• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positivisme August Comte dan Implikasiny

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Positivisme August Comte dan Implikasiny"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN

Oleh: Hanief Monady

A. PENDAHULUAN

Positivisme adalah paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam. Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas itu senyatanya berjalan.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dipelopori oleh Auguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. Berikut akan penulis paparkan tentang biografi Comte, teori positivisme yang ia kemukakan, dan implikasinya bagi pemikiran Islam.

Pertama, akan dibahas mengenai sejarah hidup Auguste Comte.

B. BIOGRAFI AUGUSTE COMTE

Auguste Comte, bernama lengkap Isidore Auguste Marie François Xavier Comte (1798-1857) ialah pendiri aliran filsafat positivisme.1 Ia adalah seorang filosof dan sosiolog asal Prancis yang mengembangkan sebuah paham filsafat yaitu positivisme. Ia juga penemu ilmu sosiologi, ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya.2

Comte dilahirkan di Montpellier, pada 19 Januari 1798, dan meninggal pada 5 September 1857, di kota Paris, Prancis. Montpellier adalah kota kecil di

1 Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal. 1.

2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT

(2)

bagian barat daya negara Prancis. Setelah sekolah di kota lahirnya, ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris. Pada tahun 1816, politeknik tersebut ditutup untuk direorganisasi, sehingga Comte meninggalkan École, dan melanjutkan pendidikannya di sekolah Kedokteran di Montpellier. Dalam proses tersebut, ia melihat adanya sebuah perbedaan yang dominan antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki kerajaan yang berkuasa di Prancis, sehingga ia terpaksa meninggalkan Prancis. Kemudian pada bulan Agustus 1817 ia menjadi seorang murid sekaligus sekretaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian mengajak Comte masuk ke dalam lingkungan intelektual. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon, karena untuk kedua kalinya, ia merasakan ketidakcocokan dalam hubungannya dengan agama Katolik yang ia anut.

Pada masa itu, tahun 1822, ia mulai berpikir untuk menemukan apa yang harus ia lakukan selanjutnya, yaitu menemukan filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikannya dengan nama “plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société” atau “rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat”. Akan tetapi ia mengalami hambatan dalam penelitian tersebut karena posisi akademisnya di Saint-Simon. Sehingga kebutuhan finansialnya untuk kehidupan dan penelitian tersebut mulai bergantung pada bantuan dari teman-temannya.

Comte kemudian menikah dengan Caroline Massin. Comte dikenal sebagai seorang yang arogan, kejam, dan mudah marah sehingga pada tahun 1826, ia dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa, tetapi ia kabur sebelum dinyatakan sembuh. Dengan bantuan Massin, ia kembali stabil dan melanjutkan penelitian itu. Lalu pada tahun 1842, Comte bercerai dengan Massin karena alasan yang tidak diketahui. Pada masa pengerjaan kembali penelitian itu sampai dengan Comte bercerai dengan istrinya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul “Le Cours

de Philosophie Positivistic”.

(3)

sekaligus nabi dari “Agama Kemanusiaan” (Religion of Humanity), mempublikasikan bukunya yang berjudul Système de Politique Positive (1851-1854).

Banyak buku dan karangannya yang sempat ia publikasikan, dan juga belum sempat karena berbagai sebab di antaranya adalah sakit yang dia derita, di antara buku tersebut adalah “The Course on Positive Philosophy (1830-1842, diterjemahkan oleh Harriet Martineau dengan judul “The Positive Philosophy of Auguste Comte), “The System of Positive Polity, or Treatise on Sociology, Instituting the Religion of Humanity, (1851-1854), “TheEarly Writings (1820-1829), “Elementary Treatise on Analytic Geometry (1843), “The Philosophical Treatise on Popular Astronomy (1844), “The Discourse on the Positive Spirit

(1844), “The General View of Positivism (1848), “Catechism of Positive Religion (1852), “Appeal to Conservatives” (1855), “Treatise of Universal Education, “System of Positive Industry, or Treatise on the Total Action of Humanity on the Planet”, dan “Treatise of First Philosophy. Ia wafat pada tanggal 5 September 1857, dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise, Paris.3

Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana teori positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte.

C. TEORI POSITIVISME

Teori positivisme bermula dari munculnya huku tiga tahap (Law of Three Stages) dari Auguste Comte. Melalui hukum ini ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahapan, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau rièl. Pengertian “perkembangan”

yang merupakan proses dari berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi isi dan arti yang “positif”, dalam arti sebagai suatu gerakan “perkembangan” yang yang menuju ke tingkatan yang lebih tinggi dan lebih maju. Baginya, “perkembangan”

3 Dikutip dari August Comte, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses

(4)

itu merupakan penjabaran segala sesuatu sampai kepada objeknya yang tidak personal.4

Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa menurut Auguste Comte, sejarah umat, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi, tahap metafisik, dan tahap positif.

1. Tahap teologi atau fiktif

Dalam tahap ini, manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada. Gejala atau fenomena di alam yang selalu menarik manusia untuk mengetahuinya dan mengaitkan hal tersebut dan meletakkannya dengan sesuatu yang mutlak. Dengan adanya rasa keingintahuan itu, sehingga manusia selalu berusaha untuk mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan perbuatannya. Hal ini disebabkan oleh rasa keingintahuan manusia yang tanpa batas dan manusia harus dapat mengetahui jawaban dari hal yang mudah sampai pada hal yang paling sulit untuk dijawab. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi akan muncul melalui tahapan-tahapan, yaitu fetisyisme, politeisme, dan monoteisme.

a. Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan, segala sesuatu tersebut akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia itu, sehingga manusia itu akan menyesuaikan dirinya kepada lingkungannya.

b. Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa daya pengaruh itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang ada di sekeliling manusia, akan tetapi dari benda-benda atau

4 Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,

(5)

makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekitarnya. Dalam bentuk kehidupan ini, timbul kepercayaan akan sesuatu di diri manusia, bahwa setiap benda, setiap gejala atau peristiwa alam dikuasai oleh dewanya masing-masing. Sehingga untuk keselamatan dirinya, manusia harus menyembah para dewa tersebut dengan melakukan suatu ritual penyembahan.

c. Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa, akan tetapi dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan yang satu.

2. Tahap metafisik atau abstrak

Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir juga tahap teologi. Hal ini dikarenakan manusia mulai merubah pola pikirnya dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala alam. Sehingga dogma agama akan ditinggalkan, dan kemampuan akal akan dikembangkan.

(6)

3. Tahap positif atau riél

Dalam perkembangan jiwa manusia, pada batas bahwa manusia tidak lagi merasa puas dengan hal-hal yang abstrak, manusia akan merasa lebih dekat dengan hal-hal atau gejala-gejala yang dapat diterangkan melalui pengamatan berlandaskan hukum-hukum umum yang deskriptif, seperti hukum gaya tarik bumi atau gravitasi. Tahap ini adalah akhir dari perkembangan jiwa manusia. Ini adalah tahap pembebasan yang sebenarnya, yang tidak lagi dipengaruhi oleh kekuatan atau pengertian adikodrati atau metafisik. Dengan menjadi matangnya jiwa manusia, maka manusia tidak lagi merasa terbantu oleh pengetahuan abstrak, akan tetapi yang diperlukan sekarang adalah pengetahuan yang nyata, yang dapat dicapai melalui pengamatan, percobaan, perbandingan, dan berlandaskan hukum-hukum yang umum.5

Auguste Comte melihat bahwa tahap positif ini sebagai tahap perkembangan masyarakat di saat masa industrialisasi sudah dapat dikembangkan, disertai dengan peranan pada ilmuwan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.6

Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa dalam karya Comte yang berjudul “Discours sur Lesprit Positif”, secara eksplisit Comte menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian “positif” itu adalah

1. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayalan, maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan akan sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.

2. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang

5 Ibid, hal. 11-15. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal.

154-155.

6 Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,

(7)

bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyataan bahwa di dalam filsafat positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan. Filsafat tidak berhenti sampai di pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan mengenai sesuatu saja, akan tetapi filsafat harus digunakan untuk mencapai kemajuan di masyarakat.

3. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.

4. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur atau buram, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filosofis, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati.

5. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian

“positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan

filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.

Pengertian “positif” oleh Auguste Comte digunakan untuk menunjukkan ciri khas dan metode yang sesuai dengan kekhassan itu, yaitu berbeda dengan pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan metafisik.7

Dr. Koento selanjutnya mengatakan, bahwa metode yang digunakan oleh Auguste Comte dalam menjelaskan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas gejala-gejala yang paling sederhana, umum atau abstrak, menuju ke tingkat gejala-gejala yang semakin jelas, khusus dan konkret yang dihadapi oleh

(8)

masing ilmu, digunakan tiga metode, yaitu pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan perbandingan (comparison). Akan tetapi, dalam menghadapi gejala-gejala dalam fisika sosial (sosiologi), Comte menambahkan satu metode, yaitu metode pendekatan sejarah (historical approach).8

Selanjutnya, akan dibahas mengenai penggolongan ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte.

D. PENGGOLONGAN ILMU PENGETAHUAN

Di samping hukum tiga tahap, penggolongan ilmu pengetahuan juga diadakan oleh Comte. Auguste Comte berpendapat bahwa penggolongan yang ia lakukan adalah yang paling tepat, dan tidak mengandung kesalahan sebagaimana penggolongan yang pernah ada sebelumnya.

Bahwa penggolongan yang pernah ada itu mengandung kesalahan, hal itu menurut Comte disebabkan karena:

1. Penggolongan itu dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai sesuatu cabang ilmu manapun.

2. Keinginan untuk menyamakan dan menyatukan berbagai bagian dalam sistem intelektual yang sebagian sudah bersifat positif, sedang sebagian yang lain masih bersifat metafisik atau teologik, sehingga mustahi untuk membuat suatu penggolongan.9

Pada dasarnya, penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Baginya, inilah cara atau metode yang ia katakan paling tepat, karena urutan atau tingkatan dalam sifat kesederhanaannya dan ke-umum-annya, menentukan kemudahan (fasilitas) yang diperlukan untuk memahami gejala-gejala yang dihadapi.

Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, akan diperoleh landasan baru bagi

(9)

ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat, dan dengan mengakhiri pengamatan gejala-gejala yang langsung berkaitan dengan kehidupan manusia, maka urutan dalam penggolongan yang dikemukakan Comte itu pertama disebutnya yaitu ilmu pasti (matematikan) yang dikatakan sebagai dasar semua ilmu pengetahuan. Setelah itu disusul dengan ilmu perbintangan (astronomi), kemudian ilmu alam (fisika), kimia (alchemi), ilmu hayat (biologi) dan akhirnya ilmu sosial (sosiologi).

Ilmu jiwa (psikologi) bagi Comte tidak dapat dimasukkan dalam penggolongan ilmu, karena sesuai dengan perkembangan pada jamannya, psikologi belum dapat melampaui tahap metafisik. Psikologi dikatakan termasuk sosiologi, dan ini akan dapat berkembang setelah sosiologi itu dapat mencapai tahap positif dalam perkembangannya.

1. Ilmu Pasti (Matematika)

Sejak semula, pandangan Comte tentang ilmu pengetahuan selalu dikaitkan dengan pendiriannya dalam penyelesaian masalah-masalah praktis, sehingga makna ilmu pengetahuan selalu menjadi bersifat pragmatik, suatu

“chose instrumentale”, sesuai dengan semboyannya “savoir pour prevoir”. Dengan menyatakan bahwa ilmu pasti merupakan ilmu yang mempunyai objek “the indirect measurement of magnitudes and it purposes to determine magnitudes by each other, according to the precise relations which exist between

them”. Comte menyatakan bahwa jiwa ilmu pasti itu selalu beranggapan bahwa semua kuantitas yang dapat ditunjukkan oleh gejala apapun, sebagai saling berhubungan untuk dapat mendeduksikan segala sesuatu dari diri mereka masing-masing. Dengan metode-metode yang digunakan, melalui ilmu pasti, akan diperoleh pengetahuan dalam tingkat “kesederhanaan dan ketepatan” yang tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat dilakukan akan manusia.

(10)

keterbatasan, menurut Comte, maka keterbatasan itu bukan terletak pada ilmu pasti, melainkan terletak pada akal manusia sendiri.10

2. Ilmu Perbintangan (Astronomi)

Dengan didasari ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda-benda langit.

Comte mendefinisikan ilmu perbintangan ini sebagai “as the science by

which we discover the laws of the geometrical and mechanical phenomena

presented by the heavenly bodies”. Sesuai dengan definisi tersebut, ilmu perbintangan dibaginya ke dalam “celestial geometry” dan “celestial mechanics” yang kesemuanya itu menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda-benda langit seperti bintang, bumi, bulan, dan planet-planet lain. Disinggung pula apa yang disebut gaya tarik bumi (gravitasi) dan kosmogoni, yang ia terangkan kesemuanya itu melalui pengamatan langsung (direct observation).

Dengan menguraikan doktrin astronomi ini, Comte telah merasa berhasil menunjukkan sifat umum ilmu pengetahuan yang sebenarnya merupakan dasar bagi filsafat alam.11

3. Ilmu Alam (Fisika)

Sesuai dengan asas yang telah disebutkan tadi, dalam ilmu alam sebagai ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia anorganik. Disini dihadapkan dengan gejala-gejala yang lebih kompleks, yang kesemuanya tidak akan dapat dipahami, tanpa terlebih dahulu memahami hukum-hukum astronomi.

Melalui “observation by experiment”, ilmu alam yang meliputi ilmu berat benda (barologi), panas benda (termologi), akustik, optik, dan listrik, oleh Comte ilmu alam dipergunakan sebagai bukti untuk menunjukkan adanya hukum-hukum yang mengatur sifat-sifat umum benda-benda yang dikaitkan dengan massa, yang

(11)

berada dalam keadaan yang memungkinkan molekul mereka tidak berubah sebagai suatu himpunan. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika, Comte juga berusaha dengan hukum fisika, untuk dapat meramalkan dengan setepat-tepatnya semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.12

4. Ilmu Kimia (Chemistry)

Comte memberikan definisi mengenai ilmu kimia sebagai “... that it

relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which

result from the molecular and specific mutual action of different subtances,

natural or artificial.” Untuk membuktikan bahwa gejala-gejala yang dihadapi oleh ilmu kimia ini lebih kompleks daripada ilmu alam, Comte menerangkan bahwa ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi), bahkan juga dengan sosiologi. Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak saja melalui pengamatan (observation), dan percobaan (experiment), melainkan juga dengan perbandingan (comparation).

Dikatakan bahwa ilmu kimia ini masih dalam proses berkembang, namun demikian ia tidak dapat membenarkan untuk membagi ilmu kimia ini ke dalam kimia organik dan kimia nonorganik, sebab apa yang terdapat dalam kimia organik menunjukkan adanya setengah kimia dan setengah fisiologi, sehingga kimia organik pada hakekatnya mempunyai sifat “bastard”.13

5. Ilmu Hayat (Fisiologi dan Biologi)

Pada tingkatan penggolongan ilmu pengetahuan ini, apa yang disebut ilmu hayat sudah berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Unsur-unsurnya yang lebih kompleks, disertai adanya perubahan-perubahan yang sedemikian rupa, menyebabkan Comte berpendapat bahwa ilmu hayat ini, jelas dalam perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia. Sifatnya yang kompleks meniadakan harapan bahwa ilmu hayat akan pernah dapat

12 Ibid, hal. 27-28.

(12)

mencapai kesempurnaan yang sebanding dengan bagian-bagian filsafat alam, yang mempunyai sifat lebih sederhana dan lebih umum itu.

Dengan menyatakan bahwa “Biology, then, may regarded as having for its object the connecting in each determinate case, the anatomical and physological

point of view; or, in other words, the statical and dynamical” – atau dengan kata yang lebih umum sebagai “Given, the organ or organic modification to find the function or the act, and reciprocally maka jelaslah bahwa cara-cara pendekatannya membutuhkan alat yang lengkap, yaitu, selain pengamatan (observasi), percobaan (eksperimen), juga perbandingan (komparasi).14

6. Fisika Sosial (Sosiologi)

Dalam urutan yang tertinggi, dalam penggolongan ilmu pengetahuan, Comte menempatkan fisika sosial sebagai ilmu yang harus berhadapan dengan gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu gejala-gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam ikatannya dengan suatu kelompok. Fisika sosial bukan kelanjutan perkembangan ilmu hayat, karena gejala-gejala yang dihadapi itu timbul dari adanya hubungan antar individu yang satu dengan individu yang lain dalam wadah suatu kelompok yang disebut masyarakat.

Bagi Comte, fisika sosial merupakan suatu bidang yang meliputi tata-pemerintahan negara, etik, dan filsafat sejarah, sedang hukum-hukum yang berlaku dibedakan antara hukum yang statis dan dinamis. Hukum yang statis berkaitan dengan usaha untuk memahami hal-hal yang umum mengenai keberadaan setiap masyarakat, seperti hal-hal perkembangan atau perubahan masyarakat.

Dalam menghadapi gejala-gejala yang paling kompleks ini, fisika sosial harus menambahkan satu cara pendekatan lagi, yaitu pendekatan historis, di samping tiga cara pendekatan yang telah dipergunakan dalam ilmu pengetahuan yang lebih rendah tingkatannya dalam penggolongan ini. Juga karena sifat gejala-gejala yang dihadapi itu demikian kompleksnya, maka perkembangan fisika sosial masih jauh dari tahapnya yang positif. Dalam hubungan ini, Comte menyatakan

(13)

bahwa kita belum mempunyai deretan fakta yang memadai, untuk dipergunakan membentuk hukum umum tentang gejala-gejala sosial.15

Berikutnya adalah bagaimana dampak yang terjadi apabila teori positivisme Comte ini disandingkan dan dihadapkan dengan dinamika pemikiran keislaman.

E. IMPLIKASI TEORI POSITIVISME BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN Dengan bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-cara pencarian kebenaran pada zaman sekarang, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang cerita atau dongeng akan mitos. Menurut Comte, dalam perkembangan manusia, sesudah tahap mitos, manusia berkembang ke tahap filsafati. Pada tahap ini, rasio sudah terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berpikir secara objektif. Rasio sudah beroperasi, akan tetapi nilai objektivitasnya masih kurang. Dengan pengamatan yang kritis dan sistematis, manusia akan berusaha mencari jawaban secara rasional dengan meninggalkan cara yang irrasional.16

Teori filosofis positivisme dikemukakan pertama kali oleh Auguste Comte. Dalam proses perkembangannya, positivisme ini akan digunakan sebagai landasan teori dari paham rasionalisme dan empirisisme.17

Metode positivisme berkaitan dengan pandangannya akan objek “positif”. Jika metode bisa diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang kenyataan, maka kenyataan yang dimaksud itu adalah objek yang positif. Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa pembedaan, yaitu antara „yang nyata‟ dan „yang khayal‟, „yang pasti‟ dan „yang meragukan‟, „yang tepat‟ dan „yang kabur‟, „yang berguna‟ dan „yang sia-sia‟, serta „yang mengklaim memiliki kesahihan relatif‟ dan „yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak‟. Dari patokan tersebut, positivisme

15 Ibid, hal. 29.30.

(14)

meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta objektif, yaitu fakta yang nyata, pasti, tepat, berguna, dan benar secara relatif.18

Adapun implikasinya terhadap pemikiran keislaman, maka dapat dihadapkan dengan berbagai ilmu-ilmu keislaman yang ada dan berkembang sampai sekarang, ilmu itu antara lain Tafsir Alquran, Syarah Hadis, Fiqih, Kalam, Tasawuf, dan Politik Islam.19

Pertama, implikasi teori positivisme terhadap Tafsir Alquran. Tafsir Alquran berkembang sepanjang waktu sesuai dengan perjalanan historis dan sosial dari masyarakat muslim di suatu tempat pada suatu waktu. Akan tetapi tafsir yang telah datang terdahulu, tidak serta merta dihilangkan oleh masyarakat muslim. Tafsir yang datangnya belakang juga tidak bisa menghilangkan tafsir yang terdahulu. Maka, apabila dihadapkan dengan teori positivisme yang mengharuskan suatu ilmu pengetahuan itu adalah pasti dan relatif kebenarannya, maka tafsir tidak dapat dianggap sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang pasti, atau dalam bahasa Comte adalah “positif”. Karena tafsir yang belakangan, tidak bisa menghapus tafsir yang terdahulu, sehingga tafsir-tafsir tersebut, yang berbeda penafsirannya di antara sesama penafsir Alquran, tidak bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang objektif.

Kedua, implikasinya terhadap Syarah Hadis. Sama dengan tafsir, syarah hadis berkembang sesuai dengan pengaruh internal dan eksternal di pensyarah hadis tersebut. Syarah yang datang belakang juga tidak bisa menghapus syarah yang terdahulu. Sehingga ilmu pengetahuan ini juga dianggap Comte sebagai ilmu pengetahuan yang tidak objektif, pasti, benar, dan positif.

Ketiga, implikasinya terhadap Fiqih. Dalam perkembangan agama Islam, Fiqih juga terbagi menjadi empat madzhab besar di dunia. Hal ini juga jika dihadapkan dengan positivisme Comte, maka fiqih tidak dianggap positif. Fiqih yang berkembang seharusnya menjadi satu madzhab yang absolut, pasti, dan benar, tidak terpecah menjadi - sekurangnya - empat.

18 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan

Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2006), hal. 92.

19 Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (New York: Routledge, 2006), hal.

(15)

Keempat, implikasinya terhadap Kalam. Kalam mulai berkembang pada abad ke-6 M. Selama proses berjalannya waktu, dan perkembangan Islam sampai mendunia, telah banyak aliran kalam yang muncul, dan melahirkan berbagai kelompok aliran di Islam. Pada awalnya, aliran dalam Kalam seolah-olah berusaha untuk menghapus aliran kalam sebelumnya, seperti aliran Jabarīyah yang berusaha digantikan dengan aliran Qadarīyah. Akan tetapi pada kenyataannya, suatu paham tidak bisa dihapus selama masih ada yang mengetahui dan menganggap bahwa aliran yang ia anut adalah aliran yang paling benar. Positivisme tidak bisa menerima hal tersebut, teori ini mengharuskan untuk hanya berpaham pada satu aliran kalam.

Kelima, yaitu implikasinya terhadap Tasawuf. Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya, tasawuf juga memiliki banyak aliran (tariqat), seperti Tijānīyah, Naqshabandīyah, Syadzalīyah, dan lain sebagainya. Maka teori positivisme juga tidak menganggap tasawuf sebagai ilmu pengetahuan yang benar, karena masih memiliki banyak paham di dalamnya.

Terakhir, dari pembahasan ini, adalah implikasinya terhadap Politik Islam. Politik yang berkembang di dunia juga memiliki banyak aliran, seperti Sunni dan

Syī’ah. Di Indonesia pun juga begitu, politik Islam di Indonesia terbagi menjadi kubu-kubu, seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Maka hal ini tidak dibenarkan oleh Positivismenya Comte, karena seharusnya apabila ilmu pengetahuan – dalam hal ini adalah pemikiran Politik Islam – itu benar, maka hanya ada satu yang seharusnya diperpegangi oleh seluruh umat Islam.

Demikian isi dari makalah ini.

F. PENUTUP

Setelah membahas teori positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte dan implikasinya terhadap pemikiran keislaman, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.

Comte, Auguste. The Positive Philosophy. diterjemahkan oleh Harriet Martineau. London: Batoche Books. 2000.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. ed. 4.

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar. 2006.

Saeed, Abdullah. Islamic Thought: An Introduction. New York: Routledge. 2006. Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste

Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1983.

SITUS INTERNET

August Comte. http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte. pada 18 Oktober 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelembaban udara dalam rumah (p=0,039), kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah (p=0,001), dan kebiasaan menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian karotenoid dari tepung bunga marigold sebesar 150 mg/kg pakan mampu menggantikan astaxantin sintetis dalam memperbaiki kualitas warna

Produk pengembangan berbasis mind map dirancang untuk mengatasi permasalahan pengetahuan awal siswa yang minim, sehingga siswa mampu membangun konsep awal berupa

Karena karakteristik yang ada pada barang industri berbeda dengan barang konsumsi, maka saluran distribusi yang dipakainya juga agak berbeda. Saluran distribusi barang

dilakukan setelah kegiatan eksperimen selesai adalah membuat plot tegangan antar muka hasil proses dari program yang ada di dalam komputer terhadap tekanan pada temperatur

Anda mungkin memiliki keterampilan atau keahlian untuk melaksanakan tugas- tugas yang dituntut oleh pekerjaan yang ditawarkan, tetapi pimpinan perusahaan juga ingin mengetahui

1) materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik untuk mengambil perhatian yang juga mempertahankan perhatian tersebut untuk waktu yang lebih lama. 2)

Kelemahannya adalah dapat terjadi persilangan yang tidak diinginkan karena bagian ujung bulir terbuka dan benang sari dari tanaman padi varietas lain dapat masuk.. Metode