• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilu Kapasitas Negara dan Infrastruktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemilu Kapasitas Negara dan Infrastruktu"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

1

1

PEMILU, KAPASITAS NEGARA,

DAN INFRASTRUKTUR KEKUASAAN

AKTOR POLITIK

*

OlehTarli Nugroho

Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta;

Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta

Setiap kali menghadapi pemilu, kita selalu berhadapan dengan arus besar harapan publik mengenai perubahan. Tak terkecuali dengan Pemilu 2014. Inilah momentum untuk melangkah ke depan, setelah selama satu dekade kita hidup dalam bayang-bayang negeri autopilot dan masuk ke dalam daftar negara gagal (failed state). Melalui pemilu banyak orang berharap bahwa agenda perbaikan ekonomi, politik, dan hukum bisa lebih berjalan. Sebagai bentuk pemikiran ideal, harapan semacam itu tentu saja sangat wajar. Sayangnya, meminjam Milan Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan, adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Dan kita seringkali lupa untuk menguji seberapa jauh sebenarnya pemilu mampu menghasilkan dua syarat perlu bagi terpenuhinya harapan publik tadi, yaitu kapasitas negaradankompetensi aktor politik.

Lepas dari seberapa jauh pemilu mencerminkan proses demokrasi yang sesungguhnya, atau lepas dari kendala irasionalitas pemilih di Indonesia, kuatnya ikatan-ikatan primordial, masih solidnya barisan koruptor, sampai ke soal money politics dan kecurangan sistematis, pemilu sebenarnya menyimpan banyak persoalan di luar dirinya. Hal inilah yang seringkali kita lupakan. Ketika membicarakan pemilu, harapan dan pemikiran kita hanya bergerak pada wilayah seolah pemilu adalah sebuah mekanisme atau institusi mandiri yang lepas dari institusi lain. Sehingga, semua harapan kemudian ditumpukkan seluruhnya pada ritual ini. Padahal, sebagai sebuah proses, pemilu hanya menjadi salah satu bagian dari jejaring sistem sosial dan politik masyarakat modern.

Karena pemilu tidak hidup di ruang vakum, kita bisa menakar seberapa jauh “rasionalitas” harapan yang disematkan masyarakat tadi dengan

*

(2)

2

2

2

melihat dan menilai institusi lain yang berhubungan dengan pemilu, yaitu dalam hal ini adalah kapasitas negara dan kompetensi aktor politik.

Kapasitas Negara yang Terkikis

Globalisasi nampaknya tak hanya membawa banyak kemudahan buat masyarakat negara-negara berkembang. Di balik berbagai harapan mengenai produk murah-berkualitas, kompetisi yang akan memicu kreativitas, serta arus informasi dan mobilitas yang kian cepat, globalisasi juga menghadirkan banyak persoalan yang ternyata rumit. Globalisasi telah mendekonstruksi banyak tatanan sosial ke dalam bentuk yang sukar untuk didefinisikan. Dalam konteks ekonomi-politik, misalnya, jika dulu kita masih mengenal istilah perusahaan nasional, maka saat ini bisa dipastikan istilah itu tidak lagi bisa digunakan. Bahkan, bukan hanya istilah itu, istilah multinational corporations, lalu transnational corporations juga sedang beranjak menuju definisi yang tak bisa dijelaskan. Kenapa? Bagaimana bisa kita mendefinisikan kewarganegaraan sebuah perusahaan notebook, misalnya, yang pusat risetnya di Bangalore, India, sementara pusat perakitannya di Shenzen, Cina, LCD-nya diproduksi di Taiwan, lalu kantor pemasarannya di New York, AS? Seorang ekonom bahkan sampai perlu membuat istilah baru untuk menjelaskan fenomena ini: stateless corporations.

Dalam lapangan politik, globalisasi juga ternyata telah mengubah konsep mengenai kekuasaan negara. Paham mengenai negara yang semula memiliki kedaulatan esklusif dalam suatu wilayah tertentu sedang dan telah berubah. Mohtar Mas’oed (2002) menulis bahwa wewenang pemerintah nasional telah dibatasi oleh institusi yang diciptakan oleh globalisasi, seperti World Bank, WTO, dan IMF. Peran-peran dan fungsi strategis yang semula menjadi tanggung jawab negara tidak lagi bisa berjalan optimal dan, celakanya, tidak atau belum bisa digantikan oleh institusi lain. Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi negara tidak lagi bisa melakukan intervensi pasar karena mekanisme itu telah diatur oleh kesepakatan internasional lewat WTO, misalnya. Pelanggaran mengenai hal ini, salah-salah bisa merugikan negara bersangkutan dalam bidang yang lebih luas. Banyak negara kemudian hanya bisa tunduk menjalankan regulasi yang diciptakan otoritas global. Pemerintah Indonesia, misalnya, sama sekali tak berdaya melindungi ribuan industri kecil yang gulung tikar karena kenaikan harga BBM berkali-kali sejak tahun 2003, hanya karena pencabutan subsidi merupakan bagian dari kesepakatan (LoI) yang telah ditandatangi oleh pemerintah RI dengan IMF sebagai syarat kucuran pinjaman.

(3)

3

3

3

komitmen mengenai welfare state secara diam-diam, karena banyak dari otoritas yang tadinya dimiliki oleh negara kini telah dipreteli dan diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, makna negara sebagai unit politik yang otoritatif menjadi merosot. Negara memang masih ada, tetapi tidak lagi bisa mendefinisikan apa yang selama ini disebut sebagai kepentingan nasional. Aliansi antar-perusahaan, hadirnya stateless corporations, mobilitas kapital lewat bursa saham, serta kemajuan teknologi informasi telah mengaburkan pengertian “asset nasional” dan “asing”.

Memang, sebagaimana juga diakui Mas’oed, globalisasi dan kemajuan teknologi tak selalu menciptakan kekacauan. Hanya saja, jika dua kekuatan itu digabung dengan konsentrasi pemilikan kapital, hasilnya adalah sebuah disorder dan instabilitas. Peran negara sebagai penjamin kesejahteraan dan pelindung kepentingan warganya harus membentur tembok berlabel “kesepakatan internasional”, perjanjian dagang, liberalisasi, atau pasar bebas.

Good governance, yang banyak digembar-gemborkan sebagai bentuk akuntabilitas dan idealisasi efektivitas peran pemerintah, pada prinsipnya juga sekadar kemasan untuk kian meminimalisir peran negara. Efektivitas artinya negara harus memprivatisasi badan-badan usaha miliknya, melepas monopoli sektor-sektor publik yang strategis kepada swasta, ataupun negara tidak boleh ikut campur dalam mengatur pasar. Sehingga, ujung-ujungnya, negara tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol pemilik kapital. Jangan lupa, konsepgood governancedibangun oleh tiga pilar, yaitu negara, swasta, dan masyarakat. Dari kecenderungan yang berkembang sejauh ini, good governance lebih banyak ditekankan kepada “pengalihan” kekuasaan dari negara kepada pihak swasta. Padahal, sejak awal, negara harus memiliki posisi tawar yang kuat untuk mengimbangi kekuatan kapital dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat. Tak heran, konsepgood governance sebenarnya sekadar kedok dari less governance. Dicabutnya beberapa macam subsidi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, privatisasi BUMN, privatisasi sektor publik, serta liberalisasi perdagangan, yang membuat negara berubah dari penjamin kepentingan publik menjadi penjamin kepentingan privat/swasta, kian mengukuhkan tuduhan itu.

(4)

4

4

4

Infrastruktur Kekuasaan dan Kompetensi Aktor Politik

Di luar soal kapasitas negara yang telah dibicarakan, faktor lain yang menjadi alat uji bagi rasionalitas harapan publik adalah kapabilitas aktor politik. Terkait dengan faktor yang kedua ini, diskusi mengenai calon presiden yang menghangat sejak kurang lebih satu setengah tahun terakhir, sayangnya masih saja berkutat di soal popularitas dan elektabilitas kandidat. Sebagaimana telah dikeluhkan sejumlah sarjana dan pengamat, karena hanya berkutat di dua soal itu, demokrasi kita jadi minim memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan kontestasi popularitas yang tidak melibatkan pertarungan gagasan, agenda, dan program, pada akhirnya telah mereduksi demokrasi menjadi semacam ajang pencarian idola-politik saja. Publik pada akhirnya tidak pernah benar-benar menguji apakah para kandidat yang bertarung benar-benar memiliki kapabilitas untuk mengerjakan janji-janji politiknya.

Popularitas dan elektabilitas memang bisa mengantarkan seorang kandidat memenangi hari pemilihan. Namun, dalam proses politik selanjutnya, apakah kandidat yang bersangkutan akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan atau tidak di rentang masa jabatannya, atau apakah dia bisa atau tidak mengerjakan agenda yang dititipkan publik kepadanya, tidak lagi tergantung kepada popularitasnya pada waktu kampanye dan pemilihan, melainkan pada penguasaannya atas hal lain, terutama penguasaan infrastruktur kekuasaan (power apparatus). Infrastruktur kekuasaan inilah yang sebetulnya akan menentukan posisi tawar seorang tokoh, atau kandidat, ketika berhadapan dengan kelompok kepentingan dalam proses perumusan kebijakan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang memadai, ia tak akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif seturut harapan publik yang dititipkan kepadanya.

(5)

5

5

5

Hanya saja, meskipun ada infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai politik, infrastruktur kekuasaan itu biasanya tidak digunakan secara langsung dan tiba-tiba untuk mengoperasikan kekuasaan. Infrastruktur tadi biasanya digunakan melalui kelembagaan partai politik juga. Tentunya bukan merupakan rahasia bahwa untuk menguasai infrastruktur kekuasaan yang terlembagakan di dalam partai politik, seorang tokoh memang harus memiliki modal infrastruktur kekuasaan lain yang telah disebut sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, infrastruktur kekuasaan yang efektif digunakan untuk mengoperasikan kekuasaan pemerintahan adalah yang terlembagakan di dalam partai politik. Sebab, bagaimanapun partai politik merupakan miniatur kehidupan politik, sehingga ia memang menjadi basis perhitungan bagi infrastruktur kekuasaan pemerintahan.

Selain soal agenda dan program politik, soal infrastruktur kekuasaan ini tidak banyak diperhatikan dalam perbincangan politik di tanah air, terutama yang biasa ditampilkan di layar dan halaman media. Padahal, seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai.

Histeria Harapan Publik

Seperti sudah disinggung di bagian awal, tulisan ini mencoba untuk menakar seberapa jauh “rasionalitas” harapan yang disematkan masyarakat pada pemilu dengan menilai syarat perlu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan itu. Dua syarat perlu itu, sebagaimana telah dibahas, adalah institusi dan aktor sekaligus. Kapasitas negara perlu dinilai karena negara memang menjadi lembaga operasional tempat segala harapan yang dipikulkan di pundak pemilu tadi akan dijalankan. Persoalannya, ketika sebagai sebuah institusi peran negara ternyata kian kerdil, rasionalkah harapan yang menggunung terhadap pemilu?

(6)

6

6

6

Sebenarnya, selain dalam kerangka ekonomi-politik, kian rapuhnya otoritas negara juga bisa dijelaskan secara sosiologi. Dalam masyarakat post-industrial, masyarakat akan cenderung lebih banyak tergantung pada norma-norma informal. Hal ini terjadi karena impak kapitalisme modern yang membuat hubungan manusia menjadi mekanistik, kering tanpa perasaan. Segala hal diatur berdasarkan sistem “kontrak” formal, serta diawasi olehreward dan punishment. Hampir tidak ada ruang lagi bagi apa yang disebut sebagai social capital. Dalam era post-industrial, masyarakat mencoba mengkoreksi semua itu dengan melakukan kebajikan sosial, yang banyak bertumpu pada kepercayaan (trust) dan kejujuran. Apa yang dikemukakan oleh gagasan social capital itu sebangun dengan ide global paradox yang pernah dikemukan Naisbitt, di mana dalam sebuah dunia yang kian mengglobal, ikatan-ikatan primordial justru akan kian menguat. Hubungan-hubungan yang sifatnya kultural, sentimen-sentimen lokalitas, menemukan ruang yang lapang.

Ketergantungan pada norma informal tadi sebenarnya juga berarti melemahnya ikatan-ikatan norma formal. Hanya saja, kian lemahnya ikatan norma formal tadi tidak akan terjadi seandainya institusi-institusi formal bisa menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat. Artinya, lemahnya ikatan norma formal lebih banyak dikarenakan ketidakmampuan institusi formal dalam menjaga kepercayaan publik. Buntutnya, kita kemudian bisa memahami kenapa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, militer, polisi, atau lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya begitu lemah. Hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga formal semacam itu tentu saja berarti hilangnya modal paling berharga bagi berbagai harapan perbaikan atas kondisi saat ini. Pertanyaannya kemudian, masihkah lembaga-lembaga formal tadi memiliki otoritas yang kuat ketika dia tidak lagi dipercaya oleh publik?

Masih begitu besarnya harapan masyarakat terhadap pemilu—dan juga negara—pada dasarnya lebih banyak dikarenakan masyarakat tidak memahami informasi semacam ini, dan bukan dikarenakan besarnya kepercayaan mereka terhadap institusi tadi. Jangan lupa dengan tipikal pemilih Indonesia yang masih belum rasional seperti telah disebutkan di awal. Sehingga, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu tidak bisa dijadikan ukuran seberapa besar tingkat kepercayaan mereka sesungguhnya.

(7)

7

7

7

tidak, dengan melihat infrastruktur kekuasaan yang telah dibangun para kandidat. Jika mereka sudah cukup lama membangun infrastruktur kekuasaan, kita bisa menyebut bahwa kompetensi mereka jauh lebih baik daripada kandidat yang sekadar mengandalkan popularitas tapi belum apa-apa dalam menyiapkan infrastruktur kekuasaan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih rakyat.

Lantas, dengan dua persoalan itu, apakah dengan demikian berarti pemilu menjadi tidak penting, dan negara serta aktor politik sama sekali tidak patut diberi kepercayaan? Bagaimana dengan institusi di daerah, apakah dia juga menanggung beban peran yang minimal tadi sehingga juga tidak bisa diharapkan?

Sayangnya, watak institusi pemerintahan di daerah tidak berbeda jauh dengan watak negara secara umum. Desentralisasi baru sebatas dikerjakan sebagai lokalisasi “bancakan” yang tadinya terjadi di pusat. Hal ini sebenarnya cukup fatal, mengingat, dengan skup yang lebih kecil masyarakat seharusnya menjadi lebih mudah untuk mengawasi kinerja insitusi pemerintahan. Tapi kenyataannya, bahkan dalam skup yang lebih kecil lagi sekalipun, praktik-praktik semacam itu masih tetap dilakukan.

Secara garis besar, tentu ini tidak berarti bahwa masyarakat tak bisa atau tak boleh berharap sama sekali. Sebab hal paling penting yang ingin ditekankan adalah bahwa negara bukan satu-satunya institusi pemilik kekuasaan. Sehingga, ketika peranan negara tak lagi bisa diharapkan, masyarakat bisa beralih kepada institusi pemilik kekuasaan lain, atau menghimpunkan kekuasaan sendiri untuk melindungi kepentingannya.

Dana triliunan yang dibelanjakan untuk mengail kemenangan di Pemilu 2014 kemudian menjadi terasa sia-sia jika melihat kondisi demikian. Memperebutkan kursi yang harganya kian mahal, tapi kesaktiannya kian merosot, selain bisa dijadikan bahan lelucon juga patut dicurigai: kenapa orang berani membayar mahal sesuatu yang sebenarnya fungsi “kemaslahatannya” kecil? Saya jadi akan teringat komik satire-nya Scott Adam, Dilbert Future, bahwa satu-satunya alasan yang masuk akal kenapa seseorang harus ikut pemilu adalah bahwa dengan ikut pemilu berarti dia telah mengurangi inefisiensi negara yang telah mencetak kartu suara.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan prosedur penelitian seperti melakukan analisis data, melakukan pengujian hipotesis, menunjukkan bahwa ada kontribusi yang signifikan antara penguasaan

Hasil Analisis Tekanan Darah Diastolik Pre-test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol dengan Uji Mann-Whitney ... Hasil Analisis Tekanan Darah Sistolik Post-test

Kepala Seksi Pembinaan dan Pengembangan Industri Aneka pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pasar Kabupaten Malang Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten

Penulisan dalam penelitian ini mengkaji tentang Pelaksanaan Perjanjian Studi Lanjut Antara Yayasan Slamet Rijadi Dengan Dosen, yang mengkaji akibat hukum antara Yayasan Slamet

mendamaikan kedua belah pihak dengan cara mempertemukan para pihak untuk mediasi. Ketua Pengadilan Agama Rengat Bapak Drs. Muhdi Kholil, SH., M.A., M.M juga menyampaikan

Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari.. situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah

Teknik penarikan sampel pada penelitian ini adalah probability area sampling yaitu memberikan peluang yang sama kepada setiap Kepala Keluarga Petani Suku Arfak yang tinggal

Dalam keadaan terpaksa, misalnya pasien tidak mungkin untuk diangkut ke kota/rumah sakit besar, sedangkan tindakan darurat harus segera diambil maka seorang dokter atau bidan