• Tidak ada hasil yang ditemukan

REDD sebagai Strategi strategi Kepengatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REDD sebagai Strategi strategi Kepengatu"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT | his article explores how REDD+ as a new paradigm in forest governance is being implemented in Indonesia. his article is particularly focused on the strategies used by REDD+ stakeholders to implement REDD+. Michel Foucault’s theory on power/knowledge, especially his notions of governmentality, is used as the main conceptual framework. Foucault’s theory enables a wider analysis of how assemblages of practices, actors, knowledge and techniques combined to govern forests in Indonesia. his theory will allow an understanding of the strategies adopted by various actors involved in mainstreaming, shaping, negotiating and contesting REDD+, and of what they are seeking to achieve. A governmentality approach that combines discourse analysis and ethnographic inquiries is used to render visible REDD+ governmental interventions in Indonesia and unravels the

REDD+ sebagai Strategi-Strategi

Kepengaturan dalam Tata Kelola

Hutan di Indonesia:

Sebuah Perspektif Foucauldian

Rini Astuti

Victoria University of Wellington, Selandia Baru riniastuti1@gmail.com

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL

ISSN 1410-1298 | Nomor 30, Tahun XV, 2013 | Halaman 71-97 Diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST)

(2)
(3)

Dalam artikel ini, saya tertarik untuk menganalisis strategi-strategi baru yang dilahirkan oleh REDD+ guna menjernihkan keruhnya sektor kehutanan Indonesia. Menggunakan teori kepengaturan (governmentality) sebagai kerangka analisis utama, artikel ini dimaksudkan untuk memahami maksud, tujuan, dan penalaran di balik strategi-strategi persiapan REDD+. Lebih lanjut, artikel ini akan menggambarkan kontestasi ragam motivasi dan keinginan para aktor yang terlibat, pengetahuan, dan diskursus baru yang digunakan untuk memperkuat kedudukan REDD+ di Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah tata kelola kehutanan di Indonesia, diskursus mengenai kehutanan ramai diperbincangkan di luar sekat sektoral kementerian terkait. Banyak ahli berpendapat bahwa REDD+ telah mendorong reformasi tata kelola kehutanan di Indonesia (Murdiyarso et al. 2011; Indrarto et al. 2012). Reformasi ini dilakukan setelah diadopsinya Peta Jalan Bali (Bali Road Map) di Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim di Bali pada 2007. Bersama kesepakatan-kesepakatan konferensi sebelumnya, Peta Jalan Bali telah membuka ruang bagi munculnya rasionalitas baru yang mendeinisikan relasi ideal antara manusia dan hutan. Rasionalitas baru ini menggunakan tingkat emisi karbon sebagai salah satu tolok ukur utama idealitas. Dalam konteks rasionalitas karbon inilah artikel ini memandang REDD+ sebagai sebuah upaya kepengaturan yang akan mengonsep ulang, bahkan mengomodiikasi, tata kelola dan relasi antara manusia dan hutan. Bidang-bidang pengetahuan baru dilahirkan untuk mengalkulasi relasi ini dan menerjemahkannya dalam satuan ekonomi. REDD+ telah berevolusi dari proposal awal sebagai mekanisme mitigasi perubahan iklim menjadi strategi beragam rupa untuk mengatur relasi antara manusia dan alam (hompson, Baruah, dan Carr 2011).

Kepengaturan, Kekuasaan Mutlak,

dan Pendisiplinan

(4)

baru strategi sosial politik di sektor kehutanan. Strategi sosial politik ini membentuk ruang bagi para aktor untuk menegosiasikan agenda dan kepentingan mereka sehingga terbentuklah tata kelola kehutanan yang rumit dan tumpang tindih. Teori governmentality memiliki keunggulan untuk mengurai kerumitan-kerumitan ini dengan memperlihatkan (rendering visible) “berbagai teknologi, praktik, bidang pengetahuan, pemahaman, dan bentuk-bentuk identitas baru yang memberikan kekuasaan kepada seorang penguasa” (Winkel 2012: 83).

(5)

bottom-up). Konsekuensinya, Foucault menentang ide yang mendikotomikan kuasa sebagai konsep biner yang memisahkan antara penguasa dan yang dikuasai. Karena itu, daripada melihat kuasa sebagai hak eksklusif aparatus negara, Foucault memandang kuasa sebagai hal yang melekat pada relasi sosial di antara anggota masyarakat.

Kedua, walaupun Foucault menentang konsep biner kuasa, dia tetap mengakui adanya struktur hegemoni. Foucault berargumen bahwa implementasi governmentality mengulang dan melanggengkan teknik, rasionalitas, dan karakteristik, baik kekuasaan mutlak (sovereign power) maupun pendisiplinan (disciplinary power) (Foucault 1998). Memakai penjara sebagai contoh, Foucault (1979) mendeskripsikan bahwa penegakan disiplin merupakan strategi penerapan kekuasaan yang dimanifestasikan melalui pembatasan, supervisi, pemantauan, dan kontrol setiap saat. Pendisiplinan bertujuan untuk menentukan bahwa cara tertentu dalam bersikap dapat dibenarkan dan diizinkan, sedangkan cara yang lain di-salahkan dan dilarang (Foucault 1979). Penerapan strategi pemantauan (surveillance technology) mendorong terjadinya pendisiplinan terhadap subjek yang diatur. Pendisiplinan ini tidak hanya didorong oleh mereka yang memiliki otoritas, tapi juga dari pemantauan sesama masyarakat. Sebagai contoh, seseorang tidak akan membuang sampah sembarangan walaupun tidak ada petugas kebersihan yang mengawasi. Hal ini terjadi karena rasa malu dan takut jika diketahui oleh orang lain yang kebetulan melihat dan bisa melaporkan pelanggaran.

(6)

yang paling tradisional, yaitu militer dan polisi, hingga yang modern, yaitu sekolah dan rumah sakit (Oels 2005).

Karakteristik ketiga konsep kekuasaan menurut Foucault adalah pengakuannya tentang resistensi atau perlawanan. Foucault menyebutkan bahwa ketika ada kekuasaan, maka akan selalu ada resistensi (Foucault 1998). Tetapi, Foucault menggarisbawahi bahwa resistensi tidak bisa dilihat sebagai bagian terpisah dari kekuasaan, melainkan sebagai salah satu komponen yang bertujuan untuk mentransformasi dan membentuk ulang kekuasaan agar diterapkan secara berbeda. Foucault menyebut resistensi ini sebagai “counter conduct”, sebuah usaha untuk mengadopsi atau membentuk aturan yang berbeda, yang mungkin akan memiliki praktik, kebiasaan, dan tujuan yang berbeda (Dean 2009). Karakteristik kekuasaan yang keempat adalah kekuasaan bersifat dinamis dan tidak bisa diasosiasikan sebagai keinginan orang tertentu saja, sehingga kekuasaan sangat bergantung pada dinamika relasi sosial masyarakat (Foucault 1998).

(7)

Dalam artikel ini, teori governmentality dianggap dapat menyediakan alat analisis yang memadai untuk membedah kerja-kerja aktor negara maupun nonnegara dalam memengaruhi, membentuk, dan mendeinisikan kebijakan dan program REDD+. Governmentality memungkinkan diagnosis yang lebih tepat dan mendalam mengenai bagaimana kumpulan praktik, partisipan, pengetahuan, dan teknik bekerja untuk menghasilan subjek yang dapat diatur (Hart 2004). Menggunakan governmentality dalam analisis berarti “mengeksplorasi rezim kepengaturan yang berusaha membentuk perilaku manusia dengan cara memeriksa kondisi-kondisi di mana kita diatur dan bagaimana kita mengatur diri kita dan orang lain” (Dean 2009).

McKee (2009) mengajukan dua pendekatan yang saling berkaitan untuk melakukan studi governmentality, yaitu analisis diskursus dan analisis intervensi program dan praktik melalui metode etnograi. Pendekatan ini dipercaya dapat melampaui tradisi analisis diskursus yang berbasis pada analisis teks dan dokumen dengan melakukan etnograi empiris untuk mengungkap bagaimana upaya kepengaturan dilakukan dan dikontestasi, serta memahami konsekuensi dan efeknya (Hart 2004; Li 2007a; McKee 2009). McKee (2009: 482) berargumentasi bahwa pendekatan ini menawarkan analisis lebih mendetail mengenai “pelaksanaan kekuasaan di sebuah tempat (in situ) yang peka terhadap aspek ruang dan waktu”, serta dapat memotret berbagai strategi, konlik, dan tensi di antara berbagai macam aktor yang terlibat.

Menurut Li (2007b: 279), penelitian etnograis terhadap sebuah upaya kepengaturan akan mengombinasikan:

“Analisis tentang intervensi kepengaturan (asal usul, diagnosis, dan resepnya, serta pembentukan arena oleh unsur-unsur yang disingkirkan dari perencanaan) dan analisis mengenai apa yang terjadi bila intervensi tersebut bersilang sengkarut dengan proses-proses yang hendak mereka atur dan perbaiki sehingga menghasilkan campur aduk proses, praktik, dan pergulatan yang melampaui cakupan rencana semula.”

(8)

diharapkan dapat melahirkan unsur-unsur yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dan yang akan memproduksi identitas atau subjek yang baru” (Oels 2005: 189). Mengikuti pemikiran Foucault, Li (2007a: 28) menyatakan bahwa program adalah fragmen dari realitas karena program akan diikuti dengan pembentukan pranata kepengaturan dan membentuk perilaku individu. Program membantu mendeskripsikan berbagai praktik, proses, dan kejadian yang tidak terlihat. Sebuah etnograi terhadap upaya kepengaturan, menurut Li (2007b), akan menganalisis bagaimana program terbentuk dan dibentuk, serta mempertimbangkan bagaimana program dikompromikan dan diubah untuk mengakomodasi kegagalan dan pergulatan.

Rose (1999) menyatakan, dalam upaya kepengaturan, ranah yang akan diatur biasanya diterjemahkan dalam konsep teknis sehingga dapat ditransfer dalam bentuk program. Hal ini disebut Dean dan Rose sebagai teknikalisasi permasalahan di mana hal-hal yang akan diatur dikonstruksi dan diperlihatkan melalui ranah yang mudah dimengerti (Dean 2009: 41). Contoh mudah dalam konteks kehutanan adalah bagaimana kesemrawutan tata ruang hutan belantara dipetakan dan dizonasi untuk mempermudah pengaturan penggunaan dan pengelolaannya. Menurut Dean (2009), langkah pertama dalam menganalisis upaya kepengaturan adalah mengungkap teknikalisasi permasalahan ini.

(9)

Dimensi ketiga dalam analisis upaya kepengaturan adalah episteme atau pengetahuan-pengetahuan yang mendasari atau memungkinkan terjadinya praktik kepengaturan (Dean 2009). Artinya, analisis dalam governmentality akan melihat bagaimana kebenaran tertentu dikonstruksi dan memengaruhi bagaimana kita memandang sebuah realitas (Oels 2005). Misalnya, bagaimana diskursus modernisasi ekologi memungkinkan diterapkannya teknologi penghitungan karbon dalam upaya konservasi hutan dan mitigasi perubahan iklim. Analisis pengetahuan atau episteme ini terkait erat dengan analisis mengenai strategi atau techne. Untuk itu, para peneliti yang memakai kerangka teori governmentality akan melakukan observasi bagaimana konstruksi kebenaran tertentu mempekerjakan rangkaian teknologi dan strategi tertentu untuk menjustiikasi sekaligus melanggengkan kebenaran tersebut.

Elemen terakhir dalam menganalisis upaya kepengaturan adalah me-merhatikan terbentuknya identitas dan subjek baru (Feindt dan Oels 2005; Li 2007a; Dean 2009). Untuk mempelajari elemen terakhir ini, peneliti akan memeriksa hal berikut ini: “manusia dengan diri dan identitas seperti apa yang akan dibentuk oleh upaya kepengaturan yang berbeda? Dan transformasi macam apa yang dituju oleh upaya tersebut?” (Dean 2009: 43). Dalam konteks REDD+, munculnya aktivis reformis hijau dalam gerakan lingkungan adalah contoh terbentuknya subjek baru yang dihasilkan oleh upaya kepengaturan di bawah rezim karbon. Para aktivis reformis hijau memercayai bahwa untuk menyelesaikan krisis lingkungan diperlukan mekanisme pasar yang akan memberikan insentif bagi perubahan perilaku yang lebih mendasar. Para aktivis ini juga memercayai bahwa gerakan masyarakat sipil harus melengkapi praktik-praktik kepengaturan negara melalui keterlibatan kritis yang bersifat membangun (Bäckstrand dan Lövbrand 2006).

REDD+ sebagai Upaya

Kepengaturan di Indonesia

(10)

saintiik baru serta praktik-praktik modernisasi ekologi sebagai hal yang lumrah dalam tata kelola hutan di Indonesia. Karbon ekonomi sebagai rasionalitas baru coba diperkenalkan dan dinormalisasi dalam mengatur dan mengelola relasi antara manusia dan hutan. Mengikuti kerangka analisis yang dibangun Dean (2009) dan Li (2007a, 2007b), artikel ini akan melihat praktik-praktik yang dipakai oleh berbagai partisipan REDD+ terutama Pemerintah Indonesia untuk mengarusutamakan rasionalitas karbon ekonomi di Indonesia. Karena keterbatasan tempat dan ketakmungkinan untuk mengeksplorasi semua strategi dan praktik, artikel ini akan menyajikan beberapa contoh praktik saja. Artikel ini merupakan hasil dari observasi empiris awal dan analisis dokumen selama sembilan bulan. Penelitian ini merupakan bagian dari sebuah skema penelitian ekologi politik REDD+ di Indonesia yang mencakup tiga skala berbeda, yaitu internasional, nasional, dan lokal.

Partisipasi sebagai Kepengaturan Gerakan Masyarakat Sipil

(11)

Presiden Nomor 19 Tahun 2010 yang bertujuan untuk mempercepat proses persiapan penerapan REDD+ (Indrarto et al. 2012).

Presiden Yudhoyono menunjuk Kuntoro Mangkusubroto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), untuk memimpin Satgas REDD+ yang baru dibentuk. Penunjukan Kuntoro yang dinilai memiliki prestasi baik dan bersih dari korupsi selama menjabat sebagai Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatra Utara, dipercaya banyak pihak merupakan usaha Presiden Yudhoyono untuk meningkatkan kepercayaan komunitas internasional (McGregor et al. akan terbit). Surat niat itu dengan tegas menyatakan bahwa partisipasi penuh para pihak dan transparansi adalah pendekatan yang akan dipakai dalam menjalankan kerjasama REDD+ antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia (LoI 2010). Surat niat itu dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, transformasi, dan implementasi penuh di mana Indonesia akan menerima pembayaran atas pengurangan emisi karbon yang telah diveriikasi. Masing-masing tahapan mensyaratkan dipenuhinya beberapa indikator utama sebagai basis pengukuran capaian. Indonesia saat ini berada di tahap persiapan, walaupun terdapat indikator capaian tahap transformasi sudah dilaksanakan, yaitu moratorium izin pengelolaan hutan.

(12)

baru yang memberi ruang bagi para pemburu rente untuk mengakumulasi keuntungan. Proses akumulasi keuntungan ini dijelaskan Harvey (2004) dalam gagasannya mengenai “akumulasi melalui pencaplokan”. Gagasan Harvey berasal dari konsep neoliberalisasi alam di mana sistem pasar digunakan untuk mengatur hubungan sosial antara manusia dan alam. Bangkitnya hegemoni sistem pasar biasanya disertai dengan berkurangnya intervensi negara dalam mendistribusikan jasa dan komoditas alam (McCarthy dan Prudham 2004). Hal ini bukan berarti negara kehilangan signiikansinya. Alih-alih negara memiliki peran baru untuk membangun dan mengesahkan kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap sistem pasar yang sering kali disertai dengan praktik-praktik kolusi dan korupsi (Castree 2011).

(13)
(14)

Aktivis-aktivis yang terlibat dalam Satgas REDD+ diberi kewenangan sebagai ahli yang dapat mengatur, membentuk, dan mendeinisikan mekanisme tata kelola REDD+. Posisi sebagai ahli ini pula yang kemudian membuat para aktivis ini mesti “menghadapi” rekan-rekan mereka sendiri di gerakan masyarakat sipil dalam proses-proses konsultasi publik dan kelompok diskusi terarah atau focus group discussion (FGD). Konsultasi publik dan FGD merupakan strategi untuk mengetahui dan memetakan, mengklasiikasi dan menafsirkan sikap dan dukungan aktivis LSM ter-hadap REDD+. Beragam motivasi, keinginan, tuntutan, kecemasan, dan agenda-agenda yang dibawa LSM coba dipaparkan, dikelompokkan, dan diklasiikasi untuk dapat diberi respons dan diatur. Proses inilah yang disebut Rose sebagai teknikalisasi permasalahan, yakni serangkaian praktik yang menampilkan “urusan yang hendak diatur sebagai ranah yang mudah dimengerti, tegas cakupannya, jelas ciri-cirinya (…) menentukan batas tepinya, agar tampak unsur-unsur di dalamnya, mengumpulkan informasi mengenai unsur-unsur tersebut dan mengembangkan teknik untuk menggerakkan kekuatan serta unsur-unsur yang telah ditampilkan tadi” (Rose 1999 dalam Li 2012: 12–13). Agenda-agenda yang menjadi perhatian serta kekhawatiran para LSM, misalnya persoalan tenurial, hak masyarakat adat, dan korupsi, diatur melalui kerja-kerja teknis seperti pelembagaan aturan serta pembuatan regulasi dan institusi baru.

(15)

orang dalam (Wawancara aktivis lingkungan 2, 27 Juni 2013). Lebih lanjut, aktivis tersebut menyampaikan bahwa sudut pandang sebagai orang dalam ini membuatnya memiliki toleransi lebih tinggi pada kinerja pemerintah yang didasari pada pemahaman mengenai kerumitan proses yang ada di dalam birokrasi. Selain itu, aktivis tersebut menyatakan bahwa menduduki posisi sebagai bagian dari tim kerja Satgas REDD+ membuatnya memilih cara berbahasa dan bersikap yang berbeda dalam strategi advokasi. Pilihan kata yang lebih halus, intonasi yang tidak meledak-ledak, dan sikap fasilitatif menjadi pilihan dalam berstrategi. Terbentuknya subjek-subjek baru ini merupakan hasil secara langsung maupun tidak langsung dari upaya kepengaturan REDD+ melalui strategi partisipasi.

Mewacanakan Rasionalitas dan Memproduksi Karbon Ekonomi

Dalam sebuah pertemuan internasional mengenai bisnis dan lingkungan di Jakarta pada 2011, Presiden Yudhoyono menyampaikan pandangan terkait REDD+. Berikut ini cuplikan pidatonya:

“REDD+ adalah salah satu contoh mekanisme baru untuk mengelola sumberdaya alam

Indonesia tanpa harus mengabaikan industri-industri yang vital bagi ekonomi. Hal ini adalah strategi berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mendorong sumberdaya manusia, memastikan keadilan sosial, dan pada saat yang sama mencapai target pengurangan emisi karbon kita.” (Yudhoyono 2011)

(16)

menerjemahkan jasa ekosistem hutan dalam satuan ekonomi. Memakai pendekatan pascastrukturalis, Gupta et al. (2012) menganalisis tiga hal utama yang diperlukan untuk mengalkulasi dan memproduksi karbon hutan, yaitu praktik-praktik simpliikasi, standardisasi, dan komensurasi (proses mengaitkan dan menyejajarkan satuan karbon hutan dengan satuan karbon lainnya, misalnya karbon yang berhasil dikurangi dari proses alih teknologi). Untuk selanjutnya, saya akan membahas dua proses yang disebutkan Gupta et al. (2012), yaitu proses simpliikasi dan standardisasi.

(17)

ini merupakan narasi yang disebut Rose (1999) sebagai teknikalisasi permasalahan, yaitu sebuah proses untuk menghadirkan karbon hutan sebagai satuan yang mudah diukur, dipetakan, dan diperjualbelikan dengan menggunakan diskursus modernisasi ekologi (Bäckstrand dan Lövbrand 2006).

(18)

proses standardisasi dan sertiikasi ini adalah mekanisme pengaturan yang memberi privelese bagi bentuk-bentuk pengetahuan tertentu dan menyingkirkan pengetahuan yang lain (Bäckstrand dan Lövbrand 2006; Gupta et al. 2012; Winkel 2012). Pengetahuan ini memberi legitimasi bagi bentuk-bentuk keahlian yang dimiliki dan cenderung dimonopoli segelintir orang, terutama ilmuwan-ilmuwan dari negara maju.

(19)

mekanisme penjamin dipenuhinya hak masyarakat untuk memberikan persetujuan atau penolakan, FPIC juga berfungsi sebagai strategi mitigasi risiko bisnis bagi pengembang proyek. Persetujuan dari komunitas akan meningkatkan keberlanjutan dan tingkat keberhasilan proyek. Dalam konteks neoliberalisasi dan komodiikasi alam, FPIC memberikan nilai tambah terhadap produksi sertiikat emisi karbon. Lovell dan Liverman (2010) berargumentasi bahwa pembeli karbon kredit tertarik pada proyek tertentu karena cerita yang melekat dalam proyek tersebut, misalnya karena keterlibatan dan persetujuan penuh masyarakat yang diperoleh melalui penerapan protokol FPIC. Dilaksanakannya FPIC seakan memberi jaminan bagi pembeli karbon kredit bahwa komoditas yang mereka beli diproduksi secara etis (McGregor et al. akan terbit).

(20)

Kebijakan Satu Peta: Memproduksi Ruang dan Kawasan yang Dapat Diatur

Salah satu prasyarat dalam tahap transformasi yang diminta dalam LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia adalah dilaksanakannya moratorium pemberian izin baru untuk pengusahaan hutan di lahan gambut dan hutan primer (LoI 2010). Setelah proses negosiasi dan lobi yang alot antara pihak swasta, pemerintah, dan LSM, moratorium pertama dimulai pada 2011 dan berakhir pada 2013. Melalui desakan komunitas internasional dan LSM lingkungan, Presiden Yudhoyono memperpanjang moratorium hingga 2015. Penerapan kebijakan moratorium ini menyasar sektor swasta (perusahaan kayu, kelapa sawit, dan pertambangan) dan mencoba menertibkan proses perizinan pengusahaan hutan. Tetapi, implementasi kebijakan ini dihadang oleh persoalan tata kelola hutan yang bersumber dari tidak adanya peta tutupan hutan dan lahan gambut yang dipakai secara bersama, baik oleh institusi negara maupun nonnegara. Setiap kementerian teknis dan pemerintah daerah memiliki versi peta masing-masing dan menggunakannya untuk proses-proses pengambilan keputusan, misalnya ketika mengeluarkan izin pengelolaan hutan (konsesi). Akibatnya, terjadi tumpang-tindih antara satu konsesi dan konsesi lain yang dikeluarkan berdasar pada peta yang berbeda. Selain itu, tidak adanya keseragaman deinisi jenis hutan, misalnya deinisi mengenai hutan gambut, menyebabkan perbedaan interpretasi lokasi yang menyebabkan perbedaan peta. Untuk memperbaiki situasi ini, presiden menginstruksikan dimulainya sebuah inisiatif nasional untuk membangun satu peta yang akan digunakan lintas sektor sebagai dasar untuk proses pembangunan dan pengambilan keputusan (Samadhi 2011).

(21)

beberapa presentasi yang dihasilkan UKP4, kebijakan satu peta berusaha menata centang-perenang penataan spasial hutan melalui, salah satunya, proses menumpang susun peta kawasan hutan dengan konsesi-konsesi yang dikeluarkan serta klaim yang diajukan masyarakat (Samadhi 2011). Proses ini diharapkan dapat mengidentiikasi titik-titik yang diperebutkan dan ruang di mana klariikasi tenurial bisa dilaksanakan. Tersedianya satu data kawasan hutan diharapkan dapat memberi kejelasan terhadap tumpang-tindih konsesi, batas kawasan hutan, dan mendeinisikan cara untuk mengatur ruang-ruang di tingkat kabupaten dan provinsi yang sering kali dibiarkan kabur untuk menyediakan ruang korupsi (Murdiyarso et al. 2011). Pemerintah mengklaim bahwa salah satu capaian kebijakan satu peta adalah upaya untuk mengumpulkan peta-peta konsesi dan beragam informasi spasial lainnya dalam satu pusat data (Samadhi 2011). Data-data spasial ini kemudian dikelompokkan, dipilah, dan menjadi objek analisis dan diagnosis para ahli. Peta-peta ini kemudian ditampilkan dalam satu geoportal sebagai mekanisme untuk meningkatkan transparansi dan menjaring partisipasi publik (McGregor et al. akan terbit).

(22)

Salah satu hal yang saat ini menjadi perhatian para pihak di sektor kehutanan dan REDD+ adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai judicial review terhadap Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menerima sebagian permohonan yang diajukan AMAN bersama dengan dua komunitas adat, yaitu Kenegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu, untuk mengembalikan hak kepemilikan hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Sebagai bagian dari euforia menanggapi keputusan ini, masyarakat beramai-ramai memasang plakat di tanah-tanah yang mereka klaim sebagai tanah atau hutan adat. Euforia ini ditindaklanjuti dengan proses percepatan pemetaan wilayah-wilayah adat yang difasilitasi salah satunya oleh AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) (McGregor et al. akan terbit). Sebagian dari kerja-kerja lembaga ini didukung oleh dana-dana persiapan REDD+ yang bertujuan untuk memperkaya proses klariikasi tenurial. Lebih dari 2,4 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan telah diserahkan AMAN dan JKPP kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan UKP4 (Satgas REDD+ 2013). Data ini mereka serahkan agar dapat diveriikasi dan diakui pemerintah dan digunakan untuk memperkaya kebijakan satu peta. Peta-peta yang telah diserahkan ini akhirnya disimpan dan dipajang dalam geoportal online. Tetapi, proses transparansi data ini tidak serta-merta memuluskan diakuinya secara legal kepemilikan lahan oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak mengubah situasi masyarakat, di mana mereka membutuhkan klariikasi tenurial sebagai senjata menghadapi proses-proses pencaplokan dan perampasan lahan (McGregor et al. akan terbit). Kebenaran tunggal yang coba dikreasi melalui kebijakan satu peta sepertinya akan menghadapi jalan panjang kontestasi. Paling tidak, LSM seperti AMAN dan JKPP mengupayakan agar persoalan-persoalan ekonomi politik akses lahan masyarakat tidak lagi tersembunyi di balik gambar-gambar peta yang ditumpang susun sedemikian rupa.

Kesimpulan

(23)

Indonesia. Sulit untuk mengetahui dengan pasti apakah REDD+ merupakan mekanisme pasar yang bertujuan satu-satunya untuk memuaskan dahaga sistem neoliberalisme melalui akumulasi modal keuntungan. Dana-dana persiapan REDD+ telah dimanfaatkan oleh gerakan masyarakat sipil untuk memperkuat akses masyarakat terhadap lahan melalui proses pemetaan wilayah adat dan penguatan kerangka pengaman hak. Di lain pihak, strategi partisipasi yang diambil pemerintah telah menyebabkan para aktivis mengadopsi subjektivitas baru yang menempatkan posisi mereka sebagai birokrat atau konsultan. Tentu saja menyebutkan bahwa hal ini adalah proses depolitisasi gerakan lingkungan merupakan sebuah keterburu-buruan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak jangka panjang terciptanya subjektivitas baru ini terhadap gerakan masyarakat sipil.

Hampir tujuh tahun REDD+ masuk di Indonesia. Selama masa persiapan yang dimulai dari 2010 hingga 2013, pemerintah telah menghasilkan Strategi Nasional REDD+, kerangka perlindungan sosial dan lingkungan, panduan FPIC, serta lebih dari tiga ratus publikasi lain. Sebuah institusi baru setingkat kementerian untuk mengatur tata kelola REDD+ juga telah disahkan dan kepala institusi tersebut ditunjuk oleh presiden. Tetapi, niat baik ini tidak serta-merta mengubah kekuasaaan dalam pengaturan sengkarut tata kelola hutan di Indonesia. Proses-proses persiapan REDD+ telah berhasil membawa diskursus sosial politik kehutanan dalam arena-arena perdebatan di antara berbagai pihak. Namun, jika ditelusur lebih lanjut, alih-alih menjawab persoalan mendasar ekonomi politik kehutanan, aktivitas-aktivitas mahal ini justru lebih disibukkan dengan teknikalisasi permasalahan. Hal ini terutama dilakukan melalui proses-proses modernisasi ekologi seperti standardisasi dan sertiikasi karbon yang dilembagakan melalui pranata regulasi dan institusi baru. []

Daftar Pustaka

(24)

Boyd, W. 2010. “Ways of Seeing in Environmental Law: How Deforestation Became an Object of Climate Governance.” Ecology Law Quarterly 37 (3): 843–916.

Castree, N. 2011. “Neoliberalism and the Biophysical Environment 3: Putting heory into Practice.” Geography Compass 5 (1): 35–49. DOI: 10.1111/j.1749-8198.2010.00406.x.

Cotula, L. dan J. Mayers. 2009. Tenure in REDD: Start-Point or Aterthought? London: International Institute for Environment and Development (IIED).

Dean, M. 2009. Governmentality: Power and Rule in Modern Society. London: Sage Publications.

Dooley, K., T. Griiths, H. Leake, dan S. Ozinga. 2008. Cutting Corners: World

Bank’s Forest and Carbon Fund Fails Forests and Peoples. Gloucestershire:

FERN dan Forest People’s Programme.

Feindt, P.H. dan A. Oels. 2005. “Does Discourse Matter? Discourse Analysis in Environmental Policy Making.” Journal of Environmental Policy & Planning 7 (3): 161–173. DOI: 10.1080/15239080500339638.

Foucault, M. 1979. Discipline and Punish: he Birth of the Prison. New York: Knopf Doubleday Publishing Group.

___. 1991. “Governmentality.” Dalam he Foucault Efect: Studies in Governmentality, disunting oleh G. Burchell, C. Gordon, dan P. Miller, 87–104. London: Harvester Wheatsheaf.

___. 1998. he History of Sexuality: he Will to Knowledge (Vol. 1). London: Penguin Books.

Goodman, J. dan E. Roberts. 2009. What a Scam! Australia’s REDD Ofsets for

Copenhagen. Sydney: Friends of the Earth Australia, Aid/Watch, Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Serikat Petani Indonesia.

Griiths, T. 2007. Seeing ‘RED’?: ‘Avoided Deforestation’ and the Rights of Indigenous

Peoples and Local Communities. Gloucestershire: Forest Peoples Programme.

Gupta, A., E. Lövbrand, E. Turnhout, dan M.J. Vijge. 2012. “In Pursuit of Carbon Accountability: he Politics of REDD+ Measuring, Reporting and Veriication Systems.” Current Opinion in Environmental Sustainability 4 (6): 726–731. DOI: 10.1016/j.cosust.2012.10.004.

(25)

Hart, G. 2004. “Geography and Development: Critical Ethnographies.” Progress in

Human Geography 28 (1): 91–100. DOI:10.1191/0309132504ph472pr.

Harvey, D. 2004. “he ‘New’ Imperialism: Accumulation by Dispossession.” Socialist

Register 40: 63–87.

Indrarto, G.B., P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo, dan E. Muharrom. 2012. he Context of

REDD+ in Indonesia: Drivers, Agents, and Institutions. Bogor: Center for

International Forestry Research (Cifor).

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), dan Satuan Tugas REDD+. Tanpa tahun. “Moving Towards Sustainability.” Buklet.

Letter of Intent (LoI). 2010. “Cooperation on Reducing Green House Gas Emissions

from Deforestation and Forest Degradation between the Government of Indonesia and the Government of Kingdow of Norway.”

Li, T.M. 2007a. he Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice

of Politics. Durham: Duke University Press.

___. 2007b. “Governmentality.” Anthropologica 49 (2): 275–294.

___. 2012. he Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di

Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Luttrell, C., I.A.P. Resosudarmo, E. Muharrom, M. Brockhaus, dan F. Seymour. 2012. “he Political Context of REDD+ in Indonesia: Constituencies for Change.”

Environmental Science & Policy 35: 67–75. DOI: 10.1016/j.envsci.2012.10.001.

Lovell, H. dan D. Liverman. 2010. “Understanding Carbon Ofset Technologies.”

New Political Economy 15 (2): 255–273. DOI: 10.1080/13563460903548699.

Mahanty, S. dan C.L. McDermott. 2013. “How Does ‘Free, Prior and Informed Consent’ (FPIC) Impact Social Equity? Lessons from Mining and Forestry and heir Implications for REDD+.” Land Use Policy 35: 406–416. http://dx.doi. org/10.1016/j.landusepol.2013.06.014.

Mann, T. dan M.T. Surya. 2009. REDD Wrong Path: Pathetic Ecobusiness. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bekerjasama dengan Nature and Poverty Alliance.

(26)

McGregor, A. 2010. “Green and REDD? Towards a Political Ecology of Deforestation in Aceh, Indonesia.” Human Geography 3 (2): 21–34.

___, C. Edward, B. Haalboom, R. Astuti, P. Howson, R. Dixon, T. Luca, M. Gavin.

Akan terbit. “Environmentality and Multiscalar Environmental Governance: Exploring the Political Ecologies of REDD+ in Indonesia.”

McKee, K. 2009. “Post-Foucauldian Governmentality: What does It Ofer Critical Social Policy Analysis?” Critical Social Policy 29 (3): 465–486. DOI: 10.1177/ 0261018309105180.

Murdiyarso, D., S. Dewi, D. Lawrence, dan F. Seymour. 2011. Indonesia’s Forest

Moratorium: A Stepping Stone to Better Forest Governance? Bogor: Center for

International Forestry Research (Cifor).

Oels, A. 2005. “Rendering Climate Change Governable: From Biopower to Advanced Liberal Government?” Journal of Environmental Policy & Planning 7 (3): 185–207. DOI: 10.1080/15239080500339661.

Okereke, C. dan K. Dooley. 2010. “Principles of Justice in Proposals and Policy Approaches to Avoided Deforestation: Towards a Post-Kyoto Climate Agreement.” Global Environmental Change 20 (1): 82–95. DOI: 10.1016/j. gloenvcha.2009.08.004.

Peluso, N.L. dan P. Vandergeest. 2001. “Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and hailand.” he Journal of Asian

Studies 60 (3): 761–812. DOI: 10.2307/2700109.

Rabinow, P., penyunting. 1984. he Foucault Reader. New York: Pantheon Books.

Rose, N. 1999. Powers of Freedom: Reframing Political hought. Cambridge: Cambridge University Press.

Resosudarmo, B.P., penyunting. 2005. he Politics and Economics of Indonesia’s

Natural Resources. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

hompson, M.C., M. Baruah, dan E.R. Carr. 2011. “Seeing REDD+ as a Project of Environmental Governance.” Environmental Science & Policy 14 (2): 100–110. DOI: 10.1016/j.envsci.2010.11.006.

Tsing, A.L. 2005. he Friction: An Ethnography of Global Connection. New Jersey: Princenton University Press.

(27)

Samon, K. 2012. “Green Economy: Komodiikasi Sumber Daya Alam.” 4 Juni. Diakses dari http://www.spi.or.id/?p=5073.

Satuan Tugas (Satgas) REDD+. 2013. “Penyerahan Peta Adat, Selangkah Menuju One Map dan Pengakuan Adat.” 30 April. Diakses dari http://www.satgasreddplus. org/component/k2/item/60-penyerahan-peta-adat-selangkah-menuju-one-map.

Stern, N. 2006. “he Challenge of Stabilisation.” Dalam he Economics of Climate

Change: he Stern Review, 193–210. Cambridge: Cambridge University Press.

Winkel, G. 2012. “Foucault in the Forests—A Review of the Use of ‘Foucauldian’ Concepts in Forest Policy Analysis.” Forest Policy and Economics 16: 81–92. DOI: 10.1016/j.forpol.2010.11.009.

Yudhoyono, S.B. 2011. Pidato dalam Business for the Environment (B4E) Global

Referensi

Dokumen terkait

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dipandang sebagai produk dan sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis,

Terdapat beberapa penelitian lain yang mempunyai kemiripan dengan penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Weni Sucipto (2008) dengan judul “Citra

Penyedia dengan jaminan pabrikan dari produsen pabrikan (jika ada) berkewajiban untuk menjamin bahwa selama penggunaan secara wajar oleh PPK, Jasa Lainnya tidak mengandung cacat

Hasil kajian terhadap voltametri siklis larutan garam-garam klorida dan sianida dari besi(III) dan besi (II) dalam lelehan KOH menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap keberadaan usaha Stock Pile Batu Bara oleh PT.Agnikarsa Pratama di Pelabuhan Talang Duku, maka Pemerintah

Menurut Ketua Pengadilan Negeri Sinjai, dalam hal upaya penyelesaian perkara sengketa melalui proses persidangan merupakan suatu proses yang rumit dan menyita

Kajian kepemimpinan Prawoto Mangkusasmito dalam Yayasan Asrama Pelajar Islam menjadi hal yang sangat menarik, ketika pendirian YAPI yang dipelopori Prawoto

Ada beberapa aspek kelembagaan yang diduga sebagai penyebab ketidakberhasilan program pengelolaan lahan kritis DAS Bila, antara lain: (1) lembaga-lembaga sektoral