• Tidak ada hasil yang ditemukan

S PPB 1202556 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S PPB 1202556 Chapter1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Penelitian

Tanggung jawab pelaksanaan layanan pada satuan pendidikan dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan Konseling (BK). Penyelenggaraan BK pada SMP/SMA/SMK atau yang sederajat dilakukan oleh guru BK dengan rasio satu guru BK melayani 150 orang konseli/peserta didik (Permendikbud No.111 tahun 2014). Pada kenyataannya, satu guru BK seringkali melayani lebih dari 150 orang konseli. Guru BK memiliki tugas yang tidak mudah yakni memfasilitasi perkembangan peserta didik untuk mencapai kemandirian dalam hidupnya. Konseling adalah salah satu profesi membantu yang paling menantang. Orang yang memilih konseling sebagai karir mereka diharapkan untuk membantu orang lain secara efektif menyelesaikan tekanan psikologis (Skovholt dkk. dalam Datu & Mateo, 2015).

Guru BK juga senantiasa dihadapkan dalam berbagai situasi krisis dan berisiko. Selama 20 tahun, kekerasan di sekolah naik 2 kali lipat, dan menurut WHO pada tahun 2012, tingkat bunuh diri meningkat sebesar 60% di seluruh dunia. Tidak hanya itu, saat ini guru BK dituntut untuk menguasai permasalahan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016 dengan membentuk karakter pada semua jenjang sekolah mulai dari sekolah dasar. Saat ini, terdapat semakin banyak faktor penyebab guru mengalami stres dan berimplikasi pada kesehatan fisik serta mental (Sawyer, Peters, & Willis, 2013; Charmin, 2015; Brown, 2012).

(2)

mencapai keberhasilan peserta didik maupun memberikan saran pendekatan pedagogis yang sesuai (Kurbanoglu & Arslan, 2015). Belum lagi, tugas-tugas administratif lain yang dikerjakan oleh guru BK karena pihak sekolah menganggap guru BK lebih bebas tugas untuk menghadapi peserta didik dibandingkan guru biasa, sehingga waktu untuk pekerjaan 'sebenarnya' lebih sedikit (Underwood, 2015). Lebih lanjut, permasalahan yang dialami oleh peserta didik di perkotaan tidak hanya mengenai kebutuhan akademik, namun juga konsekuensi sosial dari hidup miskin, menghadapi diskriminasi ras dan etnis, dan bahaya-bahaya lainnya yang muncul dari lingkungan (Kraft dkk., 2015).

Dalam melaksanakan tugasnya, profesi guru BK rentan terhadap pengalaman psikologis yang negatif seperti burnout (Injeyan dkk., 2010).

Burnout terjadi pada berbagai kultur dan lazim di seluruh pekerjaan serta

berbagai bidang. Menurut beberapa studi, tampak 21-67% pekerja yang bergelut dalam bidang kesehatan mental mengalami kemungkinan burnout tingkat tinggi (Morse dkk., 2012). Penelitian mengenai burnout pada guru telah dilakukan di Amerika Serikat dan hasil menunjukkan 25% guru berhenti bekerja sebelum tahun ketiga dan hampir 40% meninggalkan profesi mereka dalam 5 tahun bekerja akibat burnout (Chang, 2009).

(3)

penurunan sumber daya yang berkelanjutan, dan penarikan diri yang terkait dengan penipisan sumber daya (Bianchi dkk., 2013). Pada burnout, pekerja berusaha menemukan kecocokan antara diri sendiri (misalnya sumber daya atau identitas) dengan harapan terhadap suatu peran dalam lingkungan organisasi (Ashfort dalam Demerouti, Verbeke & Bakker, 2005).

Burnout merupakan suatu metafora dalam pengurasan energi merujuk

pada pemadaman lilin. Metafora ini menyiratkan bahwa setelah api terbakar, api tidak akan dapat menyala dengan terang kecuali terdapat sumber daya yang cukup dan terus terisi. Seiring waktu, pekerja yang mengalami burnout, kehilangan kemampuan untuk memberikan kontribusi yang intens. Metafora tersebut menggambarkan kelelahan pada kapasitas pekerja untuk dapat mempertahankan keterlibatan yang intens dan menimbulkan dampak yang berarti di tempat kerja (Schaufeli, Leiter, & Maslach, 2008). Burnout adalah sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya pencapaian pribadi yang dapat terjadi pada individu yang bekerja (Maslach, 2003).

Profesi humanservice berada pada risiko burnout yang relatif tinggi pada

burnout, keadaan ini dikarenakan mereka sering dihadapkan dengan tuntutan

emosional dari helpee (Aydemir & Icelli dalam Kohler, 2012) termasuk guru BK. Tidak hanya itu, burnout dikaitkan dengan perilaku guru BK yang melakukan kebalikan dari alasan utama ia bekerja, seperti menjadi tidak peduli, kehilangan kehangatan, empati, dan perhatian (Harris & Winokuer, 2016). Padahal empati dan kehangatan guru BK merupakan hal yang sangat penting mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi. Lebih lanjut, burnout juga dikaitkan dengan perasaan negatif terhadap konseli (Salyers dkk., 2013). Perasaan negatif tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan konseli yang berimbas pada hasil konseling, yaitu rasa frustasi (Yusuf & Nurihsan, 2011a).

Pentingnya pemahaman mengenai burnout membuat diagnosis medisnya berada pada beberapa negara di Eropa (terutama Swedia dan Belanda),

burnout juga terdapat dalam buku pegangan. Para dokter dan profesional

(4)

menawarkan berbagai program perawatan. Dengan kata lain, banyak profesional yang memberikan treatment kepada korban burnout, memberikan lokakarya, menjadi konsultan organisasi tentang bagaimana cara mencegah

burnout dan membangun keterlibatan kerja (Schaufeli, Leiter, & Maslach,

2008).

Penelitian mengenai burnout menjadi sebuah area yang menarik karena banyaknya dampak merugikan yang dihasilkan. Penelitian telah menunjukkan

burnout dikaitkan dengan masalah fisik (misalnya sakit kepala, susah tidur,

dan penyakit yang berkepanjangan), masalah kesehatan mental (misanya penurunan self esteem, peningkatan kecemasan dan depresi) serta kinerja (misalnya absen dan niat untuk resign). Hasil-hasil yang merugikan tersebut tidak hanya memengaruhi individu tetapi juga berpotensi memiliki efek buruk pada seluruh bagian organisasi termasuk kolega dan klien. Absensi yang dilakukan seorang helper dapat membuat helpee menjadi prematur akibat dari putusnya pertolongan. Selain itu, apabila terjadi pergantian pekerja membuat organisasi perlu memikirkan gaji, dan peningkatan beban pekerja lain selama masa kekosongan (Garner, Knigth, & Simpson, 2007).

Komitmen profesional dibutuhkan para guru untuk terus tetap dapat menjalani karir dan memeroleh suatu kepuasan secara keseluruhan dan kesempatan untuk mendapatkan penghargaan emosioanl dan pertumbuhan pribadi melalui profesi. Saat ini, banyak guru yang memasuki profesi dengan tingkat komitmen yang tinggi dan keinginan untuk memengaruhi dunia melalui membuat perbedaan penting dalam hidup peserta didik. Meskipun terlihat seperti harapan yang luhur dan mulia, jadwal kerja yang panjang dan tidak teratur serta burnout dapat mengancam kesejahteraan guru dan komitmen terhadap profesi (Brown & Roloff, 2011).

Burnout adalah hasil dari turunnya kemampuan untuk membantu konseli

(5)

bertahun-tahun berada dalam posisi yang sama, berkorelasi positif dengan

burnout pada psikoterapis dan guru BK (Galek dkk., 2011). Penelitian

mengenai burnout guru BK di Indonesia telah dilakukan oleh Kusumanggoro di SMA (Sekolah Menengah Atas) Kabupaten Bantul. Hasilnya, burnout guru BK SMA Kab. Bantul berada dalam kategori rendah (Kusumanggoro, 2012).

Variabel-variabel demografik tertentu, termasuk usia, dan jenis kelamin ditemukan berkaitan dengan burnout (Maslach, Poulin & Walter dalam Sunbul, 2003). Karakteristik lain demografis yang berhubungan dengan

burnout juga termasuk tingkat pendidikan (Garner, Knigth, & Simpson, 2007).

Pekerja yang mengalami burnout adalah pekerja yang bekerja terlalu banyak, terlalu lama, dan juga terlalu intensif karena mereka mendapatkan tekanan baik dari dalam maupun luar pekerjaan. Tekanan ini membuat pekerja untuk bekerja lebih keras dalam kaitannya dengan peran kerja ekstra sehingga berisiko pada gangguan kerja. Sehingga dapat disimpulkan guru BK yang telah lama bekerja atau dengan kata lain lebih tua, memiliki tingkatan burnout yang lebih tinggi (Freudenberger dalam Demerouti, Verbeke & Bakker, 2005). Penelitian mengenai burnout guru BK, telah dilakukan oleh Gündüz pada 194 guru BK sekolah di Turki, yang memiliki pengalaman kerja dari 1 hingga 30 tahun. Hasil menunjukkan guru BK yang telah melayani 1000-1500 peserta didik memiliki skor depersonalisasi yang tinggi (Gündüz, 2012).

Pernyataan tersebut berlawanan dengan temuan generasi yang lebih tua dianggap lebih mampu mengatasi burnout. Didokumentasikan guru muda mengalami tingkat kelelahan emosional dan depersonalisasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan rekan yang lebih tua. Burnout terjadi lebih tinggi pada guru-guru sekolah menengah yang masih muda, mereka lebih berisiko mengalami burnout daripada guru yang lebih tua (Lee, H dkk., 2005; Antoniou, Polychroni, & Vlachakis, 2006; Maslach dalam Aloe, Amo, & Shanahan, 2014; Laub dalam Brewer & Shapard, 2004). Selain itu, pekerja dengan usia muda cenderung mendapatkan skor burnout & kecemasan

(anxiety) yang lebih tinggi daripada pekerja yang lebih tua (Claxton & Catalan

(6)

Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi lebih rentan terkena

burnout. Lebih lanjut, studi lain menemukan pendidikan dikaitkan dengan rasa

pencapaian pribadi yang tinggi (burnout yang rendah), karena individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi lebih berambisi untuk mengembangkan karirnya (Maslach dkk. dalam Galek dkk., 2011). Namun penelitian lain menyebutkan pendidikan tidak berpengaruh terhadap burnout (Tartakovsky, 2015).

Penelitian dilakukan pada 3.114 pekerja untuk menggambarkan peran

gender dalam kelelahan emosional sebagai aspek dari burnout. Hasil

menunjukkan wanita cenderung mengalami kelelahan emosional yang lebih tinggi daripada pria. Namun, pria yang bekerja dengan jam kerja yang sedikit juga lebih rentan terkena kelelahan emosional (Rubino, Volpone & Avery, 2013). Dari kajian burnout pada 220 guru sekolah menengah ditemukan tingkat burnout antar guru pria dan wanita tidak berbeda (Konert dalam Brewer & Shapard, 2004).

Beberapa temuan menyatakan burnout lebih tinggi terjadi pada wanita, beberapa untuk pria, dan beberapa tidak ada perbedaannya (Garner, Knigth, & Simpson, 2007). Terdapat beberapa studi yang menunjukkan terdapat perbedaan gender pada kelalahan emosional dan wanita lebih rentan terkena tekanan dibandingkan pria. Namun, hasil-hasil studi mengenai peran gender cenderung tidak konsisten dan bervariasi. Oleh karena itu, organisasi perlu memahami lebih lanjut hal-hal yang memengaruhi burnout pada pekerja (Rubino, Volpone & Avery, 2013).

(7)

Saat ini, masih sedikit studi mengenai burnout kepada pekerja yang lebih tua. Hal ini mengejutkan karena burnout dihubungkan sebagai perubahan yang terus menerus dalam satu pekerjaan dan lingkungan kerja, selain itu terdapat stereotip pekerja yang lebih tua merasa lebih sulit mengatasi perubahan dalam organisasi (Henkens & Leenders, 2010). Oleh karena itu, penelitian bermaksud membagi partisipan kedalam kategori-kategori masa kerja dan usia, termasuk guru BK sekolah yang lebih tua.

Melihat adanya perbedaan-perbedaan pada hasil temuan mengenai

burnout, peneliti bermaksud mengisi kekosongan dan ketidakkonsistenan hasil

penelitian burnout berdasarkan gender, usia, masa kerja, dan tingkat pendidikan guru BK di SMK di kota Bandung. Status kepegawaian serta latar belakang pendidikan yang juga diteliti atas dasar fenomena yang ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Profesi guru BK merupakan profesi yang rentan mengalami burnout.

Burnout merupakan penipisan sumber daya (aspek yang membantu

mengurangi tuntutan pekerjaan dan merangsang perkembangan pribadi). Karena tuntutan pekerjaan yang dimiliki, guru BK seringkali berfokus pada beban kerja tanpa memerhatikan kondisi pribadinya. Guru BK tidak menyadari dirinya sudah mengalami burnout. Hal ini ditandai dengan penurunan empati, kehangatan, dan perhatiannya saat menangani konseli/peserta didik hingga penghindaran untuk bekerja.

(8)

sedang berekreasi ke luar kota dan luar negeri. Belum lagi adanya perbedaan pendapatan yang cukup jauh antar guru BK berdasarkan status kepegawaian.

Selain realita tersebut, guru BK di kota Bandung belum mengetahui dinamika burnout termasuk penanganannya. Pihak sekolah terlihat belum mempunyai strategi khusus untuk membantu guru BK untuk mengatasi gejala-gejala burnout. Supervisor BK jarang ditemui, pengawas yang datang seringkali hanya memeriksa kelengkapan adiministratif dan bukan berasal dari jurusan BK sehingga tidak memahami ekspektasi kinerja guru BK di sekolah. Disamping itu, hal lain yang memengaruhi terjadinya burnout pada guru BK juga meliputi gender, usia, masa kerja, pendidikan, dan status kepegawaian. Sehingga berdasarkan uraian yang telah disebutkan, penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Seperti apa kecenderungan burnout guru BK SMK di Kota Bandung. 2. Seperti apa perbedaan kecenderungan burnout guru BK berdasarkan usia

dan masa kerja.

3. Seperti apa perbedaan kecenderungan burnout guru BK berdasarkan

gender.

4. Seperti apa perbedaan kecenderungan burnout guru BK berdasarkan status kepegawaian.

5. Seperti apa perberdaan kecenderungan burnout guru BK berdasarkan tingkat pendidikan

6. Seperti apa perbedaan kecenderungan burnout guru BK berdasarkan latar belakang pendidikan.

C. Tujuan Penelitian

(9)

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan referensi khususnya mengenai gambaran burnout pada guru BK, serta membantu perkembangan teori burnout khususnya dalam seting sekolah. Selain itu terdapat manfaat secara praktis, yaitu hasil penelitian ini: 1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan pihak sekolah mengenai perlunya

tindak lanjut atas gejala burnout yang dialami guru BK termasuk penetapan kebijakan, pelatihan, dan dukungan sistem.

2. Rekomendasi untuk calon guru BK (mahasiswa departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan) dalam memulai pembelajaran pencegahan

burnout demi keberhasilan peserta didik di sekolah.

E. Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi skripsi ini adalah:

1. Bab I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta struktur organisasi skripsi.

2. Bab II Kajian Pustaka, terdiri atas definisi, karakteristik, teori, faktor, dampak, pengukuran, dan solusi burnout.

3. Bab III Metode Penelitian, terdiri atas desain, partisipan, penyusunan instrumen, dan prosedur penelitian, serta teknik analisis data.

4. Bab IV Temuan Penelitian dan Pembahasan, terdiri atas temuan, pembahasan temuan, dan keterbatasan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan ataas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya, serta bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Berkaitan dengan hal tersebut , maka telah dirumuskan kesepakatan dan keyakinan bahwa lingkungan hijau yang telah dikembangkan sejak digulirkannya “Gerakan Sejuta

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Giving Question and Getting Answer dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Motivasi

Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan, Yang Maha Mengabulkan doa orang yang berada dalam kesulitan, kami memohon kepada-Mu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perangkat visualisasi sistem akuntansi yang menjadi produk penelitian sampai dengan tahun kedua ini menggambarkan bagaimana

Hasil dari penelitian ini adalah sebuah perangkat lunak sistem informasi geografis peta kelistrikan dan jaringan distribusi pada daerah Seberang Ulu I dan II kota

[r]