• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PASAL 112 DAN PASAL 127 DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN PASAL 112 DAN PASAL 127 DALAM"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PASAL 112 DAN PASAL 127 DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Diajukan untuk memenuhi penilaian mata kuliah Politik Hukum

D o s e n :

Aminoto S.H., M. Si.

Disusun Oleh :

Clinton Abraham Napitupulu

No. Mhs : 16/407419/ PHK/09652

Program Magister Hukum Universitas Gajah Mada

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.

Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian bermacam-macam jenis narkotika secara illegal. Kekhawatiran ini semakin dipertajam dengan maraknya peredaran gelap narkotika yang telah ‘meracuni’ semua lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan Negara masa mendatang.

(3)

kepada tatanan kehidupan bermasyarakat yang dapat berdampak buruk bagi bangsa dan dunia. Peredaran narkotika yang terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat., disamping untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang modern dan teknologi canggih. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan manusia.

Perkembangan kejahatan narkotika yang begitu cepat mendorong legislatif untuk membuat undang-undang guna memberikan rasa keamanan bagi rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika menjadi ‘senjata’ Negara yang diharapkan dapat memberantas tindak pidana narkotika di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur seluruh tindak pidana narkotika di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para pengedar ataupun pecandu narkotika. Namun dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengkategorikan tindak pidana narkotika di Indonesia ke dalam kategori pengedar, pembawa, dan pecandu.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum. Aspek-aspek yang direformasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang dimaksud adalah:

1. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan I yang terberat disusul dengan golongan II dan III,

(4)

dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi), maka bila penyalahgunaan dilakukan oleh beberapa orang dengan konspirasi maka hukumannya di perberat,

3. Penanggulangan dan pemberantasan dilakukan bila pelaku penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah ada sindikat-sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya,

4. Demikian pula apabila penyalahgunaan tersebut dilakukan oleh pecandu, pembawa, ataupun pengedar hukumannya berbeda.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 2002 pengguna narkotika di Indonesia baru sebanyak 2,2 juta orang. Empat tahun kemudian yakni tahun 2006 pengguna narkotika meningkat 2 kali lipat menjadi 4 juta.1

Perkembangan tingkat tindak pidana penyalahgunaan narkotika sudah sangat memprihatinkan. Jaman dahulu, peredaran narkotika hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada lagi desa ataupun kecamatan yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Bahkan pesantrenpun tidak lepas dari sasaran. Kini penyebaran narkotika telah merambah ke segala penjuru strata sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga orang tua.2

Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

1 F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri,

Jakarta, hal 6.

2Ibid, hal 61.

(5)

Upaya penanggulangan tersebut secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penal dan non penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan sosial.4

Namun faktanya, tidak mungkin ada pecandu ataupun penyalahguna narkotika menggunakan narkotika tanpa memiliki narkotika tersebut. Tapi pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mempunyai Pasal yang mengatur mengenai pemilik atau pembawa narkotika dan juga mengatur mengenai penyalahguna narkotika.5 Hal ini membuat para penegak hukum

bingung dalam menerapkan Pasal dan juga hal ini dapat menjadi ‘kesempatan’ bagi penegak hukum karena adanya multitafsir dan ketidakpastian unsur di dalam Pasal tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti, yaitu :

1. Bagaimanakah penerapan Pasal 112 dan Pasal 127 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam tindak pidana narkotika ?

2. Apa saja yang menjadi hambatan para penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana narkotika ?

4Ibid

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Penerapan Pasal 112 dan 127 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam tindak pidana narkotika

(7)

Marjono Reksodiputro merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, serta konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika..

Ideal hukum menurut Donald Black adalah kaidah hukum yang dirumuskan dalam Undang-Undang atau keputusan hakim. Dengan memperhatikan Principle of Effectiveness, realitas hukum artinya orang seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau dengan kata lain realitas hukum adalah hukum dalam tindakan.6

Hukum sangat tergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan manusia dari masa ke masa. Dengan demikian hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh pergaulan hidup manusia. Salah satu tokoh dalam aliran sejarah Friedrich Carl Von Savigny, antara lain mengatakan : “Das Recht Nicht Gemact, est ist and wird mit dem volke” yang artinya, hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.7

Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain, perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana narkotika. Kebijakan yang diambil dalam menanggulangi narkotika bertujuan untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya penyalahgunaan narkotika.

6 Amirudding dan Zainal Asikin, 2004 Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Raja Grafindo

Persada Jakarta, hal 137

7 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001.Dasar –dasar Filsafat dan Teori Hukum Citra Aditnya Bakti

(8)

Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai pidana dengan jenis hukum yang lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma – norma yang berlaku, dimana tiap – tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan.

Di dalam rancangan KUHP tahun 1982, yang disusun oleh Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pembinaan:

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Untuk membebaskan rasa bersalah dari terpidana.8

Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas kejahatan

8 Aruan Sakidjo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, penerbit Ghali a

(9)

seperti yang ada dalam Pasal 112 dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Di dalam pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUHP, dan itu diatur pula secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, termasuk didalamnya mengenai hukuman Pidana mati yang dinyatakan secara tegas dalam PAsal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Untuk membahas mengenai penerapan Pasal dalam Undang-Undang Narkotika, terlebih dahulu peneliti mencoba menguraikan secara teoritis tentang teori kausalitas tindak pidana.

Teori kausalitas ini dimaksudkan untuk mencari : 1. Sebab akibat perbuatan pidana;

2. Menentukan pertanggungjawaban pelaku.

Dalam menganalisa sebab akibat dari suatu ti ndak pidana, maka disini dapat dikemukakan beberapa pendekatan melalui teori sebab-akibat.

A. Von Buri dengan teori Conditio sine Quanon, bahwa tiap-tiap perbuatan merupakan sebab yang menimbulkan akibat, dan semua sebab yang ada mempunyai nilai yang sama.Dengan dasar penilaian yang sama, teori ini lazim disebut dengant eori Equivalentie.

B. Van Hamel dengan teori kausalitas absolut yang mendasarkan diri pada unsur kesalahan (schuld).

C. Traeger mengajukan teori berikut ini :

1. Teori Individualisasi, menentukan sebab dengan keadaan nyata, in concreto. Dengan kata lain,harus dicari suatu perbuatan yang dapat dijadikan sebab.

2. Teori Generalisasi, yaitu menentukan sebab dari akibat yang timbul dengan mencari ukuran dengan perhitungan yang layak.

D. Von Kries dengan teori Adequat, bahwa perbuatan yang harus dianggap sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat9

9 Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam

(10)

Berangkat dari teori-teori diatas, dimaksudkan agar penegak hukum lebih mudah dalam menyingkap sebuah kasus tindak pidana kejahatan, dalam hal ini kejahatan narkotika guna mengetahui bahaya dan akibat serta mencari faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat 1 huruf a berbunyi:

Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah)”

Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

“setiap penyalahguna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun)”

Dalam Pasal tersebut memang masing-masing mempunyai unsur yang berbeda. Tetapi tidak mungkin seseorang menyalahgunakan narkotika tanpa menguasai narkotika tersebut. Hal ini tentu kerap menjadi perdebatan antara penegak hukum dan juga akademisi tentang bagaiman seharusnya unsur-unsur dalam Pasal tersebut diubah agar tidak menimbulkan multi tafsir.

Sehingga solusi yang paling tepat untuk memperbaiki multi tafsir tersebut adalah seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dalam hal ini Komisi III harus merubah unsur-unsur yang ada di dalam Pasal tersebut agar tidak menimbulkan multi tafsir dan memudahkan penegak hukum dalam menerapkan Pasal tersebut.

B. Upaya Penanggulangan Dalam Tindak Pidana Narkotika

(11)

Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana narkotika. Kebijakan yang diambil dalam menanggulangi narkotika bertujuan untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya penyalahgunaan narkotika.

Upaya penanggulangan tindak pidana atau yang biasa dikenal dengan ‘politik kriminal’ dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas yakni penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kesejahteraan dan kepidanaan lewat media masa. Dalam hal tersebut dapat dipahami upaya untuk mencapai kesejahteraan melalui aspek penanggulangan secara garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu : lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non penal’ (bukan / di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur ‘penal’ lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejadian terjadi. Sedangkan jalur ‘non penal’ lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya Undang-Undang dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.10

Penyalahgunaan narkotika merupakan permasalahan yang cukup rumit dilihat dari faktor penyebab maupun akibatnya. Termasuk faktor fisik dan kejiwaan pelaku serta faktor lingkungan mikro maupun mikro. Akibatnya pun sangat rumit dan luas, tidak hanya terhadap pelakunya tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, dan ekonomis, bagi orang tua dan keluarganya serta menimbulkan dampak yang merugikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia.

Pencegahan adalah upaya untuk membantu individu menghindari memulai atau mencoba menyalahgunakan narkotika dan psikotropika dengan menjalani cara dan gaya hidup sehat, serta mengubah kondisi kehidupan yang membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan narkotika.

(12)

pemikiran bahwa anak seringkali dijadikan sebagai target bagi jaringan narkotika untuk menggunakan atau mengedarkan narkotika, apalagi dengan jiwa muda mereka yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkait dengan kebijakan non penal ini ada beberapa alternative untuk menangani masalah anak yakni:

a. Merumuskan program aksi nasional untuk perlindungan anak dan penegakan hak-hak anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga konsern lainnya.

b. Melakukan kampanye nasional perlindungan anak sebagai upaya membangkitkan penyadaran masyarakat terhadap masalah yang melanda anak anak.

c. Membentuk lembaga khusus yang bekerja untuk memberikan perlindungan anak-anak.

d. Melakukan kajian dan pengembangan masalah anak, hukum anak dan perangkat pendukung penegakan hak-hak anak.\

e. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dan penguatan lembaga khususnya lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan masalah anak dan hak hak anak.

f. Membangun jaringan kerja nasional dan internasional dengan lembaga dan organisasi yang menangani masalah anak-anak.11

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah sosial sekaligus menjadi masalah hukum dalam masyarakat. Penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika dilakukan melalui kebijakan yang terarah. Carl Friedrich merinci yang menjadi pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya tujuan, sasaran, dan kehendak.12

Masalah kebijakan pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor –faktor yang membawa timbulnya kejahatan – kejahatan dan penjahat.

Kebijakan penal selain mengatur mengenai perbuatan yang tergolong tindak pidana juga mengatur mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada

11 Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan anak dalam

Perspektif Kovensi Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5.

(13)

pelaku. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana penjara seumur hidup, kurungan dan denda. Apabila pelaku adalah korporasi, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.

Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum melalui penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan atau berfungsi lain seperti memberi kuasa, membolehkan, menyimpangi.13

Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan narkotika dimulai dengan penegakan hukum oleh instansi kepolisian.

Penggunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunanya tidak dibawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan Negara. Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya tindak pidana narkotika, sedangkan peredaran gelap dimaksud disini adalah merupakan peredaran narkotika, sedangkan peredaran gelap dimaksud disini adalah merupakan peredaran narkotika di Indonesia tanpa didukung oleh dokumen-dokumen serta persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hukum bisa dikatakan sebagai pro of conduct men behavior in a society serta merupakan the normative of the the state and its citizen sebagai sebuah sistem hukum dapat berfungsi seebagai control social (as a tool of social control), sebagai sarana penyelesaian konflik dan untuk memperbaharui masyarakat. Friedman menyatakan bahwa legal systems are of course not static.14 Sistem hukum selalu

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.

13 A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42.

14 Lawrence Friedmann, 1975,The Legal System A Social Science Persperctive, Russel Sage

(14)

Usaha penanggulangan tindak pidana narkotika secara represif, juga merupakan usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha pencegahan hukum oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik dan kebijakan hukum pidana juga yang merupakan bagian dari penegakan hukum.

Marc ancel sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, dikemukakan kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.15 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat

dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto ‘politik hukum’ adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan dan situasi pada suatu saat.16

2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang di cita-citakan.17

Dilihat sebagai bagian politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Kebijakan atau politik hukum pidana erat kaitannya dengan kebijakan kriminal, menurut Salman Luthan sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo “kebijakan kriminalisasi dalam reformasi hukum pidana". Beliau mengemukakan bahwa kebijakan kriminal dalam reformasi hukum pidana meliputi dua bersalah, yaitu pidana, dan apakah kriteria yang digunakan dalam melakukan kriminalisasi.18

15 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 21.

16 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 20.

17 Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 20.

18 Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba dan Peradilan di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana

(15)

Ketentuan rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan, “Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan / atau perawatan”. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami, Undang-Undang Tersebut mengatur rehabilitasi di samping kebijakan penal berupa penghukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa berkaitan dengan pendekatan humanistic, patut kiranya dikemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini dianggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering digunakan di Indonesia.19

(16)

BAB III

KESIMPULAN & SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisa terhadap masalah hukum yang telah ditetapkan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Aparat hukum belum paham secara menyeluruh dan tuntas mengenai penerapan Pasal Pidana beserta unsur-unsurnya dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Pemerintah dan aparat penegak hukum lebih terfokus dalam penegakan serta kebijakan hukum pidana sehingga kurang terfokus kepada langkah-langkah preventif dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Aparat penegak hukum seharusnya diberikan pendidikan secara mendalam mengenai cara penerapan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengenai unsur-unsur yang ada dalam kebijakan penal dalam Undang-Undang Narkotika

tersebut serta Komisi III DPR juga seharusnya melakukan revisi terhadap Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 mengenai penguasaan narkotika tersebut.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pembacaan alat kemudian dibandingkan dengan luxmeter tipe L200 pada kondisi yang mirip saat pada proses kalibrasi alat kemudian digambarkan dalam bentuk grafik

Pemeriksaan pada kadar IL-4 diharapkan memiliki kelebihan, yaitu lebih sensitif untuk pemeriksaan kecacingan bila dibanding dengan metode konfensional dengan waktu pengerjaan

Dalam penelitian ini hasil yang didapatkan adalah pembiayaan mudarabah tidak berpengaruh terhadap profitabilitas karena pembiayaan mudarabah merupakan pembiayaan bagi

Berita bahasa Aceh yang disiarkan pada Aceh TV memiliki keterkaitan terhadap komunikasi budaya dilihat dari fungsi dan peran televisi lokal dalam pemberitaannya

18.2 Penghentian kontrak dilakukan karena terjadinya hal-hal diluar kekuasaan (keadaan kahar) kedua belah pihak sehingga para pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban yang

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Memahami pengetahuan

Guru memindahkan skor murid ke dalam Borang Profil Psikometrik (Profil Individu dan Profil Umum).  Borang

ditunjukkan dari ibu-ibu yang sedang membatik, belum jadi pun menunjukkan keindahan harmoninya. Dalam scene ini, Laudya sebagai brand ambassador yang