• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADILAN SOSIAL TITIK TENGAH Belajar dar (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEADILAN SOSIAL TITIK TENGAH Belajar dar (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. Latar Belakang

Selama ini, keadilan seperti apakah yang dituntut? Benarkah setelah keadilan itu terpenuhi, relasi menjadi

setara dan banalitas1 hilang? Atau jangan-jangan, ia

hanya mewujud dalam bentuk yang lain?

Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada

perbincangan yang sangat filosofis dan pengalaman orang di masa lalu yang

hidup di negeri yang sangat jauh. Perbincangan tentang hal itu berangkat dari

dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam

keseharian kehidupan. Rujukan yang utama, tentunya pengalaman imperium

Romawi, yang lambang keadilannya masih digunakan di negara kita, Iustitia,

sang dewi keadilan. Dan konsep-konsep keadilan para pemikir Barat, mulai

dari Rawls sampai Habermas, dari yang libertarian, komunitarian sampai yang

diskursif. Keadilannya, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita.

Di Indonesia, keadilan sosial secara formal menjadi aspirasi dominan

dalam konstitusi bangsa Indonesia. Dari 7 (tujuh) kata adil yang tercantum

dalam UUD 1945, terdapat dua kata adil dibatang tubuh, yaitu dalam sumpah

jabatan presiden dan wakilnya. Lima kata adil selebihnya: perikeadilan,

seadil-adilnya, adil dan makmur, keadilan sosial, adil dan beradab justru tercantum

dalam pembukaan. Penjelasan konstitusi juga secara eksplisit menyebutkan

tujuan negara “hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”

Sehingga dapat diartikan bahwa keadilan didudukkan sebagai sebuah

keutamaan yang menjadi fundamen terpenting yang mendasari seluruh

1

(2)

2

relasi yang bersifat sosial politis, yang datang dari negara untuk masyarakat

(top-down).

Pewacanaan yang terlalu asyik dalam refleksi teoritis idealiastik, yang

diakses secara top-down, ternyata sering lalai untuk menangkap dinamika

perubahan zaman yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat bahwa keadilan sosial bukanlah sesuatu yang taken for granted,

terus menerus dalam proses pembentukan2 bersama dengan masyarakat yang

menyimpan pengetahuannya sendiri dengan negara,3 maka karya ini

dipersiapkan untuk mencari alternatif keadilan sosial yang kontekstual dan

berangkat dari jalur induktif. Agar dapat digunakan untuk mengatasi

pewacanaan keadilan sosial yang ternyata hanyalah sebatas pemusatan

kekuasaan, yang memunculkan represi kepada pihak lain yang dianggap kalah,

upaya pencariannya selanjutnya dilakukan dengan kesadaran untuk

menelusuri jalur keadilan dari pinggir, yakni kedilan yang tumbuh dalam

tatanan suatu masyarakat yang sering ditenggelamkan dalam narasi besar

keadilan ala penguasa. Maka karya ini disiapkan untuk melihat reproduksi

keadilan sosial pada masyarakat agraris, dalam konteks penelitian ini dipilih

masyarakat Tengger.

II. Rumusan Masalah

Pertanyaan besar yang hendak dijawab kemudian adalah: Apa dan

bagaimana konstruksi keadilan Sosial (dari dan untuk) sebuah masyarakat

2

Lihat Filsafat Keadilan dalam Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia, Jakarta, 2005.

3

Lihat Tafsir Sosial dalam Berger, Peter dan Thomas Lucmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan,

(3)

3

terwujud? Untuk itu, secara teknis pertanyaan penelitian yang diajukan

adalah:

1. Dalam kesehariannya,bagaimana perilaku masyarakat Tengger memaknai

keadilan?

2. Bagaimana keadilan tersebut mengejawantah dalam kehidupan

bernegara?

III. Tujuan Penelitian

Kajian ini dilakukan untuk dapat menawarkan pelacakan aktualisasi dan

reproduksi nilai keadilan sosial dalam keseharian masyarakat. Sehingga nanti

dapat ditemukan pola alternatif dalam mempraktekkan keadilan.

IV. Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan metodologi kualitatif dengan teknik

feneomonelogi-hermeneutika yang dikembangkan oleh Heidegger, dimana

pengalaman terkenali oleh kesadaran karena ada intensionalitas

(keterarahan) dan selanjutnya diperlakukan sebagai rajutan objek-objek yang

terbuka untuk diinterpretasi bahkan didekonstruksi untuk menuju

pemahaman bagaimana hal-hal itu tampak.4

Lokasi penelitian dipilih di dua desa Tengger yang sama-sama berada

didalam wilayah enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)

tetapi memiliki corak relasi yang berbeda antara masyarakatnya dengan aktor

representasi negara disana. Kedua desa tersebut adalah: Ngadas (Kabupaten

Malang) dan Ranu Pani (Kabupaten Lumajang). Fokus penelitian diarahkan

kepada fenomena keadilan sosial yang dalam konteks penelitian ini adalah

4

(4)

4

tatanan nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger

dalam proses pembentukan komunitasnya.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara menggali pengalaman

kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger melalui wawancara, studi pustaka

dan refleksi pengalaman penulis dalam membersamai dan merasakan

kehidupan masyarakat setempat dalam observasi terlibat. Selanjutnya,

dilakukan interpretasi terhadap data untuk menuju pemahaman terhadap

perspektif masyarakat Tengger mengenai keadilan sosial. Dengan kesadaran

akan luas dan simultannya perspektif masyarakat Tengger akan keadilan

sosial maka proses interpretasi dipersempit dengan memfokuskan

pengamatan hanya di ladang dan dapur orang Tengger, dua ruang yang paling

sering dikunjungi dan didatangi sehari-hari.

Untuk menjaga sensitifitas terhadap situasi kontekstual, maka analisis

data akan dikerangkai dengan pendekatan Contextual Political Analysis yang

dikembangkan oleh Charles Tilly dan Robert Goddin yang memberikan

proposisi teoritik tentang konteks yang membentuk fakta-fakta politik,

proses politik sampai pemahaman analis politik itu sendiri does matter.

Dalam analisis politik penting untuk memperhatikan konteks kultural,

historogical, linguistik dan spatial yang membentuk dan juga sekaligus

dibentuk. 5Analasisnya mengakui karakter multidimensional politik, sehingga

dalam penelitian ini alur narasi yang disiapkan dimulai dari telusur sejarah

relasi masyarakat Tengger dengan negara dalam berbagai kurun waktu dan

5

(5)

5

tempat tertentu, sehingga berhasil ditunjukkan konteks umum yang

membentuk dan dibentuk oleh keadilan sosial lokalnya.

Penyingkapan selanjutnya akan diarahkan untuk memahami alam

pikir masyarakat Tengger yang menjadi konteks khusus yang membentuk

dan dibentuk oleh nilai keadilan sosialnya. Dengan kesadaran berlapisnya

abstraksi yang akan dilakukan, maka secara operasional upaya

penyingkapannya akan dilakukan dengan teknik konstruksi sosial yang

dikembangkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann, yang mencoba

mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga

momen sinergis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang

dilihat dari segi asal-muasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan

interaksi intersubjektif. Ketiga momen itu adalah: internalisasi, obyektivasi

dan eksternalisasi. Ketiga momen ini selanjutnya digunakan sebagai pisau

analisis yang dikontekstualisasikan untuk menguliti pengetahuan keadilan

sosial lokal, yang dibentuk oleh masyarakat bersama-sama dengan negara.

Kontekstualisasi dari ketiga momen itu menghasilkan ketiga momen:

kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi yang disingkat dalam akronim

KEREN. Ketiga momen ini mengantarkan pembentukan corak keadilan sosial

sebagai pilihan-pilihan sulit dalam menghadapi dinamika perubahan sosial

masyarakatnya. Keadilan sosialnya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang

idealistik. Selanjutnya, ia mensyaratkan kondisi-kondisi dimana pemusatan

kekuasaan dapat dihindari dan penyebaran kekuasaan dapat terjadi. Dalam

konsep matematis kondisi ini dikenal sebagai titik tengah. Dimana titik

(6)

6

titik

tengah

sehingga membagi ruas garis tersebut menjadi dua bagian yang sama

panjang. Dalam konteks penelitian ini, membagi kekuasaan yang sama besar,

antara masyarakat Tengger dan Negara, yang menjadi tujuan dari penelitian

ini. Sehingga dalam kerangka pikir KEREN, titik tengah menjadi suatu

keniscayaan.

Gambar 1

Keniscayaan Titik Tengah

Gambar 2

Analisis KEREN: Menuju Titik Tengah

KONTEKSTUALISASI

1. sosialisasi primer

a. kebijakan negara

b. pengetahuan lokal

2. sosialisasi sekunder

a. kebijakan aktor lain

(7)

7 V. Hasil

Berbeda dengan konsep keadilan sosial yang ditekuni sebagai sebuah

idealitas, Keadilan Sosial yang ditekuni dari pengalaman masyarakat Tengger

adalah bentuk sistem pengetahuan yang berangkat dari pilihan-pilihan sulit

untuk menuju titik tengah antara pengetahuan idealistik dalam kesadaran

subjek dan konteks fragile dinamika sosialnya.

Titik Tengah membagi kekuasaan sedemikan menjadi bagian-bagian

yang sama besar. Sehingga tidak perlu mengandaikan sebuah konsensus seperti

apa yang disyaratkan oleh Rawls dan para libertian lain. Titik Tengah mengakui

adanya bentuk-bentuk resistensi maupun kompromi didalamnya. Titik tengah

Tengger sendiri berusaha mengatasi fundamentalisme solidaritas kaum

komunitarian, yang mengabaikan kepentingan individu, sebab dalam

pertemuannya dengan komunitas, relasi intersubjektifitas individu diakui yang

keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh sebuah komunitas tertentu,

melainkan ia bergerak dari satu komunitas kekomunitas lainnya. Titik tengah

juga sekaligus berbeda dengan keadilan sosial diskursif Habermas yang

menekankan pada diskursus praksis komunikatif deliberatif melainkan

diskursus praksisnya lebih diwarnai wajah filsafat Timur, yang intuitif dan

reflektif.

Meski dekat dengan konsep filsafat Timur, titik tengah berbeda dengan

equilibrium yang menjadi struktur dasar filsafat Jawa yang banyak bersumber

dari filsafat Timur, Hindu-India sentris. Dari telusur sejarahnya pun dapat

ditunjukkan bahwa kebudayaan Tengger menolak untuk disamakan dengan

(8)

8

yang Hindu-India sentris. Jika universum equilibrium mengandaikan manusia

harus hidup selaras dengan alam dan makhluk hidup lain, titik tengah Tengger

tidak mengandaikan kondisi dalam mencapainya sehingga bukan hanya

keselarasan dalam perbedaan melainkan konflik dalam perbedaan juga

ditampung dan tidak dinafikan. Dalam kondisi ini relasi alam dan manusia

dilihat sebagai sebuah partikularitas yang komplementer. Dimana

kesempurnaan dan kecacatan tidak hanya dimiliki oleh satu subjek melainkan

proses yang dibentuk secara terus menerus dalam relasi intersubjektif.

Dengan menggunakan kacamata analisis KEREN (Kontekstualisasi,

Rekonstruksi dan Negosiasi) maka proses reproduksi dan aktualisasi nilai

keadilan sosial Titik Tengah, berdasarkan pengalaman kehidupan sehari-hari

masyarakat Tengger dapat dijabarkan, sebagai berikut:

A. Proses Kontekstualisasi

Proses kontekstualisasi merupakan proses penciptaan makna yang

sama sekali tidak otonom, dimulai dengan individu mengambil alih dunia

dimana sudah ada orang lain. Dalam konteks penelitian ini adalah keadilan

sosial masyarakat Tengger bersama dengan negara. Didalamnya terdapat

proses sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.

Tengger, dalam hal ini merujuk kepada suatu tempat dan dinamika

kebudayaan didalamnya, berhasil menunjukkan bahwa ada cara selain

tekstual dalam menafsir dan merawat sebuah diskursus: kontekstual melalui

alur induktif. Proses kontekstualisasi nya dilakukan dengan mengamati

pengalaman hidup sehari-hari dalam relasi intersubjektif (reflektif) dan

(9)

9

antara masyarakat Tengger dan Negara. Dalam telusur sejarahnya pun

berhasil ditunjukkan bahwa masyarakat Tengger tidak selamanya tertindas

oleh Negara seperti apa yang umumnya terjadi dengan masyarakat adat yang

diminoritaskan. Masyarakat Tengger justru berhasil memanfaatkan Negara

sebagai bentuk adaptasinya terhadap proses perkembangan zaman.

Jejak dari proses ini terlihat jelas sejak dari kisah walandit, desa tertua

Tengger yang berhasil mendapatkan status otonom pada masa pemerintahan

Majapahit dan menolak pajak kerajaan yang mencekik. Selanjutnya setelah

masa kolonial dan pendudukan Jepang tanah-tanahnya berhasil ditandai

kedalam wilayah adat dan meredam kebijakan alih fungsi lahan perkebunan.

Pasca kemerdekaan, tanah adat tersebut juga terbebaskan dari nasionalisasi

yang dilalukan pemerintah Indonesia. Ketika wajah pembentukan negara

semakin massif hadir di Tengger dengan dibentuknya Taman Nasional

Bromo Tengger Semeru (TNBTS) pada tanggal 14 Oktober 1982, pemasangan

pal batas zonasi konservasi justru didukung dan dibantu oleh masyarakat

setempat sambil mengatur kemungkinan perluasan pemanfaatan hutan

konservasi. Meskipun sempat tercatat beberapa konflik antara beberapa

orang Tengger dengan petugas Taman Nasional tetapi mereka tetap berhasil

meneguhkan dirinya untuk memperjuangkan hak zona pemanfaatan

tradisional atas tanah-tanahnya.

Proses sosialisasi primernya dilakukan dalam percakapan sehari-hari

yang sifatnya informal dan bersatir, banyak dilakukan di ruang-ruang dapur

dan ladang dimana keluarga menjadi satu entitas penting yang menekankan

(10)

10

dilakukan diruang-ruang ritual adat Tengger yang ritusnya sangat banyak

sekali dan semuanya selalu mensyaratkan adanya sesajian/ makanan , yang

terdiri dari unsur tumbuhan dan hewan dan dilakukan secara komunal oleh

semua penduduk desa.

B. Proses Rekonstruksi

Proses ini adalah upaya memelihara dan mentransformasikan

kenyataan subjektif, yang didalamnya terdapat upaya pemeliharaan rutin

dan dalam keadaan krisis. Proses rekonstruksinya dilakukan dengan mereka

ulang identitas-identitas ke Tenggerannya dalam relasinya dengan Negara

sehingga alih-alih tertundukkan, masyarakat Tengger berhasil menjadi

subjek yang tak kehilangan kuasa, yang berhasil beradaptasi dengan konteks

perubahan zamannya.

Dalam telusur sejarahnya, ketika masa pemerintahan kerajaan

Majapahit dan terjadi sengketa atas status desa otonom Walandit, desa tertua

Tengger, masyarakat Tengger meneguhkan dirinya sebagai ulun hyang, abdi

dewata, Dimana saat itu, para abdi dewata menempati posisi yang tinggi dan

dihormati sebagai kaum intelektual dan filusuf untuk dimintai nasehat oleh

para raja. Selanjutnya, pada masa kolonial untuk mempertahankan

tanah-tanahnya mereka mengidentifikasi diri sebagai sebagai wong nggunung

(orang dataran tinggi) yang memiliki keutamaan-keutamaan etis, untuk

membedakannya dengan wong ngare (orang dataran rendah) yang mulai

mengalami krisis identitas akibat gempuran modernisasi. Mereka

mengembangkan sikap-sikap ketradisionalannya dan menarik simpati para

(11)

11

Tengger dalam catatan hariannya, History of Java. Pasca kemerdekaan

sampai sekarang mereka meneguhkan dirinya sebagai masyarakat adat yang

tinggal didesa adat, dimana mereka mengakui struktur pemerintahan

modern desa untuk menampung ciri khas struktur pemerintahan adat dan

merawat ritus serta situs pengetahuan leluhurnya.

Dari sana dapat ditarik benang merah bahwa pemeliharaan rutin yang

dilakukan adalah melalui kompromi terbatas. Dan dalam keadaan krisis,

orang Tengger mengembangkan mekanisme daur-ulang, kebudayaan lama

menjadi kebudayaan baru yang telah dikontekstualisasikan dengan

perkembangan zaman.

C. Proses Negosiasi

Proses ini adalah keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi yang

dalam kasus Tengger adalah pengetahuan akan keadilan sosial itu sendiri.

Sebab, keadilan sosial disini didudukkan sebagai pilihan-pilihan sulit untuk

menuju titik tengah antara pengetahuan idealistik dalam kesadaran subjek dan

konteks fragile dinamika sosialnya. Maka beberapa pola pengetahuan lokal

orang Tengger yang selalu muncul secara berulang untuk menuju kesana,

antara lain:

1. Niteni

Orang Tengger, sebagaimana masyarakat petani agraris lainnya,

dikenal sebagai orang yang cermat dalam mengamati kondisi sekitarnya baik

itu perubahan alam, perubahan perilaku sampai perubahan zaman.

Kecermatan ini dalam terminologi Tengger dikenal dengan perilaku niteni

(12)

12

dikalangan masyarakat petani atau masyarakat agraris atau masyarakat yang

sangat menggantungkan kehidupannya dengan alam. Alam yang terbiasa

memberi tanda diluar struktur bahasa verbal hanya dapat dipahami

pola-polanya dengan diamati dan dirasakan. Sehingga jalan berpengetahuan orang

Tengger adalah refleksi pengalaman tubuhnya (reflektif).

2. Laku

Meski kebudayaan Tengger dekat dengan kebudayaan Jawa, hal

mencolok yang membedakan orang Tengger dengan orang Jawa adalah tidak

adanya stratifikasi dalam bahasa. Komunikasi antar generasi terjadi dengan

cair tanpa memandang umur maupun status sosial, seperti bahasa jawa pada

umumnya. Tidak adanya strata ini juga akhirnya menunjukkan kepada saya

bahwa sebuah pengetahuan atau kearifan tidak diajarkan dengan cara-cara

menggurui satu sama lain melalui beragam konsepsi. Kodifikasi dari sistem

pengetahuannya bukanlah secara tekstual melainkan berupa peri-laku. Oleh

sebab itu di Tengger, bentuk pendisiplinannya adalah berupa laku, yaitu

memberi pengalaman kepada tubuh untuk me-laku-kan bukan hanya sekedar

membaca dan mendengar tetapi juga merasakan.

Laku-laku ini didapat dari pengalaman tubuhnya dalam interaksi

sosial mereka. ini lah yang kemudian menjelaskan mengapa sistem

penghukuman di Tengger tidak terlalu populer jika dibanding dengan sistem

penyadaran. Sebab tubuh mereka dibiasakan untuk merasakan suatu

pengalaman bukan cuman mengkonsep diawang-awang. Sehingga dalam

perawatan segala pranata sosialnya pun tidak bersifat normatif melainkan

(13)

13 3. Rewang

Orang Tengger sangat menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan

saling membantu. Tidak hanya terlihat dalam setiap hajatan dan upacara adat

yang biasanya dapat dengan mudah ditemukan tenaga-tenaga tetangga yang

siap membantu, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.Rewang

mensyaratkan pelibatan diri dalam kepentingan orang lain dalam suatu

kelompok. Rewang juga menjadi sistem pertukaran benda-benda dan tenaga

dalam kelompok masyarakat Tengger, yang lebih mengutamakan semangat

kekeluargaan bukan bayaran. Sehingga dalam rewang, keberadaan dan aksi

lah yang menjadi bentuk-bentuk perilakunya. Pertukarannya pun bukan

menggunakan standar nilai yang seragam seperti bayaran uang. Rewang

tidak dibayar tetapi rewang menjadi suatu kebutuhan dan sekaligus

kewajiban utama jika kita menjadi orang Tengger. Disini, mereka berusaha

menunjukkan bahwa ada relasi lain diluar relasi yang kompetitif, yakni relasi

komplementer. Sehingga bukan pertarungan yang menjadi ruang dalam

berinteraksi melainkan kekeluargaan. Jika pertarungan mengandaikan

adanya musuh, kekeluargaan mengandaikan adanya keluarga.

VI. Kesimpulan

Pengetahuan keadilan sosial titik tengah dipegang teguh oleh orang

Tengger dalam menghadapi dinamika sosialnya. Pengetahuan ini adalah

strategi yang diam-diam selalu dilakukan meskipun tak dikatakan untuk

merespon kehadiran aktor/subjek/pengetahuan baru. Dengan mengamati

(14)

14

terjadinya pemusatan kekuasaan, masyarakat Tengger terus mendaur-ulang

identitas-identitas ke Tenggerannya dalam relasinya dengan Negara sehingga

alih-alih tertundukkan, masyarakat Tengger berhasil menjadi subjek yang tak

kehilangan kuasa yang berhasil diaktualisasikan dalam pola-pola niteni, laku

dan rewang. Proses-proses tersebut berlangsung secara sinergis dan simultan dalam mereproduksi corak pengetahuan yang reflektif dan dialektis, yang

terus menerus dikembangkan dalam bentuk-bentuk kompromi terbatas,

dalam pola relasi komplementer. Dalam corak pengetahuan yang reflektif dan

dialektis dan pola-pola kompromi terbatas dalam relasi keomplementer,

menuju titik tengah untuk membagi kekuasaan menjadi sama besar adalah

suatu keniscayaan. Sehingga pemusatan kekuasaan dapat diatasi dan

penyebaran kekuasaan dapat terjadi.

Gambar 3

Pola Orang Tengger Mengkses Keadilan Sosial

niteni

laku

(15)

15 Gambar 4

Jalur Akses Keadilan Sosial Titik Tengah

tengah

titik

rewang

(N)egosiasi

laku

(R)ekonstruksi

niteni

(K)ontekstualisasi

reflektif dan dialektis kompromi terbatas relasi komplementer

pilihan-pilihan sulit antara pengetahuan idealistik dan

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. 2002. Imagined Societies: Komunitas komunitas Terbayang. Yogyakarta:

Insist Press.

——and Skocpol, T. (eds.) 1996. States, Social Knowledge, and the Origins of Modern

Social Policy. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Arifin, HN. 1952. Ichtisar-Sedjarah Kebudajaan Indonesia. Djakarta: Pustaka Antara.

Baudrillard, J. 1981. For A Critique of The Political Economy of the Sign. St.Louis: Telos

Press.

Bishop, M & Michael Green. 2008. Philanthrocapitalism: How Giving Can Save the World.

London : A & C Black.

Bourchier, David. 1996.The Lineages of Organistic Thought in Indonesia, PhD Thesis,

Melbourne: Monash University.

Bourdieu, P. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University

Press.

Budiawan (ed.). 2010. Ambivalensi. Yogyakarta: Jalasutra.

Charles A. Moore. 1946. Philosophy-East and West. New Jersey: Princeton University

Press.

Commins, Saxe. 1980. The World’s Great Thinkers: Man and The State- The Political

Philosophers. New York: Random House.

Dahl, RA. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta:

Rajawali.

Duncan, HD. 1997. Sosiologi Uang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eagleton, T. 2009. The Illusions of Postmodernism. Malden-Oxford-Victoria: Blackwell

Publishing.

Eka Darmaputra.1997 Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya.

Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Feith, H. dan Castles, L. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES

Foucault, M. 1972. The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon.

Fukuyama, F. 2006. The End of History and The Last Man. New York: Free Press.

Gauthier, David. 1997. The Social Contract as Ideologyin Contemporery Political

(17)

17

Geertz, Clifford.1973. The Interpretation of Culture: Selected Essays. New York:Basic

Books.

Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory. Berkeley: University of California

Press

Giddens, Anthony. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge:

London School of Economic Press.

Hacking, I. 1999. Social Construction of What? Cambridge, Mass.:Harvard University

Press

Hajer, M. A. 1995. The Politics of Environmental Discourse. Oxford: Clarendon Press.

Hatta, M. 1966. Demokrasi Kita. Djakarta: Pustaka Antara.

Hay, C. 2002. Political Analysis. Basingstoke: Palgrave.

Heidegger, Martin. 2010. Phenomenology of Intuition and Expression. London:

Continuum.

Held, D. 2006. Models of Democracy. Cambridge – Malden: Polity.

Husserl, Edmund. 1970.The Crises of European Sciences and Transcendental

Phenomenology. USA:Northwestern University Press.

Ismawan, R. 2011. Quo Vadis Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Research Center for

Politics and Government.

Klinken, V. Gary. 2007. Perang Kota Kecil. Yogyakarta : YOI-KITLV

Kymlicka, Will. 1990. Contemporary Political Philosophy, An Introduction. Oxford:

Clarendon Press.

Merleau-Ponty, Maurice. 2004. The World of Perception. New York: Routledge.

Mohamad, Goenawan. 2001. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: AlvaBet.

Onghokham, “Pancasila sebagai Kontrak Sosial”, Kompas, 6 Desember 2001

Paula M. L. Moya. 2001. Reclaiming Identity. India: Orient Longman Private Limited.

Robert E. Goddin&Charles Tilly (ed.). 2006. Contextual Political Analysis. United States:

Oxford University Press.

Rueschemeyer, D. 1986. Power and the Division of Labour. Stanford, Calif.: Stanford

——and Rueschemeyer, M. 1990. Progress in the distribution of power: gender relations

and women’s movements as a source of change. Pp. 106–22 in Rethinking Progress:Movements: Forces and Ideas at the End of the Twentieth Century, ed. J.

Gambar

Gambar 1 Keniscayaan Titik Tengah
Gambar 3
Gambar 4

Referensi

Dokumen terkait

mengenal mahasiswa sebagai masyarakat yang ilmiah, hal ini membuktikan peran bahkan pola berpikir seorang mahasiswa yang tidak serta merta disumbangkan dalam kehidupan

Hambatan yang dihadapi seorang penyidik dalam memberikan bantuan hukum cuma–cuma selama ini antara lain datang dari klien sendiri yaitu apabila tersangka atau keluarga

Kajian ini bertujuan menjelajahi pengertian Kualiti Servis Sistem Maklumat (KSSM) menggunakan Teknik Analisis Koresponden dengan mengenal pasti elemen-elemen yang perlu diambil

Dan dalam syahadat itu, kemudian dengan segera disusul dengan pengecualian, bahwa tidak semua tuhan itu tidak ada, kecuali satu, yaitu Tuhan itu sendiri, atau Allah (Allah adalah

Menurut Mochtar (2009) banyak mahasiswa yang menjadikan tempat kost sebagai tempat melakukan hubungan seksual pranikah karena ada kecenderungan pola hubungan

Teori ekologi (ecological theory) ialah pandangan sosiokultural Bonfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari lima sistem lingkungan mulai dari masukan

Hal ini sesuai dengan Pecking Order Theory yang menjelaskan bahwa perusahaan yang memiliki aset yang tinggi cenderung menggunakan dana internal dalam struktur

Berdasarkan hasil pengamatan hasil KBM pada siklus I, diketahui bahwa : (1) motivasi siswa mengikuti pembelajaran ; (2) keberanian siswa dalam mengungkapkan