• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLICY RECOMMENDATION STRATEGI INDONESIA. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLICY RECOMMENDATION STRATEGI INDONESIA. doc"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

“POLICY RECOMMENDATION: STRATEGI INDONESIA DALAM

MENYIKAPI DINAMIKA PERDAGANGAN INTERNASIONAL PADA

PROGRAM

MADE IN THE WORLD

DI WTO”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional. Dosen Pengampu: Ibu Erza Killian

Oleh :

Gigih Taufan Herdianto

(115120407111042)

A.HI.4

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

1. EXECUTIVE SUMMARY

Dalam menghadapi dinamika perdagangan bebas internasional yang semakin kompleks, Indonesia perlu strategi khusus dalam menghadapi fenomena yang merupakan dampak dari globalisasi. Indonesia perlu berbenah apabila tidak ingin terjerambab pada “jebakan kapitalisme” yang saat ini tengah merambah ke seluruh aspek kehidupan, terutama bidang ekonomi. Indonesia sebagai negara berkembang harus jeli dalam menyusun kebijakan guna menyiasati perkembangan pasar internasional yang dikuasi oleh negara seperti Amerika Serikat, China, negara besar anggota Uni Eropa, serta negara berkembang lainnya yang juga tentunya memiliki strategi tersebdiri guna menghadapi isu perdagangan bebas seperti Brazil, India dan lainnya.

Dalam isu yang saat ini tengah dibahas di WTO, yakni “Made In The World” yang merupakan perluasan konsep dari global value chains (GVC) yang program ini sendiri diakui oleh WTO sebagai “21st Century Regionalism” akibat dari aktivitas perdagangan yaitu “Trading-Investment-Service Nexus”. Tarik ulur kebijakan mulai terjadi akibat dari wacana WTO yang dianggap semakin memperkuat pengaruh negara-negara industri dan perusahaan multinasional. Perdebatan antar anggota WTO tidak dapat dihindari, kepentingan-kepentingan negara menjadi taruhan dalam negosiasi yang alot. Perdebatan ini mengerucut pada kepentingan negara berkembang dan negara maju. Oleh karenanya Indonesia juga perlu melakukan sebuah kebijakan domestik maupun luar negeri guna menyiasati situasi internasional ini.

Kebijakan yang direkomendasikan dalam tulisan ini adalah untuk lebih memfokuskan pada pembenahan produksi dalam negeri. Hal yang penting yang juga perlu diperhatikan adalah posisi Indonesia dengan seluruh kapasitas perekonomian dari mulai sisi lemah dan keunggulan juga akan dibahas guna dapat merefleksikan fakta-fakta agar pertimbangan untuk kebijakan yang direkomendasikan lebih efektif dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan Indonesia.

(3)

2. LATAR BELAKANG

Perdagangan bebas yang telah bertransformasi pada bentuk yang tidak terduga sebelumnya, telah memunculkan banyak sekali perubahan-perubahan pattern yang dahulu belum ada dan mulai muncul seiring dengan globalisasi yang kini telah menjangkau secara menyeluruh antar aktivitas perdagangan di seluruh penjuru dunia.

Dampak dari globalisasi sangat terasa seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan juga memicu terjalinnya hubungan-hubungan ekonomi antar aktor perdagangan guna memenuhi kebutuhannya dari mulai level grassroots hingga level

state. Hal tersebut semakin berkembang dan berbanding lurus dengan modernitas dalam aspek-aspke ekonomi. Dahulu, perdagangan secara sederhana terjadi pada level grassroot

dan bertransaksi dalam konsep barter. Kini, Manusia sebagai makhluk ekonomi telah mengenal pola-pola baru yang menjadi hal yang lumrah saat ini. Keterhubungan antar wilayah sesuai dengan konsep borderless dalam payung besar globalisasi telah mengubah orientasi pelaku-pelaku ekonomi sehingga lebih modern.

Hingga pada akhirnya, globalisasi kemudian dapat semakin menstimulus aktivitas perekonomian secara global khususnya dalam kegiatan perdagangan internasional, investasi internasional dan jasa yang kemudian memuculkan fenomena baru yang disebut dengan “Trading-Investment-Service Nexus” yang dimana arus perdagangan, investasi dan jasa yang semakin sulit dibedakan. Hal ini kemudian membuat isu tentang perdagangan internasional semakin mengglobal keseluruh penjuru dunia sehingga terdapat “complex interdepedency” antar negara-negara di dunia.

(4)

internasional guna mencover secara menyeluruh aktifitas perdagangan internasional yang semakin mengglobal.

“Made In The World”

Made In The World” pertama kali dicetuskan adalah ketika Director-General WTO, Pascal Lamy berpidato pada dalam pidatonya di Senat Perancis di Paris pada 15 Oktober 2011, ia merekomendasikan cara baru untuk melihat statistik perdagangan, mencatat bahwa negara asal barang secara bertahap menjadi tidak relevan, seperti desain untuk pembuatan komponen dan perakitan, telah tersebar di seluruh dunia. Ia mencontohkan sebuah iPod yang dapat diimpor dari China tapi banyak nilainya berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara lain.1

Program “Made In The World” ini mengambil konsep ekonomi yaitu “Global Value Chains” yang dimana juga terdapat beberapa klausul-klausul yang kontroversial dalam perkembangan politisnya diantara negara-negara anggota WTO. Dalam sebuah diskusi ‘stake-holders panel’ dalam pertemuan General Council WTO di Jenewa tanggal 1 Mei 2012 dibahas sebuah topik yang merupakan kelanjutan dari pertemuan para menteri perdagangan G-20 di Puerto Vallarta, Meksiko mengenai isu yang sangat penting yaitu “Global Value Chain”. Global Value Chain (GVC) kini masuk menjadi tema penting di WTO. Meskipun isu ini belum menjadi isu resmi di dalam WTO, akan tetapi tema ini akan menjadi fokus penting WTO ke depan. Kini tidak ada negara di dunia yang tidak terlibat dalam GVC, meskipun derajat keterlibatannya berbeda-beda.

GVC adalah bentuk nilai dari Global Supply Chain (GSC) yang merupakan skema kerja baru dalam industri, investasi dan perdagangan mutakhir. Dalam sebuah paper yang dihasilkan oleh ERSD (Economic Research and Statistic Division) dari WTO, tergambar perlunya WTO merespons apa yang disebut sebagai “21st Century Regionalism” yang merupakan model baru bagi sistem perdagangan yang jauh lebih kompleks dari sistem perdagangan abad 20 yang selama ini dikenal. Sistem perdagangan baru ini dengan sendirinya akan merubah semua pandangan dan aturan di dalam WTO, dari yang tadinya berfokus kepada akses pasar, akan bergeser kepada kepentingan rezim pasar yang lebih kompleks.

Lebih lanjut, terdapat beberapa klausul yang direkomendasikan oleh Lamy melalui WTO. Beberapa rekomendasi, seperti agar “Global Value Chains” yang akan

(5)

diadopsi dalam program “Made In The World” dapat membuat kontribusi dan partisipasi dari seluruh anggota WTO akan menjadi semakin vital. Hal ini juga didukung oleh rencana penerapan konsep“trade in value added” yang berguna untuk memperlancar dari

“Global Value Chains” oleh WTO.

Selain itu, Lemy juga menghimbau agar negara-negara anggota WTO untuk mengahpuskan kebijakan tentang “Protectsionism” sebagai syarat dari jaminan bahwa negara yang menerapkan hal itu kemudian dapat dipastikan secara langsung akan berpartisipasi penuh. hingga, negara-negara dalam anggota WTO akan tetap dapat berkontribusi dan berpartisipasi maksimal dalam arus perdagangan dunia yang kemudian juga mempermudah dalam pencatatan untuk laporan tahunan WTO.

Global Value Chains: Governance And Location

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa GVC adalah bentuk nilai dari

Global Supply Chain (GSC) yang merupakan skema kerja baru dalam industri, investasi dan perdagangan mutakhir. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang global value chains, terdapat dua dimensi utama yang dapat secara menyeluruh dalam membahas

global production serta penjelasan mengenai bagaimana tata kelola (governance) suatu rantai produksi dalam lingkup kerja yang mengglobal. Serta pola-pola dalam lokasi (location) yang memfokuskan pada penempatan aktivitas produksi.2

Dalam dimensi governance, terdapat keterkaitan hubungan pada pasar dengan perusahaan atau arms'-length trade relationship dan di lain sisinya juga terdapat foreign operations yang berperan seperti kontrol utama. Arms'-length trade relationship adalah suatu skema dalam pasar keuangan atau perdagangan yang terdiri dari pihak-pihak yang tidak memiliki kontak langsung dengan satu sama lain selain dari transaksi. Hal ini mudah dipahami ketika saat di mana pembeli dan penjual saling bertransaksi dan terhubung hanya dalam transaksi yang spesifik. Namun, kedua belah pihak tidak pernah tahu mereka terlibat dengan satu sama lain.

Sedangkan pengertian dari foreign control yang dapat diimplementasikan dalam mekanisme FDI, adalah suatu kontrol hierarkis seperti suatu perusahaan yang akan dijalankan di luar negeri dengan pertimbangan pendekatan harga transaksi, di mana ketika harga net pasar intern (koordinasi hierarkhis) lebih rendah dari pada harga net

arms'-length market relationship. Perusahaan akan mengimplementasikan FDI dengan

2 Thun, Eric. 2008. “The Globalization of Production” dalam John Ravenhill, Global Political Economy.

(6)

mempertimbangkan keuntungan firm-specific, location-specific, dan keuntungan

internasionalisasi. Dari harga transaksi inilah yang membuat negara selalu mempertimbangankan kebijakan ekonomi untuk “make” daripada “buy” sesuai dengan orientasi yang terdapat pada FDI, yang terdapat pilihan antara make or buy3

Dimensi kedua dalam global value chains adalah location. Fokus utamanya terdapat pada di mana penempatan aktivitas kegiatan produksi berlangsung. Untuk penempatan aktivitas ini perusahaan harus mempertimbangkan harga produksi dan kekuatan persaingan, serta kelemahan negara dan wilayah.4 Hal tersebut semakin menjadi

pemicu dengan kontribusi yang sangat besar dari munculnya global value chains akibat dari investasi luar negeri yang semakin meningkat.

Dampak dari Global Value Chains

Global value Chains atau GVC sejatinya merupakan perluasan konsep ekonomi

value chains yang sesuai dengan ilustrasi berikut (Lihat tabel 5), yang kemudian dapat mengilustrasikan makna atas value chains, namun hal tersebut kemudian bekerja secara global, dan akhirnya disebut global value chains. Secara umum, penambahan nilai dari suatu hasil produksi baik menambhakan nilai dari barang itu sendiri, maupun layanan purna jual dan juga distribusi yang menjadikannya memiliki keunggulan terhadap barang sejenisnya. Skema ini cukup baik dalam pengaplikasiannya pada sektor-sketor tertentu. Dalam skema tersebut, terdapat beberapa keutungan dan kerugian yang kemungkinan terjadi dalam suatu siklus produksi hingga sampai pada bagian distribusi. Apabila skema tersebut diterapkan pada jaringan kerja global, maka beberapa kemungkinan tentang keuntungan-keuntungan apabila sistem tersebut diterapkan salah satunya adalah semakin terintegrasinya jaringan kerja produksi yang hal tersebut akan berdampak pada keikutsertaan tiap-tiap negara untuk memproduksi hasil produksi dari masing-masing negara. Kemudian beberapa negara akan membeli hasil produksi negara lainnya untuk ditambahkan nilai atau value dari sebuah produk untuk kemudian dipasarkan lagi dan begitu seterusnya hingga pada tahap final yang kemudian didistribusikan oleh negara penambah nilai akhir pd

Namun, sistem perdagangan tersebut dikhawatirkan oleh banyak negara berkembang menjadi hal yang akan merugikan neraca perdagangan mereka. Hal ini tidak lepas dari keberpihakan sistem mekanisme pasar terhadap negara yang maju yang

(7)

memiliki modal produksi yang sangat memadai di bidang teknologi. Secara sederhana, sistem tersebut akan sangat mirip dengan sistem internasional yang dijelaskan oleh Wallerstein yaitu World System Theory. Dalam teori tersebut, sangat jelas bahwa terdapat kesenjangan bagi negara berkembang (semi-pheripery) dan negara tertinggal (pheripery)

dengan negara maju (core). Hal ini didasari pada mekanisme pasar yang akan diterapkan secara global yang terintegrasi dari setiap negara, namun secara umum mekanisme tersebut sangat memungkinkan bagi negara maju untuk dapat mendominasi pasar internasional.5 Hal tersebut dikarenakan negara maju telah memiliki teknologi, tenaga

ahli, dan infrastruktur yang sangat memadai untuk mendukung proses produksi secara global yang kemudian bahan baku dari produksinya akan diimpor dari negara berkembang atau negara tertinggal dan setelah hasil produksi selesai, kemudian akan dijual kembali ke negara berkembang atau negara tertinggal tersebut. Skema atas World Sytem Theory yang dapat menggambarkan bagaimana hubungan-hubungan dalam proses produksi ekspor-impor dari negara maju, berkembang, dan tertinggal guna mempermudah dalam memahai Global Value Chain. Pada tabel (Lihat tabel 1), terlihat hubungan ekonomi antar negara yang dapat mengilustrasikan hubungan-hubungan dalam penjelasan

World System Theory.

Gambaran ini merupakan sebuah perspektif dasar apabila melihat skema GCV yang diusung oleh negara-negara yang secara perekonomiannya kuat seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Kanada yang cenderung mendukung pengaplikasian sistem ini. Namun, bagi negara berkembang dan tertinggal, sistem tersebut dapat menjadi sebuah bentuk kapitalisme global yang menaungi di sektor produksi dan menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan karena kapasitas kemampuan dalam teknologi yang mendukung proses industri yang masih kalah apabila dibanding dengan negara maju.

3. PEMBAHASAN

Posisi Indonesia

Indonesia dalam isu “Made In The World” yang tengah dirumuskan kebijakannya dalam forum WTO tersebut, dapat memicu berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Hal tersebut dikarenakan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi, adalah menjadikan hal tersebut sebagai suatu faktor pendorong

5 Baylis,John, and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics: An Introduction to IR, Third

(8)

peningkat produktifitas bagi Indonesia dalam global production yang akan berdampak pada kemajuan perekonomian dan juga benefisial yang akan diperoleh oleh Indonesia. Namun, hal tersebut juga memiliki kemungkinan terburuk yang akan membawa Indonesia pada kesenjangan dan kalah bersaing dengan negara-negara maju dan telah mapan secara perekonomian. Selain itu, kekhawatiran akan posisi Indonesia yang relatif kalah dalam segi teknologi juga perlu diperhatikan oleh pemerintah dan ditindaklanjuti.

Isu “Made In The World” lebih dari sekedar pelabelan terhadap suatu hasil produksi yang menggunakan skema global production. Isu ini juga berbeda dengan seperangkat aturan WTO tentang Rules of Origin yang lebih menekankan pada perjanjian yang bertujuan untuk harmonisasi jangka panjang aturan asal dari sebuah hasil produksi yang berkaitan dengan pemberian preferensi tarif, dan memastikan bahwa peraturan tersebut tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan.6 Untuk

keputusan terkait dengan Rules of Origin saja, Indonesia tidak memiliki keputusan pengadilan atau ketentuan administratif yang berlaku secara umum di level domestiknya yang berkaitan dengan aturan non-preferential asal dari suatu hasil produksi. Namun, proyeksi yang akan mucul dari program “Made In The World” itu sendiri adalah mengenai perencaan regulasi akibat dari perkembangan pasar bebas yang dikarenakan dari globalisasi dan dikenal sebagai 21st Century Regionalism.

Indonesia memiliki kapabilitas perekonomian yang cukup stabil. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak terlalu signifikan dampak krisis 2008 di Indonesia. Karena selain daya konsumsi dalam negerinya tinggi, Indonesia juga memiliki ekspor pada sektor-sektor bahan kebutuhan pokok seperti CPO dan kopi yang walaupun sedang krisis pada saat itu, namun hal itu akan menguntungkan ekspor Indonesia yang berharga lebih murah dan banyak dipilih konsumen Eropa pada saat itu walaupun sedang krisis.7

Hal tersebut seharusnya dapat menjadi tolak ukur bagi pemerintah saat ini untuk dapat memetakan sektor mana saja yang sangat vital bagi pemasukan Indonesia untuk kegiatan ekspornya. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, pernah menyatakan poin poin penting yang harus diperhitungkan oleh WTO apabila benar-benar akan membuat regulasi mengenai “Made In The World” ia menyatakan bahwa pembahasan mengenai

global value chains harus seimbang untuk mencerminkan kepentingan negara maju dan negara berkembang secara proporsional. Hal penting bagi negara berkembang adalah,

6 http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/ursum_e.htm#iAgreement. Viewed June 1st ,2013 7

(9)

pertama, dimasukkannya pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Kedua, tersedianya “policy space” untuk melakukan penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan yang memerlukan keberpihakan. Ketiga, aspirasi untuk merambah naik dalam mata rantai perdagangan dari penyedia bahan baku menjadi pengolah bahan antara dan produk akhir sehingga negara berkembang seperti Indonesia ikut menikmati nilai tambah dalam mata rantai perdagangan.8

Namun tidak sedikit pula anggapa bahwa Indonesia telah dirugikan dalam keanggotaannya pada WTO apalagi pembahasan mengenai wacana baru seperti program “Made In The World” ini yang disinyalir berpihak pada negar maju, Managing Director

dari Institute for National and Democracy Studies, Ario Adityo mengungkapkan bahwa Perjanjian WTO sendiri mencerminkan ketidakadilan antara negara kaya dan miskin atau berkembang. Sebagai contohnya, ketika Indonesia dilarang memberi subsidi dan proteksi kepada petani-petani di dalam negeri, justru pemerintahan negara maju seperti Amerika dengan bebasnya memproteksi dan memberi subsidi para petaninya. Selain itu, lebih jauh Ario menjelaskan hasil WTO dan APEC di Bali pada akhir tahun 2013 ini, dikenal dengan istilah Bali Packages, yang akan mengesahkan mengenai aturan liberalisasi, fasilitasi perdagangan dan investasi. Berbagai aturan itu pada akhirnya berdampak buruk bagi rakyat Indonesia. Misalnya liberalisasi dibidang agrikurtur, akan menggangu kehidupan para petani lokal dengan membanjirnya hasil pertanian impor. Demikian juga mahalnya biaya pendidikan juga tidak lepas dari aturan-aturan WTO yang meliberalisasi jasa dibidang pendidikan.9

Analisa Ekspor & Impor Indonesia

Dalam tabel yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia yang bekerjasama dengan BPS, tercatat tren yang cukup berimbang antara ekspor dan impor dalam neraca perdagangan diantara rentan waktu 2008-2012 (lihat tabel 2). Pencapaian ini tidak lepas dari banyaknya komoditas Indonesia sektor non migas yang telah menjadi penopang ekspor negeri, seperti CPO dan kopi dengan harga yang sangat bersaing dipasaran internasional apabila dibandingkan dengan produk sejenis dari negara lain. Selain itu, tingkat konsumsi domestik yang tinggi hingga menghindarkan Indonesia dari

8http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?

module=news_detail&news_content_id=1024&detail=true. Viewed, June 3rd ,2013

(10)

dampak krisis kapitalisme tahun 2008 secara signifikan. Apresiasi terhadap regulasi pemerintah tentang program 100% cinta produk Indonesia dianggap cukup sukses. Konsumen Indonesia juga mulai sadar bahwa pola mengkonsumsi produk dalam negeri, akan mampu untuk mendongkrak perekonomian negara.

Prediksi atas kekhawatiran terhadap global value chains patut diwaspadai. Hal ini dikarenakan bahwa walaupun Indonesia cukup berimbang dalam kegiatan ekspor impor, namun Indonesia masih belum lepas dari impor migas yang sangat berdampak pada ketidakstabilan neraca ekspor-impor. Minyak dan gas berpeluang besar secara utuh mempengaruhi neraca ekspor-impor Indonesia, dikarenakan Indonesia telah keluar dari keanggotaannya pada OPEC seiring dengan kemampuan ekspor minyak Indonesia yang semakin melemah dan kini pemerintah mencoba untuk beralih pada gas yang dianggap memliki potensi yang menjanjikan dibanding dengan minyak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan RI pada April 2013 masih mengalami defisit 1,62 miliar dollar AS (Lihat tabel 4). Hal ini disebabkan impor Indonesia lebih besar dibanding ekspornya.10 Hal ini ditengarai karena total ekspor Indonesia pada April 2013

sebesar 14,7 miliar US$. Sementara total impornya sebesar 16,31 miliar US$. Sehingga pada April 2013 mengalami defisit 1,62 miliar US$. Hal ini juga sesuai dari tabel (lihat tabel 4) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan yang bekerjasama dengan BPS. Pernyataan kepala BPS juga menunjukkan bahwa neraca perdagangan untuk periode Januari hingga April 2013 juga masih mengalami defisit 1,85 miliar US$. Untuk ekspor mencapai 60,11 miliar US$ dan impornya mencapai 61,96 miliar US$. Hal ini dikarenakan neraca perdagangan mengalami defisit akibat impor migas yang belum kunjung turun. Pada periode April 2013, migas masih mengalami defisit 1,209 miliar US$ dan untuk periode Januari hingga April 2013 juga mengalami defisit 4,57 miliar US$. Minyak mentah mengalami defisit pada April 2013 mencapai 687,1 juta US$ dan periode Januari-April juga defisit 1,62 miliar US$. Untuk hasil minyak juga defisit sebesar 1,68 miliar US$ pada April 2013 dan untuk periode Januari-April juga defisit 7,87 miliar US$.

Akan tetapi pada sektor untuk gas mengalami surplus 1,162 miliar US$ (April 2013). Begitu juga untuk periode Januari-April surplus sebesar 4,92 miliar US$. Sementara itu secara keseluruhan, neraca perdagangan non migas untuk periode April 2013 masih defisit 407,4 juta US$. Tapi untuk periode Januari-April 2013 masih

10http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/03/12102920/Impor.Migas.Tinggi..Neraca.Perdagangan.

(11)

mencatatkan surplus sebesar 2,71 miliar US$. Fakta-fakta tersebut dapat menunjukkan bahwa impor migas Indonesia masih sangat besar apabila jika dibandingkan dengan ekspor non migas, oleh karena itu hal tersebut membuat neraca ekspor-impor Indonesia menjadi defisit.

Pemerintah Indonesia harus jeli dalam melihat realita tersebut. Disaat Indonesia masih disibukkan untuk meminimalisir pengeluaran akibat ekspor-impor yang difisit pada statusnya di bulan April 2013, disatu sisi perlu adanya tanggapan khusus dengan wacana WTO tentang pengaplikasian global value chains dengan segala klausul regulasi yang juga akan dibahas kemudian, namun apabila terjadi pengetatan bagi Indonesia atas regulasi oleh WTO, sektor-sektor penopang Indonesia juga harus disiasasti agar tidak semakin terhimpit. Pada dasarnya memang dalam pembahasan mengenai global value chains lebih merujuk pada industri dengan skala besar yang mampu membuat negara-negara dapat terintegrasi dalam suatu skema rantai produksi yang bekerja secara global. Namun hal ini akan menjadi tidak memihak pada Indonesia karena keterbatasan teknologi apabila disbanding negara maju semisal Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Strategi Kebijakan Bagi Pemerintah Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki posisi yang cukup dilematis untuk menyikapi isu yang sedang hangat dibicarakan dalam forum WTO terkait dengan program “Made In The Wolrd”. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, program yang menggunakan konsep GCV ini dapat menjadi peluang ataupun justru malah merugikan bagi Indonesia.

Dapat dikatakan sebagai sebuah peluang apabila perdagangan Indonesia relatif berimbang dan secara menyeluruh perekonomian stabli yang akan juga menunjang daya produktifitas dalam negeri. Bukan hanya menjadi negara yang konsumtif, namun juga Indonesia harus mampu menjadi negara dengan produktifitas yang tinggi disalah satu sector yang menjadi komoditas utama maupun komoditas potensial.

(12)

1. Alternatif Pertama (vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga independen yang terintegrasi)

Berdasarkan pemetaan mengenai produk komoditas utama dan potensial (Lihat tabel 3), Indonesia sudah memiliki potensi yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara lainnya di pasar internasional, kelebihan produksi dari Indonesia adalah harganya yang relatif lebih murah dan kualitasnya yang bersaing. Hal ini telah terbukti dengan mayoritas komoditas Indonesia berasal dari industri non manufaktur. Indonesia juga harus preventif akan dampak dari terpilihnya Roberto Azevedo sebagai pemimpin baru WTO yang berasal dari Brazil, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice, M. Riza Damanik, persoalan dari WTO sekarang ini terletak pada posisi lembaga tersebut yang semakin memperkuat pengaruh negara-negara industri dan perusahaan multinasional serta lembaga keuangan multilateral dalam mengendalikan sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia juga menilai bahwa sistem perdagangan multilateral tidak lagi menjadi solusi karena terbukti telah merugikan negara berkembang dan negara miskin. Dan posisi Indonesia, keterlibatan dalam WTO justru memperparah ketergantungan pada produk pangan impor.11 Oleh karena itu pengambilan

kebijakan yang preventif di sektor pertanian dan pangan akan sangat bijak apabila melihat situasi Indonesia dan internasional saat ini.

Seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, tipikal negara berkembang adalah salah satunya juga memproduksi hasil-hasil pertanian, perkebunan, hasil tambak dan produk non manufaktur lainnya. Apabila pemerintah berambisi untuk menjadi pelaku utama dalam perdagangan internasional di sektro tersebut, maka rekomendasi yang pertama dalah dibentuknya sebuah lemabaga yang independen yang bertugas untuk merekonstruksi sistem saat ini yang dirasa perlu perubahan. Langkah awal dari pemerintah Indonesia adalah dengan membuat program seperti Panca Usaha Tani namun lebih berorientasi pada penggunaan teknologi yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah daerah dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Program-program lama harus diatur kembali untuk memodernisasi sektor agrikultur dengan pendekatan yang lebih modern yang dilakukan langsung oleh badan independen tersebut, seperti Bimbingan Masal (Bimas) pada tahun 1970,12 kemudian disusul dengan program intensifikasi Masal (Inmas),

Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus yang bertujuan meningkatkan produksi

11 http://www.neraca.co.id/harian/article/28439/Perang.Perdagangan.Terus.Berlangsung.di.WTO. Viewed,

June 6th ,2013

12http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi

(13)

pangan secara berkesinambungan dan beberapa hasilnya memang ditujukan untuk di ekspor kuluar negeri.

Posisi lembaga independen tersebut berfungsi untuk melakukan observasi langsung, pengadaan serta perlindungan lahan produktif agar tidak dialihfungsikan, sosialisasi dan modernisasi di sektor non manufakturial seperti agrikultur, fasilitator bagi para pelaku usaha, mengkontrol proses produksi hingga distrubusi untuk mencegah penyelewengan yang diakibatkan oleh para tengkulak, serta membuat regulasi terkait dengan perkembangan isu di lapangan untuk dilaporkan pada pemerintah pusat agar disetujui yang berorientasikan pada kemajuan sektor tersebut.

Keuntungan dari alternatif kebijakan ini adalah terintegrasinya bagian-bagian dalam proses produksi sektor non manufakturial tersebut sehingga menjadi sebuah industri non manufaktur yang dikontrol oleh lembaga independen yang dinaungi langsung oleh pemerintah pusat sebagai kejasama atas beberapa kementerian seperti kementerian pertanian, kehutanan, perdagangan , serta dinas-dinas lainnya yang juga memiliki otoritas dan juga saling berkaitan, sehingga akan meminimalisir kesalahan-kesalahan ataupun penyelewengan yang berdampak pada kemungkinan tindak korupsi dari oknum yang tidak bertanggung jawab karena sistematikanya dikontrol secara online dari setiap bagian dalam proses produksi, sehingga siapapun dapat mengetahui dan mengakses keberlangsungan produksi hingga distribusi suatu hail produksi dalam sektor non manufakturial tersebut.

(14)

2. Alternatif Kedua (Penguatan sektor manufakturial disertai dengan internasionalisasi BUMN dan BUMD)

Indonesia banyak dilihat oleh para investor asing sebagai pasar yang potensial dan juga negara yang dapat dijadikan sebagai tempat produksi berbagai hasil produksi manufaktur asing. Hal ini tidak lepas dari status Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan arus perputaran uang yang relatif cepat dan juga perekonomian yang cukup stabil apabila dibanding dengan negara berkembang lainnya.

Dengan asumsi dari fakta tersebut, pemerintah seharusnya juga memilihara peluang bisnis tersebut. Kehadiran MNCs dan TNCs serta perusahaan asing di Indonesia sudah seharusnya menjadikan Indonesia lebih baik dan bukan justru malah menjadi tamu di negara sendiri. Pengetatan regulasi terkait dengan perusahaan asing sudah selayaknya diberlakukan agar perusahaan asing tersebut dapat memberikan masukan bagi Indonesia dan lebih dari sekedar pajak. Indonesia juga harus menyisipkan nilai jualnya pada suatu

brand hasil dari produksi sektor manufakturial Indonesia agar Indonesia dapat bersaing di pasar bebas. China adalah negara yang tersukes dibidang ini, hal ini tidak lepas dari semenjak China memulai transisi ekonomi pasar dalam tiga dekade ini, dominasi industri manufaktur dunia dan dampak dari manufaktur raksasa ini sulit dihindari. Ekonomi China berdampak pada harga global dengan indikasi pertumbuhan ekonomi yang cepat (Thun, 2008). Oleh karenanya Indonesia patut belajar dari pengalaman China di bidang tersebut. Beberapa kebijakan China dapat ditiru oleh Indonesia,seperti:

 Perusahaan luar negeri yang beroperasi di wilayah China, biasanya dikuasai oleh

kekuatan perusahaan lokal melalui akuisisi sehingga setengah dari ekspor manufaktur China berasal dari pabrik investasi asing dan 80 persen berupa teknologi ekspor (Rosen, 2003)

 Arus investasi China lebih mengarah pada sistem produksi regional daripada

sistem produksi nasional, Dengan investasi sektor-privat, sosialisasi teknis, serta kemampuan manajemen. China menerapkan sistem basis produksi regional, dan membangun zona ekonomi baru di Hongkong. Melalui intensifikasi pekerja, perkembangan industri garmen dan tekstil di Taiwan sebagai komoditas ekspor terbesar menjadi contoh suksesnya sistem ini (Gee & Kuo 1997: 52)

 Penerapan sistem triangural manufacturing, adalah pembayaran luar negeri

(15)

perusahaan diluar wilayah mendapatkan ikatan dari permintaan dan hubungan jangka panjang yang dibuat (Gerefii & Pan 1994: 127)

Dari beberapa pemaparan atas sistem yang diterapkan oleh China yang secara cerdas mengkolaborasikan ideologi sosialis sebagai dasar dari negara yang juga diterapkan pada perekonomiannya yang kemudian juga dipadukan dengan ideologi liberal dalam mekanisme pasarnya yang menjadikan China sebagai negara dengan perekonomian yang sangat kuat dan juga menjadi hagemoni dalam perdagangan bebas karena hasil produksinya yang telah merambah keseluruh penjuru dunia.

Indonesia bisa meniru hal tersebut, mungkin dari hal yang paling sederhana adalah dengan memberikan peluang bagi BUMN dan BUMD untuk go internasional dan diperkuat juga dengan sokongan pihak swasta untuk berinvestasi dengan menanamkan modal di pada “perusahaan plat merah”. Perusahaan seperti Garuda Indonesia dan Pertamina telah merambah menjadi TNCs yang dimiliki oleh pemerintah. Namun hal ini masih kurang apabila dibandingkan dengan perusahaan swasta asal Indonesia yang telah merambah pasar internasional seperti produk-produk rokok. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu menguatkan sektor ini, karena isu tentang “Made In The World” ini lebih berorientasi pada hasil-hasil produksi manufakturial.

Kelebihan dari skema alternatif kebijakan ini adalah apabila Indonesia berhasil dalam menerapkannya, maka Indonesia akan bisa dipastikan menjadi salah satu negara yang menjadi kekuatan baru di perdagangan bebas. Konstruksi yang perlu dibenahi adalah sistem pemahaman dasar atau mentality yang mengacu pada ideologi yang paling vital dan kemudian dilanjuti dengan kebijakan yang berorientasi pada ideologi tersebut. China menjadi contoh negara yang sukses dengan caranya mengadopsi kedua ideologi besar dan diaplikasikannya pada sektor perekonomian mereka.

Kekurangannya adalah Indonesia bukan negara yang seperti China yang berani merubah ataupun menggabungkan ideologi dasarnya walaupun hanya diterapkan pada bidang tertentu semisal ekonomi dan dianggap tidak cocok bagi rakyat secara keseluruhan dan masa depan negara.

4. REKOMENDASI

(16)

serta posisi Indonesia dalam situasi internasional khususnya yang terjadi saat ini di WTO, maka policy recommendation yang sekiranya cocok untuk diterapkan oleh pemerintah Indoensia guna menjadi “Strategi Indonesia Dalam Menyikapi Dinamika Perdagangan Internasional Pada Program MADE IN THE WORLD di WTO” adalah alternatif kebijakan pertama yaitu “vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga independen yang terintegrasi”

Hal ini disarankan karena dalam situasi di WTO sendiri yang saat ini posisi negara berkembang dan tertinggal tengah mengupayakan agar Bali Package dapat menjadi protokol dari perdagangan bebas di sektor tertentu seperti pangan dan pertanian. Indonesia sebagai tuan rumah dari Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Nusa Dua, Bali pada 3-6 Desember 2013 dengan agenda utamanya adalah Bali Package dan dengan harapan utamanya adalah pembuatan regulasi yang jelas bagi negara-negara berkembang terutama pada Trade Facilitation serta usulan G33 untuk memperbaiki perjanjian bidang pertanian khususnya terkait dengan subsidi pemerintah untuk menunjang petani dan golongan miskin di negara-negara berkembang. Mendag Gita Wiryawan juga menggarisbawahi pentingnya Bali Package dan telah mencatat secara positif adanya peningkatan perhatian sektor pertanian yang mendukung ketahanan pangan.

Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan yaitu

“Dukungan yang semakin meningkat terhadap sektor pertanian melalui kerangka kerja ketahanan pangan akan sangat menguntungkan para petani Indonesia dalam meningkatkan kemampuannya untuk menerima dukungan yang berkelanjutan, kondisi pasar yang lebih baik, serta peningkatan kesejahteraan mereka,”13

Oleh karenanya kebijakan tersebut dirasa cukup memadai untuk diterapkan seiring dengan ambisi dari Indonesia untuk mengkampanyekan tentang dimasukkannya pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja terutama bagi negara berkembang dan tertinggal.

5. IMPLEMENTASI

Berikut beberapa poin penting guna dapat mengilustrasikan pokok-pokok penting dari detil alternatif kebijakan “vitalisasi sektor non manufaktur dan pembentukan lembaga independen yang terintegrasi”, diantaranya:

13http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?

(17)

 Program ini dimulai dengan komitmen pemerintah membentuk sebuah badan

independen yang memiliki otoritas terbatas hasil dari kerjasama antar kementerian dan dinas yang terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Ketahanan Pangan, BULOG, dan dinas dinas lainnya. Hal ini berguna agar kinerja dari badan independen ini dapat bekerja spesifik dan efektif dan anggotanya dapat diambil dari dkementerian dan dinas yang terkait.

 Badan Independen ini juga bertugas melakukan observasi langsung, sehingga

dapat mengetahui masalah apa saja yang ada di lapangan dan bagaimana menanggulanginya

 Badan Independen ini juga memiliki kewenangan untuk membuat sebuah regulasi

dan diajukan pada pemerintah pusat untuk dapat disetujui

 Fungsi dari badan independen ini adalah untuk mengintensifkan produksi sektor

agrikultur yang bersifat non manufakturial dengan cara sosialisasi program-program baru yang lebih modern untuk meningkatkan hasil produksi baik secara kualitas maupun kuantitas agar memenuhi kriteria untuk di ekspor. Serta memberikan fasilitas pada para petani maupun pelaku usaha untuk menunjang proses produksi.

 Fungsi pengawasan juga dilakukan oleh badan independen ini, hal ini bertujuan

untuk mencegah para penumpukan stok di tengkulak pada bagian distribusi

 Membentuk sebuah skema kontrol dari seluruh aktifitas produksi hingga distribusi

(18)

6. LAMPIRAN  Daftar Pustaka

o Ravenhill,J.2011.”Global Political Economy”,3rd Edition. Oxford: Oxford University Press

o Baylis,John, and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics: An Introduction to IR, Third Edition, Oxford: Oxford University Press  Referensi Internet

o http://www.wto.org/english/news_e/archive_e/miwi_arc_e.htm

o http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nasional/08/12/13/19908-krisis-kapitalisme-tak-berdampak-signifikan

o http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php? module=news_detail&news_content_id=1024&detail=true

o http://indowarta.co/detail-4160-tak-satupun-capres-nyatakan-tolak-wto.html

o http://www.neraca.co.id/harian/article/28439/Perang.Perdagangan.Terus.B erlangsung.di.WTO

o http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?

display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi %20Pokok/SMP/view&id=182&uniq=988

 Tabel

o Tabel 1 (Interrelationship in the world Economy)

o Tabel 2 (Neraca Perdagangan Indonesia Total Periode 2008- Maret 2013)

o Tabel 3 (Ekspor 5 Komoditi Utama dan Potensial)

o Tabel 4 (Neraca Perdagangan RI April 2013)

(19)

Tabel 1

(Interrelationship in the world Economy)

World System Theory

T

Tabel 2 (Neraca Perdagangan Indonesia Total Periode 2008-Sekarang)

(Nilai Juta US$)

NO Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 TREND(%) 2008-2012

Jan-Mar* CHANGE(%) 2013/2012 2012 2013

I E X P O R T 137.020,4 116.510,0 157.779,1 203.496,6 190.031,8 12,88 48.517,0 45.394,4 -6,44 - OIL & GAS 29.126,3 19.018,3 28.039,6 41.477,0 36.977,2 13,39 9.984,2 8.121,0 -18,66 - NON OIL &

GAS 107.894,2 97.491,7 129.739,5 162.019,6 153.054,6 12,83 38.532,8 37.273,5 -3,27

II I M P O R T

**) 129.197,3 96.829,2 135.663,3 177.435,6 191.691,0 14,97 45.747,1 45.462,0 -0,62 - OIL & GAS 30.552,9 18.980,7 27.412,7 40.701,5 42.564,3 15,33 10.520,9 11.313,3 7,53 - NON OIL &

GAS 98.644,4 77.848,5 108.250,6 136.734,0 149.126,7 14,91 35.226,2 34.148,7 -3,06 III TOTAL 266.217,7 213.339,3 293.442,4 380.932,2 381.722,8 13,89 94.264,1 90.856,4 -3,62

(20)

Tabel 3 (Ekspor 5 Komoditi Utama dan Potensial)

No. Komoditas Utama No. Komoditas Potensial

1. TPT 1. Kulit dan Produk Kulit

2. Kopi 2. Peralatan Medis

3. Karet dan Produk Karet3. Tanaman Obat

4. Sawit 4. Makanan Olahan

5. Kakao 5. Minyak Atsiri

Sumber: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Tabel 4 ( Neraca Perdagangan RI 2013) *Kementerian Perdagangan RI dan BPS

URAIAN APRIL 2013 JANUARI-APRIL 2013

Milyar US$ MoM % Milyar US$ YoY %

Ekspor 14,7 2,18 60,1 7,07

Migas 2,4 18,37 10,5 22,18

Non Migas 12,3 1,74 49,6 3,07

Impor 16,3 9,59 62,0 1,15

Migas 3,6 7,77 15,1 3,21

Non Migas 12,7 15,75 46,9 2,48

APRIL 2013 Defisit US$ 1,6 Milyar

(21)
(22)

Gambar

Tabel 1
Tabel 4 ( Neraca Perdagangan RI 2013) *Kementerian Perdagangan RI dan BPS
Tabel 5 (VALUE CHAINS)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, pengembangan konsep agribisnis dalam aplikasi SICA yang berbasis pada prediksi iklim dan kalender tanam akan dapat dikembangkan untuk melengkapi dan

Tulisan ini dimaksudkan untuk menggali aspek normatif ajaran Islam dan juga khazanah kebudayaan lokal (Madura) yang dapat terkait dengan desain pengembangan sektor

Beck (1967) mengungkapkan bahwa terdapat faktot-faktor yang berperan dalam terjadinya depresi, Pertama, bio dan neurochemical , dimana terdapat ketidakseimbangan atau

69 Gambar 5.9 Grafik hubungan kelas lereng terhadap jumlah kasus referensi 71 Gambar 5.10 Grafik hubungan kelas lereng terhadap luasan estimasi.. Wilayah

[r]

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan

Hanya yang perlu diingat bahwa inisiatif ini juga lebih merupakan penyelenggaraan fasilitasi agar terkumpul caJon konsultan yang berminat menyusun standar kualitas

Menurut Husaini (1996) hasil survey di negara-negara maju maupun berkembang IMT ternyata merupakan indeks yang responsife, sensitif terhadap perubahan keadaan gizi. Berat