• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB III"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

POLA PEMUKIMAN DAN RELASI MASYARAKAT PRA

KONFLIK AMBON

Pengantar

Pada bab ini akan digambarkan konstruksi pola relasi masyarakat Ambon di masa pra konflik. Hal demikian dinilai penting, karena melalui konstruksi tersebut dapat dilihat secara jelas gambaran relasi dan segregasi yang telah kuat menghiasi masyarakat Ambon sebelum dan pascakonflik.

Pola Pemukiman

Pemukiman di Kota Ambon berbasis keagamaan adalah merupakan sebuah realitas. faktor sejarah kota Ambon menggambarkan realitas tersebut dengan jelas. Pulau Ambon dan sekitarnya terbagi berdasarkan garis Agama secara geografis dan sosial. Negeri adalah unit administrasi bentukan kolonial Belanda yang berada langsung di bawah kekuasaannya, sekaligus mempola-risasikan masyarakat berdasarkan agama masing-masing. Polarisasi tersebut, menjadi ekstrim ketika konflik Maluku berlangsung. Hal ini dapat digambarkan melalui proses terbentuknya Negeri Larike, di daerah Pulau Ambon, seperti berikut ini:

Awal Mula Perjumpaan Kristen-Islam di Larike

Selain terdapat orang Kristen keturunan Belanda dan soldadu-soldadu Kristen dari Saparua yang menempati Larike, terdapat juga orang-orang Islam yang hidup di sana. Orang-orang Islam itu berasal dari Lawahina (Lawa: Kebun, Lari dan Hina: Negeri). Orang-orang Islam tersebut disuruh oleh Belanda melalui soldadu-soldadu dari Saparua untuk tinggal bergabung dengan orang Belanda dan mereka ditempatkan di Letehina (Negeri di atas). Orang-orang Islam ini di suruh bergabung dengan orang Kristen. Diasumsikan cara demikian dipakai oleh pemerintah Belanda untuk menggolkan tujuan mereka, yakni menambah jumlah jiwa orang di Larike sehingga dapat dimanfaatkan tenaga mereka untuk bekerja bagi kepentingan Belanda. Orang-orang Islam itu tinggal di wilayah perbatasan dengan negeri Islam (Wakasiu). Pada waktu orang-orang Islam yang tinggal di Letihina ini mau pergi ke hutan di Lawahina, mereka berjalan sela-sela (disela) air batang karena takut kepada Belanda. Air batang itu terletak di tengah-tengah yang membagi desa atas dua bagian, yaitu: pinggiran (disela) dan pusat (Kota dan Letihina).1

(2)

Keberadaan Larike Kristen Saat Konflik

Pada saat konflik 1999 mulai melanda Kota Ambon, orang-orang Kristen (Jemaat) Larike keluar meninggalkan desa Larike pada tahun 1999 dengan ketua Majelis Jemaat yaitu Pdt. M.H. Belserang. Tempat yang dihuni saat desa Larike ditinggalkan adalah Letihina. Dari Letihina mereka lari ke hutan dan tinggal selama tiga hari di sana. Saat di hutan, ibadah dilakukan oleh jemaat dan dipimpin oleh Pnt. Pit Latumarissa. Selama tiga hari berada di hutan, ditemukan surat edaran dari Gubernur Maluku yang diberikan melalui helikopter untuk menyuruh semua orang Kristen yang tinggal di hutan agar segera turun ke negeri. Merespons surat itu, Raja kemudian menyuruh Tentara untuk pergi menjemput anggota Jemaat Larike di hutan agar turun ke negeri. Permintaan Raja itu didengarkan dan mereka turun kemudian tinggal di Letihina.2

Perkembangan konflik terus berlangsung membuat keberadaan orang Kristen Larike menjadi tidak tenang dan nyaman di negeri Larike. Keadaan seperti itu kemudian diatasi melalui kerjasama dengan Sinode GPM. Melalui jalinan kerjasama dengan MPH Sinode maka diangkutlah anggota orang Kristen Larike dan dibawah ke wilayah Liliboy pada tahun 1999.

Setelah orang Kristen Larike meninggalkan negeri asalnya, mereka menganggap diri mereka seperti orang asing di negeri orang. Meskipun ada perasaan seperti demikian, mereka tidak ingin kembali ke negeri asal dan ingin mendiami tempat baru, karena negeri Larike tempat asal mereka sudah dikuasai oleh orang Islam. Akhirnya mereka direlokasi dan mendiami dusun Wainusalaut, di daerah petuanan Negeri Suli. Di tempat relokasi ini, mereka tidak memiliki hak atas tanah dan tidak dapat memanfaatkan laut untuk kehidupan mereka. Hal ini yang membuat mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga turut mempengaruhi pendapatan ekonomi orang Kristen Larike.3

Penjelasan di atas hendak menegaskan bahwa kebersamaan antara masyarakat Larike Islam dan Kristen telah terbentuk sejak zaman Belanda. Meskipun kebersamaan tersebut terjadi karena peran Belanda, demi menunjang kepentingan politik mereka, namun terbentuknya masyarakat ini dapat dilihat sebagai suatu kebersamaan yang telah lama hidup di Maluku dan melampaui perbedaan agama tersebut. Dalam kebersamaan yang terbangun, relasi antar masyarakat Larike berlangsung secara baik. Sayangnya hubungan tersebut menjadi retak ketika terjadi konflik Maluku dan berdampak kepada mereka, seperti yang telah dikemukakan di atas. Meskipun orang Kristen Larike tidak tinggal lagi di Larike (kampung asal), tetapi mereka tetap merasa bahwa

(3)

orang Islam di Larike adalah saudara mereka. Demikian pun orang-orang Islam Larike menjaga dusun milik orang-orang Kristen Larike dengan baik sampai orang Kristen Larike datang mengambil hasil dusun mereka.

Pola Relasi

Secara sosio-historis, Ambon telah terpetakan oleh ruang segregasi semenjak masa Kolonialisme, di mana negeri-negeri terpola dengan perbedaan berdasarkan kelompok negeri berdasar agama, yakni Negeri Salam, Negeri Sarani. Klasifikasi ini telah memunculkan solidaritas primordial yang kuat di antara anggota kelompok. Sekalipun demikian, realitas sosial menunjukan bahwa masyarakat Ambon mampu mempertahankan pola kehidupan bersama sepanjang ratusan tahun, dengan hidup harmonis, satu dengan lainnya hingga tragedi konflik pada tahun 1999. Hal ini hendak menunjukan bahwa segenap perbedaan oleh pilar segregasi, mampu dikelola secara maksimal lewat pola-pola berbasis kebudayaan lokal secara adatis. Klasifikasi negeri-negeri berdasarkan agama, tidak semata-mata dipandang sebagai pembela melainkan sebagai sebuah totalitas orang Ambon dalam konteksnya. Totalitas kehidupan bersama ini diikat dengan jaringan yang luas yakni Pela-Gandong, serta falasafah hidup Ale Rasa Beta Rasa, yang kemudian menjadi sumber nilai dalam seluruh aktivitas yang dijalankan.

Memandang balik pola relasi masyarakat Ambon masa pra konflik, maka akan terlihat secara utuh praksis hidup kultural yang mengikat seluruh padanan kehidupan masyarakat Ambon. Hal ini dapat dilihat dalam wujud pola relasi yang tidak tertutup secara universal, melainkan terbuka secara kultural.

Pola relasi dalam sistem budaya

Sistem budaya yang dimaksudkan dalam hal ini menunjuk pada Pela-Gandong yang merupakan salah satu kearifan lokal sebagai perekat kerukunan di Maluku. Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku atas dasar perjanjian hubungan antara satu negeri (desa) dengan negeri lainnya yang biasa berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain. Di Maluku, biasanya satu negeri memiliki satu atau dua Pela. Sistem perjanjian ini diperkirakan telah dikenal sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Maluku, dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap serbuan bangsa Eropa pada waktu itu.

(4)

dan Hulaliu) di Pulau Haruku, Pela berarti “sudah”. Dalam lingkungan kebahasaan Uli Solimata (Tulehu, Tengah-Tengah dan Tial) di Pulau Ambon, Pela berarti “cukup”. Istilah peia sama dengan istilah pela nia

yang artinya “sampe jua”. Biasanya hubungan pela dilatarbelakangi oleh konflik atau perang yang pernah terjadi, yang mengakibatkan hancurnya ikatan-ikatan kekeluargaan. Dalam konteks ini, pela dimaksudkan untuk mengakhiri kondisi kehancuran tersebut.

Kedua, dalam lingkungan kebahasaan masyarakat di Seram, kata

ini diaksarakan dengan kata “peia” yang menunjuk pada “saudara” yang

terambil dari tradisi Kakehan. Saudara dalam tradisi kakehan tidak menunjuk pada faktor genealogis melainkan pada keanggotaan suku. Sebuah ikatan yang menyatukan satu negeri dengan negeri lain sebagai orang bersaudara.

Ketiga, kata pela berasal dari istilah Pela-hela, yang berarti “orang tua-tua dulu punya keterkaitan”. Jadi pela merupakan sesuatu yang berasal dari orang tua atau leluhur. Penghormatan kepada orang tua dalam konsep masyarakat Seram sebagai pusat narasi kultural orang Maluku sangat kuat. Mereka menganggap apa yang telah dilakukan oleh orang tua-tua adalah ajaran kebijaksanaan yang bersifat etik.4

Selanjutnya oleh Izak Lattu dalam tulisannya tentang “Culture

and Christian – Muslim Dialogue in Moluccas-Indonesia”, menjelaskan

bahwa secara budaya, orang Maluku percaya bahwa pela merupakan model tradisional dari rekonsiliasi yang mana narasi ini berlaku untuk semua orang Maluku, baik Islam, Kristen, dan pengikut agama lainnya.5

Sementara itu, Dieter Bartels mendefinisikan pela sebagai suatu sistem persahabatan, sistem persaudaraan atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan atau sistem tersebut telah diterapkan oleh para leluhur dalam keadaan khusus, dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada dan terkait oleh akta perjanjian ikatan pela.6

Faktor yang menyatukan negeri-negeri berpela adalah kesadaran bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang pernah menetap pada satu

4 John Ruhulessin, Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela Di Maluku (Salatiga: Satya Wacana

University Press, 2005), 148-152.

5Izak Lattu, ”Culture and Christian-Muslim Dialogue in Moluccas-Indonesia,” Interreligious Insight

10, no 1 (2012), 45.

(5)

wilayah teritorial yang sama. Hal ini menghasilkan rasa persaudaraan yang dipakai sebagai dasar persekutuan masyarakat. Dari nilai persaudaraan inilah individu bahkan masyarakat membangun nilai dalam hidup kemasyarakatan yang lebih luas. Ruhulessin menyebutkan bahwa pemahaman mengenai saudara merupakan standar dan motif etik bagi cara individu mengembangkan sikapnya satu terhadap yang lain.7

Bartels menyebutkan beberapa hal yang membentuk hubungan

pela antar negeri di Maluku yakni pertama, hubungan pela sebagai balas

jasa dari negeri yang satu kepada negeri lain yang pernah membantu, baik dalam lapangan politik (peperangan) maupun dalam ranah sosial (bencana alam, pertolongan di laut, dll). Kedua, hubugan pela sebab adanya hubungan persaudaraan di masa lalu antar negeri, yang hidup menurut cerita dari datuk-datuk bahwa mereka adalah saudara kandung. Ketiga, bubungan pela yang terjadi karena alasan yang luar biasa, seperti yang terjadi antara Negeri Latuhalat di Kecamatan Nusaniwe dan Negeri Alang di Tanjung Alang, yang konon disebabkan oleh karena kisah cinta.8

Bartels juga mengungkapkan klasifikasi dari berbagai jenis pela. Kategori pertama adalah kategori sejarah dan kategori kedua adalah kategori fungsi. Dari segi sejarah, pela dibuat sejak masa pra-kolonial yang berfungsi sebagai persekutuan perang dan perjanjian perdamaian (war

alliance and peace treaty). Ikatan pela perang itu bersifat keras, abadi.

Contohnya: Pela Batu Karang/Pela Keras atau Pela Tumpah Darah. Jenis

Pela Darah atau Pela Batu Karang adalah ikatan hubungan berpela antar

sekutu pela yang ditetapkan secara ketat melalui sumpah para leluhur dengan cara mengangkat sumpah, meminum darah sebagai bentuk legitimasi pela selamanya. Termasuk di dalamnya saling membantu dalam suka dan duka, hingga larangan untuk saling menikah antar sekutu pela.9

Pola relasi dalam sistem pendidikan

Jauh sebelum konflik horisontal yang terjadi di Maluku, sudah terbangun sistem pendidikan yang melibatkan siswa Salam dan Sarani dalam satu wadah pendidikan. Misalnya, yang terjadi di Pulau Saparua Negeri Siri Sori Sarani. Di mana terpadapat sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Saparua yang diisi oleh siswa Sarani maupun Salam.

7Ibid. 156

8 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan Lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium, 1999., 7

(6)

Pada masa itu relasi antara siswa terjalin dengan baik, tanpa ada permusuhan atau konflik yang mengatasnamakan agama. Kenyamanan itu selalu dirasakan selama para siswa menjalani pendidikan di sekolah tersebut. Situasinya menjadi berubah ketika terdengar kabar bahwa konflik telah terjadi di Kota Ambon pada awal Januari 1999. Sejak itu, muncul perasaan takut di kalangan siswa dan para guru yang berujung pada polarisasi Salam dan Sarani dalam pendidikan di Saparua. Para siswa dan guru yang beragama Islam sangat tertekan dengan situasi konflik tersebut, dikarenakan mereka berada pada teritori yang mayoritas adalah agama Kristen. Akhirnya mereka membangun sekolah sendiri untuk menampung para siswa dan guru, sehingga pendidikan di kalangan mereka tetap jalan. Kondisi demikian terjadi pada pertengahan 1999. Sejak saat itu, siswa Islam tidak lagi beraktivitas bersama-sama dengan siswa Kristen, bahkan komunikasi antara mereka yang pernah terjalin sebelum konflik pun hancur dan tidak lagi terjalin seperti biasanya. 10

Pascakonflik di tahun 2013, komunikasi antarsesama teman Kristen dan Islam sewaktu di SMP Neg. 4 Saparua baru terbangun kembali. Komunikasi tersebut terjadi, melalui media sosial (facebook). Disinilah kami mulai saling bertanya tentang keadaan dan juga kesibukan masing-masing, percakapan itu terjadi sangat akrab sebagai sahabat yang telah lama terpisah karena konflik. Melalui percakapan tersebut, rasa simpati, rasa senang muncul diantara kami karena hubungan yang telah lama putus dapat terjalin kembali. 11

Pola dalam sistem kekerabatan

Sebelum konflik, kehidupan masyarakat di Maluku khususnya negeri Batu Merah, Ema dan Paso di pulau Ambon terjalin dengan akrab. Ketiga masyarakat ini, saling mengakui keberadaan mereka sebagai saudara (pela dan gandong). Karena itu, saling tolong menolong selalu mewarnai kebersamaan dalam setiap aktivitas mereka, seperti kerja bakti membersihkan negeri maupun kegiatan membangun rumah ibadah. Masyarakat Negeri Ema dan Paso terlibat membantu masyarakat Negeri Batu Merah ketika mereka sedang mengerjakan kegiatan-kegiatan dimaksud, begitupun sebaliknya. Dalam hal membangun rumah ibadah,

dalam masjid Negeri Batu Merah ada tiang Ema, tiang masjid yang didapat dari masyarakat Ema yang merupakan gandong bagi masyarakat Batu

(7)

Merah. Selain tiang Ema, di sana juga ada tiang Paso. Tiang tersebut dari masyarakat Paso, yang merupakan pela bagi masyarakat Batu Merah. Kita semua tahu, bahwa masyarakat Ema dan Paso adalah Sarane. Tindakan ini merupakan ciri khas ketiga negeri tersebut dan suatu kebiasaan yang telah hidup sejak leluhur mereka.12

Gambar 3.1 Masjid An Nur di Negeri Batu Merah

Sumber foto : http://sinodegpm.org/?p=4641 29 Juli 2017

Situasi menjadi berubah, ketika konflik terjadi di Maluku 1999. Hubungan kekerabatan yang telah terbangun lamanya di antara masyarakat Negeri Batu Merah, Ema dan Paso, menjadi goyah dan hancur. Mereka saling bermusuhan bahkan saling berperang karena berbeda agama. Sikap emosional dan keinginan untuk saling membunuh tidak bisa terelakkan di antara mereka.

Mulai tahun 2003. Masyarakat mulai sadar bahwa mereka adalah satu, meskipun berbeda agama. Mereka ingat dengan Pela Gandong, ikatan persaudaraan adik-kakak. Seperti penduduk di Negeri Batu Merah yang mayoritas beragama Islam dengan penduduk di Negeri Ema dan Passo yang mayoritas beragama Kristen.13

Sebuah toleransi antar umat beragama kembali ditunjukan warga Kota Ambon saat Hari Raya Idul Adha 1437 Hijriah. Itu terjadi di Desa atau Negeri Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon pada Senin 12 September 2016. Ratusan warga Negeri Ema Kecamatan Leitimur Selatan dan Negeri Passo Kecamatan Teluk Ambon ikut terlibat dalam Karnaval

12http://sinodegpm.org/?p=4641

(8)

Hadrat, yang menjadi tradisi warga Negeri Batu Merah saat Idul Adha. Desa Ema memiliki hubungan Gandong dengan Batu Merah, sedangkan Desa Passo memiliki hubungan Pela dengan Batu Merah. Puluhan warga Ema menggelar tarian khas mereka di depan iring – iringan peserta Karnaval Hadrat. Sedangkan warga Batu Merah menunjukan kebolehan mereka dengan pencak silat. Sejumlah warga Ema juga memainkan Tifa Totobuang, musik tradisional berkolaborasi dengan sawat, musik tradisional yang dibawakan warga Batu Merah.14

Oleh karena itu, untuk memelihara nilai-nilai Budaya Islami lewat Tarian Hadrat, juga untuk tetap menjaga kerukunan dan persaudaraan diantara warga yang berbeda agama di Ambon. Karnaval Hadrat ini memiliki makna sangat kuat di dalam membangun hubungan – hubungan kekerabatan dalam proses mempertahankan kerukunan antar sesama umat beragama serta memperkuat perdamaian di Kota Ambon.

Gambar 3.2 Masyarakat Negeri Ema dan Paso ikut karnaval kurban Negeri Batu Merah Sumber foto : http://terasmaluku.com 12 September 2016

Kesimpulan

Segregasi yang telah menjadi cermin masyarakat Ambon semenjak awal, tidak lalu menjadi sumber utama konflik. Ketika relasi yang dibangun oleh masyarakat Ambon berbasis pada budaya, agama, kekerabatan serta ruang-ruang umum, hal ini merupakan sebuah gaya hidup masyarakat Ambon yang menggambarkan bahwa perdamaian jauh lebih besar dari ruang segregasi.

14

Gambar

Gambar 3.1 Masjid An Nur di Negeri Batu Merah
Gambar 3.2  Masyarakat Negeri Ema dan Paso ikut karnaval kurban Negeri Batu Merah

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pencapaian tujuan kedua, analisis dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap pertama, pendekatan analisis yang digunakan berdasarkan pendekatan

Rencana pengembangan ini telah selaras dengan rencana strategis Universitas dan secara rinci akan dijabarkan dalam rencana operasional oleh program studi yang ada di lingkungan

Kajian yang dilakukan oleh Lauer dan Lauer (1986) dalam Parker, 2002), mendapati bahawa daripada 351 responden yang telah berkahwin seramai 300 orang pasangan yang kedua-

Berdasarkan standar kompetensi yang tercantum dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 9 beberapa faktor

[r]

Selain itu bank bjb sebaiknya selalu melakukan pengembangan dalam peraturan pengawasan kredit agar dapat mengikuti perkembangan dunia perekonomian ,Peningkatan pengawasan dalam

Data pengamatan pertambahan panjang sulur tanaman buah naga, setelah dilakukan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa secara interaksi perlakuan pupuk kandang sapi

Berkaitan dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk: Menguji dan menganalisis pengaruh computer anxiety