnya ayat tersebut. Selain itu, kalaupun ayat tersebut dimaknai sebagai ayat tentang kepemimpinan, di sana Allah menyebut tidak secara general, bahwa tidak setiap laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan. Bukankah banyak perempuan dahulu dan sekarang yang punya potensi dan kapasitas pandai melebihi laki-laki.

(10)

Ketiga, rekontekstualisasi terhadap ayat dalam QS. Ahzab [33]: 33 dan QS. Al-Thalaq [65]: 1, ayat ini sebetulnya hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi Saw sebagai penghormatan dan tidak berlaku umum. Dan juga, sungguh tidak masuk akal karena perempuan pada masa Nabi Saw justru banyak yang berkiprah di luar, mulai dari yang menjadi pedagang, bidan, sampai pemimpin perang. Begitu pun dalam dalam konteks kekinian, banyak perempuan yang berkiprah di wilayah publik.

Keempat, rekontekstualisasi teradap ayat dalam QS. al-Nisa [4]: 1, bahwa konsep tulang rusuk sudah tak relevan lagi, sebab proses penciptaan manusia setelah Adam adalah berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Akan tetapi jika kemudian tetap memaksakan menggunakan konstruksi Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, ini hanya berlaku bagi Adam dan Hawa saja, yang tidak berlaku untuk manusia setelahnya. Atau pembacaan ramah yang lain jika kemudian tulang rusuk dimaknai secara metafora, dimana secara biologis dan psikologis laki-laki dan perempuan memiliki perbedaaan yang kemudian atas perbedaannya itu bisa dapat saling mengerti, saling melengkapi, dan saling membutuhkan sedekat tulang rusuk yang melekat dalam tubuh, atas kekurangan serta kelebihan yang dimilikinya masing-masing.

Signifikansi Tafsir Ramah Gender dan Perempuan dalam Islam

Menurut teori fungsionalis struktural, bahwa suatu masyarakat terdiri dari berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi tersebut di dalam masyarakat. Demikian jelas, bahwa dengan teori ini mempertegas bahwa satu orang dengan yang lainnya, antara laki-laki dan perempuan memiliki hubungan sebagai mitra sejajar yang saling memengaruhi. Sehingga harmonisasi kehidupan dalam masyarakat hanya akan terwujud jika keduanya bisa saling memerankan fungsinya dengann baik. Tidak malah kemudian, saling mengungguli dan mendiskriminasi.

Maka dengan ini, menggemakan tafsir ramah gender menjadi penting. Karena tafsir yang dipegangi oleh arus utama sering kali menjadikan penafsiran terhadap Al-Qur’an justru sebagai dasar untuk menolak kesetaraan gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Hal demikian tentu saja tidak boleh dibiarkan, betapa menolak kesetaraan gender berarti sama halnya melanggengkan status quo yang berimplikasi kepada pemberian hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung menyudutkan perempuan.

(11)

Karena sebagaimana Siti Musdah Mulia mengatakan bahwa, Islam adalah agama ideal dan sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur dalam semua bidang kehidupan. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Saya sangat percaya Islam menjanjikan harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan gender, laki-laki dan perempuan. oleh karena itu, Islam paling vocal bicara soal keadilan dan persamaan antarmanusia, termasuk di dalamnya persamaan antara perempuan dan laki-laki. [20]

Dengan demikian sampai lah bahwa tafsir ramah gender mutlak dibutuhkan, berikut di bawah ini signifikansi lainnya, antara lain;

Pertama, melalui tafsir ramah gender laki-laki dan perempuan dipersepsikan sebagai pihak yang memiliki kedudukan, peran, dan fungsi yang sama. Dengan kata lain, keduanya tidak diperkenankan saling memarginalkan atau mendiskriminasi, melanikan justru saling melengkapi dan mengapresiasi.

Kedua, melalui tafsir ramah gender, berupaya mengikis habis terkait dengan riwayat-riwayat isra’iliyat yang banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarh hadits. Ketimpangan-ketimpangan yang ada dalam kisah-kisah isra’iliyat tidak hanya menimbulkan bias gender, tetapi juga sangat dikecam oleh Nabi Saw, sebagai tokoh yang respek terhadap keberadaan perempuan.

Ketiga, melalui tafsir ramah gender, hal ini menggiring dalam upaya merubah dan membangun cara pandang yang sebelumnya timpang menjadi seimbang, yang akan dapat mengantarkan kepada sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang harmonis dan memudarnya budaya patriarkhi, dimana antara laki-laki dan perempuan masing-masing bisa memenuhi peran dan fungsinya, sebagai sama-sama anggota masyarakat.

Penutup

Ketika kita yakin bahwa Islam hadir dengan membawa misi untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, maka ini menjadi catatan agar semangat pembebasan dari segala bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan, harus dipromosikan dan digemakan kepada masyarakat luas, terutama pembebasan dan keadilan terhadap perempuan.

Tradisi masyakat Arab—sebagaimana sejarah mencatat—mesti dijadikan bahan pertimbangan betapa kasus-kasus yang bias dan diskriminatif gender agar dalam konteks sekarang hal tersebut harus dihindari. Termasuk segala bentuk penafsiran terhadap Al-Qur’an, harus disterilkan dari segala hal yang berkenaan dengan pengalaman bias dan diskriminatif gender.

(12)

dimplementasikan dengan baik, maka segala bentuk tanfsir bias gender dan pelbagai implikasi negatifnya dapat kita hindari. Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.

[1] U. Syafrudin. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 29.

[2] Nasaruddin Umar. 2006. Reformulasi Tafsir Berwawasan Gender. Jakarta: Restu Ilahi, h. 28-29.

[3] Zuhairi Misrawi. 2009. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’alamin, Jakarta: Pustakan Oasis, h. 51.

[4] Husein Muhammad. 2009. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, h. 245.

[5] Nasaruddin Umar. 2010. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Dian Rakyat, h. 11.

[6] Zuhairi Misrawi. Ibid, h. 97. Bandingkan dengan, Muhammad Husein Al-Dzahabi, 2003. Al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah, h. 12.

[7] Yang dimaksud tafsir riwayah adalah tafsir yang sumber penafsirannya berasal dari riwayat-riwayat.

[8] Yang dimaksud tafsir dirayah adalah tafsir yang sumber penafsirannya berasal dari akal-rasional dan ijtihad.

[9] Abdul Moqsith Ghazali, dkk. 2009. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h. 108. Bandingkan dengan teks aslinya dalam, Nasr Hamid Abu Zaid, 1993. Mafhum al-nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, h. 11.

[10] U. Syafrudin. Ibid, h. 39-40.

[11] Ulil Abshar Abdalla. 2009. Menghindari Bibliolatri: Menagkap Visi Etis Al-Qur’an, dalam Abdul Moqsith Ghazali. Ibid, h. 118.

[12] Ibid, h. 119.

[13] Muhammad Abil Al-Jabiri dalam Hiwar Hawla Madkhal la Al-Qur’an, lihat di situs www.aljabriabed.net.

[14] Zuhairi Misrawi. Ibid, h. 17.

[15] Husein Muhammad. Ibid, h. 239-240.

(13)

[17] Husein Muhammad. Ibid, h. 245.

[18] Siti Musdah Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya. Yogyakarta: Naufan Pustaka, h. 172-174.

[19] Nasaruddin Umar. Ibid, h. 42-43.

[20] Siti Musdah Mulia. Ibid, h. 153.

Daftar Pustaka

Abdul Moqsith Ghazali, dkk. 2009. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’. 1970. Al-Qur’an wa Tafsir Ashr. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Husein Muhammad. 2009. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.

Muhammad Abil Al-Jabiri dalam Hiwar Hawla Madkhal la Al-Qur’an, lihat di situs www.aljabriabed.net.

Muhammad Husein Al-Dzahabi, 2003. Al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah.

Nasaruddin Umar. 2006. Reformulasi Tafsir Berwawasan Gender. Jakarta: Restu Ilahi.

Nasaruddin Umar. 2010. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Dian Rakyat.

Nasr Hamid Abu Zaid, 1993. Mafhum al-nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab.

Siti Musdah Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya. Yogyakarta: Naufan Pustaka.

U. Syafrudin. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

47/BPDAS.PP-1/2013 tanggal 1 Maret 2013, telah melaksanakan Acara Evaluasi Dokumen Penawaran pada Seleksi Sederhana dengan Prakualifikasi Jasa Konsultansi

Sedangkan menurut Brown dan Yule ( dalam Puji Sentosa 2008 : 6.34) Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi- bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau

Ini semakin mengukuhkan asumsi bahwa dengan memiliki telepon seluler sebagai saran mencari informasi, nelayan ikan di wilayah Kerala memiliki sarana untuk mencari

Analisis kerapatan sambaran petir di Kabupaten Kulonprogo bertujuan untuk mengetahui wilayah yang memiliki intensitas kerapatan petir tinggi, serta faktor ketinggian

Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Di lingkungan mana pun individu berada, ia akan berhadapan dengan harapan

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi mengenai Perbedaan Penambahan Ekstrak Bawang

Dari hasil wawancara dengan WN di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau menabung di Bank Syariah Mandiri cabang Palangka Raya atas dasar inisiatif atau kemauan