BANGSA YANG TIDAK BAHAGIA
Oleh Aprinus SalamBangsa hadir dan diperlukan untuk dicintai dan sekaligus dibenci. Dalam tarikan energi itu bangsa Indonesia hidup dan bertahan. Sayangnya, negara dan masyarakat tidak mampu mengelola dengan baik kedua energi yang sangat penting itu sehingga sebagai bangsa kita hidup dalam perasaan galau. Sebagai bangsa, kita bukan bangsa yang bahagia.
Secara historis, misalnya, ada masa lalu yang dicintai (dan dikagumi), yakni abad ke-7 hingga abad ke-16, suatu masa yang sering dianggap sebagai masa kejayaan Nusantara dengan kerajaan besarnya seperti Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi, ada masa lalu yang dibenci, yakni masa penjajahan. Masa penjajahan adalah masa yang kita terima dengan perasaan benci. Karena masa penjajahan itu pula, kita menyenangkan diri dengan kisah-kisah kepahlawanan dan pahlawan yang layak dicintai.
Kita memang membenci penjajahan, dalam arti kita membenci segala bentuk intervensi dan gangguan dari luar ke dalam bangsa kita. Akan tetapi, itu bukan berarti kita membenci bangsa Eropa yang pernah menjajah kita. Bahkan banyak dari kita yang menyukai dan menyintai Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, negara pernah gagal mengelola perasaan cinta dan benci pada satu bangsa tertentu, padahal bangsa itu tidak pernah menjajah di dan pada masa lalu yang kita benci.
Banyak contoh lain, misalnya tradisi dan modernitas. Kita mencintai tradisi karena nilai-nilai kearifannya, tetapi benci pada tradisi yang snobis dan merasa paling luhur sendiri. Kita membenci modernitas dan kapitalisme karena telah menggerus kemanusiaan kita, tetapi kita mencintainya karena modernitas telah membebaskan kita dari belenggu tradisi yang mengungkung. Kita membenci pembangunan yang merusak lingkungan, tapi kita mencintainya dengan menikmati hasil pembangunan. Secara umum, mungkin kita akan berpendapat bahwa untuk menuju bangsa yang bahagia sebaiknya energi cinta dimaksimalkan dan energi benci diminimalkan atau dihilangkan. Asumsi itu pun ternyata tidak benar karena sebagai bangsa ada hal-hal kebencian juga sangat perlu dibangun dan dipertahankan. Kita tetap perlu memelihara kebencian terhadap segala macam kejahatan. Negara perlu membantu bangsanya untuk memelihara terus menerus perasaaan benci untuk melawan dengki, hasut, keserakahan, ketamakan, kerakusan, dan sebagainya.
Titik Kesetimbangan
Bangsa adalah sekumpulan manusia yang terikat dalam satu perjanjian historis, politk, dan kultural manusia-manusia yang terlibat dan terhimpun di dalamnya. Artinya, bangsa adalah himpunan manusia dan kemanusiaan yang terkonstruksi sedemikian rupa oleh sejumlah aturan dan beragam kesepakatan. Akan tetapi, sebagai himpunan manusia dan kemanusiaan, substansi tertinggi bangsa adalah bahwa bangsa merupakan penjelmaan energi manusia-manusia yang cinta dan benci ada di dalamnya.
Kita tidak bisa bertanya kenapa cinta dan benci harus ada. Karena hal itu sama dengan mempertanyakan apa itu ruh yang tersembunyi di dalam diri kita sehingga kita bisa hidup dan ada. Pertanyaannya adalah bagaimana mengelola cinta dan benci agar mendapatkan titik kesetimbangan tertentu. Dalam pemahaman inilah kita telah mendapat satu pedoman yang sangat pantas untuk dielaborasi kembali, yakni apa yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD ’45.
Dalam Pembukaan UUG ’45, teks secara ekplisit telah menandaskan tiga faktor penting dalam mengelola ketimbangan bangsa dan negara. Tiga faktor penting itu adalah faktor spritualitas (Atas berkat Allah yang Maha Kuasa, dst.), intelektualitas (mencerdaskan kehidupan bangsa, dst.), dan emosionalitas (kemerdekaan, keadilan kesejahteraan, kemakmuran). Persoalannya adalah bahwa justru titik tekan negara dalam mengelola bangsanya lebih mengakomodasi dimensi atau faktor emosionalitas. Cinta dan benci tidak mendapat kontrol atau titik kesetimbangan. Hal tersebut juga berkaitan dengan karakter negara Indonesia yang, walaupun telah memiliki Pancasila, tapi dalam praktiknya; modernisme, kapitalisme, pembangunanisme, dan sekularisme menjadi “ideologi” dominan dalam rangka mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagai akibatnya, energi cinta dan benci menjadi menonjol dan tak terkendali. Implikasi tidak terkendalinya energi cinta dan benci itu dapat kita lihat dari banyaknya konflik, kerusuhan, dan kekerasan, atas nama cinta dan benci itu sendiri.
Menuju Bangsa Bahagia
Jika titik kesetimbangan itu tidak diupayakan, maka jangan pernah berharap kita akan menjadi bangsa yang bahagia. Suatu kondisi kesetimbangan antara spritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa kita perlu menjadi bangsa yang bahagia? Belajar dari sejarah peradaban bangsa dan negara di seluruh muka bumi, tidak ada bangsa dan/atau negara yang abadi. Itu artinya, bangsa dan negara itu fana dan sementara.
didapatkan dengan dan dalam penderitaan bingung dan galau berkepanjangan, bahkan frustrasi. Perlu sesuatu yang lebih teleologis dan abadi. Negara perlu menanamkan kesadaran bersama bahwa faktor spritualitas dan intelektualitas sangat diperlukan untuk mengontrol energi cinta dan benci. Negara wajib membuat bangsa Indonesia bahagia. Bangsa yang bahagia sekaligus selamat dunia akhirat. * * *