• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORGANISASI MASSA DALAM DINAMIKA POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ORGANISASI MASSA DALAM DINAMIKA POLITIK"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

ORGANISASI MASSA DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL

(Studi Kasus Peran Forum Betawi Rempug Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012)

Kisandani P.K

105120504111004

ABSTRAK

Era reformasi membawa bangsa Indonesia kepada kemurnian demokrasi yang berdampak pada perubahan tatanan politik. Salah satu perubahan yang konkret adalah dengan diadakannya pemilihan Presiden, kepala daerah dan anggota Legislatif secara langsung. Masyarakat yang sejak lama dibelenggu oleh sebuah rezim otoriter segera bergerak dengan cepat menyambut perubahan ini. Munculnya berbagai organisasi civil society menandakan sedang berjalannya proses demokratisasi di Indonesia. Organisasi massa (ormas) sebagai bentuk dari organisasi civil

society dengan cepat terbentuk di seluruh wilayah Indonesia. Ormas sebagai organisasi civil

society diharapkan mampu membantu proses demokratisasi di Indonesia dan menjalankan

perannya sebagai kontrol atas pemerintah. Kehadiran ormas tersebut tentunya menimbulkan suatu dinamika baru pada tataran sosial dan politik, terutama politik praktis. Basis massa yang merupakan sumber kekuatan ormas menjadikan ormas sebuah komoditi baru di dalam dunia politik, terutama pada momen pemilihan umum. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diharapkan kepada ormas sebagai organisasi civil society yang seharusnya dapat menjadi pendorong pertumbuhan proses demokratisasi di Indonesia, bukan sebagai komoditi politik belaka. Penelitian mengambil fokus kepada Forum Betawi Rempug (FBR) sebagai salah satu organisasi civil society. Pembahasan pada penelitian ini akan berusaha mengungkapkan seberapa besar peran FBR terhadap dinamika politik yang terjadi pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif studi kasus, dimana informasi dan data didapatkan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Dengan menggunakan metode studi kasus, penelitian dapat dijelaskan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yang dapat berupa kata-kata, gambar, kutipan-kutipan hasil wawancara, dan dokumen resmi yang mendukung penelitian ini.

(2)

ABSTRACT

Following the reform of the nation of Indonesia entering a new chapter especially on social and political order. The era of reform bringing the Indonesian nation to the purity of democracy, that impact on the order of political change. One is with concrete changes to the presidential election, the head of the local and legislative member directly. The community which has long bound by an authoritarian regime should move quickly welcome this change. The emergence of civil society organizations are indicating passage of the process of democratization in Indonesia. Mass organizations (CBOs) as a form of civil society organizations quickly formed in all parts of Indonesia. CBOs as civil society organizations are expected to assist the process of democratization in Indonesia and run their role as control over the government. The presence of these organizations would lead to a new dynamic in the social and political level, particularly practical politics. Mass base is a source of strength to make mass organizations a new commodity in the world of politics, especially at the moment of election. This is certainly contrary to what is expected to organizations as civil society organizations should be able to drive the growth of the democratization process in Indonesia, not as a mere political commodity. Focus of the research is on the Betawi Brotherhood Forum (FBR) as one of the civil society organizations. The discussion in this research will attempt to reveal how much a role the FBR on the political dynamics that occur during the election of the Governor of Jakarta in 2012. The method used is qualitative case study, in which information and data obtained by observation, in-depth interviews, and documentation. By using the case study method, the study may be explained by a descriptive qualitative approach to the form of words, pictures, quotations from the interviews, and official documents that support this research.

(3)

A. Latar Belakang

Pasca reformasi terjadi berbagai perubahan di Indonesia, terutama pada tatanan sosial dan politik. Setelah UUD 1945 di amandemen terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan seperti penguatan fungsi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berdampak pada terjadinya beberapa perubahan, yaitu sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralisasi dirubah menjadi desentralisasi atau daerah mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk mengatur daerahnya sendiri, selanjutnya perubahan lainnya yang sangat berdampak adalah dengan diadakannya pemilihan umum secara langsung mulai dari Presiden dan wakil Presiden, kepala

daerah hingga anggota legislatif.

Pada masa orde baru bangsa Indonesia telah mengalami demokrasi semu, dimana seluruh kegiatan atau pergerakan masyarakat sangat dibatasi termasuk dalam berorganisasi. Hal tersebut membuat gerakan civil society menjadi stagnan. Padahal untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) membutuhkan keseimbangan antara Negara dan civil

society. Perubahan segera terjadi pada masa reformasi, dimana kebebasan dan hak-hak setiap

warga Negara Indonesia dikembalikan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik juga sudah bukan lagi partisipasi yang dimobilisasi, melainkan partisipasi murni atas kesadaran masyarakat sendiri. Proses demokratisasi juga terlihat dengan tumbuhnya civil society dalam bentuk organisasi-organisasi seperti LSM, Ormas, Komunitas,dan lain sebagainya. Ormas sebagai salah satu organisasi civil society terlihat sangat tumbuh subur di era reformasi, terbukti dengan munculnya ormas dengan berbagai latar belakang di berbagai daerah di Indonesia. Pasca reformasi juga terlihat perubahan dalam tatanan politik di berebagai daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung telah merubah pola partisipasi maysrakat dalam politik.

Pemilihan langsung kepala daerah nyatanya dapat menumbuhkan partisipasi politik masyarakat lokal di tiap daerahnya masing-masing, dimana semua elemen yang ada di daerah tersebut dimaksimalkan oleh calon pemimpin daerah maupun partai politik yang berkepentingan, mulai dari tokoh masyarakat, pemuka agama, hingga organisasi massa. Perubahan signifikan

yang terlihat pada peran organisasi massa, terutama dalam dinamika politik lokal menampilkan perkembangan kekuatan massa pada era ini. Sebelum era reformasi, ruang gerak organisasi

(4)

massa menjadi cukup diperhitungkan, terutama dalam momen-momen politik seperti pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Sesungguhnya ada elemen-elemen lain yang mempunyai peran penting dalam mempengaruhi dinamika politik lokal di tiap daerah, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama, namun yang menjadi kelebihan dari organisasi massa ini adalah bahwa organisasi massa mempunyai basis massa yang jelas, dan cenderung mudah diarahkan karena mempunyai struktur yang jelas sehingga dapat berkoordinasi dengan baik. Sehingga dalam setiap momen politik yaitu pemilihan kepala daerah, organisasi massa kerap dijadikan sebagai komoditi politik. Hampir di

setiap momen-momen politik, organisasi massa ini dimanfaatkan oleh calon pemimpin dan partai politik yang berkepentingan untuk menghimpun massa, dalam masa kampanye, pengamanan, hingga masa pencoblosan. Hal ini adalah salah satu faktor yang membuat di era reformasi ini, organisasi massa sangat mempengaruhi dinamika politik lokal di tiap-tiap daerah.

Hal ini juga berlaku di DKI Jakarta, yang paling mencolok adalah ketika momen pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Seperti yang kita ketahui, DKI Jakarta merupakan Ibukota negara, sehingga tentu menjadi Gubernur ibukota merupakan prestise tersendiri bagi setiap calon maupun partai politik. Pertarungan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu tolak ukur penting bagi sebuah partai politik untuk bertarung dalam pemilihan umum. Partai politik yang bertarung akan berlomba-lomba memaksimalkan strategi pemenangan masing-masing. Mulai dari mesin politik, marketing politik, komunikasi politik, dan persiapan-persiapan lainnya akan dimaksimalkan. Dalam hal ini, elemen-elemen pendukung eksternal pun akan dimanfaatkan tentunya.

Elemen-elemen di luar partai politik tersebut salah satunya adalah organisasi massa yang di DKI Jakarta. Sebagai ibukota negara, DKI Jakarta merupakan kota yang masyarakatnya heterogen, dari berbagai macam daerah berkumpul di ibukota dengan berbagai kepentingan, terlebih lagi DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Tidak sedikit pula orang-orang yang datang untuk mengadu nasib. Ditengah masyarakat yang heterogen tersebut,

muncul pula organisasi massa dengan berbagai latar belakang. Organisasi massa yang mempunyai basis massa yang cukup banyak biasanya yang menjadi target dari partai-partai

(5)

Dalam studi penelitian ini, Penulis tertarik kepada organisasi kedaerahan setempat yaitu FBR (Forum Betawi Rempug), hal tersebut dikarenakan FBR merupakan organisasi kedaerahan yang merupakan suku asli di DKI Jakarta, yaitu Betawi. Organisasi ini sebagian besar berisikan orang-orang Betawi asli, atau orang-orang yang keturunan dari daerah lain di Indonesia tetapi lahir dan besar di Jakarta dan sekitarnya, seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang notabene tetangga dekat Kota Jakarta. Pembeda yang membuat FBR menjadi unik dibandingkan dengan ormas kedaerahaan lainnya adalah bahwa FBR merupakan sebuah ormas yang berdiri untuk mempertahankan kebudayaannya serta martabat etnisnya di kampung halamannya sendiri.

Biasanya etnis lokal di suatu daerah tidak perlu khawatir akan kelangsungan hidup etnisnya, namun berbeda halnya dengan etnis Betawi yang notabene hidup di tengah-tengah Ibukota Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah pendatang dari berbagai daerah. Hal tersebutlah yang membuat mereka harus bersatu dan bertahan di tengah-tangah masyarakat yang heterogen di kampung halamannya sendiri.

Dengan basis massa yang cukup besar, FBR mempunyai potensi besar untuk berperan besar terhadap jalannya dinamika politik lokal. Bukan hanya dalam ranah pemilihan, namun juga dalam mempertahankan kekuasaan, kestabilan daerah, dan mungkin juga untuk memperngaruhi penentuan kebijakan. Pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu, partai politik yang bertarung berlomba-lomba memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada untuk memenangkan calonnya masing-masing. Salah satu yang menjadi andalan dalam pemenangan pemilihan Gubernur tersebut adalah organisasi massa yang ada di DKI Jakarta, terutama yang mempunyai basis massa yang kuat. Terbukti, bahwa FBR turut serta dalam pemenangan salah satu calon dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 tersebut. Hal ini menjadi cukup menarik karena FBR adalah ormas dengan basis massa masyarakat Betawi sebagai tuan rumah di ibukota. Sehingga sangat menarik untuk menelaah lebih lanjut peran dari FBR beserta upaya-upaya pemenangan calon yang diusung oleh FBR dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 tersebut.

B. Civil Society

Civil Society dapat dimaknai sebagai kumpulan institusi atau organisasi di luar

pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis

(6)

institusi masyarakat di akar rumput, media, institusi pendidikan, asosiasi profesi, organisasi keagamaan, dan lain-lain, yang secara keseluruhan dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah maupun sektor swasta. Civil society dapat pula dilihat sebagai nilai dan norma yang menggambarkan masyarakat yang berprilaku baik: saling percaya, toleran dan penuh kerjasama. Selain itu, civil society pun seringkali didefinisikan sebagai gerakan anti hegemoni atau anti negara.1

Berkaitan dengan pengertian civil society di Indonesia sendiri, civil society atau masyarakat sipil sering dimaknai awam sebagai non-militer, akibatnya terjadi pergeseran makna

yang cukup signifikan di dalam pemahaman tersebut. Selain masyarakat sipil, istilah yang sering digunakan untuk menyebut civil society adalah masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat demokratis, masyarakat terbuka, dan masyarakat santun.

Sesungguhnya di Indonesia pemaknaan tentang civil society tidak hanya satu atau dua pengertian. Beberapa tokoh di Indonesia memberi pengertian mengenai civil society dengan berberda. Seperti halnya Muhhamad. AS Hikam mengartikan bahwa civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisir yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat oleh hukum yang berlaku.2

Pengertian civil society juga menurut Chandoke dapat didefinisikan sebagai suatu tempat dimana masyarakat masuk ke dalam hubungan dengan negara. (The site at which society enters

into a relationship with the state). Chandoke juga berpendapat bahwa civil society menjadi dasar

atau tempat berpijak bagi munculnya wacana yang rasional yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara (state accountability). Terkait hal tersebut, terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi bagi keberadaan civil society yaitu: (1) Nilai dari

civil society yang berupa partisipasi politik dan state accountability; (2) Institusi dari civil society

yang berupa forum yang representatif dan asosiasi sosial; (3) Perlindungan dari civil society adalah berhubungan dengan hak-hak individu secara umum; dan (4) Anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum.3

Jika dipaparkan secara ringkas, Civil society merupakan kumpulan individu-individu yang secar bersama-sama melakukan kegiatan untuk satu tujuan tertentu. Selain definisi dari civil

1Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di

Indonesia, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2003, hlm 4.

2 Muhammad. AS Hikam dalam Kutut Suwandoro, Civil Society di Aras Lokal, Perkembangan Hubungan antara

Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, Pustaka Percik: Salatiga, 2005, hlm 14.

(7)

society maka para aktor atau kelompok yang terlibatpun perlu diperjelas. Selama ini ada yang melihat bahwa organisasi non pemerintah (ornop) atau lebih dikenal dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan satu-satunya wadah atau wujud konkret dari civil society. Namun sesungguhnya, ornop atau LSM tersebut hanya merupakan salah satu dari organisasi civil society. Sesungguhnya ada organisasi lain yang berdampingan dengan LSM sebagai organisasi

civil society yaitu organisasi massa (ormas). Organisasi massa sendiri terdiri dari berbagai

macam kategori, ada organisasi massa keagamaan, organisasi massa komunitas, organisasi massa kedaerahan, organisasi massa organisasi massa media, organisasi massa lembaga pendidikan,

serta lembaga lain yang tidak termasuk dalam ranah politik dan ekonomi.

Namun begitu, selain LSM dan Ormas, beberapa tahun belakangan ini banyak bermunculan Forum Warga atau Forum Perkotaan. Forum Warga adalah suatu forum konsultasi dan penyaluran aspirasi warga untuk urusan pembangunan dan pelayanan publik di tingkat lokal.4 Forum Warga ini hadir untuk merumuskan permasalahan bersama, mencari solusi atas permasalahan tersebut, dan memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau tindakan tertentu, hal tersebut sekaligus menjadi media dan resolusi konflik di tingkat lokal.

Terbentuknya Forum Warga biasanya merupakan aliansi berbagai organisasi non pemerintah (Ornop/LSM), organisasi berbasis komunitas, asosiasi/kelompok sektoral (misalnya kelompok petani, buruh, pemuda, transportasi, pedagang kaki lima, perempuan, dan lain-lain) serta tokoh-tokoh lokal. Forum Warga yang terbentuk ini biasanya bersifat sektoral, tetapi kebanyakan koalisi dibangun dengan basis teritorial, walaupun tidak selalu identik dengan wilayah administratif. Artinya, bisa saja terbentuk suatu Forum Warga di suatu kawasan perkotaan yang secara administratif bisa meliputi beberapa desa atau kelurahan di beberapa kecamatan dalam satu kabupaten atau lebih.

Namun begitu, efektivitas Forum Warga juga masih diperdebatkan. Disis lain banyak kalangan yang menilai bahwa Forum ini dibentuk sebagai alat yang cukup efektif untuk

mengorganisir dan mengkonsolidasikan suara warga agar dapat terlibat dalam proses pemerintahan di tingkat lokal. Namun pihak lain menyebutkan bahwa, keputusan sebagai

perwakilan warga cukup dilakukan BPD atau DPRD yang sudah dipilih langsung secara demokratis.

(8)

Pengamatan yang dilakukan terhadap Forum Warga menunjukkan bahwa Forum Warga di Indonesia saat ini berpotensi menjadi kekuatan cukup penting untuk mewarnai dinamika politik lokal. Sebagai salah satu modus partisipasi extra-parliamentary, kehadiran Forum Warga dapat menjadi faktor koreksi dari distorsi yang terjadi pada sistem demokrasi perwakilan yang dijalankan saat ini. Sebetulnya, selain keterlibatan dalam pemilihan umum dan pemilihan formal lain di tingkat lokal seperti pemilihan anggota BPD dan DPRD, partisipasi politik warga saat ini dapat pula disalurkan melalui keterlibatannya di partai politik, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai kelompok interest.

Namun, kemunculan Forum Warga tetap menarik karena karakter dan perannya yang unik. Forum Warga adalah institusi inklusif dan plural dibandingkan dengan institusi-institusi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu Forum Warga mempunyai potensi untuk membangun kepercayaan dan modal sosial antar-kelompok masyarakat di suatu lokalitas sekaligus membangun kepercayaan dan partnership antara masyarakat dan pemerintah setempat.

Kehadiran Forum Warga dalam konteks desentralisasi di Indonesia menjadi cukup krusial karena mereka membuat pemerintah menjadi lebih terjangkau oleh rakyatnya. Artinya, Forum Warga membuat proses desentralisasi lebih bermakna. Forum Warga ini juga hadir sebagai salah satu perwujudan lain dari organisasi civil society. Dari proses kelahirannya sendiri teridentifikasi beberapa tipe Forum Warga, antara lain:5

a) Forum Warga yang lahir karena dorongan kebutuhan membentuk wadah komunikasi, pengorganisasian masyarakat, dan aksi bersama.

b) Forum Warga yang lahir sebagai tindak lanjut dari sebuah program (penelitian, seminar, pelatihan, dialog,dll), baik yang diselenggarakan LSM, Perguruan Tinggi maupun pemerintah.

c) Forum Warga yang lahir sebagai akibat/dampak/respons dari suatu program yang mensyaratkan pengorganisasian masyarakat. Forum-forum seperti ini biasanya mudah mendapatkan legitimasi terutama dari pemerintah, karena kehadirannya sebagai bagian

dari program diakui secara formal.

Kehadiran organisasi civil society semenjak reformasi meningkat secara signifikan.

Seperti halnya berbagai organisasi civil society yang lahir di Ibukota Jakarta, di tengah kota yang

(9)

heterogen tersebut banyak bermunculan organisasi-organisasi civil society dengan berbagai kategori dan latar belakang. Salah satunya adalah Forum Betawi Rempug (FBR).

Kehadiran FBR didasarkan atas perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi, yang selama ini tertindas secara struktural ataupun kultural, merupakan bagian untuk menjaga martabat bangsa agar jangan sampai negara yang kaya dengan pulau dan etnis ini memperlakukan suatu suku yang ada di dalamnya menjadi inferior, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan dan kerawanan sosial. Menurut pendapat mereka, adalah suatu kesalahan, bila suatu bangsa yang besar semacam Indonesia justru memarjinalkan entitas

masyarakat, apalagi putra daerah, dalam mengembangkan kearifan lokal, yang pada gilirannya akan memunculkan benih-benih permusuhan. Selain memperjuangkan suatu ranah kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, dasar pemikiran mereka juga merujuk pada pentingnya mempersiapkan mental masyarakat itu untuk memiliki harga dan kepercayaan diri supaya siap berkompetisi secara bebas dengan karifan lokal yang dimilikinya, sehingga mereka mampu menjadi lokomotif kemajuan bagi daerahnya.

C. Forum Betawi Rempug

Pada awalnya beberapa ulama muda Betawi (seperti KH. A. Fadloli el-Muhir dan KH. Lutfi Hakim, MA) tidak ingin kasus yang terjadi pada suku Aborigin di Australia menimpa masyarakat Betawi. Atau kasus yang terjadi pada suku Indian di Amerika dialami bangsa Indonesia. Kalau kedua kasus tersebut juga terjadi, bagaimana citra bangsa ini ke depan. Oleh karena itu, perjuangan FBR untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi, yang selama ini tertindas secara struktural ataupun kultural, merupakan bagian untuk menjaga martabat bangsa agar jangan sampai negara yang kaya dengan pulau dan etnis ini memperlakukan suatu suku yang ada di dalamnya menjadi inferior, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan dan kerawanan sosial.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus berusaha menghargai dan menempatkan suku-suku dan entitas yang ada dalam masyarakatnya sejajar satu sama lain untuk bisa

mengembangkan kearifan lokal dan (sekaligus) memperkaya khazanah bangsa yang majemuk. Adalah suatu kesalahan, bila suatu bangsa yang besar semacam Indonesia justru memarjinalkan

(10)

gilirannya akan memunculkan benih-benih permusuhan. Dalam memberdayakan masyarakat suatu daerah, tidak hanya membutuhkan suatu kebijakan yang berpihak pada mereka, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan mental masyarakat itu untuk memiliki harga dan kepercayaan diri supaya siap berkompetisi secara bebas dengan karifan lokal yang dimilikinya, sehingga mereka mampu menjadi lokomotif kemajuan bagi daerahnya. Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, maka pada tanggal 29 Juli 2001, di Pesantren Ziyadatul Mubtadi’ien dibentuklah suatu wadah yang menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi, berazaskan Islam serta berlandaskan Al-Qur'an, As-Sunnah, Pancasila dan

UUD 1945, yang kemudian dikenal dengan nama: FORUM BETAWI REMPUG yang disingkat FBR. Hingga tahun 2014 Organisasi Forum Betawi Rempug telah mempunyai anggota sebanyak kurang lebih 500 ribu orang dan memiliki 400 gardu se-Jabodetabek

Tokoh-tokoh pemuda Betawi yang mendirikan FBR secara umum menginginkan agar terwujud masyarakat Betawi yang bersatu, dengan ajaran agama, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT. Maka dari itu dikatakan bahwa masyarakat Betawi mesti “Rempug” yang artinya bersatu, solid, dan kokoh. Dari tujuan tersebut nampak bahwa FBR didirikan selain untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh hegemoni pembangunan, juga di set up sebagai organisasi dakwah. Kehadiran FBR juga merupakan upaya Kyai Fadloli dalam mengimplementasikan paradigma baru dakwah yang tidak hanya mengajarkan aspek-aspek normatif, tetapi juga dakwah secara konkret untuk melakukan perubahan pada aspek individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintahan, agar terjadi keseimbangan, dan penguatan dari masing-masing elemen tersebut. Guna menuju sebuah masyarakat yang ideal yang dalam terminologi politik disebut masyarakat madani (civil society). Fenomena Forum Betawi Rempug tersebut rupanya sejalan dengan apa yang dikatakan Clifford Geertz yang dikutip Arbi Sanit, berpandangan bahwa agama, keturunan, bahasa, ras, adat, dan ikatan kedaerahan merupakan faktor-faktor yang mengikat masyarakat dalam suatu kesatuan sosial.6

6

(11)

D. Forum Betawi Rempug Sebagai Civil Society

Posisi etnis Betawi kian terdesak dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri, hal tersebut merupakan salah satu alasan kuat terbentuknya Forum Betawi Rempug (FBR). Bagi pendiri FBR, Kyai Fadloli El Muhir, prinsip dasar perjuangan FBR adalah bagaimana orang Betawi bisa mencari penghidupan di Jakarta. Gaya Kyai Fadloli yang meledak-ledak khas dialek Betawi terkadang seperti tengah memprovokasi masyarakat dan generasi muda Betawi. Namun hal tersebut bukanlah dimaksudkan untuk mengarahkan masyarakat betawi untuk menyelesaikan berbagai persoalan dengan tindakan-tindakan anarkis, namun untuk memotivasi masyarakat agar

bangkit meraih peluang di kampung halaman sendiri.

Sang Kyai bertujuan untuk membangkitkan semangat dan membangun kerempugan masyarakat Betawi dalam memperjuangkan hak-haknya yang sering termarginalisasi. Sang Kyai tidak ingin, kasus yang terjadi pada suku Aborigin di Australia terjadi pada masyarakat Betawi7. Begitu juga dengan suku Indian di Amerika, menurut Kyai Fadloli, jika semua ini terjadi di Indonesia, akan mencoreng citra bangsa Indonesia sendiri.8 Sehingga perjuangan FBR untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi, merupakan bagian untuk menjaga martabat bangsa, agar jangan sampai bangsa yang memiliki ribuan pulau dan suku ini, memperlakukan suatu suku di negeri sendiri secara inferior. Hal ini dapat menjadi bibit disintegrasi bangsa.

Kyai Fadloli bersama FBR beranggapan bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa yang besar seperti Indonesia adalah bagaimana menghargai dan menempatkan suku-suku dan entitas yang ada dalam masyarakat itu sejajar dengan suku lainnya, untuk dapat mengembangkan kearifan lokal, sekaligus memperkaya khasanah bangsa yang majemuk. Dalam memberdayakan penduduk di suatu daerah, tentu tidak hanya dibutuhkan sebuah kebijakan yang berpihak pada masyarakatnya, namun yang tidak kalah pentingnya, adalah menyiapkan masyarakat di daerah tersebut agar siap berkompetisi secara bebas, dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki.

Dalam tugas semacam inilah, FBR yang didirikan oleh Kyai Fadloli memiliki peran untuk mendorong masyarakat Betawi, agar tak hanya menjadi tuan rumah di kampung halaman

sendiri, melainkan juga menjadi bagian dari masyarakat madani (civil society), sebuah

(12)

masyarakat yang mandiri, serta menjadi lokomotif kemajuan bagi daerahnya. Civil Society sendiri dapat diterjemahkan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya9. Dengan demikian, para pendiri mengharapkan dengan berdirinya FBR dapat menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran masyarakat Betawi terutama yang berada di DKI Jakarta dan sekitarnya untuk membangun dirinya sendiri, agar mandiri sehingga dapat berkompetisi dengan siapa saja yang datang ke

Jakarta, tanpa harus merasa terdeskriminasi.

Dalam terminologi politik FBR yang didirikan oleh Kyai Fadloli terus melakukan penguatan basis massa masyarakat sipil (civil society). FBR sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh komunitas masyarakat Betawi berusaha mewujudkan sebuah masyarakat yang demokratis, dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak serta kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Maka, FBR sebagai organisasi masyarakat sipil (civil society organization) terus mendorong pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menuangkang kreatifitasnya untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.

Bagi FBR, kebebasan untuk menuangkan kreatifitas jauh lebih penting dari pada pemberian bantuan. Para pendiri FBR terus menanamkan untuk membangun kemandirian dan pengembangan diri bagi masyarakat, khususnya masyarakat Betawi. Pendiri FBR juga terus menghimbau kepada seluruh anggotanya, agar menyumbang 2,5 persen dari penghasilannya kepada anak yatim piatu. Bagi Kyai Fadloli, FBR bisa bertahan bukan karena pimpinan pusat, bukan karena Korwil, namun karena kerempugan. Menjadi masyarakat madani (civil society) yang kuat mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi, yakni democratic governance, Pemerintah yang dipilih dan berkuasa secara demokratis, serta democratic civilian, masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security, civil responsibility, dan civil resilience10.

Langkah FBR untuk melakukan persiapan, khususnya menyiapkan masyarakat Betawi menjadi

9

Muhammad As Hikam, Demokrasi dan Civil society (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996) hlm. 3.

10 Edi Suharto, Dr, SH, MSC, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam

(13)

tuan rumah di kampunya sendiri, di sisi lain, juga bersikap kritis terhadap pemerintah pusat dan pemerintah DKI. Sikap ini tidak adalah upaya untuk mendorong democratic governance dan

democratic civilian.

E. Kiprah Politik Forum Betawi Rempug

Organisasi Massa (Ormas) yang diketahui sebagai organisasi masyarakat sipil memang sangat beragam dan bisa terdiri dari bermacam-macam tujuan. Organisasi masyarakat sipil seperti FBR biasa disebut Ormas, yaitu Ormas yang berlatar kedaerahan atau kebudayaan. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan Ormas yang berlatar kebudayaan seperti FBR untuk berpartisipasi dalam dunia politik, terutama politik praktis. “Secara organisasi, “FBR tidak terjun ke dunia politik, namun kita membebaskan anggota FBR secara individu untuk berpolitik atau terjun ke dunia politik”. Ungkapan Ketua Umum FBR ini telah memperkuat wacana bahwa FBR sebagai organisasi masyarakat bukan tidak mungkin berpolitik, walaupun tidak secara lembaga namun memungkinkan mengirim anggotanya sebagai kepanjangan tangan FBR di dunia politik.

Kiprah politik FBR diawali oleh keputusan sang Kyai (pendiri FBR) KH A Fadloli El Muhir untuk berkecimpung dalam dunia politik melalu sebuah partai politik. Sang Kyai mengambil keputusan yang cukup unik, yaitu bergabung dengan PDI, dan menjadi caleg dari partai tersebut pada pemilu legislatif tahun 1997. Pada tahun tersebut memang FBR belum berdiri, namun keputusan sang Kyai tersebutlah yang memunculkan embrio yang akan menjadi Forum Betawi Rempug kelak. Keputusan Kyai Fadloli bergabung bersama PDI memang menuai kritik, karena banyak yang mempertanyakan mengapa beliau tidak bergabung dengan partai Islam. Namun demikian, Sang Kyai tentu mempunyai alasan tersendiri. Beliau ingin membuktikan bahwa dirinya bersama pendukungnya adalah bagian dari bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Dari dasar inilah cikal bakal yang menjadikan FBR sebagai Ormas yang berlatar kedaerahan atau kebudayaan serta agama, namun sangat moderat dan dapat menerima perbedaan.

Selain itu ada beberapa alasan mengapa Sang Kyai memilih masuk PDI. Diantaranya,

(14)

saja untuk menduduki jabatan politik, tanpa memandang keturunan.11 Pendapat Kyai Fadloli terbukti dengan beliau bisa duduk di Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama tahun 1998-2003. Forum Betawi Rempug (FBR) sendiri baru mulai terlibat secara langsung dengan kegiatan politik di tanah air pada tahun 2004, dengan mencalonkan Kyai Fadloli sebagai anggota DPD DKI Jakarta. Namun memang usaha tersebut belum berhasil. Pada tahun 2009 pemilu secara langsung untuk yang kedua kalinya digelar. Pada masa tersebut Kyai Fadloli yang sebelumnya pernah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), kali ini beliau mencalonkan diri sekali lagi menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta.

Sejak tahun 2001 didirikan hingga tahun 2009 pada saat pemilu tersebut, FBR sudah berkembang dengan pesat, dan menjelma menjadi sebuah Ormas yang cukup diperhitungkan, dengan jumlah anggota dan gardu yang semakin bertambah, dan siap memberikan dukungan penuh kepada sang Kyai. Salah satu syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD adalah dengan mengumpulkan fotocopy KTP dari masyarakat DKI Jakarta dengan jumlah yang ditentukan oleh KPUD. Dengan begitu FBR sebagai basis massa pendukung Kyai Fadloli sigap menyelesaikan persyaratan tersebut, sehingga pada waktu itu terkumpul 3.510 fotocopy KTP sebagai tanda dukungan kepada Sang Kyai.

Bagi FBR, mencalonkan Sang Kyai maju sebagai anggota DPD DKI Jakarta adalah sebagai sebuah ikhtiar dari kegiatan dakwah yang selalu diusung FBR, agar bisa melakukan perubahan khususnya bagi masyarakat Jakarta. Dalam melakukan sebuah perubahan tentu seseorang atau kelompok bisa melakukannya sewaktu-waktu dengan segala daya dan upaya yang ada. Namun untuk dapat mengimplementasikan suatu tujuan agar dapat terlaksana secara massif, menduduki sebuah jabatan atau memperoleh kekuasaan di dalam suatu lembaga tertentu di sebuah Negara akan lebih efektif. Karena FBR berpendapat, untuk melakukan perubahan-perubahan akan memakan waktu yang sangat lama jika hanya dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural, seperti melakukan demonstrasi maupun penggalangan opini publik. Sehingga masuk kedalam system dirasa akan lebih efektif.

FBR berikhtiar untuk dapat menjalankan dakwah yang diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu memperbaiki individu-individu, memperbaiki

(15)

keluarga, memperbaiki masyarakat, dan memperbaiki pemerintahan dan Negara. Dengan ikhtiar semacam itu pada tahun 2009, FBR tidak hanya memajukan Kyai Fadloli sebagai calon anggota DPD, namun banyak anggota FBR yang bernaung di berbagai partai politik juga ikut serta mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Kyai Fadloli dan FBR dengan senang hati mendukung secara penuh kepada para anggotanya yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Karena, semakin banyak anggota FBR yang menduduki kursi anggota legislatif, akan semakin terbuka lebar juga kesempatan FBR untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu melakukan perubahan bagi pemerintahan dan Negara. Bahkan FBR bercita-cita kedepannya akan terbentuk

koalisi parlemen FBR.12

Persiapan untuk maju di pemilu 2009 tentu tidak semerta-merta secara singkat. Persiapan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2004 sejak FBR melalui wakilnya Kyai Fadloli tidak berhasil terpilih sebagai anggota DPD. Sehingga pada tahun 2007 FBR memutuskan untuk terlibat secara aktif pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Pada pilkada DKI Jakarta 2007 Pasangat Fauzi Bowo dan Priyanto didukung oleh 20 partai politik dan 80 Ormas. Namun nyatanya FBR malah beralih mendukung calon dari kubu lawan, yaitu pasangan Adang Darjatun dan Dhani Anwar, yang didukung bersama PKS. Keputusan FBR untuk mendukung pasangan tersebut sesungguhnya tidak hanya mengincar kemenangan, namun untuk mengukur suara FBR. Karena jika FBR mendukung pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto, suara FBR tidak akan terlihat akibat banyaknya partai dan ormas pendukung, sehingga akan menyulitkan FBR untuk mengukur kekuatannya.

Kyai Fadloli selaku ketua umum FBR mempunyai pandangan kedepan demi persiapan FBR menuju pemilu 2009. Sehingga langkah mendukung pasangan Adang Darjatun dan Dhani Anwar dirasa cukup efektif untuk mengukur kekuatan FBR guna bertarung pada pemilu 2009 yang akan datang. Hasilnya memang pasangan yang diusung FBR kalah dalam pilkada tersebut, namun perolehan suaranya cukup mengejutkan. Setelah digempur oleh 20 partai politik dan 80 Ormas, perolehan suara Adang Darjatun dan Dhani Anwar pada pilkada 2007 adalah sebesar

42%, dimana FBR memberikan sumbangsih suara yang cukup signifikan bagi pasangan tersebut. Dengan kenyataan yang semacam itu, dapat menjadi modal yang cukup baik bagi calon-calon

dari FBR untuk bertarung pada pemilu 2009. Terlebih lagi dengan kurun waktu dua tahun jumlah

(16)

massa FBR semakin bertambah banyak, otomatis massa riil yang diperoleh akan semakin banyak.

Dalam pertarungan pada pemilu dan pilkada FBR selalu menjadikan gardu sebagai ujung tombak. Bagaimana tidak, setiap gardu FBR minimal mempunyai 100 orang anggota aktif, dan gardu-gardu FBR selalu bertambah banyak jumlahnya. Terlebih lagi memang gardu adalah yang paling dekat dengan masyarakat karena anggota FBR di sebuah gardu sudah pasti bagian dari masyarakat di wilayah gardu tersebut berada. Sehingga tidak aneh jika gardu dijadikan mesin politik FBR. Sistem seperti ini yang membuat FBR sedikit berbeda dengan kebanyakan sistem

yang diterapkan partai politik. Pasalnya, FBR tidak perlu lagi repot-repot untuk membentuk tim pemenangan di setiap wilayah, FBR sudah mempunyai gardu-gardu yang tersebar di setiap wilayah di DKI Jakarta yang otomatis adalah tim pemenangan dari setiap calon yang diusung oleh FBR. Sehingga para pengurus pusat hanya perlu keliling ke setiap gardu untuk melakukan konsolidasi dan memberikan arahan kepada para pendukungnya.

Memang FBR sudah mempunyai massa riil yang jika ditilik mempunyai kemungkinan cukup besar untuk meloloskan calon-calonnya dalam pemilu 2009. Namun disisi lain FBR menyadari bahwa tidak bisa hanya mengandalkan massa saja dalam pemenangan, namun harus juga mempunyai visi yang jelas untuk diperjuangkan. Visi tersebut diharapkan akan mampu mengambil simpati masyarakat yang bukan anggota FBR untuk turut mendukung calon-calon dari FBR dalam memperjuangkan tujuan-tujuannya. Dalam kesempatan tersebut FBR melalui Kyai Fadloli menyampaikan visinya, yaitu untuk mewujudkan kota Jakarta yang makmur, religious, dan disegani serta diperhitungkan di dunia internasional. Untuk mewujudkan kota semacam itu, tentu harus melibatkan seluruh komponen yang ada di ibukota, termasuk masyarakat Betawi. FBR berharap masyarakat Betawi dapat mengambil peran yang paling depan, sehingga di masa mendatang masyarakat Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta akan menjadi tuan rumah di kotanya sendiri.

Keinginan tersebut jelas sesuai dengan latar belakang atau alasan didirikannya Forum

Betawi Rempug (FBR). Namun demikian, mereka sadar bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah masyarakat yang sangat heterogen, sehingga FBR tidak dapat melangkah secara kaku dan

(17)

mensinergikan diri dengan masyarakat Jakarta non-Betawi untuk saling bahu membahu membangun kota Jakarta. Berbagai upaya dilakukan oleh FBR demi mencapai sinergitas antara FBR dengan masyarakat non-Betawi. Salah satunya dengan mereformasi keanggotaan FBR, yaitu FBR bukan hanya untuk orang Betawi, namun juga untuk masyarakat non-Betawi yang tinggal di Jakarta. Reformasi keanggotaan ini juga mencakup keanggotaan yang menjadi lintas etnis dan agama.13 Bukan hanya Betawi dan Islam saja yang mengisi FBR, namun menjadi lebih heterogen. Diharapkan, FBR dapat menjadi miniature Indonesia di Jakarta dengan segala keberagamannya.

Langkah yang dilakukan FBR dalam hal ini cukup efisien, terutama kaitannya dalam prospek politik kedepannya. Dengan tidak menutup diri dari kalangan masyarakat yang beragam yang ada di kota Jakarta, FBR menjadi lebih mudah diterima di masyarakat. Hal ini merupakan modal politik yang cukup menjanjikan, karena FBR telah dapat mengambil simpati dari masyarakat non-Betawi. Maka dari itu, tidak heran jika setiap tahunnya jumlah anggota FBR selalu bertambah yang menjadikan FBR sebagai salah satu Ormas yang cukup disegani. Saat ini FBR berhasil menempatkan delapan anggotanya di DPRD DKI Jakarta, yang berasal dari berbagai partai politik.

F. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012

Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang-undang nomor 15 tahun 2011 telah memuat pelbagai pengaturan untuk menjamin terpenuhinya prinsip pemilu tersebut, guna memastikan terpenuhinya prinsip demokrasi dan fairness dalam keseluruhan proses dan hasil pemilu. Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada tahun 2012 yang lalu dapat dikatakan sebagai

Pilgub yang paling menarik dalam satu dekade ini. Dimana terdapat enam pasang calon yang saling bertarung. Pasangan Dr. Ing. H. Fauzi Bowo – Mayjen (Purn) H. Nachrowi Ramli, SE

nomor urut satu (1), pasangan Mayjen TNI (Purn) Drs. H. Hendardji Soepandji, SH – Ir. H. A

(18)

Riza Patria, MBA nomor urut dua (2), pasangan Ir. H. Joko Widodo – Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM nomor urut tiga (3), pasangan Dr. H. M Hidayat Nurwahid, MA – Prof. Dr. Didik Junaedi Rachbini nomor urut empat (4), pasangan Faisal Batubara – Biem Triani Benjamin mendapat nomor urut lima (5), dan pasangan Ir. H. Alex Noerdin, SH – Letjen Marinir (Purn) Nono Sampono mendapat nomor urut enam (6).14

Hal yang menarik pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 ini, selain diikuti enam pasang calon, ternyata diantara enam calon Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut ada yang berasal dari calon independen atau tidak didukung oleh kekuatan

Partai Politik. Calon tersebut adalah pasangan Mayjen TNI (Purn) Drs. H. Hendardji Soepandji, SH – Ir. H. A Riza Patria, MBA dan pasangan Faisal Batubara – Biem Triani Benjamin. Pertarungan para calon Gubernur dan Wakil Gubernur ini harus memasuki putaran kedua karena tidak ada satupun kandidat yang mendapatkan suara 50%. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 pada putaran kedua menyajikan pertarungan yang sengit antara pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli melawan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama. Persaingan yang sengit ini terjadi pada putaran kedua, dikarenakan kala itu Fauzi Bowo adalah incumbent berhadapan dengan pendatang baru yang bukan berasal dari DKI Jakarta namun sangat popular di tataran publik, yaitu Joko Widodo yang sebelumnya tengah menjabat sebagai Walikota Solo.

Namun yang menjadikan lebih menarik dari pertarungan ini adalah ketika dalam momen politik dengan tensi yang sangat tinggi tersebut ternyata ada suatu hal yang tidak disadari, dimana tingkat partisipasi politik masyarakat turut meningkat, bahkan dapat dikatakan cukup tinggi. Euforia Pilkada tersebut tidak seperti pada pemilihan-pemilihan sebelumnya, dimana yang merasakan dan berpartisipasi sebagian besar adalah mesin-mesin parpol atau tim sukses dari para calon. Masyarakat diluar tim sukses pun turut berpartisipasi aktif dengan berbagai cara pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 tersebut. Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 dari data KPUD DKI Jakarta dinyatakan daftar pemilih tetap sebanyak 5.725.756 orang, dan yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 3.737.059 orang. Jumlah suara sah dari kedua calon kala itu adalah 3.645.066 orang dan jumlah suara tidak sah adalah sebanyak 91.993.15 Sedangkan pada

14

Dari Pengumuman Hingga Penentuan Nomor Urut, diakses dari, www.kpujakarta.go.id, diakses pada tanggal 15-01-2015, Pukul 19.33 WIB.

15

(19)

Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dengan enam pasang calon menurut data KPUD DKI Jakarta memiliki daftar pemilih tetap pada putaran pertama sebanyak 6.962.348 orang.

Jumlah pemilih pada putaran pertama sebanyak 4.429.533 orang dengan jumlah suara sah sebanyak 4.336.486 suara dan suara tidak sah sebanyak 93.047 suara. Sedangkan jumlah daftar pemilih tetap pada putaran kedua sebanyak 6.996.951. Dengan jumlah pemilih pada putaran kedua sebanyak 4.667.941 orang, dengan suara sah sebanyak 4.592.945 suara dan suara tidak sah sebanyak 74.996 suara.16 Data tersebut telah menunjukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Angka golput pada Pilkada DKI

Jakarta tahun 2012 tersebut juga lebih kecil dibandingkan pada Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2007. Peningkatan partisipasi masyarakat tersebut selain dipicu oleh jumlah calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang cukup banyak, juga dipicu oleh munculnya tokoh-tokoh populer yang turut serta bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 tersebut.

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang lalu, euphoria dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Ibukota, bahkan Indonesia. Partisipasi konkret dari masyarakat yang dapat kita lihat dengan banyak terbentuknya relawan dari setiap calon. Cukup menarik, karena relawan-relawan tersebut nyatanya memang tidak diberikan upah untuk turut serta memeriahkan pesta demokrasi tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri memang ada beberapa “relawan” yang berasal dari mesin parpol atau tim sukses dari para calon. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik masyarakat DKI Jakarta pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 relatif meningkat. Hal ini juga dipicu oleh maraknya penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye. Karena dewasa ini media sosial dianggap sebagai sarana modern dalam berkampanye. Hal ini yang pada akhirnya turut meningkatkan partisipasi masyarakat, dimana masyarakat yang ingin berpartisipasi namun tidak memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan kampanye, dapat melakukannya dengan hanya berada di tempatnya masing-masing, yaitu melalui media sosial.

Dengan meningkatnya partisipasi politik tersebut menandakan sedang bertumbuhnya

kesadaran masyarakat mengenai pentingnya partisipasi politik dan berarti pula sedang berjalannya proses demokratisasi di Indonesia terutama DKI Jakarta. Hal ini merupakan suatu

16 Laporan Pilgub DKI 2012, diakses di,

(20)

proses yang sangat baik mengingat sejak rezim orde baru pemilihan umum secara langsung untuk pertama kali baru diselenggarakan pada tahun 2004. Namun demikian proses demokratisasi yang baik ini pada Pilgub 2012 lalu masih tercemar oleh aksi-aksi yang tidak sepantasnya dilakukan. Beberapa aksi diantaranya adalah kampanye hitam (black campaign) yang ditujukan kepada para calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Belum lagi terdapat issu sara yang melanda salah satu kubu (Jokowi-Ahok). Aksi ini lebih banyak terjadi di dunia maya atau lebih tepatnya di jejaring sosial media. Memang aksi seperti ini sangat sulit diantisipasi karena di dunia maya atau jejaring sosial media adalah wilayah yang paling sulit di kontrol. Setiap akun

yang dibuat di jejaring media sosial belum tentu akun pribadi atau asli dari individu yang mem-posting suatu konten, melainkan akun-akun anonim. Maka terjadilah keunikan lainnya pada Pilgub Tahun 2012, yaitu terjadinya Twit-War (perang melalui Twitter) sebagai salah satu jejaring media sosial yang paling popular. Terlebih lagi, nyatanya Indonesia terutama DKI Jakarta adalah pengguna Twitter dan Facecook terbesar di dunia.

(21)

Tabel 1 Hasil Rekapitulasi Pilgub DKI Jakarta Putaran ke-1

Tabel 2 Hasil Rekapitulasi Pilgub DKI Jakarta Putaran ke-2

G. Peran Forum Betawi Rempug Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012

(22)

Gubernur dan Partai Politik semata, namun juga berbagai unsur lain di dalamnya. Masyarakat juga patut diperhitungkan sebagai bagian dalam pertarungan ini, karena tanpa adanya partisipasi masyarakat tentunya Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 ini tidak akan berlangsung dengan baik. Dalam tataran masyarakat atau sebagai unsur yang berasal dari luar Partai Politik kita dapat melihat adanya suatu gerakan civil society dalam kesempatan ini yang jelas terklasifikasi dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 ini selain Partai Politik, LSM dan Organisasi Masyarakat sebagai sebuah civil society tentu tidak dapat kita singkirkan perannya dalam

menjalankan dinamika politik di dalam pertarungan tersebut. Memang jika ditilik dari segi kuantitas, Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki andil yang dapat berdampak cukup signifikan dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 tersebut. Omas sebagai organisasi yang sangat mengandalkan kekuatan massa dalam setiap gerakannya merupakan salah satu bagian penting dalam pertarungan ini. Jumlah massa yang dimiliki sebuah Ormas akan sangat berguna sebagai lumbung suara para calon Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut.

Seperti pilkada sebelumnya, pasangan cagub-cawagub biasanya akan berusaha menarik hati organisasi-organisasi kedaerahan, seperti FBR ataupun Forkabi yang menjadi organisasi besar masyarakat asli Jakarta. Hal itu dilakukan untuk mengerahkan massa pendukung dalam pemungutan suara mendatang. Demikian juga dengan Forum Betawi Rempug (FBR) yang menurut data memiliki 300 lebih gardu yang tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek dengan anggota kurang lebih sebanyak 500.000 di seluruh Jabodetabek. Dengan jumlah yang demikian fantastis FBR diklaim sebagai Ormas dengan jumlah anggota terbanyak di Jabodetabek.

Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012, FBR memberikan dukungannya kepada pasangan Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli (Nara). Beberapa alasan diungkapkan oleh FBR melalui pimpinannya mengapa mereka memilih untuk mendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut, padahal saat itu terdapat lima pasangan calon yang lainnya. KH. Luthfi Hakim memaparkan, “Fauzi Bowo dan Nachrowi

Ramli adalah putra Betawi asli dan mereka memang layak untuk didukung dan layak untuk menjadi pemimpin di Jakarta”. Selain itu alasan yang begitu kuat yang melatar belakangi

(23)

“Nachrowi Ramli (Nara) merupakan Jendralnya Betawi, karena beliau sangat concern terhadap kebudayaan Betawi”. Selain itu ternyata Nachrowi Ramli juga adalah ketua Badan Musyawarah (Bamus) Betawi.

Organisasi masyarakat yang sudah besar tentunya tidak lepas dari dinamika di dalam tubuh organisasinya sendiri, terlebih lagi dalam menentukan sikap atau arah serta dalam suatu pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi pasti tidak akan mudah. Namun berbeda halnya dengan FBR, karena segala keputusan di dalam FBR ada di tangan Ketua Umum. Seperti yang dipaparkan salah satu pengurus Korwil FBR di Jakarta Timur, “kita (FBR) menganut sistem

immamah, jadi kita harus nurut sama pimpinan, jika pimpinan bilang A ya kita harus ikut”. Sehingga dalam pengambilan keputusan terkait dukungannya terhadap pasangan Foke-Nara, FBR tidak mengalami kesulitan yang berarti. “Setiap ada momentum seperti Pilkada dan semacamnya, kita menjadikan hal tersebut ajang pendisiplinan. Bagi anggota yang tidak mengikuti instruksi maka kita kasih pilihan, dia keluar atau mematuhi. Bagi kami, anggota yang sedikit tapi solid lebih penting”.

Namun demikian tetap ada rapat antara pimpinan dengan para pengurus pusat dan koordinator di setiap wilayah untuk mendengarkan saran dan mempertimbangkan segala sesuatunya, hingga pada akhirnya keputusan akhir memang mutlak ada di tangan KH. Luthfi

Hakim sebagai Ketua Umum FBR. “Bentuk dukungan kepada Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli

adalah dalam semua hal, termasuk dukungan massa. Teman-teman yang punya kontrakan mewajibkan orang-orang di kontrakannya untuk memilih apa yang didukung FBR”. Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, FBR mendirikan Relawan Rempug sebagai tim pendukung guna memenangkan Foke-Nara. Selain itu FBR juga membentuk sebuah tim yang khusus menangani kritik dan saran dari masyarakat terkait pasangan Foke-Nara dengan membuat sms centre. Begitu juga pada masa penghitungan suara FBR juga melakukan quickcount versi FBR.

H. Organisasi Massa Sebagai Komoditi Politik

Sebagai ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya

perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkurung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat

(24)

komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.17 Dengan demikian, maka civil

society mewujud dalam berbagai organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar

pengaruh Negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest group) adalah pengejawantahan kelembagaan civil society. Namun tentu saja tidak semua pengelompokan tersebut lantas memiliki kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan Negara atau mampu mengambil jarak dari kepentingan ekonomi.

Lahirnya Forum Betawi Rempug (FBR) sebagai salah satu perwujudan organisasi masyarakat adalah akibat keresahan-keresahan yang dirasakan oleh masyarakat Betawi. FBR berdiri sebagai organisasi masyarakat yang siap membela kepentingan-kepentingan etnis Betawi di kampung halamannya sendiri. Pelestarian budaya dan dakwah juga menjadi agenda utama dari FBR. Para pendiri FBR terutama Kyai Fadloli El Muhir mempersiapkan FBR untuk menjadi wadah bagi masyarakat Betawi untuk mengekspresikan diri sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan sukarela dan dapat menjadi sebuah satuan masyarakat yang tumbuh dengan swasembada dan swadaya serta masyarakat yang mandiri dari negara, dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum.

Pada masa awal FBR berdiri, organisasi masyarakat tersebut benar-benar menjaga kemandiriannya dengan tidak mau menerima sumbangan (dana) dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan oleh Kyai Fadloli agar independensi FBR tetap terjaga, sehingga FBR dapat menjadi satuan civil society yang benar-benar menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material. Pendiri FBR beranggapan bahwa, dalam memberdayakan penduduk di suatu daerah, tentu tidak hanya dibutuhkan sebuah kebijakan yang berpihak pada masyarakatnya, namun yang tidak kalah pentingnya, adalah menyiapkan masyarakat di daerah tersebut agar siap berkompetisi secara bebas, dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki. Sehingga FBR mula-mula dikenal sebagai organisasi masyarakat yang berperan aktif untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama

pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Fungsi kontrol yang dilakukan FBR tentunya dalam koridor fungsi civil society.

(25)

Hal ini sepaham dengan apa yang dikatakan Chazan dalam Hadiwinata (2003): “civil

society adalah kelompok-kelompok asosiasi yang bisa berfungsi sebagai pengerem kekuasaan

Negara (sehingga dengan sendirinya selalu berseberangan dengan Negara), sebagai perantara yang budiman antara kepentingan Negara dan aspirasi lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang saling berinteraksi antarsesamanya dalam suatu struktur formal yang bisa memfasilitasi atau menghambat tata kelola Negara”.18

Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha melalui sebuah gerakan (aktivisme civil society) yang dilakukan oleh FBR cukup gencar sehingga hal tersebut secara tidak langsung dirasakan dan diharapkan sebagai pemicu dari

terciptanya gerakan sosial dan semakin bertumbuhnya organisasi-organisasi civil society yang menandakan proses demokratisasi terus bertumbuh, terutama di DKI Jakarta. Pertumbuhan dari gerakan-gerakan oleh organisasi civil society tersebut membuat peran dari civil society sebagai penyeimbang Negara dalam mewujudkan good governance sangat penting, terutama dalam proses demokratisasi di era otonomi daerah.

Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme civil society yang khas. Sebagai bentuk aktivisme yang khas, gerakan sosial tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.19 Gerakan sosial juga tidak semata-mata hanya sebuah aksi kolektif terhadap suatu masalah, namun juga harus dapat dengan jelas mengidentifikasikan target aksi tersebut dan mengartikulasikannya dalam konteks sosial maupun politik tertentu.20 Gerakan sosial juga tidak bisa direpresentasikan oleh satu organisasi tertentu. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam actor individu maupun kelembagaan yang mandiri.21

Organisasi seperti FBR tentu akan sangat mempunyai pengaruh besar dalam mempelopori sebuah gerakan sosial yang tentunya bertujuan untuk kepentingan rakyat di DKI

18 Bs Hadiwinata, The Politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement (London:

(26)

Jakarta maupun cakupan yang lebih luas. Dengan basis massa yang sangat banyak, serta mempunyai tokoh-tokoh intelektual yang mumpuni seharusnya FBR dapat berbuat lebih banyak dalam menopang penguatan civil society sehingga berdampak pada proses demokratisasi yang semakin bertumbuh. Namun realita yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan, dimana peran organisasi masyarakat dengan kapasitas yang begitu besar seperti FBR nyatanya justru seperti terpendam. Jauh dari gambaran akan terjadinnya gerakan atau aktivisme sosial. Organisasi masyarakat yang begitu besar seperti FBR nyatanya hanya menjadi sebuah kendaraan bagi kegiatan-kegiatan premanisme yang dibungkus dengan rapih.

Pendiri-pendiri FBR mengatakan pada awalnya merangkul preman agar dapat membawa mereka ke jalan yang benar, namun nyatanya justru para preman yang membawa FBR ke jalan premanisme. Memang tidak semua anggota FBR adalah preman, namun saat ini dalam tubuh organisasi tersebut tidak memiliki suatu kegiatan yang berdampak, jauh dari apa yang dicita-citakan organisasi tersebut atau digambarkan sebagai suatu civil society. Setiap gardu dan korwil FBR tidak lagi mempunyai kegiatan seperti yang menjadi visi misi mereka, yaitu melestarikan budaya Betawi, menyebarkan dakwah, dan lain sebagainya. Walaupun masih ada beberapa gardu yang memiliki kegiatan, namun sebagian besar kegiatan di gardu dan korwil hanya menjaga wilayah (menjaga parkir, memintai jatah keamanan, dan lain-lain). Hal ini yang membuat organisasi sebesar FBR menjadi organisasi yang hampir tidak jelas tujuannya.

Pimpinan FBR pun mengakui bahwa: “banyaknya anggota FBR ini memang bisa menjadi kelebihan sekaligus bisa menjadi kelemahan FBR”. Karena memang benar bahwa dengan begitu banyaknya anggota maka organisasi tersebut akan semakin sulit untuk dikontrol. Dengan pernyataan seperti itu oleh pimpinan FBR, tidak heran jika sering sekali terjadi perkelahian atau bentrok antara FBR dengan ormas lain maupun dengan kelopok-kelompok kedaerahan lain. Nyatanya tidak ada langkah konkret dari pihak pimpinan pusat untuk membenahi budaya yang buruk semacam itu. Dengan tidak adanya tujuan dan kegiatan yang jelas, maka kesempatan ini tentunya tidak akan luput digunakan oleh pemangku kepentingan di dunia politik. Ormas semacam ini yang sudah tidak lagi mempunyai dasar yang kuat tentunya akan sangat mudah

dimanfaatkan, terutama dimanfaatkan sebagai Komoditas Politik.

(27)

FBR tersebut sangat baik jika dimanfaatkan dalam proses-proses politik praktis, seperti Pemilu dan Pilkada. Massa tersebut dapat digunakan sebagai mesin-mesin politik yang cukup efektif dan sebagai lumbung suara dalam suatu pemilihan. Seperti yang diungkapkan salah satu anggotanya: “kita dijanjikan dikasih satu mobil Kijang sama pak Nachrowi waktu Pilgub DKI 2012, itu per gardu satu mobil. Kita juga mewajibkan anggota FBR dan mengarahkan warga di tempat tinggal kita untuk nyoblos Foke-Nara”. Hal semacam ini terjadi pada momen-momen politik praktis, seperti Pilkada, maupun Pemilu. Jika kita tidak sedang terjadi momen-momen politik semacam itu, FBR biasanya dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan politik untuk melaksanakan demonstrasi, atau semacam massa pendemo bayaran. “ya kita beberapa kali disuruh demo menolak kebijakan atau macem-macem sih, dan memang dikasih upah habis demo. Biasanya dari orang-orang politik gitu tapi kan yang ketemu ya ketua, kita ikut-ikut aja kalo disuruh”.

Hal semacam ini menunjukan bahwa organisasi masyarakat seperti FBR yang mempunyai basis massa yang kuat seharusnya dapat berperan besar dalam penguatan peran civil

society di Indonesia. Karena, dengan penguatan peran civil society tersebut tentu akan

menumbuhkan proses demokratisasi di Indonesia. Organisasi civil society yang diharapkan dapat menjadi lokomotif gerakan-gerakan sosial atau aktivisme sosial, nyatanya malah tidak bertaji. Kekuatan organisasi masyarakat seperti FBR dengan kekuatan massa yang begitu banyak, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, sehingga mereka hanya dimanfaatkan menjadi sebuah komoditas politik belaka oleh para pemanggu kepentingan.

I. Kesimpulan

Peran Forum Betawi Rempug (FBR) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 dirasa cukup besar. FBR merupakan ormas yang cukup banyak membantu dalam melakukan kampanye pasangan Foke-Nara, serta mempunyai peran besar dalam menjaga kelangsungan dari seluruh proses pemilihan tersebut. Peran terbesar FBR dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 tersebut adalah mobilisasi massa dengan jumlah yang besar, yaitu dengan memanfaatkan anggotanya yang berada di gardu-gardu yang berjumlah sekitar 500 ribu anggota di Jakarta.

Selain memanfaatkan gardu, FBR juga melakukan mobilisasi massa melalui Relawan Rempug. Selain mobilisasi massa, FBR juga banyak berperan dalam mensosialisasikan Foke-Nara melalui

(28)

Namum disamping itu terdapat sebuah permasalahan berdampak cukup signifikan pada kinerja tim pemenangan FBR. Dimana terjadi kesalahpahaman terkait dana kampanye yang melibatkan ketua tim dan anggotanya, sehingga berdampak kepada kinerja tim pemenangan yang kurang maksimal. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada kubu lawan yaitu Jokowi-Ahok, dimana mereka dapat meraup dukungan dari golongan masyarakat awam yang memang tidak terintegrasi dengan ormas atau partai politik manapun, namun bersedia berpartisipasi membantu jalannya kampanye dan mendukung tanpa ada imbalan.

Hal ini menunjukkan bahwa ormas sebagai organisasi civil society di era reformasi ini

belum dapat menjalankan fungsinya secara maksimal untuk mendorong proses demokratisasi yang ada di Indonesia. Sebagai organisasi civil society, ormas yang seharusnya mampu menjadi motor dalam proses demokratisasi dan juga menjadi motor dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara murni, nyatanya hingga saat ini justru ormas hanya dijadikan sebagai komoditas dalam momen-momen politik. Secara sederhana, ormas telah mengalami degradasi peran di tataran masyarakat dan hanya dijadikan lumbung suara pada momen-momen politik praktis, jelasnya saat ini ormas hanyalah komoditas politik.

Daftar Pustaka

Diani, M dan I Bison, Organisations, coalitions, and movements. Dipartimento di sociologia e

Ricerca Sociale, Universita di Torento, 2004.

Hikam, Muhammad AS. dalam Kutut Suwandoro.Civil Society di Aras Lokal, Perkembangan

Hubungan antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa.Pustaka Percik: Salatiga, 2005.

Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996.

Hadiwinata, Bs The Politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a

movement, London: RoutledgeCurzon, 2003.

Sanit, Arbi.Swadaya Politik Masyarakat: Telaah Tentang Keterkaitan Organisasi Masyarakat,

Partisipasi Politik, Pertumbuhan Hukum, dan Hak Asasi.Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Solemanto, Jejak Langkah Sang Kiai, Jakarta: Mukti Jaya, 2009.

Sumarto, Hetifah Sj.Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan

(29)

Jurnal/Makalah

Suharto, Edi Dr, SH, MSC, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community

Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan, Makalah pada orasi ilmiah

dalam pembentukan HIMA, Jurusan Pengembangan Sosial Msyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.

Internet

http://kpujakarta.go.id/Panduan -untuk-pemilih-pemula di akses pada tanggal 15-01-2014, Pukul 19.45 WIB.

Gambar

Tabel 2 Hasil Rekapitulasi Pilgub DKI Jakarta Putaran ke-2

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain yang berupa simbol-simbol yang

Tingginya obesitas pada remaja ada kecenderungan mengalami peningkatan, dengan pola makan yang sudah berubah serta aktivitas fisik yang kurang dengan latar

In order to investigate further the performance of the MDCT-based closed-loop R-OTT module using the MPS’s spatial quantisers, experiments have also been conducted for

Moleküler asimetriler nedeniyle optikçe aktif olan, yapıları aynı olan fakat konfigürasyonları farklı maddelerdeki izomeridir.. Bir molekülün uzaysal yapısını ayna

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien JKN terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Andalas dan Klinik Simpang

Dari sudut pandang ilmu hukum, kewenangan ini merupakan bentuk jaminan dan perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran hak

Layanan Tuton merupakan bantuan belajar bagi mahasiswa di samping tutorial tatap muka (TTM) yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa. Dalam konteks sistem belajar jarak jauh, sistem

Karyawan yang bekerja dengan baik, akan dipercaya oleh rekan kerjanya untuk dapat menyelesaikan pekerjaan selanjutnya. Berdasarkan definisi kinerja dan kinerja karyawan yang