• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstelasi dan Kontestasi Logika Hukum u

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstelasi dan Kontestasi Logika Hukum u"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Konstelasi dan Kontestasi Beberapa Logika Hukum untuk Pengakuan Hak Masyarakat

Adat Pasca Putusan MK 35 Tahun 2012

Oleh:

R. Yando Zakaria1

Pengantar

Sejak awal Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia telah mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat, sebagaimana yang tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amandemen), yang dipertegas kembali dalam Pasal 18B ayat 2 (setelah amandemen pada tahun 2000) (Zakaria, 2012). Meski begitu, bagaimana persisnya amanat konstitusi itu diwujudkan pada tataran yang lebih operasional tetap saja belum terlalu jelas adanya. Salah satu alasan yang mengemuka dalam wacana publik soal ini adalah bahwa rumusan pasal dimaksud dinilai masih terlalu abstrak dan juga masih mengandung kondisionalitas tertentu yang dianggap akan mementahkan upaya pengakuan itu sendiri (Simarmata, 2006). Tak heran jika yang terjadi adalah pengingkaran dan/atau pelanggaran atas amanat konstitusi ini.

Politik hukum pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat yang demikian itu sepertinya mulai berubah sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan beberapa putusannya sejak tahun 2003 lalu. Melalui beberapa putusannya itu Mahkah Konstitusi telah merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang lebih pasti. Begitu juga tentang mekanisme pengakuannya. Lebih dari itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 kriteria dan kondisionlitasnya itu telah digunakan Mahkamah Konstitusi untuk menilai legal standing dua komunitas masyarakat adat, yang ternyata bisa memenuhinya. Artinya, pengaturan oleh Mahkamah Konstitusi tidak lagi bersifat abstrak melainkan sudah operasional.

Ketetapan tentang kriteria dan kondisionalitas ini penting, seperti telah disinggung tadi, karena dua topik ini telah menjadi topik diskusi yang berkepanjangan yang secara tidak langsung turut membuat amanat konstitusi itu tidak kunjung diimplementasikan di tingkat lapangan (Zakaria, 2014).

(2)

Hingga tahun 2012 lalu, setidaknya ada 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan

penetapan kriteria dan kondisionalitas pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu.2

Setelahnya, telah pula hadir beberapa peraturan perundang-undangan yang coba

menurunkannya ke dalam kebijakan yang lebih operasional.

Tulisan ini akan coba menguraikan logika hukum yang dikandung dalam berbagai Putusan

Mahkamah itu, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 dan beberapa

peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung merupakan turunan dari

Putusan Mahkamah itu. Dengan uraian dimaksud diharapkan para-pihak dapat menilai

dinamika pengakuan dan perlindungan masyarakat adat setelahnya, dan secara

bersama-sama menemukan jalur alternatif ke depan.

Logika Hukum Putusan MK 35 Tahun 20123

Pada intinya, melalui putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi itu mengatur ada 3 kriteria (utama) yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat hukum adat agar keberadaannya diakui, lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas (kriteria turunan) yang perlu dipenuhi dalam menilai masing-masing keterpenuhan ketiga kriteria (utama) itu. Rinciannya adalah sebagaimana tercantum pada Tabel .. berikut.

2 Masing-masing adalah (1) Keputusan No. 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; (2) Keputusan No. 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; dan (3) No. 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan.

(3)

Tabel 1

Dalam pada itu, kerangka berfikir yang ada pada Putusan MK 35 Tahun 2012,kebijakan

tertinggi dan termutakhir yang berkaitan dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat (hukum)

adat sebagaimana yang diamatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia Pasal 18B

ayat 2, jika disederhanakan adalah sebagai berikut: ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan

adat adalah bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat;4 hak masyarakat adat

diakui jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (menurut

kriteria dan kondisionalitas yang telah disebutkan pada Tabel 1 di atas)’.

Dengan putusan ini banyak pihak percaya bahwa situasi menjadi lebih pasti dengan

munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dan

seterusnya. Keistimewaan Putusan yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa

Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang diperlukan, melainkan sekaligus menggunakan kriteria dan kondisionalitas itu dalam menilai

legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama AMAN.

Maka, menurut saya, alih-alih masih menperdebatkan kriteria dan kondisionalitasnya, berbagai komunitas adat yang hendak diakui haknya dapat saja mengikuti langkah-langkah yang telah dilakukan kedua komunitas adat yang mengajukan judicial review itu. Yakni mengumpulkan

4 Dalam perjuangan pembelaan hak-hak masyarakat adat itu, titik masuk yang sering digunakan adalah upaya pengembalian hak-hak masyarakat adat yang bersangkutan, termasuk tanah ulayat. Hak adat sendiri dapat dikatakan merupakan hak-hak sebagaimana yang diatur oleh adat dan hukum adat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan kehadiran persekutuan politik yang disebut ‘negara’.

(4)

data-data yang ‘serupa tapi tak sama’, agar keberadaan komunitas adat dimaksud terverifikasi adanya.

Tapi, persoalannya, apakah sudah benar logik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tersebut? Mari kita coba kaitkan ketentuan yang demikian itu pada kasus hutan adat yang dapat saja berupa dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minangkabau di Sumatera

Barat. Subyek hak atas obyek hak yang berupa tanah ulayat itu sangatlah beragam, yakni

kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari. Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat

beragam. Yakni tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat nagari.

MAsing-masing punya sistem pertuanannya sendiri-sendiri dan tidak saling mencampuri (Franz von

Benda-Beckmann (2000); K. von Benda-Beckmann (2000); Warman (2010).

Pertanyaannya kemudian adalah, jika menggunakan logika hukum Putusan MK 35/2012,

apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah -- dan/atau sekedar Keputusan Gubernur atau

Bupati/Walikota -- untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar

masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang berupa tanah-tanah ulayat) dapat diakui

oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’,

maka bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan DPRD dan/atau Pemerintah

Daerah di negeri ini untuk bisa memenuhi amanat konstitusi.

Logika Hukum Peraturan perundang-undangan pengakuan hak masyarakat adat pasca

Putusan MK 35 Tahun 12

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 terdapat 5 (lima) perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan utuk memperoleh pengakuan hak-hak

masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, diurut berdasarkan tahun

penetapannya:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan

dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;

3. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan

Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Noor 79 Tahun 2014;

Nomor PB.3/Menhut-11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014

(5)

Hutan;5

4. Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat

Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; 6 dan

5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang

Hutan Hak.

Berikut rincian pengaturan masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud.

• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa versus Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Seperti halnya Putusan MK 35/2012, UU Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa tidak

mengandung definsi tentang masyarakat hukum adat. Meski begitu, melalui undang-undang

ini, pengakuan atas hak-hak masyarakat adat diejawantahkan ke dalam nomenklatur desa

adat. Desa adat, sebagaimana halnya desa pada umumnya, adalah “adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1, (1)). Dengan pengaturan ini

maka masyarakat hukum adat memiliki hak untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan

pembangunan menurut adat-istiadat yang dikenal dalam masyarakat hukum adat yang

bersangkutan.

5 Kebijakan ini muncul diujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Pada saat birokrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo terbentuk, termasuk tersusunya pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang baru, kebijakan ini dibekukan. Sebabnya, ada beberapa pasal yang tidak disetujui oleh pejabat di Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, intrumen kerja seperti dikerjakan sendiri oleh pihak Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Jalan tengahnya, ada kesepakatan bersama kebijakan ini direvisi dan akan ditingkatkan status hukumnya menjadi Peraturan Presiden. Pada tengah tahun 2016 ini, naskah revisi telah selesai dan konon telah sampai di meja Presiden untuk ditandatangani. Namun, hingga tulisan ini tersusun (Desember 2016), kebijakan baru itu belum muncul juga.

(6)

Masyarakat hukum adat yang bisa ditetapkan sebagai desa adat itu adalah masyarakat hukum

adat yang memenuhi syarat-syarat berikut (Pasal 97, (1)):

a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih

hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai

dengan perkembangan masyarakat; dan

c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, menurut Pasal 92 (2), kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakny

tradisionalnya yang masih hidup, sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 (1), huruf a harus

memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:7

a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

b. pranata pemerintahan adat;

c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

d. perangkat norma hukum adat.

Pada Pasal 93 (3) dinyatakan bahwa “Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan

perkembangan masyarakat apabila:

a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai

pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa

ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan

masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak

bertentangan dengan hak asasi manusia.

Berikutnya, pada Pasal 97 (4), dinyatakan bahwa “Suatu kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak

(7)

mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan

politik dan kesatuan hukum yang :

a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia;

dan

b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pada Pasal 98 diatur pula bahwa:

(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta

pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.

Dengan demikian, UU Desa menempuh cara yang berbeda dengan peraturan

undangan yang lain, termasuk UU 41 Tahun 1999, satu-satunya peraturan

perundang-undangan setingkat undang-undang sebelum lahirnya Putusan MK 35 Tahun 2012 yang telah

mengatur mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat itu.8

Sebagaimana diketahui, Pasal 67 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur telah

kriteria, kondisionalitas, dan mekanisme yang perlu dipenuhi oleh masyarakat hukum adat agar

hak-haknya atas hutan adat diakui. Pasal 67 itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

(1) Masyarakat hukum adat yang sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak :

a.melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari

masyarakat adat yang bersangkutan;

8 Setidaknya ada 2 (dua) UU lain yang juga telah mengatur proses pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pesisi dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup. Namun tidak saya kaji dalam tulisan ini karena tulisan ini dengan sengaja hanya membahas peraturan perundang-undangan yang muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32 Tahun 2012 saja, sebuah pijakan paying yang mesti dipedomani pada masa-masa setelahnya. Untuk mengetahui soal pengaturan tenang masyarakat adat pada kedua undang-undang dimaksud silahkan taut ke

(8)

b.melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c.mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.9

Meski termasuk materi gugatan AMAN dan kawan-kawan dalam melakukan judicial review

terhadap UU Kehutanan tempo hari, Pasal 67 ini tetap berlaku, dan malah dikukuhkan.

Permohonan AMAN agar Mahkamah menggugurkan pasal ini ditolak.

Dalam pada itu, jika pemerintahan desa adat dapat didirikan, yakni desa adat yang dapat

memenuhi sejumlah syarat yang telah ditentukan pada Pasal 98 (2), maka desa adat itu akan

memiliki kewenangan yang tidak dimiliki oleh desa non-adat.10 Sebagaimasa diatur pada Pasal

103, kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 huruf a meliputi:

a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;

b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;

c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat

dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan

penyelesaian secara musyawarah;

9 Meski sama-sama mengamanatkan Peraturan Daerah, pengaturan lebih jauh yang amanatkan perlunya Peraturan Pemerintah ini perbedaan lain antara UU Desa 6/2016 dengan UU Kehutanan 41/1999. Selain itu, perlu pula dicatat bahwa walau sama-sama mengamanatkan penetapan keberadaan melalui peraturan daerah, pengaturan oleh UU Desa 6/2014 terlihat lebih logis ketimbang UU Kehutanan 41/1999. Sebab, UU Desa 6/2014 memang mengatur hak publik dari masyarakat hukum adat itu, sedangkan UU Kehutanan 41/1999 sebenanrnya hanya mengatur hak perdata, baik perorang maupun kelompok, dari masyaeaar adat itu. Lebih lanjut lihat Zakaria (2016), sebagaimana yang dapat diakses pada

(9)

e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan

hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan

g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya

masyarakat Desa Adat.

Jika berbagai peraturan perundang-undangan non-UU Desa 2014 itu menggunakan

pendekatan pemenuhan syarat secara akumulatif, sebagaimana akan dijelasakan dalam

bagian-bagian di bawah, UU Desa 2014 cukup dengan ketentuan yang bersifat fakultatif

(pemenuhan sebagian kriteria saja). Di atas kertas pemenuhan ketentuan ini jauh lebih mudah

ketimbang pendekatan yang bersifat akumulatf yang memang agak tidak mungkin untuk dapat

dipenuhi (Bedner & Huis, 2008). Dengan menggunakan peraturan daerah sebagai instrumen

hukumnya, diharapkan penetapan suatu masyarakat (hukum) adat sebagai suatu desa adat

sebagaimana diatur oleh UU Desa 2014 syarat yang ditentukan pada Pasal 67 UU 41/1999

tentang Kehutanan itu sekaligus dapat dipenuhi.

• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan

dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Meskipun UU Desa 6/2014 disebutkan pada bagian Mengingat (butir 3.), Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut Pemendagri 52/2014, mengandung kriteria dan

mekanisme pengakuan keberadaan suatu masyarakat hukum adat yang berbeda sama sekali.

Dalam Permendagri 52/2014 ini masyarakat hukum adat didefenisikan sebagai “Warga Negara

Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum

adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat

hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

tertentu secara turun temurun”.11

(10)

Pada Pasal 4 diatur bahwa: Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:

a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;

b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan

c. penetapan Masyarakat Hukum Adat

Sebagaimana yang diatur pada Pasal 5 (2), identifikasi dimaksud dilakukan dengan

mencermati:

a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;

b. wilayah Adat;

c. hukum Adat;

d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.12

Menurut Pasal 5 (3), “Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota”.

Kemudian, sebagaimana diatur pada Pasal 6:

(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi kepada

Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (4).

(2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum

adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan

Kepala Daerah.

12 Sayangnya, tdak ada sumberterulis yang dapat menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan terma

(11)

(3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota,

pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan

Bersama Kepala Daerah.

Yang menarik untuk dicatat lebih lanjut dari keberadaan Permendagri 52/2014 ini adalah

bahwa, berbeda dari berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bersifat sektoral,

Permendagri 52/2014 ini dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang lebih umum. Pada bagian

Menimbang, butir a. disebutkan bahwa “dalam rangka mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu

pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat”. Sepertinya kebijakan ini ingin

menjembatani kekosongan yang terkuak antara amanat konstitusi cq. Putusan MK 35/2012

dan peraturan pelaksanannya. Permendagri 52/2014 memang diawali dengan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri Nomor 522/8900/SJ tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat,

yang memang dimaksudkan untuk menindak-lanjuti Putusan MK 35/2012.13

• Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan

Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Noor 79 Tahun 2014;

Nomor PB.3/Menhut-11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014

tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan

Hutan

Peraturan Bersama ini, demikian kebijakan ini akan disebut, memang dimaksudkan untuk

menindaklanjuti berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak masyarakat hukum

adat. Dalam bagian menimbang disebutkan bahwa, ketiga Putusan Mahkamah yang dirujuk,

masing-masing adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011; Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-X/2011; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35/PUU-X/2012, dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara harus memperhatikan dan

menghormati hak-hak atas tanah masyarakat; pengukuhan Kawasan Hutan hasrus segera

dituntaskan untuk menghasilkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan;

dan hutan adat bukan merupakan hutan negara.

(12)

Pada bagian Menimbang ini juga disebutkan bahwa ‘dalam rangka menyelesaikan hak-hak

masyarakat dalam kawasan hutan sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan serta

sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak masyarakat’. Selanjutnya, pada Pasal 1 (7) disebutkan bahwa ‘pemohon

(hak atas tanah di kawasan hutan, pen.) adalah orang per orangan, pemerintah, badan

sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang memiliki bukti hak atas tanah atau bukti

penguasaan tanah oleh pemohon (cetak miring ditambahkan, pen)’. Pada Pasal 1 (12)

disebutkan pula bahwa ‘pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah pengakuan

pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang pada

kenyataannya masih ada, (cetak miring ditambahkan, pen.).

Pada Pasal 2 (1) diatur bahwa ‘dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah

yang beradi di dalam kawasan hutan di kabupaten/kota, Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T’

(Tim Inventarisasi Pendataan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah,

pen.). Sedangkan untuk penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di

daerah lintas kabupaten/kota, Tim IP4T dibentuk oleh Gubernur (Pasal 3, (1)). Selanjutnya,

pada Pasal 9, diatur pula bahwa ‘pengakuan hak masyarakat hukum adat dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.

Peraturan bersama ini tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan yang mana yang

dimaksudkan. Kemungkinan yang tersedia ada 2 (dua). Yakni UU Kehutanan 41/1999 yang

terlah diuraikan di atas atau Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.

• Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat

Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu

Sebelum menjelaskan isi Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun

2011, mungkin ada baiknya diuraikan dulu kebijakan lain yang mendahului. Pada dasarnya

kebijakan ini berakar pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut Permenagraria 5/1999. Ini adalah kebijakan

pertama semenjak penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

(13)

Dalam Permenagraria 5/1999 ini, hak ulayat atau yang serupa itu dirumuskan sebagai “ …

kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas

wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari

sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan

kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak

terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan” (Pasal 1

ayat 1). Selanjutnya, padal ayat (2) dikatakan bahwa “tanah ulayat adalah bisang tanah yang di

atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”. Sedangkan

masyarakat hukum adat dodefenisikan sebagai “sekelompok orang yang terikat oleh tatatnan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan” (ayat 3).

Pada bagian selanjutnya diatur pula bahwa, Pasal 2 (2), “hak ulayat masyarakat hukum adat

dianggap masih ada apabila:

a. terdapat kelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan

menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;

b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para persekutuan hukum

tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan

tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Kebijakan ini juga mengatur soal penentuan masih adanya hak ulayat. Pada pasal 5 (1)

dinyatakan bahwa “penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud

pada Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum

adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah bersangkutan, lembaga swadaya

masyarakat dan instansi-instnasi yang mengelola sumberdaya alam”, sebagaimana yang akan

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah (Pasal 6).

Meskipun tidak ada pernyataan yang eksplisit, dalam prakteknya, pemberlakuan syarat-syarat

sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 2 (2) adalah bersifat akumulatif (harus terpenuhi

keseluruhannya). Demikian pula, berkembang pula tafsir bahwa hasil kajian yang dimaksudkan

(14)

Sebagaimana yang telah disebutkan, Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10

Tahun 2016 adalah kebijakan pengganti Permenagraria 5/1999. Hal ini terbaca jelas pada

Pasal 18 dari Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 yang

mendahului kehadiran Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun 2016

itu. Pada pasal itu dinyatakan bahwa “Pada saat Peraturan ini mulai berlaku Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Bandan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku”.

Pada bagian Menimbang butir a. Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10

Tahun 2016 dinyatakan bahwa “bahwa untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dan

hak masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, yang menguasai tanah dalam jangka

waktu yang cukup lama perlu diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan tanah untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya pada Pasal 2 (1) dinyatakan “masyarakat

hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan haknya atas tanah”. Lebih lanjut,

pada Pasal 4 (1) diatur pula bahwa “Persyaratan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 (1) meliputi:

a. masyarakat masih adat dalam bentuk paguyuban;

b. ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas; dan

d. ada pranata dan perangkat hukum, yang masih ditaati.

Selanjutnya, pada Pasal 5 (3) diatur pula bahwa “setelah menerima permohonan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim IP4T untuk

menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam

Kawasan Tertentu serta tanahnya”.14 Pada Pasal 18 (1) dinyatakan bahwa “Dalam hal laporan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 (hasil kajian Tim IP4T, pen.) menyatakan adanya

Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya, maka:

a. Bupati/Walikota menetapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya,

dalam hal tanah terletak pada 1 (satu) Kabupaten/Kota; atau

b. Gubernur menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat, dalam hal tanah terletak

pada lintas kabupaten.

(15)

Pada Pasal 18 (2) dinyatakan pula bahwa “Penetapan Masyarakat Hukum Adat melalui

Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampikan

kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah BPN untuk ditetapkan dan

didaftarkan hak komunal atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat”.

Dengan demikian, pengaturan pada Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10

Tahun 2016 ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Permenagraria 5/1999. Berbeda

dalam hal kriteria yang digunakan, jenis hak yang diakui, dan logika pengakuan hak atas tanah

yang memerlukan penetapan subyek hak terlebih dahulu.

• Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang

Hutan Hak.

Kebijakan ini memiliki definisi tentang masyarakat hukum adat. Yakni, “Masyarakat Hukum

Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis

tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan

lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,

dan hukum” (Pasal 1 (11))

Selanjutnya pada pasal Pasal 4 (1) dikatakan bahwa “Masyarakat hukum adat, perseorangan

secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum

mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri”. Pada ayat (7)

dikatakan bahwa “Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan hutan hak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri bersama pemerintah daerah melakukan

identifikasi dan verifikasi masyarakat adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan

hutan untuk mendapat penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat.” Pada Pasal 6 (1)

diatur pula bahwa syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi:

a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah

daerah melalui produk hukum daerah;

b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan;

c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan wilayah adatnya

sebagai hutan adat.

Pada Pasal 6 ayat (2) dinyatakan “Dalam hal produk hukum daerah sebagaimana dimaksud

(16)

pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat hukum adat melakukan pemetaan wilayah

adatnya”.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa meski kebijakan ini, sebagaimana dapat dilihat pada

Pasal 6 (1) butir a., keberadaan suatu masyarakat hukum adat atau hak ulayat perlu dibuktikan

melalui produk hukum daerah, kebijakan ini tidak mengatur khusus tentang kriteria yang perlu

dipenuhi dalam memproses adanya kebijakan dan/atau produk hukum daerah dimaksud.

Menarik untuk dicatat bahwa meski Permen LHK 32 Tahun 2015 ini dalam bagian konsiderans

tetap merujuk pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengaturan tentang keberadaan

masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur pada Pasal 6 (1) butir a. tersebut tidak

sesuai dengan pengaturan yang ada pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu sendiri.

Sebab, pada Pasal 67 (2) UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas dinyatakan

bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan

Peraturan Daerah”. Lebih dari itu, pada Pasal 67 (3) dinyatakan pula bahwa “Ketentuan lebih

lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Adapun Peraturan Pemerintah dimaksud hingga hari ini belumlah tersedia.15

Perbedaan pengaturan antara Permen LHK 32 Tahun 2015 ini harus mendapatkan perhatian

sungguh-sungguh mengingat Putusan MK 35 Tahun 2012 alih-alih membatalkan pasal ini

sebagaimana yang dituntut oleh AMAN dan dua komunitas pendukungnya, pasal ini justru

dikuatkan keberadaannya. Hal ini terlihat dari uraian pada Putusan MK 35 Tahun 2012

paragraf [3.13.8], di mana tertulis:

“Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena membatasi hak para Pemohon untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di wilayah adatnya serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan tata cara pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat oleh Peraturan Daerah adalah ketentuan yang inkonstitusional. Lebih lanjut, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan hak masyarakat hukum

(17)

adat serta pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat dengan Peraturan Pemerintah adalah ketentuan yang inkonstitusional;

Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;

Di samping itu, menurut Mahkamah, keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan hukum yang telah disebutkan di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum ini. Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.”

Adapun pertimbangan yang dikemukakan atas keberadaan Pasal 4 ayat (3) UU 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan, sebagaimana yang tercantum pada Paragraf (13.3.2), antara lain

dinyatakan bahwa:

“Para Pemohon menyatakan suatu masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk

menentukan nasib sendiri, secara bebas menentukan status politik mereka dan secara

bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya merekaǁ. Menurut Mahkamah,

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan Belanda, kemudian menjadi wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat dalam kesepakatan-kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan tertulis, UUD 1945. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Pendapat para Pemohon tersebut di atas dapat berimplikasi pada upaya pemisahan diri masyarakat hukum adat untuk mendirikan negara baru yang lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (separatisme). Keberadaan masyarakat

hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip tidak bertentangan dengan

kepentingan nasionalǁ dan prinsip ― Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada

kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertimbangan Mahkamah yang berkenaan dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tersebut di atas mutatis mutandis berlaku untuk Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam perkara a quo. Adapun terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” beralasan menurut hukum untuk sebagian, sehingga menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat

(18)

unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali

dimaknai bahwa ― penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Kontestasi Logika

Jika disimak uraian di atas, maka jelaslah bahwa, sebagaimana yang sudah pernah terjadi

sebelumnya (Arizona, 2010), antara berbagai perangkat peraturan perundang-undangan itu

tetap belum terjadi sinkronisasi. Hal ini potensial berdampak pada kemungkinan tidak

operasionalnya kebijakan itu di tingkat lapangan. Baik yang berkenaan dengan rumusan

kriteria yang harus dipenuhi, apakah ketentuan pemenuhan yang akumulatif (harus memenuhi

seluruh kriteria yang telah ditentukan) atau bisa fakultatif (memenuhi sebagian kriteria yang

telah ditentukan); berkenaan dengan mekanisme dan bentuk-bentuk pilihan produk hukum

yang dibutuhkan; maupun logika hukum yang digunakan dalam proses pengakuan hak-hak

masyarakat (hukum) adat itu sendiri. Misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52

Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

mengambil jalur yang berbeda sama sekali dengan Putusan MK 35 Tahun 2012, dan makin

lebih sulit dimengerti mengingat peraturan ini keluar dari kementerian yang sama dengan

pengampu utama – setidaknya pada saat proses legislasi – Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa.

Terkait logika pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang terdapat pada

berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang dirujuk, sebagaimana ditunjukkan

dalam Diagaram 1 berikut, setidaknya ada 3 logika hukum yang berbeda satu sama lainnya.

Model pertama adalah model penetapan MHA mendahului pengakuan hak; dengan

pemenuhan kriteria MHA yang bersifat akumulatif, melalui penetapan dalam sebuah Peraturan

Daerah. Logika pertama ini dianut oleh Putusan MK 35/2012, yang sebelumnya sudah dianut

terlebih dahulu oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67; yang kemudian dikukuhkan

oleh Perturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum adat; dan diteruskan oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam

Negeri; Menteri Kehutanan; Menteri Pekerjaan Umum; dan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut-11/2014 tentang

(19)

17/PRT/M/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah

yang Berada di Dalam Kawasan Hutan; dan Permen ATR 10 Tahun 2016.

Diagram 1

Logika kedua adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat

akumulatif, melalui mekanisme administratif, sebagaimana yang dianut oleh Permenagraria

5/1999, namun sayangnya tidak dilanjutkan lagi oleh Permen ATR 10/201. Sementara logika

ketiga adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat fakultatif

(tidak harus memenuhi seluruh kriteria yang ada), melalui peraturan daerah, sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (menyangkut

pengakuan hak MHA untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan).

Penutup

Dari uraian di atas terlihat bahwa, dari waktu ke waktu, logika pertama makin menguat.

Sementara logika kedua menghilang dari wacana hukum yang ada. Sedangkan logika muncul

sebagai alternatif baru.

Kecenderungan ini sebenarnya tidak menggembirakan karena, sebagaimana telah

dicontohkan di atas, akan memberatkan masyarakat adat. Terutama jika hal itu ‘sekedar’

menyangkut pengakuan hak-hak masyarakat adat yang bersifat perdata (hak atas tanah atau

sumberdaya pada umumnya). Kecuali komunitas masyarakat adat itu mampu memanfatkaan

(20)

Daftar Pustaka

Adhuri, Dedi Supriadi, 2013. Selling the Sea, Fishing for Power. A Study of conflict over marine

tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia. Canberra: ANU E Press.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2011. Naskah Akademik untuk Penyusunan

Rencana Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

………., 2015. “Implementasi Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia’. Bahan yang dipresentasikan pada “FGD Pengkajian Hukum tentang Mekansime Pengakuan Masyarakat Hukum Adat’. Diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta, 12 Oktober 2015.

Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk

Pengakuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.

Arizona, Yance , ed. 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap

Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa.

…………., 2015a. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.

………….., 2015b. Sebagaimana dapat diakses pada

https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1 0207456706605171&notif_t=mentions_comment

Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati, dan Erasmus Cahyadi, 2012. ‘KEMBALIKAN

HUTAN ADAT KEPADA MASYARAKAT HUKUM ADAT: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang

Kehutanan.

Assiddiqqi, Jimly, 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

Badan Registrasi Wilayah Adat, 2015. Pedoman Regitrasi Wilayah Adat. Bogor: Badan

Registrasi Wilayah Adat.

Bedner, Adriaan, and Stijn Van Huis. 2008. "The return of the native in Indonesian law: indigenous communities in Indonesian legislation" Bijdragen tot de taal-, land-en

volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 164

(2-3): 165-193.

Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the

maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra.

The Hague: Martinus Nijhoff.

Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and

(21)

Benda-Beckmann, Frnaz and Kebeet von, 2013. Political and Legal Transformations of an

Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge:

Cambridge University Press.

Davidson, Jamie S., David Henley, dan Sandra Moniaga, eds., 2010. Adat dalam Politik

Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV – Jakarta.

Dwipayana, AAGN Ari, 2005. Desa Mawa Cara. Problematika Desa Adat di Bali. Yogyarta: Intitute for Research and Empowerment.

Gunawan, Daddi H., 2014. Perubahan Sosial di Pedesaan Bali. Dualitas, Kebangkitan Adat,

dan Demokrasi Lokal. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Hardiman, F. Budi, 2002. “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, dalam Will Kymlicka, 2002.

Kewargaan Multikulturalisme. Jakarta: LP3ES.

Koalisasi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan, 2007. Mengapa Undang-Undang Kehutanan

Perlu Direvisi. Sebagaimana dapat diakses melalui

https://www.academia.edu/8201717/Mengapa_Undang-Undang_Kehutanan_Perlu_Direvisi_Koalisi_untuk_Perubahan_Kebijakan_Kehutana n

Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

……….., 1982. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat, ed., 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Prasetijo, Adi, 2011. Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rima di

Jambi. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Putusan Perkara No. 35/PUU – X/2012 tentang Uji Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

sebagaimana dapat dilihat pada

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1

Parimartha, I Gde, 2013. Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Rachman, Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas Kerja Epsitema, No.

01/2012. Jakarta: Epistema Institute.

Roewiastuti, Maria Rita, 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria. Membongkar Alas

Penguasaan Negara Atas Hak-hak Adat. Yogyakarta: INSIST Press, KPA, dan Pustaka

Pelajar.

(22)

XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta: Indonesia Society for Social Transformation.

Safitri, Myrna A. dan Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan

Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum

Adat. Jakarta: Epsitema Institute

Sakai, Minako, 2002. “Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik dan Desentralisasi Indonesia”, dalam Antropologi Indonesia, Nomor 68. Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia.

Simarmata, Rikardo, 2006. Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

Jakarta: UNDP – Jakarta.

Sirait, Martua, et.al., 2005. “Perjalanan ‘Kilip’ Mencari Pengakuan: Refleksi Pengembangn Methodologi Identifikasi Masyarakat Adat dan Wilayah Adat Secara Partisipatif di

Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Konsosium Pembaruan Agraria, et.al.,

Tanah Masih di Langit. Jakarta: Yayasan Kemala dan the Ford Foundation.

Soepomo, R., 1993. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di

Makekal, Provisi Jambi. Disertasi Doktoral pada Universitas Padjadjaran, Bandung.

Soekanto, Soerjono, dan Soleman B. Taneko, 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:

Radjawali Press, 1983.

Sumardjono, Maria S.W., 2008. “Kedudukan Hak Ulayat dan Pengaturannya dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan” dan “Kasus-kasus Pertanahan Menyangkut Tanah

Ulayat dalam Pembangunan di Papua”, dalam Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah

dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: KOMPAS.

……….., 2015. “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah”, Harian Kompas, 6 Juli 2015.

……….., 2016. “Sekali lagi tentang Hak Komunal”, Harian Kompas, 19 Juli 2016.

van Dijk, 1982. Pengantar Hukum Adat. Bandung: Sumur Bandung.

Vel, J.A. C., dan A. W. Bedner, 2015. “Decentralisation and village governance in Indonesia: return to the nagari and the 2014 Village Law”, in coming.

Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah rezim Orde Baru. Jakarta:

Lembaga Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat (ELSAM).

………. 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan,

Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa

dan Agraria (KARSA) & LAPERA Pustaka Utama.

……….., 2012, “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan

dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada

(23)

1945dengan tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10 Oktober 2012.

…………, 2014. “Perbandingan Definisi dan Kriteria Pengakuan Keberadaan Masyarakat

Adat”, sebagaimana dapat diakses pada

https://www.academia.edu/6275863/Perbadingan_Definisi_dan_Kriteria_Pengakuan_K eberadaan_Masyarakat_Hukum_Adat_pada_Beberapa_Peraturan_Perundang-Undangan

………….., 2016. Strategi Pengakuan Hak Masyarakat Adat, Perpektif Sosio-Antropologis,

sebagaimana dapat diakses pada

https://www.academia.edu/23078865/Strategi_Pengakuan_Hak_Masyarakat_Adat_Pers pektif_Sosio-antropologis

Zakaria, R. Yando, Emil Ola Kleden, dan Y.L. Franky, 2010. MIFEE. Di Luar Batas Angan

Malind. Jakarta: Yayasan Pustaka.

Zakaria, R. Yando Zakaria, dan Rikardo Simarmata, 2015. Mempromosikan Program Inklusi

Sosial dan Pembangunan yang Inklusif Melalui Upaya Optimalisasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Draf Laporan kedua penulis sebagai short time

consultant pada KOMPAK, sebuah Program kerjasama Pemerintah RI dan Australia,

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perjalanan haji ke Puncak Bawa Karaeng adalah bentuk artikulasi dari jemaat Haji Bawa Karaeng, yang

UNIT LAYANAN PENGADAAN KABUPATEN ACEH BARAT

Hasil penelitian adalah sebagai berikut: (1) E-modul pengayaan dikategorikan sangat layak untuk digunakan oleh peserta didik kelas X MIPA dalam

Kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa RSUD Kabupaten Nunukan dengan ini menetapkan pemenang untuk Paket Pekerjaan Jasa Pemeliharaan Kebersihan Gedung, Kegiatan Penyediaan Jasa

Sehubungan dengan masalah tersebut maka diperlukan adanya upaya pengembangan KTSP dan rencana pembelajaran dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar yang berada

terintegrasi tersebut telah berhasil dirancang dan dibuat (Hermawan, et al., 2009; Hermawan, et al., 2010), namun masih perlu ditingkatkan kinerjanya melalui modifikasi agar

Researchers try to do research with the title Development of Interactive Multimedia Based Learning Media Using Adobe Flash CS3 and Camtasia in Mathematics Problem

Banyak faktor yang menjadi penyebab tutupnya Sevel yang memiliki banyak toko di Indonesia pada saat itu, baik faktor eksternal maupun internal, salah satunya adalah besarnya beban yang