• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum adat studi masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Hukum adat studi masyarakat "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Hukum

“Analisis UU No. 22 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2014

dan Perpu No. 1 Tahun 2014 jo. Perpu No. 2 Tahun 2014

Berkaitan dengan Pemilukada Gubernur”

Oleh :

Rudini Hasyim Rado

11010114410096

Kelas Akhir Pekan

Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro

(2)

Politik Hukum

Oleh : Rudini Hasyim Rado

P e n d a h u l u a n

A. Latar Belakang

Setiap negara di dunia tentu punya pendekatan tersendiri dalam mengelola bangsanya termasuk Indonesia. Baik dalam urusan ekonomi, hukum sampai pada persoalan politik dan pemerintahan. Secara umum, dunia dibelah oleh dua sistem demokrasi baik pemilihan yang secara perwakilan langsung dan perwakilan tidak langsung. Tentu selain itu juga tidak dapat dimunafikan banyak pula negara yang bahkan menganut sistem demokrasi campuran (sistem demokrasi tidak murni baik perwakilan langung maupun tidak langsung)

Pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pemilu/pemilukada) hakikatnya adalah alat atau instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat hal ini dapat ditarik dari amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat1 tujuan negara Republik

Indonesia salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia (social deffent) dan untuk memajukan kesejahteraan umum (social walfare) tanpa terkecuali terhadap seluruh rakyat dan bangsa dunia.

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya dilaksanakan melalui sistem demokrasi perwakilan setidaknya pernah diterapkan sejak rezim UU No. 22 Tahun 1948 dan berakhir pada rezim UU No. 22 Tahun 1999, baik terhadap pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota. Sedangkan sistem perwakilan langsung mulai diterapkan sejak UU No. 32 Tahun 2004 hingga sekarang.

Dengan demikian, pemilihan yang semula dilakukan melalui perwakilan, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pemilukada gubernur pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Sistem demokrasi langsung ini mulai diterapkan sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, tentu dengan UU tersebut oleh sebagian khalayak menilai pemilukada

(3)

telah menuju ke arah yang lebih demokratis. Yang menariknya berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda (telah mencabut UU terdahulu) khusus untuk pemilukada gubernur dipilih secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, meski disayangkan UU yang baru seumur jagung tersebut keluar langsung di counter dengan diterbitkannya Perpu No. 2 Tahun 2014 untuk membatalkan hal tersebut dan perpu tersebut telah ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI. Meskipun penerbitan perpu tersebut tentu masih debatable untuk lebih jelas akan dibahas di pembahasan.

Untuk tidak menjadi rancu dengan ini dibedakan mengenai istilah pemilihan umum (pemilu) dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada). Secara umum istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden,2 sedangkan istilah pemilukada (merujuk pada Undang-Undang No.

32 Tahun 2004 dan diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014) atau hanya disebut pemilihan gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali yang sebagaimana disebut di atas merupakan suatu rangkaian dari pemilu. Secara nyata dua produk DPR kita ini memberikan pembedaan yang nyata di mana Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menamakan istilah “pemilihan gubernur” sedangkan Undang-Undang 23 Tahun 2014 menamakan istilah “pemilihan kepala daerah/pemilukada” (walau hanya penamaan/istilah, tetapi jelas menunjukan ketidak-konsistenan dan keberagaman), selanjutnya akan dikupas dibagian pembahasan.

Oleh karena itu, inilah alasan penulis perlu menganalisis UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Perpu No. 2 Tahun 2014 beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemilukada gubernur lebih mendalam. Selain itu kasus perlu diangkat guna membandingkan kedua sistem demokrasi tersebut serta akan diselipkan pula mengenai dasar hukum pemilihan kepada daerah/pemilihan gubernur dilihat dari konsistensi pada tataran ideal sebagainya.

B. Rumusan Masalah

(4)

Adapun yang akan diangkat sebagai rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sistem demokrasi pemilihan kepala daerah (gubernur) di Indonesia saat ini?

(5)

P e m b a h a s a n

A. Sistem Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) di Indonesia 1. Pengertian Demokrasi

Pada tanggal 18 Agustus 2000 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada hari tersebut bertepatan dengan amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang kedua, khususnya perubahan pada Pasal 18 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :3

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.**

Dengan demikian ini merupakan babak baru dalam sistem pemilihan kepada daerah dalam hal ini gubernur yang pada intinya dipilih secara demokrasi. Sebelum kita terlalu jauh, dengan ini dipaparkan mengenai hakikat atau arti daripada demokrasi itu sendiri.

Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk poltik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjelankan seluruh kekuasaan politik.4 Secara garis besar demokrasi adalah sebuah sistem sosial

politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem maupun ideologi yang ada dewasa ini.

“demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau

“cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,

3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. III, hal. 154.

5 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi

(6)

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.6

Sedangkan pengertian demokrasi menurut istilah atau terminologi adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:7

a. Abraham Lincoln menyatakan demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

b. Samuel Huntington berpendapat demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.

c. Charles Costello mengungkapkan demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.

d. C.F. Strong mengemukakan demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.

e. Hans Kelsen menyatakan Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.

Beberapa pandangan dan pengertian di atas, maka demokrasi bisa diartikan dengan keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, kekuasaan oleh rakyat atau melalui perwakilan rakyat yang merupakan representasi rakyat di DPRD.

2. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Gubernur

6 Ibid, Lihat A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, hal. 131.

(7)

Ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni UU No. 22 Tahun 1948 dan berakhir dengan UU No. 22 Tahun 1999 pemilihan kepala daerah gubernur dipilih secara perwakilan tidak langsung. Praktis pasca reformasi keadaan pun berubah dan pemilihan dilakukan melalui perwakilan langsung seiiring dengan amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945, kemudian menyusul UU baik tentang pemerintahan daerah maupun UU pemilihan pemilu/pemilukada lainnya. Secara sederhana dan gamblang dijelaskan maka akan dibagi menjadi tiga generasi pemberlakuan peraturan perundang-undangan (generasi orde lama, generasi orde baru, generasi reformasi) khususnya mengenai pemilihan kepala daerah gubernur.

Generasi orde lama ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri8 yang pada intinya menyatakan bahwa kepala daerah gubernur harus

diajukan oleh DPRD Provinsi untuk diangkat oleh Presiden.

Generasi orde baru salah satunya ditandai oleh UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah9 yang memilih kepala daerah

tingkat I (gubernur) yakni DPRD Provinsi melalui musyawarah mufakat setelahnya akan diajukan kepada Presiden untuk diangkat. Dapat disimpulkan bahwa di sini lebih pada penggunaan peran sistem perwakilan tidak langsung.

Awal munculnya generasi reformasi pasca lengsernya Soeharto diganti Presiden B. J. Habibie dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah10 masih tetap menggunakan tradisi pemilihan perwakilan

tidak langsung.

Menariknya tonggak reformasi menuju puncaknya berkaitan dengan pemilihan kepala daerah gubernur pasca keluarnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah11 dimana ditentukan bahwa pemilihan kepala

8 Pasal 18 ayat (1) “Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi.”

9 Pasal 15 ayat (1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah...”, ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya

10 Pasal 18 (1) huruf a “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur...”

(8)

daerah gubernur dipilih melalui perwakilan langsung (one man one vote), di mana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat (kekuasaan rakyat). Namun dalam perkembangan terkini UU di tersebut dicabut dan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah12 mengatur bahwa gubernur

dipilih oleh DPRD Provinsi sehingga berbeda dengan UU sebelumnya yang jelas menyatakan bahwa gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini makin diperkuat dengan UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang sudah lebih dahulu keluar diatur dalam Pasal 1 angka 5 “Pemilihan gubernur... yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi... untuk memilih gubernur... demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.”

Namun meski demikian UU No. 22 Tahun 2014 langsung di-counter

dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2014 untuk mengganti UU No. 22 Tahun 2014. Ketentuan tersebut disertai pula Perpu No. 2 Tahun 2014 untuk membatalkan/menghapus ketentuan Pasal 101 ayat (1) huruf d UU No. 23 Tahun 2014. Sebagaimana diketahui bersama bahwa presiden memilih hak prerogatif dalam mengeluarkan perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,13 dan

kedudukan perpu tersebut telah sejajar/setingkat dengan UU karena telah diobjektifkan/disahkan oleh DPR RI. Dalam hal ini dapat dilihat bersama apakah ada kegentingan memaksa tersebut atau tidak.

Bila kita kembali pada UU No. 22 Tahun 2014 penamaan/istilah pemilihan kepala daerah (pemilukada) berganti istilah langsung disebut pemilihan gubernur saja (tanpa kepala daerah), anehnya berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 penamaan/istilah tetap pemilukada gubernur. Hal sederhana meskipun hanya persoalan penamaan/istilah namun para wakil rakyat kita yang mengeluarkan produk tersebut tidak konsisten atau terjadi keberagaman penamaan/istilah tersebut. Juga yang cukup menarik dari kedua UU tersebut di atas pemilihan gubernur, bupati dan walikota bersifat tunggal tidak berpasang-pasangnya dengan wakil-wakilnya seperti yang diatur oleh UU terdahulu. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah sesuai penjelasan umum UU No. 22 Tahun 2014 yakni:

jujur, dan adil.”

12 Pasal 101 ayat (1) huruf d DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: memilih gubernur.

(9)

Berdasarkan evaluasi atas penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara langsung dan satu paket, sejauh ini menggambarkan fakta empiris bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara dan oleh pasangan calon untuk menyelenggarakan dan mengikuti Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota secara langsung sangat besar juga berpotensi pada peningkatan korupsi, penurunan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan eskalasi konflik serta penurunan partisipasi pemilih.

B. Tataran Ideal Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) dalam Konteks ke-Indonesiaan

Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil putusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah “musyawarah” mengandung 5 (lima) prinsip sebagai berikut: pertama,

conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); dan kelima, circles (saling menunjang).14

Tentu tidak dapat dielakan lagi musyarawah dalam menentukan pilihan baik melalui sistem pemilihan langsung maupun tidak langsung masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Terlepas dari itu semua DPR RI telah mengesahkan Perpu No. 2 Tahun 2014 yang intinya mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan langsung (one man one vote).

Sebagai kajian keilmuan tentu kita tidak lantas berhenti sampai di situ, karena tetap penting pula untuk mendalami mengenai bagaimana idealnya pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam konteks ke-Indonesiaan dewasa ini.

Dengan ini diberikan sedikit gambaran sistem atau mekanisme pemilhan langsung. Sadu Wasistiono berpendapat bahwa kelebihan dan kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai berikut :15

14 Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, (FH. Univ. Jenderal Soedirman, 2012), hlm. 414.

(10)

Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Demokrasi langsung akan dapat dijalankan secara lebih baik, sehingga makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak secara nyata;

2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD;

3. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah;

4. Permainan politik uang akan dapat dikurangi karena tidak mungkin menyuap lebih dari setengah jumlah pemilih untuk memenangkan pemilihan Kepala Daerah.

Kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Memerlukan biaya yang besar karena calon Kepala Daerah harus kampanye langsung menghadapi rakyat pemilih, baik secara fisik (door to door) maupun melalui media masa. Hanya calon yang memiliki cadangan dana yang besar atau didukung oleh sponsor saja yang mungkin akan ikut maju ke pemilihan Kepala Daerah;

2. Mengutamakan figur publik (public figure) atau aspek akseptabilitas saja, tetapi kurang memperhatikan kapabilitasnya untuk memimpin organisasi maupun masyarakat;

3. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung apabila kematangan politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang. Pada masa lalu, rakyat sudah terbiasa dengan menang-kalah dalam berbagai pemilihan. Tetapi pada masa orde baru pemilihan Kepala Daerah penuh dengan rekayasa, sehingga sampai saat ini rakyat masih belum percaya (distrust)

pada sistem yang ada;

4. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi agama, suku, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor-faktor primordial itu yang lebih ditonjolkan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Muhadam Labolo dalam makalah “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa Transisi di Indonesia”:16

Ekonomi”, 2003, hal. 122.

(11)

Pemilihan Kepala Daerah Langsung secara umum akan menyerap dana yang tidak sedikit. Pertimbangan dilakukannya Pilkada Langsung dalam satu putaran tanpa alasan yang penting menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai proses Pilkada Langsung secara terus menerus. Pertanyaannya, dari mana dana harus diperoleh?...

Lebih lanjut selain masalah di atas, masalah-masalah yang terjadi dari proses persiapan sampai proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, diantaranya: terjadinya konflik elite dan konflik terbuka antar massa pendukung, masih terjadinya money politics, partisipasi politik masyarakat yang rendah dalam pemilihan kepala daerah (gubernur), dan juga tentang kinerja KPUD yang dinilai kurang optimal dalam menjalankan tugas sebagai lembaga penyelenggara pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah, serta masalah-masalah strategis yang lain, menjadi berbagai hal yang perlu dicermati dan dianalisis secara lebih mendalam agar dicapai suatu pemecahan untuk perbaikan ke depan.

Terlepas dari pro-kontra di atas, berangkat dari kegelisahan penulis sendiri, di mana penulis menilai bahwa presiden terkesan terburu-buru mengeluarkan perpu tersebut di atas (berkaitan dengan pemilukada gubernur). Penulis justru lebih sepakat bahwa dalam hal ini pemilihan gubernur harus dipilih secara perwakilan tidak langsung dan itu terbatas hanya untuk pemilihan gubernur karena selain gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah serta mengingkat banyaknya kabupaten dan kota maka perlu waktu yang banyak dan matang untuk diberlakukan pula di tingkatan II. Ada pihak yang beranggapan bahwa pemilihan perwakilan adalah kemunduran justru bagi penulis ini anggapan yang terlalu emosional, karena selama itu dapat dipertanggungjawabkan, berpegang pada konstitusi hal tersebut justru merupakan loncatan/trobosan gemilang, tentu tanpa maksud mengkebiri hak rakyat, toh anggota DPRD Provinsi adalah representasi dari rakyat, bila rakyat tidak percaya pada pilihannya sendiri atas orang-orang yang ada di DPRD kenapa bisa sampai orang tersebut ada di dewan, kalau memang anggota DPRD “buruk” kenapa mau dipilih.

(12)

bukan menolak sistem perwakilan langsung namun untuk sekarang belum saatnya. Untuk jelasnya diberikan alasan dan solusi, antara lain :

 Dari segi APBN jelas terjadi penghematan keuangan negara yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan/dialokasikan ke sektor lain yang lebih tepat guna dan sasaran. Ini pun akan menjawab keinginan presiden Joko Widodo untuk sebisa mungkin melakukan penghematan keuangan negara.

 Segi masyarakat, Indonesia adalah masyarakat yang beragam dengan tingkatan kekerabatan/komunal. Kekerabatan ini “mudah” rusak dalam kaitan dengan perbedaan pilihan yang berujung pada konflik horizontal bahkan vertikal.

 Segi pendidikan/pemahaman politik masyarakat kita belum terlalu bisa menerima kalah menang, pemilihan langsung cocoknya untuk masyarakat yang tingkat pendidikan/intektual yang matang. Sehingga jangan hanya beranggapan bahwa politik uang hanya pada DPRD bila memilih. Namun rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonomi lemah (mayoritas) akan “dipermainkan” dengan uang bahwa uang yang menyalir fantastis dan ketika terpilih rakyat melarat karena si gubernur beranggapan kewajiban/hubungan sudah selesai dengan rakyat karena telah memberikan uang saat pemilihan.

 Segi geografi di mana kebanyakan adalah kepulauan justru makin mempersulit baik dari askes, informasi, sarana dan prasarana serta pendukung lainnya.

 Bagi lawan politik bila kalah dalam percaturan pemilihan kepala daerah, maka “haram” baginya dan pendukungnya diperlakukan baik, maka segeralah angkat kaki dari kampung halaman sampai 5 (lima) tahun akan datang. Serta lebih melihat golongan masing-masing. Dan masing banyak hambatan-hambatan lainnya.

Solusi penulis (dapat dikoreksi) atas pemilihan perwakilan tidak langsung untuk menepis anggapan sebagian masyarkat adalah :

 Mulai dari tahap seleksi-pemilihan-pengumuman dilakukan secara cepat, misalnya dari satu tahapan ke tahapan berikutnya waktu yang ditentukan 7 (tujuh) hari harus sudah selesai. Hal ini untuk menutup ruang/celah terjadi

(13)

 Beberapa saat sebelum sampai setelahnya pemilihan oleh DPRD Provinsi, setiap anggota dewan disadap, bisa juga diawasi pergerakannya (oleh aparat maupun masyarakat luas) hal ini untuk menghindari telah terjadinya mufakat sebelum musyawarah.

 Bila masing tetap terjadi krisis kepercayaan, libatkan baik secara penuh atau sebagian kepada tokoh-tokoh agama, masyarakat, tokoh pemuda/lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya yang dipercaya oleh masyarakat untuk memiliki hak suara dalam memilih gubernur.

Tambahan mengenai makalah ini, Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perpu No. 1 Tahun 2014 mengenai pemilukada serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik di tingkat I dan tingkat II, manfaatnya paling tidak akan menghemat anggaran negara namun disisi lain juga bisa muncul persoalan bila tidak diantisipasi akan banjir sengketa pemilihan sebagaimana diketahui dalam Perpu tersebut dikatakan penyelesaian pemilihan merupakan sengketa Tata Usaha Negara17 yang sebelumnya diperiksa oleh

Mahkamah Konstitusi telah dikembalikan di bawah peradilan Mahkamah Agung dengan dibentuk majelis khusus.

(14)

P e n u t u p

Kesimpulan

Demokrasi langsung adalah bentuk demokrasi dimana semua warga negara ikut serta secara aktif dan langsung dalam pengambilan keputusan pemerintah. Dalam demokrasi ini, semua rakyat memiliki hak untuk membuat keputusan. Sehingga, keputusan yang mereka buat akan mempengaruhi keadaan politik di negara tersebut. Kemudian, demokrasi ini juga menuntut partisipasi yang tinggi dari masyarakat. Namun, tidak semua masyarakat sadar atau melek politik. Ditambah lagi, banyak juga diantara mereka yang tidak memiliki waktu untuk memikirkan politik dan sadar akan pentingnya peran mereka dalam penentuan kebijakan negara.

Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan terjadi dimana seluruh rakyat memilih pewakilan mereka melalui suatu pemilukada. Pemilihan umum kepala daerah dilakukan untuk menyampaikan pendapat serta sebagai media pengambil keputusan. Pada intinya, rakyat memiliki hak dan daulat. Namun, dalam jenis demokrasi ini, kedaulatan tersebut diwakilkan melalui dewan disebut dengan demokrasi perwakilan tidak langsung. Dengan kata lain, rakyat telah diwakili oleh seseorang kalau di Indonesia adalah DPR/DPRD. Anggota dewan melalui pemilukada dan bertugas untuk menyampaikan pendapat rakyat serta mengambil keputusan.

(15)

Daftar Pustaka Buku-buku :

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Karya Ilmiah dan Sumber Internet:

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada hari/tanggal: Senin, 2 Februari 2015, Pukul: 11.58 Wib.

Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, FH. Univ. Jenderal Soedirman, 2012.

Muhadam Labolo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa Transisi di Indonesia”, Makalah Lembaga Pengkajian Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta, 2004.

Sadu Wasistiono, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum, Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi, Bahan Diskusi Panel PPMP dan Alumni Universitas Satyagama. Indramayu, 7 Februari 2005

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya ekonomi kreatif, banyak industri-industri kreatif yang bemunculan, salah satunya adalah jasa desain grafis. Dunia desain grafis menjadi salah satu penopang

Menurut Fairclough dan Wodak (1997), AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial sehingga perlu diperhatikan kriteria yang holistik dan kontekstual. Kualitas

Pengakuan adalah proses penetapan terpenuhinya kriteria pencatatan suatu kejadian atau peristiwa dalam catatan akuntansi sehingga akan menjadi bagian yang melengkapi unsur

Indonesia yang tidak bekerja lagi di perusahaan sebagai akibat dari telah mencapai saat jatuh tempo kepesertaan, meninggal dunia, pemutusan hubungan kerja atau

Rasional : Penurunan darah pada plasenta mengakibatkan penurunan pada pertukaran gas dan kerusakan fungsi nutrisi plasenta.Penurunan aktifitas janin menandakan kondisi yang

Yudha Triguna, ed., Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya

berkesinambungan membutuhkan berkoordinasi dengan semua bidang baik pada tingkat universitas (akademik dan non akademik), fakultas dan program pascasarjana, maupun program

Pada dasarnya, dimungkinkan untuk menentukan umur objek sampai dengan 50.000 tahun, tetapi dalam prakteknya, untuk umur yang lebih tua daripada 10.000 tahun, tidak ada metode