• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Edisi 19 Desember 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Edisi 19 Desember 2017"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ISLAMOFOBIA

Perang Melawan Islam yang Tidak Dideklarasikan

K. Mustarom

Laporan

Edisi 19 / Desember 2017

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Industri Islamofobia — 9

Perang yang Tidak Dideklarasikan — 16

Membawa Perang Eropa ke Tanah Muslim — 19 Islamofobia: Sebuah Sistem Pemerintahan — 21

(4)

I

slamofobia adalah rasa takut, kebencian, dan permusuhan yang berlebihan terhadap Islam dan Muslim yang diabadikan melalui stereotip negatif yang mengakibatkan bias, diskriminasi, dan marginalisasi serta pengucilan umat Islam dari kehidupan sosial, politik, dan kewarganegaraan.

Para pengidap Islamofobia meyakini bahwa Islam berusaha menggantikan Kristen Barat. Faktor teologi menjadi sumber utama potensi ketakutan Kristen terhadap Muslim sebagai musuh yang mengancam. Hari ini, kelompok sayap kanan merayakan simbiosis Judeo-Kristen yang menjadi fitur utama Barat dalam perang melawan Islam.

(5)

5

Islamofobia bukan sekadar ketakutan. Beberapa orang secara sengaja mengembangkannya dan menggunakannya sebagai strategi politik. Islamofobia tidak terjadi begitu saja. Ia bisa memberikan uang dan kekuasaan kepada orang yang mendapatkan keuntungan atasnya. Islamofobia tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia tidak terjadi hanya pasca peristiwa 11 September, namun ia memiliki akar sejarah yang panjang dan mendalam di belakangnya. Peristiwa 11 September, meningkatnya migrasi Muslim ke Barat pada akhir abad ke-20, dan serangan teror di Eropa menjadi pemicu dari sebuah epidemi kebencian terhadap Islam yang mengakar di Barat.

Hari ini, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media mainstream. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh. Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, sampai terbukti sebaliknya. Islam lebih dipandang sebagai penyebab dibanding sebagai konteks dalam radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Menjadikan Islam sebagai kambing hitam cenderung lebih simple, dibanding mempertimbangkan inti masalah politik dan keluhan yang menggema di dunia Islam, yaitu kegagalan pemerintah di negeri Muslim, kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dukungan Barat terhadap rezim otoriter, invasi dan penjajahan di negeri Muslim, atau dukungan terhadap penjajahan Israel di Palestina.

Islamofobia bukanlah fobia, ia adalah cara pengaturan yang bersifat struktural dan didukung oleh negara.

Islamofobia bersifat struktural, karena ia adalah cara berpikir yang hari ini secara formal menginformasikan bagaimana lembaga publik, media mainstream, dan pemerintah memperlakukan umat Islam. Saat ini, kita telah mencapai tahap di mana umat Islam secara keseluruhan dan Islam itu sendiri dianggap sebagai ancaman dan berpotensi menjadi penjahat. Tidak hanya di Inggris dan di Amerika, namun cara pandang tersebut kini diekspor ke belahan dunia lainnya. Dalam istilah akademis, ini disebut "sekuritisasi Islam", mengacu pada program kontraterorisme yang pada praktiknya mencurigai semua Muslim, berdasarkan pemahaman bahwa setiap muslim berpotensi melakukan kekerasan dan menjadi teroris.

(6)
(7)

7

"Islam teroris!!!" "Islam tidak baik!!!"

“Islam akan memecah belah persatuan bangsa!”

Mungkin kalimat-kalimat itu yang akan terus keluar dari pada mereka yang mengidap Islamofobia. Islamofobia saat ini merupakan hal yang biasa terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika dan Eropa. Pemikiran negatif selalu datang ketika mereka mendengarkan kata Islam. Islamofobia bukan hal baru di daratan Eropa, tetapi sentimen itu saat ini menjadi viral di seluruh belahan dunia.

Fobia, menurut kamus Merriam-Webster, adalah ketakutan yang berlebihan, biasanya tidak dapat dijelaskan dan tidak masuk akal, terhadap objek, sekumpulan objek, atau situasi tertentu. Mungkin sulit bagi orang yang menderita untuk bisa menentukan atau mengkomunikasikan sumber ketakutan ini, tapi realitanya ketakutan itu memang ada. Dalam beberapa tahun terakhir, fobia tertentu telah mencengkeram masyarakat Barat, yaitu Islamofobia.

Sejumlah periset dan kelompok kebijakan mendefinisikan Islamofobia dalam detail yang berbeda, namun esensi dasarnya pada intinya sama:

"Rasa takut, kebencian, dan permusuhan yang berlebihan terhadap Islam dan Muslim yang diabadikan melalui stereotip negatif yang mengakibatkan bias, diskriminasi, dan marginalisasi serta pengucilan umat Islam dari kehidupan sosial, politik, dan kewarganegaraan.”1

1 Wajahat Ali, Eli Cliton, Mathew Duss, Lee Fang, Scot Keyes, and Faiz Shakir, "Fear, Inc.: The Roots of the

Islamophobia Network in America" (Washington, D.C.: Center for American Progress, 2011), htp://www. americanprogress.org/issues/2011/08/pdf/islamophobia.pdf

ISLAMOFOBIA

(8)

Islamofobia sudah ada sebelum serangan 11 September 2001, namun frekuensinya meningkat selama dekade terakhir. Trust Runnymede di Inggris, misalnya, mengidentifikasi delapan komponen Islamofobia dalam sebuah laporan tahun 1997,2 dan kemudian menghasilkan laporan lanjutan pada tahun 2004 setelah

serangan 9/11 dan tahun-tahun awal perang Afghanistan dan Irak.

Islamofobia adalah mereka yang merasa ketakutan atau kekhawatiran berlebihan kepada agama Islam dan Muslim. Diawali dengan teror di Perancis, Inggris, dan Spanyol yang diklaim bahwa dalang dibalik aksi itu adalah Islam. Sehingga pemerintah negara-negara tersebut sangat reaktif dan semakin waspada akan keberadaan kaum Muslim di negaranya.

Pada awal pemerintahannya, Trump mengeluarkan pernyataan bahwa Muslim dilarang masuk ke Amerika Serikat. Pernyataan tersebut memicu banyak polemik, ada yang pro, ada juga yang kontra. Austria melegalkan aturan pelarangan Burqa atau Niqab, menyusul negara-negara lainnya seperti Australia, Italia, Perancis, Belgia, Belanda, Jerman, Bulgaria, Chad, China, Kanada, dan terakhir Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketakutan berlebihan terhadap orang yang menggunakan pakaian Islami ini. Orang-orang yang menggunakan Burqa atau Niqab tersebut dicurigai sehingga pada akhirnya keluarlah aturan-aturan seperti itu.

Hal inilah yang menunjukkan semakin meningkatnya Islamofobia di tanah Eropa dan Amerika dimana banyak negara-negara besar sudah menyatakan ketakutannya terhadap Islam. Ini akan mempengaruhi negara-negara lain cepat atau lambat untuk mengambil langkah menanggapi aturan-aturan tersebut.

Pada awal 2017 lalu Slovakia secara resmi melarang Islam menjadi agama resmi di negara tersebut. Hal ini menyusul banyaknya para imigran yang masuk ke Slovakia dan kebanyakan adalah Muslim. Selain itu meningkatnya seruan anti-Islam di Uni Eropa pada saat itu membuat pemerintah Slovakia yakin, bahkan Perdana Menteri Robert Fico menegaskan bahwa Islam tidak memiliki tempat di Slovakia.3 Artinya

bahwa Slovakia tidak akan memberi subsidi negara terhadap umat Muslim di sana dan tidak diberi keleluasaan untuk mengelola sekolah khusus agama Islam. Selain itu tidak ada satupun masjid yang diakui oleh pemerintah Slovakia.

Kecurigaan terhadap Islam dan Muslim menjadi endemi di Barat pada sepanjang tahun 2017. “Muslim Question” menjadi pusat dari politik kelompok sayap kanan, yang hari ini mendapatkan kesuksesan besar sejak Perang Dunia II dalam beberapa polling yang dilakukan, dari Prancis, Republik Ceko, Austria, hingga Jerman.

Ketakutan dan tuduhan bahwa setiap muslim berpotensi menjadi teroris kini menjadi bagian integral dari politik dan keamanan Eropa, sebagaimana yang disimpulkan oleh Amnesty International.4 Mereka dijadikan target oleh masyarakat

dan pemerintah Eropa, meski dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang

2 htps://www.runnymedetrust.org/projects-and-publicaions/past-projects/commissionOnBriishMuslims. html

(9)

9

mereka junjung. Semua dilakukan atas nama keamanan. Serangkaian tweet Donald Trump termasuk salah satu upaya untuk menggambarkan Muslim sebagai agen kekerasan.5

Para pengidap Islamofobia meyakini bahwa Islam berusaha menggantikan Kristen Barat. Faktor teologi menjadi sumber utama potensi ketakutan Kristen terhadap Muslim sebagai musuh yang mengancam.6 Hari ini, kelompok sayap kanan

merayakan simbiosis Judeo-Kristen yang menjadi fitur utama Barat dalam perang melawan Islam.7

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, mengirimi pengikut Twitternya tiga tweet dan video dari Jayda Fransen, salah satu ekstremis sayap kanan Inggris. Caption dalam video tersebut bertuliskan: "Muslim Menghancurkan Patung Bunda Maria!", "VIDEO: Massa Islam mendorong seorang pemuda dari atap dan memukulinya hingga mati!", dan "VIDEO: Migran Muslim memukuli pemuda Belanda yang mengunakan kruk! "

Ketika Trump meretweet video ini ke 44 juta pengikutnya, pada dasarnya, ia mempromosikan cara pandang Fransen dan kelompoknya: bahwa umat Islam secara keseluruhan merupakan ancaman potensial bagi perdamaian dan stabilitas masyarakat Eropa.

Pernyataan dalam video tersebut menekankan bahwa Islam ada hubungannya dengan kekerasan tersebut. Jelas bahwa niatan mereka adalah untuk membasmi dan menstigmatisasi kaum Muslim secara kolektif.

Sikap anti-Muslim mengalami lonjakan besar setiap kali terjadi serangan teror di Eropa. Dalam kejahatan kebencian tersebut, orang-orang Muslim yang tak bersalah menjadi sasaran gangguan, kadang-kadang mereka diserang dan Masjid dirusak.

Kejadian tersebut adalah akumulasi dari kebencian laten terhadap Islam dan Muslim yang ada di tengah masyarakat Barat.

Islamofobia bukanlah hal baru di dunia Barat. Kebencian dan fobia terhadap Islam sudah berlangsung ratusan tahun di sana. Namun, trennya semakin tajam sejak 11 September 2001. Di Eropa maupun Amerika efeknya semakin meluas. Banyak orang dibunuh atau diusir dari rumahnya akibat tindakan Islamophobic

sebagai balasan atas terorisme yang dituduhkan terhadap umat Islam.

Industri Islamofobia

Islamofobia bukan sekadar ketakutan. Beberapa orang secara sengaja mengembangkannya dan menggunakannya sebagai strategi politik. Islamofobia tidak terjadi begitu saja. Ia bisa memberikan uang dan kekuasaan kepada orang yang mendapatkan keuntungan atasnya. Islamofobia tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia tidak terjadi hanya pasca peristiwa 11 September, namun ia memiliki akar sejarah yang panjang dan mendalam di belakangnya. Peristiwa 11 September, meningkatnya

5 htps://www.haaretz.com/opinion/1.825740 6 htps://www.haaretz.com/opinion/1.825275

(10)

10

migrasi Muslim ke Barat pada akhir abad ke-20, dan serangan teror di Eropa menjadi pemicu dari sebuah epidemi kebencian terhadap Islam yang mengakar di Barat.

Hari ini, Islam dan Muslim senantiasa mendominasi headline negatif di media

mainstream. Serangan teror selalu dialamatkan kepada Islam sebagai tertuduh. Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, sampai terbukti sebaliknya. Sebuah pola yang berkebalikan dengan kaidah hukum yang berkembang selama ini, praduga tak bersalah sampai ada bukti yang membuktikan sebaliknya. Islam lebih dipandang sebagai penyebab dibanding sebagai konteks dalam radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Menjadikan Islam sebagai kambing hitam cenderung lebih simple, dibanding mempertimbangkan inti masalah politik dan keluhan yang menggema di dunia Islam, yaitu kegagalan pemerintah di negeri Muslim, kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dukungan Barat terhadap rezim otoriter, invasi dan penjajahan di negeri Muslim, atau dukungan terhadap penjajahan Israel di Palestina.

Tidak sulit bagi kita untuk menemukan materi-materi yang cenderung selektif terhadap Islam dan Muslim, materi-materi yang disetir oleh kepentingan, yang memicu stereotip, ketakutan, dan diskriminasi. Islam digambarkan sebagai ancaman politik, peradaban, dan demografi. Gambaran ini dibesarkan oleh sejumlah jurnalis dan akademisi, mengesampingkan kompleksitas dinamika politik, sosial, dan agama di dunia Islam.

Semua itu dilakukan untuk mengalihkan konsekuensi negatif dari dukungan Barat terhadap rezim otoriter, dan kebijakan mereka di dunia Islam, dari konflik Palestina-Israel hingga invasi Irak dan Afghanistan. Anti Barat atau Anti Amerikanisme— yang cenderung meningkat sebagai dampak atas kebijakan tersebut—seringkali disimpulkan dalam pola sederhana, bahwa Muslim benci dengan kehidupan Barat.

Hari ini, Islamofobia telah mendistorsi prisma untuk memandang umat Islam. Retorika anti Muslim dan kejahatan atas mereka banyak berkembang biak. Atas nama undang-undang antiterorisme, penangkapan sewenang-wenang dan pengawasan terhadap Muslim telah mengaborsi hak-hak sipil umat Islam. Lembaga-lembaga keislaman (baik yang bersifat advokasi maupun yang bersifat organisasi amal) dituduh sebagai pendana ekstremisme, sebuah tuduhan yang seringkali dialamatkan tanpa bukti yang kuat.

Industri Islamofobia adalah sekumpulan industri jutaan dollar para penjual ketakutan, jaringan pendana, dan organisasi yang mendukung dan mengabadikan fanatisme, kebencian, rasisme, dan memproduksi iklim ketakutan. Mereka bersatupadu, bekerja untuk meyakinkan dunia bahwa Muslim adalah entitas yang berbahaya. Blogger, politisi rasis, para pemimpin agama fundamentalis, para pakar di media, tokoh-tokoh zionis bekerjasama dalam sebuah industri kebencian: Industri Islamofobia.

(11)

11

lain, yang menjadi fitur utama dalam operasi mereka. Mereka juga menggunakan internet untuk meluaskan jaringan kecil mereka menjadi jaringan nasional dan internasional.

Industri Islamofobia adalah dunia gelap pembuatan monster, sebuah industri ketakutan yang berusaha menakut-nakuti publik tentang Islam. Industri ini menunjukkan bahwa lonjakan sentimen anti-Muslim di Amerika Serikat dan Eropa bukanlah akibat dari iklim skeptisisme yang berkembang secara alami, namun merupakan sebuah produk yang telah dipelihara dengan sangat hati-hati selama beberapa dekade terakhir, dan baru mencapai puncaknya di dekade kedua abad kedua puluh satu.

Gambar 2. Daftar kelompok yang tujuan utamanya mempromosikan kebencian terhadap Islam dan Muslim dan

secara reguler menampilkan tema-tema Islamofobi.

8

(12)

12

Islamofobia adalah sebuah industri lintas benua. Sebuah industri yang didorong oleh usaha intelijen AS untuk menjebak umat Islam. Industri tersebut tampak semakin meningkatkan Islamofobia di seluruh AS, seperti yang digambarkan dalam retorika anti-Muslim yang sangat kuat disampaikan selama kampanye presiden AS tahun 2016. Dalam sebuah penelitiannya, Sarah Marusek, menemukan bahwa meningkatnya Islamofobia tak lepas dari peran “pakar terorisme” yang ternyata memiliki hubungan dengan intelijen AS dan Israel. Mereka juga menjadi pemimpin kunci dalam industri Islamofobia. Marusek berpendapat bahwa hubungan antara intelijen dan Islamofobia telah menguatkan suara anti-Muslim yang dulunya marjinal.9

Gambar 3. Daftar kelompok di AS yang tujuan utamanya tampak tidak mempromosikan kebencian terhadap

Islam, namun secara reguler mendukung tema-tema Islamofobi.

10

(13)

13

Dengan bungkus kontraterorisme, industri tersebut menyebar secara global.

Serangannya bukan lagi pada Muslim, tapi semakin menjurus pada Islam dan ajarannya.

Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) dan University of California, lebih dari $ 205 juta dihabiskan untuk mempromosikan "ketakutan dan kebencian" terhadap umat Islam di Amerika Serikat oleh berbagai organisasi antara tahun 2008 hingga 2013.11

Laporan yang dirilis menyebutkan terdapat 74 kelompok, termasuk feminis, Kristen, Zionis dan beberapa media terkemuka yang mendanai atau mengembangkan Islamophobia.

"Ini adalah keseluruhan industri itu sendiri. Ada jutaan dolar per tahun yang mempromosikan Islamofobia. Mereka sering menampilkan diri sebagai ahli urusan Islam, padahal bukan," kata Wilfredo Amr Ruiz, juru bicara CAIR. "Mereka telah menghembuskan suasana ketidakpercayaan ditengah masyarakat Amerika dengan mengklaim bahwa muslim bukanlah bagian dari masyarakat Amerika dan bahwa mereka tak akan pernah menjadi warganegara yang setia."12

Rutz menyebut bahwa Islamofobia telah mengekspose dua bahaya utama: meningkatnya kejahatan karena kebencian dan pembuatan peraturan anti Islam.

Jumlah serangan fisik terhadap umat Islam di Amerika Serikat meningkat secara signifikan antara tahun 2015 dan 2016, hingga melampaui titik puncak yang pernah dicapai pada tahun 2001, tahun ketika terjadi serangan 11 September. Fakta tersebut dipaparkan oleh sebuah lembaga analisis bernama Pew Research Center, dalam laporannya tentang statistik kejahatan kebencian terhadap Muslim, yang digali dari data FBI. Pada tahun 2016, ada 127 korban yang dilaporkan mengalami serangan yang parah ataupun sederhana, dibandingkan dengan jumlah 91 korban pada tahun sebelumnya dan 93 korban pada tahun 2001.

Tapi serangan fisik bukan satu-satunya bentuk kejahatan rasial yang dilakukan terhadap umat Islam. Yang paling umum adalah intimidasi. Intimidasi anti-Muslim meningkat pada tahun 2016, dengan 144 korban yang dilaporkan, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 120 korban.

Secara keseluruhan, ada 307 insiden kejahatan karena sentimen kebencian terhadap Muslim pada tahun 2016, atau mengalami kenaikan 19% dari tahun sebelumnya.13

Selain itu, Islamophobia juga ditunjukkan dengan pembuatan peraturan anti-Islam. Antara tahun 2013 hingga 2015, 81 rancangan undang-undang anti-Islam dibuat. Sepuluh negara bagian memberlakukan undang-udang anti Islam.

11

htp://www.cair.com/press-center/press-releases/13618-new-cair-uc-berkeley-report-reveals-funding-negaive-impact-of-islamophobic-groups-in-america.html

12 htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-muli-million-dollar-industry-160623144006495.html

(14)

14

Pemerintah Florida bahkan mencoba melarang buku-buku sekolah agar tidak membuat referensi tentang Islam dalam sejarah.14

Senator Florida Alan Hays pernah mengatakan bahwa “Cara hidup kita yang damai telah dirusak Islam dan hukum Islam. Selamatkan generasi kita dari ideologi yang sedang menginvasi negara kita dan sedang menyamar sebagai agama. Ini adalah pemberontakan: mereka bertekad menggulingkan negara dan bangsa kita.”15

Nathan Lean, pemimpin redaksi Asian Media, pernah menulis tentang jaringan sayap kanan penebar ketakutan di Amerika Serikat. Mereka mendedikasikan kegiatannya untuk meyakinkan orang Amerika bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang penuh kekerasan dan berbahaya, bahwa umat Islam secara keseluruhan senang dengan kekerasan semacam itu, dan bahwa baik Islam maupun Muslim harus dipinggirkan di negara ini. Jaringan ini mengumpulkan para "blogger fanatik, politisi rasis, pemimpin agama fundamentalis, pakar di Fox News dan Zionis" dalam sebuah "industri kebencian".

Lean mengutip buku Richard Hofstadter tahun 1952, The Paranoid Style in American Politics, untuk menunjukkan bahwa pola penciptaan gambar monster "berbahaya" yang bersiap "mengambil alih" kehidupan Amerika dan menghancurkan "cara hidup" Amerika memiliki sejarah panjang dalam budaya publik Amerika.16

14

htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-muli-million-dollar-industry-160623144006495.html

15 Hassan Shibly, "CAIR-Florida Exposes Link Between Senator Alan Hays' Islamophobia and Ani-Muslim

Legislaion," Cairlorida.org, April 2014.

(15)

15

Media elektronik yang populer telah menyediakan sarana untuk menyebarluaskan penyebaran pesan anti-Islam yang tidak akan mendapat tempat di jurnal atau kehidupan akademik yang lebih mapan.

Kampanye anti-masjid juga meletus di berbagai tempat di sekitar Amerika Serikat, ketika sebuah komunitas Muslim mengumumkan rencana untuk membangun sebuah masjid. Umat Kristen diaktifkan untuk meneriakkan penentangan.

Media menciptakan ketakutan yang meluas, berdasarkan realitas palsu, untuk menentang penerapan syariat Islam, atau hukum Islam, pada sistem hukum Amerika.

Peran lain juga dimainkan oleh fundamentalis Kristen. Sebagian besar fundamentalis Kristen anti-Muslim percaya bahwa hanya orang-orang Kristenlah yang menyembah Tuhan yang benar, dan hanya merekalah yang memiliki kapasitas untuk masuk surga. Mereka juga menganggap Islam sebagai agama "terburuk", Quran sebagai buku "fasis" yang penuh dengan kebohongan dan advokasi kekerasan. Mereka menuduh pendidikan siswa di sekolah untuk memahami Islam atau membaca Alquran sebagai indoktrinasi, bagian dari kampanye tersembunyi Muslim untuk "mengambil alih" Amerika dan memaksakan pola jahatnya pada masyarakat.

Di kalangan lain, yaitu Zionis, mengklaim bahwa umat Islam dan bahkan semua orang bukan Yahudi di Israel harus "dibersihkan" dari tanah tersebut untuk persiapan penebusan yang akan membawa pada kemunculan Mesias. Bagi orang Kristen, kejadian ini dipahami sebagai kembalinya Yesus sebagai Mesias. Mereka menganjurkan kembalinya orang Yahudi ke Israel dan penjajahan mereka atas seluruh Palestina, menyingkirkan orang-orang Palestina dari tanah mereka, sebagai persiapan untuk penebusan ini.

Lean melihat "industri" anti-Muslim ini sangat mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah Amerika. Peter King, mantan ketua Komite Keamanan Dalam Negeri, berbagi kecurigaan bahwa Muslim tidak setia kepada Amerika. Bahasa perang "anti-terorisme" pada umumnya mengasumsikan penggabungan Muslim dan "teroris". Setelah 9/11, ratusan pemuda Muslim ditangkap, dipenjara, dan disiksa karena diinterogasi, meskipun tidak ada yang akhirnya dihukum atau bahkan dituduh melakukan tindakan atau tindakan teroris. FBI telah menunjuk mata-mata untuk menyusup ke mesjid di seluruh Amerika Serikat.

Selain itu, militer AS dan FBI banyak memanfaatkan literatur sayap kanan anti-Muslim untuk melatih anggota mereka melakukan tindakan. Mereka membenarkan hal ini, meskipun literatur ini sangat bias dan sama sekali tidak didukung oleh literatur yang dapat diterima secara akademis tentang Islam.

Jaringan Islamophobia kini juga tidak hanya melibatkan kelompok sayap kanan. Mereka juga menggandeng kaum liberal, yang mendukung sebuah pandangan miring dunia ketika menyangkut Islam dan Muslim.

(16)

16

Pamela Geller blogger anti-Muslim dan para fanatik 'New Atheists' bersatu dalam sebuah pasukan atas nama memerang Islam.17

Dengan kata lain, Islamofobia bukan lagi monopoli kelompok sayap kanan. Kaum liberal yang telah lama mengubur permusuhan mereka terhadap Islam, dengan cepat menyesuaikan diri dengan sekelompok sayap kanan. Bisnis utama mereka adalah melakukan serangan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan umat Islam, dan mencoreng agama Islam dengan kebohongan, dan fitnah lainnya.

Perang yang Tidak Dideklarasikan

Ketika Presiden Prancis François Hollande berdiri di depan parlemen di Versailles setelah serangan di Paris November 2015 lalu dan mengatakan, "Prancis sedang berperang," musuh manakah yang ada dalam pikirannya? Dengan siapa tepatnya Prancis berperang? Hollande berkata, musuh kami adalah "terorisme jihad" yang mengancam "seluruh dunia."

Dengan demikian, seperti yang dikumandangkan oleh Hollande, IS dan konflik di Suriah hanyalah satu bagian dari perang dunia yang lebih luas. Hollande tidak sendiri, karena Prancis adalah bagian dari negara-negara di Uni Eropa (UE) yang bersepakat untuk menerjuni kancah perang ini bersama-sama. Namun, mereka tidak bertempur dalam bingkai "perang melawan teror" yang merupakan konflik langsung melawan teroris. Sebaliknya, Eropa terlibat dalam “perang untuk mencegah teror”; Ini adalah peperangan melawan terorisme sebagai ideologi dan praktik sebelum memanifestasikan dirinya. Bentuk peperangan ini menimbulkan pengawasan terhadap semua calon teroris di dalam populasi yang menurut pikiran resmi mesin kebijakan Eropa menjadi tempat teroris itu bermunculan, yaitu umat Muslim di dunia. Perintah pengawasan ini berasal dari keyakinan bahwa Islam menciptakan kondisi yang melekat erat dengan fanatisme para pemeluknya, ini adalah gagasan yang telah lama hadir dalam pemikiran politik Eropa selama berabad-abad. Dalam konteks politik global saat ini, gagasan ini telah menyebabkan apa yang kita sebut "perang Barat melawan Islam".

Perang memang belum dideklarasikan, bersifat tersembunyi, dan tak terucapkan. Namun, jika kita jeli melihat, kita dapat menemukan bahasa kampanye publik terkait perang ini dalam strategi dan kebijakan keamanan di Barat saat ini. Fokusnya adalah pada perang melawan "radikalisasi" yang dipresentasikan sebagai perang melawan Islam "ekstrem". Namun jika kita menyelidiki cara-cara di mana proyek ekstremis dilakukan secara global, kita melihat bahwa di balik topeng anti-ekstremisme itu sebenarnya adalah perang eksistensial melawan Islam itu sendiri. Timur Tengah dan tempat lain dengan populasi Muslim di Afrika dan Eropa tenggara kini menjadi lokasi penting dalam perang ini. Ini adalah konflik yang akan terus memperluas jangkauannya ke seluruh dunia, dimanapun umat Muslim berada.

(17)

htp://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/06/groups-spread-hate-islamophobia-17

Seperti pada masa sebelumnya, dalam konflik historis Kristen Eropa dengan Islam, Prancis telah memimpin peperangan selama beberapa tahun yang lampau. Akhir-akhir ini, sebagaimana saat perang kolonial abad ke-20, pemberian julukan pada musuh mendapat perhatian khusus. Dalam perang kolonial Prancis di Aljazair pada tahun 1950 an dan 1960 an, seperti juga perang Inggris di Palestina pada tahun 1930 an, Prancis menolak untuk mengakui bahwa mereka sedang melawan sebuah gerakan politik dan negara yang mapan. Sebaliknya, musuh diberi label sebagai teroris, bandit dan penjahat. Saat ini, Pemerintah Prancis telah mempelopori langkah Eropa untuk memberi julukan nama kepada "Islamic State (IS)".

Di Inggris, mantan Perdana Menteri David Cameron telah berhasil mempengaruhi Kantor berita nasional BBC, agar tidak menggunakan istilah "Islamic State" melainkan dengan istilah "yang dia sebutkan"; Dia mengemukakan argumen ini dalam siaran langsung kepada wartawan BBC Sarah Montague pada bulan Januari 2016 lalu. Sama dengan pemerintah Prancis, Partai Konservatif Inggris dan pengikut mereka di Partai Buruh lebih memilih untuk menggunakan "Daesh" sebagai gantinya. Mengapa?

Daesh adalah akronim untuk nama pra-Khilafah Islam dalam bahasa Arab: Al-Dawla al-Islamiyah fil Irak wa al-Sham. Mantan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius memprakarsai penggunaan istilah Daesh untuk Eropa pada bulan September 2014. Penyebutan Daesh disukai oleh sebagian besar elit politik UE karena mereka tidak perlu mengucapkan kata "Islam". Tokoh seperti Cameron mengatakan bahwa penggunaan istilah Daesh sangat penting karena IS tidak memiliki hubungan dengan Islam yang otentik; mereka berpendapat bahwa itu tidak adil dan menyesatkan. Namun, sangat tidak biasa jika seorang Perdana Menteri Inggris meminta secara terbuka, dalam siaran langsung, tentang istilah apa yang harus digunakan jurnalis BBC. Kita akan sulit sekali menemukan contoh Cameron atau rekan-rekannya yang melanggar protokol hanya untuk membela kehormatan Islam. Kemungkinan besar keengganan pembuat kebijakan Eropa terhadap nama "Islamic State" adalah karena hal itu dapat mempengaruhi kepentingan politik mereka sendiri. Dalam hal ini, negara-negara Eropa perlu untuk menghindari konflik dengan Islam itu sendiri. Maka agama Islam dan segala hal yang Islami tidak bisa disebut sebagai musuh secara terang-terangan.

(18)

Desakan pemerintah Prancis dan Inggris terhadap istilah Daesh hanyalah satu manifestasi dari upaya sistematis untuk menghindari penggunaan kata-kata Islam dan Muslim dalam artikulasi musuh mereka. Buku Agenda Keamanan Eropa, yang diterbitkan pada bulan April 2015, adalah contoh instruktif. Dokumen tersebut menetapkan kerangka keamanan Uni Eropa sampai tahun 2020. Dokumen ini menyebutkan "terorisme" sebagai prioritas utama di Eropa, di samping "kejahatan terorganisir" dan "cybercrime".

Badan keamanan Eropa sering kali membingungkan ketika menyebutkan terorisme sebagai “ancaman”. Sebagai referensi untuk memerangi terorisme, Buku Agenda Keamanan Eropa berfokus pada pencegahan "radikalisasi", menghentikan pengembangan "ekstremisme". Meskipun demikian, dokumen tersebut tidak memberi tahu pembaca terkait bentuk ekstremisme apa yang ingin dicegahnya dan tidak mengidentifikasi siapa yang bisa menjadi radikal, atau bahkan apa yang menjadi sarana radikal. Kata-kata Islam dan yang bersifat Islami tidak muncul dalam 21 halamannya. Satu-satunya seruan dari kata "Muslim" adalah sehubungan dengan metode yang diusulkan untuk membantu menyelesaikan konflik, yaitu pembentukan "Konferensi Meja Bundar Orang-orang Terkemuka dari Eropa dan Dunia Muslim, untuk mendorong pertukaran intelektual dan dialog yang lebih luas antar masyarakat."

Agenda Keamanan Eropa tidak memberi tahu kita mengapa diperlukan dialog, atau apa kaitannya dengan "dunia Muslim". Pengantar dokumen mengatakan kepada kita secara tidak langsung bahwa "ketidakstabilan" di "lingkungan terdekat" Uni Eropa adalah sumber "masalah keamanan saat ini." Tetapi baik "lingkungan" maupun masalahnya tidak teridentifikasi.

Keengganan untuk menyatakan Muslim sebagai musuh berasal dari sifat dan tingkat fobia Islam di kalangan pembuat kebijakan Eropa. Proyek pencegahan diperlukan, karena menurut para pembuat kebijakan Barat hasil realisasi diri dari pemahaman seorang Muslim yang ditakuti akan selalu ada. Mereka percaya bahwa setiap individu Muslim memiliki potensi untuk menjadi seorang fanatik. Fanatisme yang muncul dengan cepat ini menghasilkan usaha dua kali lipat di mana sebuah perang perlu dilakukan melawan musuh yang tidak boleh dimunculkan namanya. Seringkali, pemerintah Barat berusaha untuk memecahkan masalah ini dengan mengelompokkan umat Islam menjadi "moderat" dan "ekstremis" dalam pandangan dunia, di mana hanya "ekstremis" minoritas yang menjadi masalah. Mantan PM Inggris David Cameron, Menlu Prancis Jean-Marc Ayrault, Koordinator Kontra Terorisme Uni Eropa Gilles de Kerchove dan rekan-rekan mereka tidak akan pernah mengakui bahwa Islam itu sendiri dan kecenderungannya terhadap fanatisme adalah masalah mendasar bagi mereka.

(19)

19

adanya sharing data intelejen, dan penyusunan serta pengetatan undang-undang pengawasan oleh negara anggota Uni Eropa adalah infrastruktur yang dirancang untuk memantau komunikasi dan pergerakan seluruh populasi. Setiap Muslim adalah target, tanpa perlu disebutkan namanya.

Disamping pengawasan, berbagai cara pencegahan juga telah dilakukan oleh departemen negara lainnya, misalnya : propaganda, penahanan dan pembunuhan. Dalam hal penahanan, contoh yang paling jelas dan terkenal sebagai tindakan pencegahan terhadap umat Muslim adalah Teluk Guantanamo, yang telah lama dikritik di seluruh spektrum politik.

Di Eropa saat ini, kita bisa melihat meluasnya penahanan sebagai tindakan preventif. Ketika pemerintah Prancis mengumumkan pada bulan November 2015, sebuah undang untuk keadaan darurat yang sedang berlangsung, undang-undang tersebut mengubah hukum sehingga individu dapat ditempatkan dalam tahanan rumah jika ada "alasan serius untuk menganggap bahwa perilaku mereka merupakan ancaman bagi keamanan dan ketertiban umum". Dari 14 November 2015 sampai 3 Februari 2016, pihak berwenang Prancis menempatkan 407 orang di bawah tahanan rumah. Keinginan negara untuk pencegahan juga berarti bahwa dalam keadaan darurat, prosedur peradilan akan dibalik: hakim akan diberitahu tentang keputusan untuk menangkap dan menahan, bukannya dimintai keputusan berdasarkan bukti aktivitas pelanggaran hukum yang sudah terjadi.

Membawa Perang Eropa ke Tanah Muslim

Serangan IS di Paris pada November 2015 lalu tampaknya menyingkirkan perbatasan politik antara Eropa dan Timur Tengah. Dari awal 2015, mereka telah menyetujui sebuah kebijakan untuk memperluas perang terhadap Islam ke Timur Tengah, bekerjasama dengan elite pemerintahan sekutu mereka di wilayah tersebut, begitu juga dengan wilayah lain yang memiliki populasi Muslim signifikan di luar Uni Eropa.

Setelah serangan Januari 2015 di Paris, Para Anggota Dewan Eropa, kepala negara dan pemerintah di Uni Eropa, mengumumkan strategi mereka untuk memperkuat "tindakan melawan ancaman teroris". Rencana ini termasuk fokus menjalin "mitra internasional" di zona mayoritas Muslim. Kata-kata Islam dan Muslim tidak digunakan dalam pernyataan tersebut. Sebaliknya, Dewan Eropa menggunakan kepanjangantangan geopolitik untuk wilayah Muslim yang berada jauh dari pandangan, namun bisa dipahami oleh semua orang bahwa wilayah ini meliputi: Timur Tengah, Afrika Utara, Sahel (sabuk wilayah yang berada di selatan Gurun Sahara) dan Balkan Barat.

Seiring dengan laporan Kordinator Kontra Terorisme Uni Eropa, Gilles De Kerchove, kepada Dewan menjelang akhir 2015, Uni Eropa telah mengirim "pakar" terorisme ke sejumlah negara, termasuk Maroko, Irak dan Arab Saudi, dan merencanakan pengiriman “pakar” ke Aljazair dan Mesir. Dana sebesar 9 juta

(20)

Lebanon, 5 juta di Maghreb dan 1,675 juta euro di Sahel. Jumlah terbesar, 23 juta,

telah diberikan ke Tunisia untuk "reformasi sektor keamanan" yang merupakan lokasi pertama revolusi Arab Spring.

De Kerchove menekankan kepada Dewan Uni Eropa akan pentingnya menjamin sumber daya lebih lanjut dan meluncurkan lebih banyak "paket bantuan CT (Counter-Terrorism) yang komprehensif" seperti yang diberikan kepada Tunisia. Rencana kegiatan sudah dijalankan dan disepakati dengan Yordania, Lebanon dan Tunisia, dan Kerchove telah merekomendasikan pertukaran antar wilayah RAN, Timur Tengah, Afrika Utara, Balkan Barat dan Turki.

Agenda pencegahan di Eropa telah berpindah ke tanah Muslim. Ekspansi ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari pemikiran di balik perang melawan Islam; semua Muslim perlu disurvei dan dicegah untuk mewujudkan keinginan batin mereka. Setiap individu muslim berpotensi menjadi bom waktu.

Kesenangan akut dengan gagasan ini di kalangan elit politik Eropa dan rekan mereka di dunia Barat telah menghasilkan sebuah penemuan disiplin politik baru dan seperangkat senjata bernama “Countering Violent Extremism” (CVE). CVE adalah langkah diluar pencegahan tindakan terorisme, dan sebaliknya CVE bertujuan mencegah kondisi psikologis dan berpikir sebagai seorang calon teroris—yang merupakan definisi terkini dari seorang "ekstremis". Proses imajinasi transisi kognitif ini adalah target baru. "Uni Eropa dimobilisasi untuk menangani faktor-faktor yang mendasari radikalisasi," kata Federica Mogherini, Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri Uni Eropa kepada KTT Gedung Putih tentang CVE pada tanggal 19 Februari 2015.

Tokoh seperti Mogherini menganggap bahwa ada revolusi kognitif, menyebar seperti penyakit mematikan yang tak terkendali dan menghancurkan umat Islam; seperti yang dia katakan di Washington DC, "Ancaman teroris yang metastasis ini, sama seperti kebanyakan kanker metastatik yang tidak dapat disembuhkan, kaum Muslim berpaling kepada fanatisme secara massal yang dikhawatirkan menjadi fait accompli (situasi dimana tidak ada pilihan lain) yang harus dihadapi. Keberhasilan sembuh bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Kemungkinan survive untuk kembali hidup normal sangat tipis. Perang tidak bisa dihindari, dan hanya menyisakan keputusasaan.”

(21)

21

Islamofobia: Sebuah Sistem Pemerintahan

Islamofobia bukanlah fobia, ia adalah cara pengaturan yang bersifat struktural dan didukung oleh negara.

Islamofobia bersifat struktural, karena ia adalah cara berpikir yang hari ini secara formal menginformasikan bagaimana lembaga publik, media mainstream, dan pemerintah memperlakukan umat Islam. Saat ini, kita telah mencapai tahap di mana umat Islam secara keseluruhan dan Islam itu sendiri dianggap sebagai ancaman dan berpotensi menjadi penjahat. Tidak hanya di Inggris dan di Amerika, namun cara pandang tersebut kini diekspor ke belahan dunia lainnya. Dalam istilah akademis, ini disebut "sekuritisasi Islam", mengacu pada program kontraterorisme yang pada praktiknya mencurigai semua Muslim, berdasarkan pemahaman bahwa setiap muslim berpotensi melakukan kekerasan dan menjadi teroris. Hal ini penting untuk dipahami.

Strategi kontra-terorisme tidak "melawan" "teroris". Banyak bukti akan hal ini. Kita akan menyadari bahwa sejak awal Perang Melawan Teror digulirkan, di luar negeri maupun di dalam negeri, kekerasan tidak berkurang. Hal ini dikarenakan strategi kontra-terorisme dan kontra-radikalisasi tidak benar-benar menangani penyebab kekerasan. Strategi tersebut beranggapan bahwa kekerasan, pada akhirnya, disebabkan oleh fakta bahwa seseorang adalah Muslim. Karena itu, dalam asumsi program tersebut, siapa saja yang beragama Islam bisa menjadi pelaku kekerasan. Ini adalah kerangka kerja yang selama ini dibangun dalam program kontraterorisme.

Itulah mengapa kita seringkali mendapati pandangan bahwa semakin nampak "Islami" seseorang, semakin besar kecenderungannya terhadap kekerasan dan semakin dicurigailah dia. Seorang pria dengan ciri-ciri yang terlihat Islami yang meninggalkan tasnya sesaat tanpa pengawasan di kereta membuatnya lebih banyak mendapatkan kecurigaan daripada orang lain yang tidak memiliki ciri serupa.

Ini karena menjadi atau nampak seperti Muslim adalah kejahatan yang sebenarnya, bukan karena ia meninggalkan barang tanpa penjagaan.

Kecurigaan semacam itu, sadar atau tidak, kini melekat pada cara pemerintah bersikap, yang dikuatkan dengan sejumlah aturan, dikampanyekan di sekolah dan universitas yang dihimbau untuk melaporkan perilaku "mencurigakan", dan direproduksi oleh media saat mendiskusikan tentang Islam dan Muslim.

Saat kita bisa memahami bahwa menjadi seorang Muslim kini berarti layak untuk mendapatkan pengawasan dan sasaran kecurigaan, maka saat itulah kita bisa memahami makna sebenarnya dari Islamofobia.

(22)

Muslim dapat ditahan tanpa tuduhan, diberhentikan dan diselidiki tanpa kesahalan, meningkatkan penyensoran terhadap Muslim tanpa dilihat sebagai pelanggaran hak berbicara, normalisasi serangan fisik dan verbal terhadap Muslimah.

Itu semua adalah dampak dari Islamofobia, yang menyalahkan umat Islam padahal mereka sendiri adalah korban. Islamofobia memungkinkan kita untuk menghindari pertanggungjawaban atas terorisme yang dilakukan oleh pihak selain Muslim, mendorong kita untuk tidak menanggapi kebijakan luar negeri Barat dan perlakuan mereka terhadap Muslim, baik di dalam maupun luar negeri.

Oleh karena itu, kita tidak dapat meningkatkan kesadaran tentang Islamofobia tanpa meningkatkan kesadaran tentang sifat cacat inheren yang ada pada agenda anti-terorisme/kontra-radikalisasi. Memahami Islamofobia hanya sebagai bias dan ketakutan individu akan membuat kita terus menyembunyikan fakta bahwa Islamofobia adalah kesalahan penerapan keadilan yang semakin struktural dan sangat disengaja, pembalikan arah keluhan politik, pembenaran perang ilegal dan pemindahan kekerasan.

Mereka yang mengatakan "berhenti meneriakkan Islamofobia dan fokus pada terorisme" tidak paham, bahwa mengakui terjadinya Islamofobia bukanlah masalah yang bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai "kekerasan teroris". Pemahaman kita terhadap kekerasan semacam itu cacat, dan oleh karena itu justru tidak akan "melawan" kekerasan. Bukannya mendukung usaha untuk mencari tahu penyebab kekerasan, namun justru menyemarakkan Islamofobia, sebuah keyakinan yang diterima secara institusional bahwa semua Muslim secara inheren melakukan kekerasan dan karenanya pantas dicurigai, diperlakukan secara diskriminatif dan tidak dimanusiakan. Inilah fondasi yang memungkinkan setiap bentuk Islamofobia.

(23)

23

DAFTAR PUSTAKA

Wajahat Ali, Eli Clifton, Matthew Duss, Lee Fang, Scott Keyes, and Faiz Shakir, "Fear, Inc.: The Roots of the Islamophobia Network in America" (Washington, D.C.: Center for American Progress, 2011), http://www.americanprogress.org/ issues/2011/08/pdf/islamophobia.pdf

https://www.runnymedetrust.org/projects-and-publications/past-projects/ commissionOnBritishMuslims.html

https://www.politico.eu/article/robert-fico-islam-no-place-news-slovakia-muslim-refugee/

https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2017/01/dangerously-disproportionate/

https://www.haaretz.com/opinion/1.825740 https://www.haaretz.com/opinion/1.825275 https://www.haaretz.com/.premium-1.769364

Inventing terrorists: the nexus of intelligence and Islamophobia, http://www. tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17539153.2017.1351597

http://www.cair.com/press-center/press-releases/13618-new-cair-uc-berkeley-report-reveals-funding-negative-impact-of-islamophobic-groups-in-america. html

http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-multi-million-dollar-industry-160623144006495.html

Council on American-Islamic Relations (CAIR) and the University of California,

Confronting Fear: Islamophobia and its Impact in the United States, Juni 2016

http://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/11/15/assaults-against-muslims-in-u-s-surpass-2001-level/

http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/report-islamophobia-multi-million-dollar-industry-160623144006495.html

Hassan Shibly, "CAIR-Florida Exposes Link Between Senator Alan Hays' Islamophobia and Anti-Muslim Legislation," Cairflorida.org, April 2014.

Nathan Lean & John Esposito, ”The Islamophobia industry: How the right manufactures fear of Muslims”, London: Pluto Press, 2012, h. 23

Gambar

Gambar 2. Daftar kelompok yang tujuan utamanya mempromosikan kebencian terhadap Islam dan Muslim dan

Referensi

Dokumen terkait