PENGARUH OPENNESS DAN INVESTASI ASING
TERHADAP KETAHANAN KEUANGAN NASIONAL DI INDONESIA
Henida Widyatama
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung [email protected]
Joko Ade Nursiyono
Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara [email protected]
Abstract
Lenin is said that the best way to destroy a country is to destroy its currency. Indonesia has experienced a worse economic crisis, but not to replace its currency. At that time, the rupiah plummeted to Rp17,000/USD in 1998. Banking is one of the major sectors affected by the crisis. During the 2000-2013 period the exchange rate against the dollar tends to be unstable (volatile). Volatility of the rupiah exchange rate could affect the stability of the banking sector in carrying out its role and function. Resilience of the rupiah exchange rate, especially the USD, is one indicator of national security in terms of banking (finance). National financial resilience reflected the strength of the exchange rate against the USD. The stability of the national economy can be predicted based on the stability of the exchange rate. This study aims to determine a general overview of some of the foreign exchange regime been implemented in Indonesia; determine the effect of openness and the size of the foreign investment in Indonesia on the stability of the rupiah against the USD in 2000-2013; determine the effect of short-term openness and foreign investment to the financial stability in Indonesia towa rds long-term stability; and determine the time required by a policy to be implemented in the field of trade and foreign investment to support financial stability in Indonesia. This study uses regression analysis of time series by using Error Correction Model (ECM). The results showed that free floating exchange regime more relevant implemented in Indonesia. Simultaneously, the level of openness and foreign investment significant effect on the stability of the exchange rate. Partially, openness positive effect on the exchange rate, while the negative effect of foreign investment. Short-term equilibrium rate policy influence in the field of trade and foreign investment to the financial stability in Indonesia towards the long-term financial stabilization is equal to 1.058 years.
Keywords: exchange rate, banks, financial stability.
2
I. Latar Belakang
Lenin mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghancurkan suatu negara adalah dengan menghancurkan mata uangnya (Keynes dalam Mankiw, 2005, hal.79). Kekuatan mata uang suatu negara dapat diukur dengan nilai tukar mata uangnya terhadap dolar karena devisa sebagian besar negara di dunia menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Zimbabwe merupakan negara yang pernah hancur karena mata uangnya. Pada tahun 2009, dolar Zimbabwe hancur karena inflasi yang sangat tinggi. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Zimbabwe untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengganti mata uang negaranya dengan mata uang negara luar, yakni dolar AS dan rand Afrika Selatan.
Indonesia juga pernah mengalami krisis ekonomi terpuruk, tetapi tidak sampai mengganti mata uangnya. Saat itu, rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada tahun 1997 terjun bebas ke level Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998 atau terdepresiasi sekitar 80 persen. Perbankan merupakan salah satu sektor yang terkena dampak besar akibat krisis tersebut. Naiknya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread karena suku bunga kredit lebih tinggi dari pada suku bunga simpanan nasabah. Perbankan juga tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil. Hal ini menyebabkan Bank Sentral Indonesia, yaitu Bank Indonesia (BI), harus menanggung semua beban yang ada di perbankan.
Pada tahun 2000, perekonomian Indonesia mulai membaik dan kurs (nilai tukar) rupiah terhadap dolar menguat di level sekitar Rp 8.000/dolar AS. Namun, selama periode 2000-2013 kurs rupiah terhadap dolar cenderung tidak stabil (fluktuatif). Ketidakstabilan nilai rupiah tersebut dapat mempengaruhi kestabilan sektor perbankan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Secara langsung, kurs dipengaruhi oleh neraca pembayaran. Permintaan yang meningkat dari debitur asing dalam neraca pembayaran aktif membuat rupiah menguat. Ketika saldo pembayaran pasif, terjadi kecenderungan penurunan nilai rupiah karena debitur dalam negeri menggunakan mata uang asing untuk membayar kembali kewajiban eksternalnya. Ukuran dampak neraca pembayaran pada kurs ditentukan oleh tingkat keterbukaan ekonomi (openness).
Investasi di suatu negara dapat mempengaruhi nilai tukar negara tersebut. Selama periode 2000-2013, investasi di Indonesia didominasi oleh luar negeri atau Penanaman Modal Asing (PMA). Rupiah akan terapresiasi ketika investasi meningkat. Hal ini disebabkan banyaknya investor yang membutuhkan mata uang rupiah untuk berinvestasi di Indonesia sehingga permintaan rupiah meningkat.
Rupiah merupakan simbol negara. Selain itu, mata uang Rupiah juga menunjukkan kedaulatan bangsa Indonesia. Ketahanan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar AS, merupakan salah satu indikator ketahanan nasional dari segi perbankan (keuangan). Ketahanan keuangan nasional tercermin dari kekuatan kurs (exchange rate) rupiah terhadap dolar AS. Kestabilan kurs yang dapat diprediksi dapat berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian nasional. Untuk dapat mempertahankan keuangan nasional, perlu diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan keuangan nasional. Oleh sebab itu, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran umum mengenai beberapa rezim kurs yang pernah diimplementasikan di Indonesia?
3 3. Bagaimana pengaruh jangka pendek dari keterbukaan ekonomi (openness) dan PMA
terhadap stabilitas keuangan di Indonesia untuk menuju kestabilan jangka panjang? 4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh suatu kebijakan untuk diimplementasikan
dalam bidang perdagangan dan PMA untuk mendukung stabilitas keuangan di Indonesia?
II. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui gambaran umum mengenai beberapa rezim kurs yang pernah diimplementasikan di Indonesia.
2. Mengetahui pengaruh tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan besarnya investasi asing (PMA) di Indonesia terhadap stabilitas kurs rupiah terhadap dolar AS tahun 2000-2013, baik secara simultan maupun secara parsial.
3. Mengetahui pengaruh jangka pendek dari keterbukaan ekonomi (openness) dan PMA terhadap stabilitas keuangan di Indonesia untuk menuju kestabilan jangka panjang.
4. Mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh suatu kebijakan untuk diimplementasikan dalam bidang perdagangan dan PMA untuk mendukung stabilitas keuangan di Indonesia.
III. Landasan Teoritis
III.1. Kajian Teori
Uang merupakan persediaan aset yang dapat segera digunakan untuk melakukan transaksi atau sebagai media tukar-menukar yang diterima oleh masyarakat yang dapat juga berfungsi sebagai penyimpanan nilai (kekayaan) dan satuan hitung. Dalam menjaga stabilitas nilai uang maka dibuat perbandingan antara uang dengan barang aatau jasa yang akan dibeli dengan uang tersebut.
Dalam era globalisasi seperti saat ini dimana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, ba rrier antara negara-negara sudah tidak tampak jelas. Ekonomi digerakkan oleh mekanisme pasar global, sudah di luar jangkauan pemerintah. Globalisasi sangat dirasakan dalam perdagangan internasional, investasi dan produksi serta pasar saham. Kegiatan ekonomi yang memasukkan unsur kegiatan ekonomi dengan negara lain (internasional) disebut dengan perekonomian terbuka.
III.1.1. Openness
Tingkat keterbukaan ekonomi suatu negara menimbulkan adanya perdagangan internasional. Teori keunggulan absolut menjelaskan bahwa perdagangan internasional akan menguntungkan bagi kedua negara jika salah satu negara tersebut tidak memproduksi atau memiliki suatu produk, sementara yang lain memiliki produk tersebut secara berlebih. Sementara itu, teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa perdagangan internasional terjadi karena perbedaan efisiensi dalam memproduksi.
Terbukanya ekonomi suatu negara yang menciptakan perdagangan internasional akan menyebabkan terjadinya perputaran uang di antara kedua negara tersebut. Semakin besar ekspor yang dilakukan oleh suatu negara maka nilai tukar domestik akan semakin menguat.
III.1.2. Investasi
4 perlengkapan produksi dan barang-barang modal untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi merupakan salah satu komponen pembentukan PDB. Investasi juga dapat diartikan sebagai pembelian dari kapital modal yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang.
Investasi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Menurut UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang dimaksud dengan PMDN adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara RI yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sedangkan penanaman modal pada PMA dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang hanya sebagian, bersamaan dengan penanam modal dalam negeri.
Investasi berpengaruh terhadap perubahan nilai tukar. Masuknya modal asing akan berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran kurs domestik terhadap asing. Semakin tinggi investasi yang dilakukan maka nilai mata uang domestik akan semakin tinggi (terapresiasi).
III.1.3.Kurs
Kurs (exchange rate) merupakan harga sebuah mata uang dari suatu negara yang dinyatakan atau diukur dalam mata uang negara lain. Dengan kata lain, nilai tukar (kurs) valuta asing (valas) adalah perbandingan banyaknya uang domestik (currency) yang diperlukan untuk satu satuan mata uang asing.
Ketahanan keuangan nasional dapat dilihat dari ketahanan atau daya saing nilai tukar mata uang suatu negara terhadap negara lain. Seperti yang diungkapkan oleh Lenin, jika ingin menghancurkan sebuah negara, tanpa perang berdarah, maka hancurkan mata uangnya (Mankiw, 2005). Nilai tukar mata uang suatu negara yang sedang dalam kondisi terpuruk merupakan indikator bahwa negara tersebut sedang mengalami krisis ekonomi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kurs, antara lain hutang luar negeri, investasi internasional, dan perdagangan internasional. Jika ekspor suatu negara semakin menguat maka nilai mata uangnya akan semakin menguat.
Rezim kurs terbagi menjadi dua, yaitu kurs mengambang dan kurs tetap. Kurs mengambang (floating exchange rate) yaitu kurs ditentukan oleh pasar dan dibiarkan berfluktuasi dengan bebas menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Sedangkan kurs tetap (fixed exchanged rate) yaitu kurs ditentukan oleh Bank Sentral, Bank Indonesia (BI), dan tidak dibiarkan berfluktuasi dengan bebas sehingga BI siap membeli atau menjual mata uang domestik untuk mempertahankan kurs sesuai dengan tingkat yang diumumkan oleh BI. Tabel berikut menunjukkan perbedaan antara kurs tetap dan kurs mengambang.
Tabel 1. Perbedaan antara Kurs Tetap dan Kurs Mengambang
Kurs Tetap Kurs Mengambang
Keunggulan
1. Untuk mendisiplinkan otoritas moneter negara dan mencegah tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar. 2. Jumlah uang yang beredar dapat
disesuaikan secara otomatis sehingga lebih mudah diterapkan.
Dalam pendapatan dan kesempatan kerja dapat terjadi volatilitas yang lebih besar.
5 III.2. Penelitian Terkait
Penelitian dengan judul Pengaruh Inflasi dan Investasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah di Indonesia yang dilakukan oleh Istiqomah (2011) bertujuan untuk mengetahui pengaruh inflasi dan investasi terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia. Hasil penelitian terebut menunjukkan bahwa inflasi, penanaman modal asing, dan dummy krisis berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia. Sedangkan, penanaman modal dalam negeri berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai tukar rupiah di Indonesia.
Hasil penelitian Agung Praditya (2012) yang berjudul Analisis Pengaruh Capital Inflow Terhadap Nilai Tukar Rupiah menunjukkan bahwa variabel capital inflow, inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness signifikan mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah pada jangka panjang. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis Vector Auto Regression (VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error Correction Model (VECM).
IV. Metodologi dan Data
IV.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2007), penelitian kuantitatif diartikan sebagai penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme dengan meneliti populasi atau sampel tertentu secara acak dan menggunakan instrument penelitian, serta analisis data yang bersifat statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Dengan melihat besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat akan diketahui tingkat signifikansinya secara statistik. Selain itu, pendekatan ini juga menggunakan variabel eror yang mengoreksi hubungan jangka pendek keterkaitan antara variabel terikat dan variabel bebas untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Dalam pemodelannya, penelitian ini menggunakan paket software Eviews dan Zaitun Time Series untuk menghimpun data dan melakukan analisis.
IV.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yang bersumber dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang menjadi ukuran stabilitas keuangan nasional adalah data kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang bersumber dari Bank Indonesia, sedangkan data ekspor-impor dan nilai investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) diperoleh dari BPS.
Periode data yang digunakan dalam penelitian adalah tahunan untuk melihat adanya pengaruh secara implisit kebijakan moneter yang berlaku di Indonesia. Ketersediaan data untuk melihat kondisi hingga tahun 2015 merupakan kendala dalam penelitian ini sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas menggunakan data tahun 2000-2013.
IV.3. Definisi Operasional
6 lainnya. Tingkat keseimbangan antara penawaran dan permintaan itulah yang ditentukan oleh aktivitas perekonomian, seperti investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) dan arus perdagangan berupa ekspor dan impor.
Dalam penelitian ini, penjelasan mengenai pengaruh internal dalam menganalisis ketahanan keuangan nasional dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu dengan melakukan kajian terhadap penerapan beberapa rezim kurs yang pernah berlaku di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji dampak makro atas penerapan kebijakan tersebut terhadap situasi perekonomian dengan berlandaskan pada peran dan fungsi Bank Indonesia. Sementara itu, pengaruh faktor eksternal dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan dua variabel makro yang secara langsung bersinggungan dan memberikan dampak teoritis dan realistis terhadap stabilitas keuangan di Indonesia, yaitu tingkat keterbukaan (openness) dan investasi asing atau PMA. Sedangkan variabel yang memperlihatkan stabilitas keuangan diukur dengan menggunakan kurs (rupiah terhadap dolar AS).
IV.3.1. Kurs
Dalam penelitain ini, kurs dinilai dengan mengambil rata-rata aritmatik dari kurs jual dan kurs beli terhadap mata uang dolar AS yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). Data yang dikumpulkan merupakan nilai rata-rata kurs tahunan terhadap dolar AS dengan rumus sebagai berikut.
= , + ,
Keterangan:
KURSt : kurs rupiah terhadap dolar tahun ke-t
KURSt,jua l : nilai kurs jual rupiah terhadap dolar pada tahun ke-t
KURSt,beli : nilai kurs beli rupiah terhadap dolar pada tahun ke-t
IV.3.2. Keterbukaan Ekonomi (Openness)
Keterbukaan ekonomi merupakan persentase perbandingan arus perdagangan yang diukur dengan jumlah ekspor dan impor suatu negara terhadap besarnya Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam penelitian ini, derajat keterbukaan ekonomi didasarkan pada arus perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat (AS) dan China sebab, volume perdagangan Indonesia–AS maupun Indonesia–China semakin besar setiap tahunnya. Secara matematis, keterbukaan ekonomi (openness) dirumuskan sebagai berikut.
�� =[( ,� −� + ,� −� ) + ( ,� −��+ ,� −��)] %
Keterangan:
Opp : keterbukaan ekonomi (openness) tahun ke-t Xt, Ina-Cn : nilai ekspor Indonesia – China tahun ke-t
Mt, Ina-Cn : nilai impor Indonesia – China tahun ke-t
Xt, Ina-AS : nilai ekspor Indonesia – AS tahun ke-t
Mt, Ina-AS : nilai impor Indonesia – AS tahun ke-t
PDB : Produk Domestik Bruto Indonesia tahun ke-t
IV.3.3. Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing (PMA)
7 dan lembaga keuangan atau investasi yang perizinannya dikeluarkan secara institusional untuk melihat dampak aktivitas eksternal terhadap stabilitas keuangan nasional. Dalam penelitian ini, PMA yang digunakan adalah besarnya realisasi investasi negara Amerika Serikat (AS) di Indonesia dalam satuan juta dolar AS. Namun, penelitian ini tidak memasukkan besarnya realisasi investasi dari China (Tiongkok) karena ketersediaan data yang terbatas.
IV.4. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi time series dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Sebelum dapat menggunakan model ini, terlebih dahulu harus melewati beberapa serangkaian uji untuk mendapatkan model terbaik. Berikut penjelasan serangkaian uji yang digunakan dalam penelitian ini.
IV.4.1. Uji Stasioneritas
Suatu data dikatakan telah stasioner apabila memiliki rata-rata, varians dan kovarians yang konstan untuk setiap periode (runtun waktu) data yang diamati. Data yang tidak stasioner ditengarai dapat mengakibatkan terbentuknya model yang spurious (regresi lancung atau palsu). Artinya, meskipun modelnya terlihat baik dan signifikan, tetapi terdapat gangguan, baik secara teoritis maupun bukan, yang tidak menunjukkan adanya pengaruh yang sebenarnya. Suatu data yang tidak stasioner juga menunjukkan bahwa data tersebut mengalami gangguan asumsi non-autokorelasi dan homoskedastisitas sehingga, dalam praktiknya, pengujian asumsi sisaan (galat) model regresi dapat dilakukan dengan menggunakan uji stasioneritas. Gujarati (2004) merekomendasikan penggunaan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mendeteksi adanya ketidakstasioneritasan suatu data, terutama dikarenakan adanya korelasi serial dari sisaan (galat) model runtun waktu (time series). Secara matematis, uji ADF dirumuskan sebagai berikut.
∆ = + + − + ∑ ∆ −
=
+
Keterangan: bersifat white noise atau mengikuti sebaran , �
Dengan menggunakan hipotesis nol tidak stasioner, keputusan telah cukup bukti untuk menolak hipotesis nol atau data bersifat stasioner jika nilai nilai p-value < 0,05.
IV.4.2. Uji Kointegrasi
Kointegrasi terjadi apabila variabel yang diamati tidak stasioner pada tahap level, tetapi mempunyai sisaan yang bersifat stasioner pada level. Gujarati (2004) menyebutkan bahwa cara awal untuk mendeteksi adanya kointegrasi antara variabel dalam analisis data runtun waktu (time series) salah satunya melakukan uji stasioneritas terhadap sisaan (galat) model dengan uji ADF. Apabila nilai p-value < 0,05, dengan kata lain sisaan telah stasioner pada level, sedangkan variabel amatan tidak stasioner pada level, maka dapat dikatakan variabel penelitian mengalami kointegrasi. Dalam pembahasan selanjutnya, syarat mutlak penggunaan ECM adalah adanya kointegrasi antar variabel. Sebaliknya, jika tidak terjadi kointegrasi, maka ECM tidak dapat digunakan.
IV.4.3. Error Correction Model (ECM)
8 Firmansyah (2015), Error Cor rection Model (ECM) bertujuan untuk mencari keseimbangan jangka pendek atau mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Untuk mencapai kondisi steady state, seringkali terjadi ketidakseimbangan antara fenomena perekonomian dan ketahanan keuangan nasional. Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh kondisi fenomena masa lalu yang masih berpengaruh besar terhadap kondisi yang akan datang. Grant dan Lebo (2015) menggunakan ECM untuk melakukan analisis hubungan jangka pendek dan hubungan jangka panjang dari berbagai variabel perekonomian untuk menangkap efek dari fenomena perekonomian jangka panjang.
Dalam tahapan pemodelannya, ECM berbeda dengan model analisis runtun waktu lainnya. Untuk melihat adanya signifikansi pengaruh fenomena masa lalu, dalam hal ini stabilitas keuangan nasional, dalam ECM umumnya memasukkan unsur Error Correction Term (ECT). ECT berfungsi sebagai faktor koreksi analisis jangka pendek agar mampu digunakan sebagai instrumen analisis jangka panjang. Nilai dari ECT nantinya akan menjadi ukuran persentase kecepatan hubungan keseimbangan antara variabel bebas terhadap variabel terikat jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang dan disebut speed of adjustment. Nilai ECT diharapkan singifikan dan negatif agar model keseimbangan jangka pendek dapat digunakan sebagai instrumen analisis jangka panjang serta sebagai faktor koreksi yang menjadi penentu pengurangan ketimpangan hubungan (unequilibrium) antara kurs rupiah terhadap dolar, keterbukaan ekonomi (openness) dan PMA.
Setelah dilakukan pemodelan dengan mempertimbangkan validitas dan reliabilitas model, maka ditetapkanlah satu persamaan statistik ECM yang tentatif sebagai instrumen penelitian sebagai berikut.
Persamaan jangka panjang
� = + �� + � +
Keterangan:
lnKurst : kurs rupiah terhadap dolar tahun ke-t (transformasi logaritma natural)
Oppt : keterbukaan ekonomi (openness) tahun ke-t
lnPMAt : Penanaman Modal Asing tahun ke-t (transformasi logaritma natural)
, : koefisien regresi jangka panjang
: sisaan (galat) model jangka panjang ~ , �
Persamaan jangka pendek (ECM)
� � = ′ + ′ � �� + ′ � � + ′
− + ′
Keterangan:
� � : diferensi pertama kurs rupiah terhadap dolar tahun ke-t
� �� : diferensi pertama keterbukaan ekonomi Indonesia terhadap China dan AS tahun ke-t
� � : diferensi pertama Penanaman Modal Asing tahun ke-t
− : Error Correction Term tahun sebelumnya (t – 1)
′ : sisaan (galat) model jangka pendek~ , �
9 IV.4.4. Uji Asumsi
Error Correction Model (ECM) pada dasarnya merupakan model regresi berganda sehingga dalam penerapannya harus memenuhi uji asumsi klasik yang menjadi dasar validitas dan reliabilitas instrumen yang akan dihasilkan. Dalam penelitian ini, uji asumsi klasik yang dipakai terdiri atas uji kenormalan (normalitas), uji non-autokorelasi, uji homoskedastisitas dan uji non-multikolinearitas.
a. Uji Kenormalan
Dalam pengujian kenormalan sisaan (galat), uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Jarque-Bera. Uji Jarque-Bera adalah uji standar (default) yang digunakan dalam paket program pengolah data runtun waktu (time series) Eviews. Menurut Gujarati (2004), uji Jarque-Bera (JB) merupakan uji kesimetrisan (asimtotis) yang berdasarkan pendekatan Ordina ry Least Square (OLS) sisaan (galat) suatu model. Dalam penerapannya, uji ini menggunakan informasi data berupa kemencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis) sebaran data sisaan dengan pendekatan OLS yang dirumuskan sebagai berikut.
= � [ + − ]
Keterangan:
n : jumlah data
s2 : koefisien kemencengan (skewness) sebaran data
k : koefisien keruncingan (kurtosis) sebaran data
Dengan hipotesis nol bahwa sebaran sisaan model mengikuti sebaran normal, maka kriteria bahwa sebaran data sisaan model tidak mengikuti sebaran normal apabila nilai p-value > 0,05
(α yang digunakan dalam penelitian).
b. Uji Non-autokorelasi
Analisis data runtun waktu (time series) seringkali ditemui adanya gangguan autokorelasi atau hubungan antar waktu dalam suatu variabel. Menurut Gujarati (2004), autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi diantara anggota suatu nilai observasi dari aspek waktu (korelasi serial). Dalam konteks regresi, diasumsikan tidak ada autokorelasi dalam variabel non-deterministik, dalam hal ini sisaan atau galat model yang dirumuskan sebagai berikut.
( , ) = ; ≠
Untuk menguji gangguan autokorelasi, maka Gujarati merekomendasikan penggunaan uji Durbin-Watson (DW) yang merupakan uji terandal dalam mendeteksi adanya korelasi serial dari sisaan model statistik. Secara matematis, uji DW dirumuskan sebagai berikut.
=∑ == ∑̂ − ̂= ̂ −
=
Dengan menggunakan penyederhaan, menurut Gujarati dirumuskan sebagai berikut.
≈ − �̂
10 autokorelasi, dalam penelitian ini juga menggunakan uji Breusch-Godfrey LM. Apabila nilai dari p-value LM (lihat dari nilai Obs*R-squared) lebih dari 0,05, maka sisaan (galat) tidak mengandung korelasi serial atau dengan kata lain asumsi non-autokorelasi telah terpenuhi.
c. Uji Homoskedastisitas
Uji homoskedastisitas adalah suatu uji asumsi yang digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan varians model statistik yang tidak konstan atau � . Gujarati (2004) merekomendasikan penggunaan uji Breusch-Pagan-Godfrey (BPG) untuk mendeteksi adanya gangguan varians sisaan (galat) model yang tidak konstan dengan rumus sebagai berikut.
� = � + + + ⋯ +
Tahapan uji BPG dilakukan dengan mendapatkan sisaan dari model statistik, yaitu
̂ , ̂ , ̂ … ̂ kemudian menghitung nilai �̂ dengan rumus �̂ =∑ �̂�2 kemudian membentuk
suatu variabel baru, yaitu � dengan rumus � =�̂�2
�̂2. Lalu, dilakukan peregresian dan
didapatkan model berikut.
� = + + + ⋯ + + ′′
Dari model tersebut dihasilkan nilai jumlah kuadrat dari sisaan (galat) atau sum square of error (sse) dan dibagi setengah sehingga daidapatkan suatu nilai yang disimbolkan dengan
� yang mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas (m – 1) dengan rumus matematis berikut.
�~� , −
Dengan demikian, asumsi homoskedastisitas akan terpenuhi bilai nilai � > � , atau nilai p-value > 0,05. Dalam hasil pengolahan, nilai p-p-value dapat dilihat dari nilai Obs*R-squa red lebih dari 0,05.
d. Uji Non-multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan gangguan yang biasa terjadi akibat adanya kesalahan dalam penentuan variabel secara teknis. Meskipun multikolinearitas dapat mengurangi adanya bias koefisien regresi, tetapi multikolinearitas yang tinggi mengakibatkan standard error (se) juga tinggi sehingga instrument model menjadi kurang valid sebagai alat analisis. Multikolinearitas dapat didefinisikan sebagai hubungan linier sempurna antara dua atau lebih variabel bebas (deterministik) dalam model. Gujarati (2004) merekomendasikan penggunaan nilai Variance Inflation Factor (VIF) dalam mendeteksi adanya gangguan multikolinearitas dalam model statistik dengan rumus sebagai berikut.
= −
,
Keterangan: , adalah nilai R2 hasil peregresian variabel bebas i terhadap variabel bebas j.
Sebagai cut of point adanya gangguan multikolinearitas, Gujarati menyatakan bahwa beberapa ahli statistika menggunakan VIF sebagai indikator multikolinearitas. Semakin tinggi nilai VIF, maka terdapat gangguan atau hubungan linier sempurna antar variabel bebas yang masuk dalam model. Oleh karena itu, jika nilai ≤ , dinyatakan bahwa tidak terdapat gangguan multikolinearitas dalam model statistik.
IV.4.5. Kriteria Pemilihan Model Terbaik
11 a. Uji Parsial (Uji t)
Uji parsial adalah uji statistik yang mengukur tingkat signifikansi besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dalam penelitian secara individual. Suatu variabel secara parsial atau individu dikatakan berpengaruh signifikan secara statistik apabila nilai p-value < 0,05.
b. Uji Simultan (Uji F)
Uji simultan merupakan uji statistik yang mengukur tingkat signifikansi pengaruh secara bersama-sama (keseluruhan) variabel bebas yang masuk dalam model statistik terhadap variabel terikat. Uji simultan dikatakan telah signifikan apabila nilai p-value uji F < 0,05.
c. Nilai
Besarnya nilai dalam penelitian ini merupakan kriteria pembanding umum yang biasa diterapkan dalam analisis regresi. Dalam pengertiannya, merupakan besarnya proporsi keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang masuk dalam model terhadap variabel terikatnya. Umumnya, pemodelan regresi masih menggunakan ukuran sebagai kriteria pemilihan model terbaik, padahal Gujarati (2004) merekomendasikan penggunaan . Hal tersebut disebabkan nilai akan terus bertambah seiring dengan penambahan variabel bebas dalam model. Sedangkan nilai dapat berkurang seiring penambahan variabel bebas dalam model sebab kemungkinan suatu variabel bebas yang masuk ke dalam model belum mampu menjelaskan proporsi keragaman variabel terikat. Dengan demikian, nilai juga dapat bernilai negatif sebab seluruh variabel yang masuk dalam model sama sekali tidak mampu menjelaskan proporsi keragaman variabel terikat model. Secara matematis, dirumuskan sebagai berikut.
= − ∑ ̂ � − ∑ ̂ � −
Keterangan:
k : jumlah parameter dalam model termasuk parameter intersep n : jumlah amatan.
V. Analisis
Aktivitas perekonomian Indonesia mulai tahun 2000 hingga 2013 terus mengalami peningkatan. Meskipun, dalam perjalannya gejolak perekonomian dalam negeri maupun luar negeri memberikan dampak yang tidak menentu, terutama dari sisi stabilitas keuangan. Stabilitas keuangan Indonesia mengalami pasang-surut dengan adanya regulasi dan kebijakan pada sektor non-moneter yang secara langsung mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing.
12 awal tahun 2000 hingga saat ini yang menggunakan sistem kurs mengambang bebas (free floating exchange). Implementasi rezim fixed exchange dan manage floating exchange sebelum tahun 2000-an banyak memberikan efek buruk terhadap stabilitas keuangan nasional. Menurut Aini (2010), dalam penerapan fixed exchange, bank sentral (dalam hal ini BI) tidak mempunyai kewenangan melakukan intervernsi terhadap nilai tukar rupiah yang notabene berpatokan pada dolar AS apabila nilai tukar rupiah masih dalam ambang batas yang telah ditentukan. Pada rezim tersebut, akibat negatifnya tampak ketika rupiah terdepresiasi atau ketidakstabilan dalam pasar uang. Ketidakstabilan kurs tersebut secara spontan mengakibatkan risiko investasi yang besar sebab terjadi sentimen negatif iklim usaha di Indonesia.
Gambar 1. Posisi Kurs Rupiah Terhadap Dolar Tahun 2000 – 2013
Sumber: Bank Indonesia
Fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS tersebut yang menjadi konsekuensi logis adanya pengambilan kebijakan internal BI. Untuk tetap menjaga stabilitas, BI sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan di bidang moneter memiliki peranan penting agar kurs rupiah terhadap dolar tetap dalam range yang telah diprediksi. Kekuatan kurs rupiah juga terlihat dari ketahanan bank konvensional Indonesia di tahun 2000-an. Meski di Indonesia dinyatakan telah terjadi krisis keuangan, tetapi kondisi sektor perbankan dan lembaga keuangan terlihat masih kuat sehingga volatilitas naik-turunnya harga (inflasi) masih berada pada ambang yang dapat ditolerir. Kondisi tersebut tidak lepas dari keputusan Indonesia untuk mengubah haluan dari rezim fixed exchange/manage exchange ke rezim free floating exchange. Meskipun, dalam kenyataannya perubahan rezim tersebut membawa dampak negatif terhadap iklim investasi, sebab dalam implementasi free float exchange, kebijakan intervensi bank sentral (BI) sangat terbatas karena kekuatan rupiah terhadap dolar AS lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Keterbatasan kontrol itulah yang menyebabkan volatilitas meningkat secara drastis dan sulit untuk diestimasi oleh para investor yang berujung pada tingkat risiko investasi yang juga tinggi. Dalam penerapan fixed exchange, Indonesia yang notabene merupakan negara yang memiliki kemitraan dagang regional dan internasional kurang mampu mengamati ketersediaan dan kekuatan rupiah sebagai instrumen transaksi perdagangan. Sangat berbeda dengan penerapan rezim free float exchange, pengaplikasian rezim ini lebih memberikan ruang penuh terhadap penawaran dan permintaan rupiah di pasar uang sehingga dalam kaitannya dengan aspek perdagangan nasional dan internasional, rezim
0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
13 kurs ini mempunyai kemampuan dalam mengoreksi ketidakseimbangan necara perdagangan (Atmadja, 2001). Hal ini terbukti pada kekuatan rupiah yang menunjukkan ketahanan keuangan nasional sekitar tahun 2008. Meski pada waktu itu, di Eropa dan AS telah terjadi krisis, kesehatan perbankan Indonesia yang tangguh mampu membendung tingkat depresiasi rupiah tidak terlalu jauh terhadap dolar AS.
Berbeda dengan pemberlakukan rezim flexible exchange sekitar tahun 1999 yang masih menyediakan ruang bagi bank sentral (BI) untuk melakukan intervensi moneter, free floating exchange ternyata menghapuskan kebebasan kontrol bank sentral (BI) sehingga penerapan rezim tersebut secara langsung dapat menjaga stabilitas cadangan devisa negara. Sebenarnya, sistem free floating exchange lebih relevan diterapkan pada negara maju. Meskipun demikian, dengan pemberlakuan free floating exchange yang didukung dengan penguatan regulasi moneter serta sektor-sektor riil, kecenderungan pengaruh inflasi dan kontrol ketat terhadap arus perdagangan regional dan internasional akan dapat dibendung.
Dalam sektor riil, baik volume barang dan jasa Indonesia yang diekspor ke luar negeri maupun volume barang dan jasa yang diimpor ke dalam negeri setiap tahunnya memperlihatkan ketimpangan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan neraca perdagangan yang selalu mengalami penurunan surplus setiap tahunnya. Namun, setiap tahunnya, perdagangan Indonesia dengan China dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan tren yang meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat keterbukaan ekonomi Indonesia yang terus membuka diri terhadap perdagangan bebas, baik di Asia maupun di dunia.
Gambar 2. Keterbukaan Ekonomi (Openness) Indonesia-China-AS
Gambar 2 menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi Indonesia terhadap dua negara yang dinilai mendominasi arus transaksi perdagangan (ekspor-impor) di Indonesia semakin meningkat meskipun menunjukkan dampak berupa penurunan sekitar tahun 2008 akibat adanya krisis Eropa dan AS. Namun, setelah itu terlihat adanya kebangkitan aktivitas perdagangan kembali, bahkan semakin meningkat tajam hingga tahun 2013. Awal 2000-an, perekonomian Indonesia masih dalam tahap rehabilitasi akibat krisis multidimensi serta pasca pergantian sistem kekuasan sehingga tampak adanya sentimen-sentimen keraguan para pelaku usaha, investor dan perdagangan luar negeri. Pada tahun 2003 hingga 2011, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus hingga 26,06 triliun rupiah. Meski kemudian tampak adanya defisit yang tajam sekitar tahun 2012 akibat adanya penurunan surplus perdagangan. Ketidakseimbangan penawaran dan permintaan barang dan jasa luar negeri,
0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
14 terutama terhadap China dan AS membuat rupiah sedikit terdepresiasi sebab adanya dorongan impor sehingga posisi neraca perdagangan Indonesia defisit menyentuh angka 3,34 triliun rupiah.
Pada tahun 2010, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) juga semakin berdampak pada volume barang China yang dipasarkan di Indonesia. Dengan demikian, tahun 2010 merupakan momentum bagi China memperbesar dan memperluas pangsa pasar barangnya di Indonesia. Di sisi lain, jenis barang perdagangan antara Indonesia dan AS juga terlihat sangat memengaruhi tarikan antara penawaran dan permintaan rupiah terhadap dolar (kurs). Peningkatan intensitas perdagangan antara Indonesia dan AS terjadi sejak krisis sekitar 2008. Dengan adanya komitmen kejasama bilateral di bidang ekonomi yang semakin kuat, pada tahun 2010 Indonesia secara resmi melakukan kerjasama dengan AS untuk mendukung kemajuan perekonomian jangka panjang dengan agenda The US-Indonesia Compherehensif Partnership Agreement (UICPA). Komitmen tersebut terlihat menambah tingkat keterbukaan ekonomi antara Indonesia dan AS.
Gambar 3. Realisasi Penanaman Modal Asing (Juta Dolar)
Stabilitas keuangan juga ditentukan oleh perkembangan iklim investasi asing di Indonesia dengan ukuran realisasi Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan Gambar 3, terlihat fluktuasi realisasi PMA di Indonesia sepanjang tahun 2000-2013 mengalami naik-turun, terutama dalam rentang tahun 2009-2013. Sementara itu, sebelum tahun 2009, fluktuasi realisasi PMA terlihat relatif stabil sekitar 500 juta dolar AS. Realisasi PMA tersebut secara langsung menunjukkan kondisi iklim perekonomian Indonesia yang belum stabil. Fluktuasi investasi terutama tahun 2009-2013 yang cukup tajam menunjukkan adanya ketidakpastian investor dalam melakukan investasi di sektor-sektor riil di Indonesia. Hal ini tidak hanya menunjukkan tingkat risiko investasi yang besar, misalnya akibat terganggunya stabilitas poilitik dan keamanan Indonesia, juga dari sisi lain, lembaga penunjang keuangan dan perbankan kurang mampu menjamin risiko investasi. Tidak hanya itu, adanya sentimen negatif terhadap pangsa pasar dan tarik-menarik penawaran dan permintaan uang di Indonesia masih belum seutuhnya memberikan return investasi dalam jangka panjang.
Tabel 2 menunjukkan perilaku data yang digunakan dalam model, hasil uji stasioneritas lnKurs, Opp dan lnPMA menunjukkan bahwa data belum stasioner pada tahap level. Hal ini menunjukkan tanda-tanda awal adanya ketidakseimbangan jangka pendek ketiga variabel tersebut untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Terlihat juga bahwa nilai p-value uji ADF secara parsial lebih dari 0,05 (tidak stasioner).
0
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
15 Tabel 2. Uji Stasioneritas lnKurs, Opp dan lnPMA
Null Hypothesis: Unit root (individual unit root process) Series: LNKURS, OPP, LNPMA
Date: 09/16/15 Time: 14:18 Sample: 2000 2013
Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 2 Total number of observations: 36
Cross-sections included: 3
Method Statistic Prob.**
ADF - Fisher Chi-square 10.1146 0.1199
ADF - Choi Z-stat 0.95965 0.8314
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Intermediate ADF test results UNTITLED
Series Prob. Lag Max Lag Obs
LNKURS 0.0900 1 2 12
OPP 0.9998 2 2 11
LNPMA 0.7036 0 2 13
Secara teoritis, baik kurs rupiah terhadap dolar maupun tingkat keterbukaan dan PMA, mengalami ketidakpastian akibat penerapan sistem keuangan nasional yang kurang terkontrol dengan baik. Intensitas perdagangan yang dibiarkan bebas mengikuti perdagangan bebas (free trade) menunjukkan fluktuasi yang mengancam stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar. Demikian pula iklim investasi yang terlihat rentan dengan sentimen negatif akibat kebijakan ekonomi dan kondisi sosial serta politik Indonesia yang tidak kondusif.
Tabel 3. Uji Stasioneritas Diferensi Pertama lnKurs, Opp dan lnPMA
Null Hypothesis: Unit root (individual unit root process) Series: LNKURS, OPP, LNPMA
Date: 09/16/15 Time: 14:21 Sample: 2000 2013
Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags
Automatic lag length selection based on SIC: 0 to 1 Total number of observations: 35
Cross-sections included: 3
Method Statistic Prob.**
ADF - Fisher Chi-square 29.5998 0.0000
ADF - Choi Z-stat -4.22078 0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Intermediate ADF test results D(UNTITLED)
Series Prob. Lag Max Lag Obs
D(LNKURS) 0.0051 1 1 11
D(OPP) 0.0184 0 1 12
16 Setelah dilakukan proses diferensi pertama, didapatkan output seperti pada Tabel 3. Dari hasil proses pendiferensian tahap pertama, ketiga variabel yang masuk dalam pemodelan ECM terlihat memiliki p-value kurang dari 0,05. Artinya, ketiga variabel tersebut telah stasioner pada diferensi pertama. Kondisi tersebut menunjukkan adanya identifikasi awal adanya potensi hubungan jangka pendek antara ketiga variabel dalam model. Dan untuk melihat adanya kointegrasi antara variabel dalam model, selanjutnya dibentuk pemodelan regresi jangka panjang dengan ouput sebagai berikut.
Tabel 4. Estimasi Persamaan Jangka Panjang
Dependent Variable: LNKURS Method: Least Squares Date: 09/16/15 Time: 14:27 Sample: 2000 2013
Included observations: 14
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 9.425067 0.121919 77.30567 0.0000
OPP 0.334612 0.128159 2.610913 0.0242
LNPMA -0.061300 0.024731 -2.478633 0.0306
R-squared 0.389389 Mean dependent var 9.145009
Adjusted R-squared 0.278369 S.D. dependent var 0.066712
S.E. of regression 0.056671 Akaike info criterion -2.715697
Sum squared resid 0.035328 Schwarz criterion -2.578756
Log likelihood 22.00988 Hannan-Quinn criter. -2.728374
F-statistic 3.507369 Durbin-Watson stat 1.758066
Prob(F-statistic) 0.026329
Setelah model jangka panjang terbentuk, tahap selanjutnya adalah melakukan uji stasioneritas. Uji stasioneritas ADF dilakukan untuk mendeteksi adanya kointegrasi antar variabel dalam model sisa (galat) model jangka panjang. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa uji ADF dari sisaan (galat) mempunyai nilai p-value kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa telah cukup bukti antar variabel dalam model terdapat kointegrasi.
17 Tabel 5. Stasioneritas Sisaan (Galat) Persamaan Jangka Panjang
Null Hypothesis: ECT has a unit root Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=2)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.677597 0.0041
Test critical values: 1% level -4.121990
5% level -3.144920
10% level -2.713751
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 12
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECT)
Method: Least Squares Date: 09/16/15 Time: 14:29 Sample (adjusted): 2002 2013
Included observations: 12 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECT(-1) -1.586884 0.339252 -4.677597 0.0012
D(ECT(-1)) 0.694751 0.235833 2.945945 0.0163
C -0.007167 0.011388 -0.629358 0.5448
R-squared 0.710488 Mean dependent var 0.000654
Adjusted R-squared 0.646152 S.D. dependent var 0.065481
S.E. of regression 0.038951 Akaike info criterion -3.440692
Sum squared resid 0.013655 Schwarz criterion -3.319465
Log likelihood 23.64415 Hannan-Quinn criter. -3.485574
F-statistic 11.04338 Durbin-Watson stat 1.855805
Prob(F-statistic) 0.003780
18 Tabel 6. Estimasi Modal Jangka Panjang
�̂ = , + , ̂ − ,�� �̂ + ̂
t-stat 77,30567 2,610913 2,478633
sig. 0,0000 0,0242 0,0306
F-stat 3,507369
Prob (F-stat) 0,026329
0,278369
DW 1,758
Setelah model jangka panjang hasil estimasi (persamaan) terbentuk, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah pembentukan model jangka pendek yang terkoreksi oleh sisaan (galat) keseimbangan model jangka panjang. Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut.
Tabel 7. Estimasi Error Correction Model (ECM)
Dependent Variable: D(LNKURS) Method: Least Squares
Date: 09/16/15 Time: 15:22 Sample (adjusted): 2001 2013
Included observations: 13 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.008996 0.022487 0.400035 0.6985
D(OPP) 0.161509 0.294803 0.547852 0.0471
D(LNPMA) -0.044741 0.021280 -2.102437 0.0249
ECT(-1) -1.057578 0.416139 -2.541407 0.0316
R-squared 0.697389 Mean dependent var 0.015586
Adjusted R-squared 0.596519 S.D. dependent var 0.092430
S.E. of regression 0.058712 Akaike info criterion -2.584702
Sum squared resid 0.031023 Schwarz criterion -2.410871
Log likelihood 20.80056 Hannan-Quinn criter. -2.620432
F-statistic 6.913719 Durbin-Watson stat 1.716123
Prob(F-statistic) 0.010346
19 Tabel 8. Stasioneritas Sisaan (Galat) Estimasi Model Jangka Pendek
Null Hypothesis: RES has a unit root Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=2)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.208065 0.0099
Test critical values: 1% level -4.200056
5% level -3.175352
10% level -2.728985
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 11
Berdasarkan Gambar 4, nilai p-value uji Jarque-Bera sebesar 0,570618 atau lebih dari 0,05. Dengan demikian, sisaan dari model jangka pendek (ECM) mengikuti sebaran normal dengan rata-rata 0 dan varians yang konstan atau � .
Gambar 4. Output Uji Kenormalan Jarque-Bera
Berdasarkan output Uji non-autokorelasi, terlihat bahwa nilai p-value (Obs*R-squa red) dari uji Breusch-Godfrey LM lebih dari 0,05. Dengan demikian, sisaan (galat) modal jangka pendek (ECM) telah memenuhi asumsi non-autokorelasi dengan hasil berikut.
Tabel 9. Output Uji Non-Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 2.875829 Prob. F(2,7) 0.1226
Obs*R-squared 5.863673 Prob. Chi-Square(2) 0.0533
0 1 2 3 4 5
-0.075 -0.050 -0.025 0.000 0.025 0.050 0.075 0.100
Series: RES Sample 2000 2013 Observations 13
Mean 4.27e-18
Median -0.018279
Maximum 0.093521
Minimum -0.066128
Std. Dev. 0.050846
Skewness 0.583972
Kurtosis 2.158918
20 Dengan menggunakan uji Breusch-Pagan-Godfrey, terlihat bahwa nilai p-value (Obs*R-squared) lebih dari 0,05 (lihat Tabel 10). Dengan demikian, sisaan (galat) model jangka pendek (ECM) telah memenuhi uji asumsi homoskedastisitas atau dalam arti mempunyai varians yang konstan untuk setiap periodenya.
Tabel 10. Output Uji Homoskedastisitas
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 1.792937 Prob. F(3,9) 0.2185
Obs*R-squared 4.863026 Prob. Chi-Square(3) 0.1821
Scaled explained SS 1.350602 Prob. Chi-Square(3) 0.7172
Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa nilai dari VIF ≤ 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa sisaan (galat) modal jangka pendek (ECM) telah memenuhi asumsi non-multikolinearitas.
Tabel 11. Hasil Uji Non-Multikolinearitas
Variabel bebas VIF-value
(1) (2)
d(Opp) 1,6465
d(lnPMA) 1,6913
ECT 1,0501
Dari perkiraan (estimasi) model jangka pendek, secara matematis diperoleh persamaan jangka pendek (ECM) sebagai berikut.
Tabel 12. Estimasi Error Correction Model (ECM)
�( �̂ ) = , + , �( ��̂ ) − , �( �̂ ) − , ̂ + ̂−
t-stat 0,40035 0,547852 -2,102437 -2,541407
sig. 0,6985 0,0471 0,0249 0,0316
F-stat 6,913719
Prob(F-stat) 0,010346
0,596519
DW 1,716123
21 pendek juga signifikan secara statistik (nilai p-value < 0,05). Artinya, stabilitas keuangan di Indonesia selama 2000 hingga 2013 ditentukan dari kebijakan bilateral jangka pendek,yaitu dengan mengontrol aktivitas perdagangan, baik ekspor maupun impor dari dan menuju ke China dan AS. Keterbukaan ekonomi pada dasarnya mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri, tetapi di sisi lain, bila tidak didukung oleh lembaga keuangan yang sehat justru akan menyebabkan daya tawar penggunaan rupiah tidak stabil sehingga rupiah akan selalu tertekan oleh mata uang asing (dolar AS). Apabila pemerintah memutuskan untuk membuka kran impor besar-besaran, maka sesungguhnya pemerintah dan lembaga pemegang otoritas tertinggi keuangan nasional, yaitu Bank Indonesia, membiarkan harga komoditas dalam negeri naik sehingga permintaan terhadap uang rupiah sebagai alat transaksi perdagangan pun akan menurun. Pada kondisi ini nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dengan ukuran dolar AS akan terdepresiasi. Berdasarkan persamaan jangka pendek pula terlihat bahwa, semakin besar peranan Indonesia dalam menjalin perdagangan dengan China dan AS, maka kurs rupiah terhadap dolar AS akan semakin naik (rupiah terdepresiasi). Hal tersebut terlihat ketika keterbukaan ekonomi Indonesia naik sebesar 1 persen, maka kurs rupiah terhadap dolar AS akan terapresiasi sebesar 0,161509 poin.
Keterbukaan ekonomi Indonesia dengan China dan AS jangka pendek yang semakin meningkat akan memperlebar pada tingkat peran serta ketergantungan perdagangan Indonesia terhadap kedua negara tersebut. Depresiasi rupiah merupakan konsekuensi logis dari tarik-menarik aktivitas ekspor dan impor barang dan jasa, sehingga semakin tinggi keterbukaan ekonomi Indonesia, tanpa adanya kontrol berupa strategi dan pengambilan kebijakan yang tepat disertai dengan ketahanan lembaga keuangan, maka pada waktunya akan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah yang semakin fluktuatif.
Dari sisi investasi, Penanaman Modal Asing (PMA), terlihat bahwa peningkatan investasi asing di Indonesia menunjukkan iklim usaha yang kondusif. Hal tersebut terlihat dari hubungan PMA yang negatif terhadap kurs rupiah terhadap dolar AS. PMA yang notabene bukan termasuk kebijakan investasi institusi perbankan juga menunjukkan peranan bank sentral Indonesia (BI) dalam menetapkan kebijakan dalam hal suku bunga dalam negeri. Meskipun BI memberikan otoritas tersendiri pada bank-bank konvensional yang ada, namun penetapan suku bunga yang terkoreksi oleh kondisi perekonomian yang baik akan berdampak positif terhadap volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebab, penetapan suku bunga yang terkontrol dan terkoordinasi pada taraf yang sesuai dengan iklim investasi di Indonesia, secara otomatis akan menjadi daya tarik yang kuat bagi para investor asing untuk menanamkan sahamnya di Indonesia. Hal tersebut terbukti bahwa dengan kenaikan PMA dalam jangka pendek sebesar 1 juta dolar AS, maka berpotensi menekan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar AS sebesar 0,044741 poin. Kondisi ini memperlihatkan bahwa dalam penerapan rezim kurs, bank sentral (BI) telah memberikan jaminan PMA sehingga akan tingkat risiko berinvestasi di Indonesia lebih besar daripada investasi di negara selain Indonesia. Meskipun misalnya menggunakan rezim manage exchange, jaminan investasi tetap menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi. Dengan demikian, semakin tinggi PMA, tanpa adanya jaminan investasi yang relevan justru akan menyebabkan rupiah terapresiasi terhadap dolar AS.
22 penetapan bunga di saat kondisi politik sedang bergejolak atau tingkat keamanan nasional yang mengancam akan berdampak menimbulkan sentimen negatif bahkan stereotip kurang baik terhadap iklim investasi nasional. Pada hilirnya, yang terpengaruh adalah pengunaan rupiah sebagai instrumen pembayaran dan perdagangan. Ini akan mengakibatkan stabilitas keuangan akan terganggu dan menjadi lembaga keuangan sebagai mediasi keuangan antara sektor surplus dan sektor defisit kurang sehat.
Dari persamaan jangka pendek tersebut, terlihat nilai speed of adjustment (koefisien ̂− ) sebesar – 1,057578 dan signifikan secara statistik (nilai p-value < 0,05) menunjukkan bahwa kecepatan keseimbangan jangka pendek pengaruh tingkat keterbukaan ekonomi Indonesia terhadap China dan AS serta besarnya investasi dalam bentuk PMA terhadap stabilitas keuangan nasional yang terukur oleh besarnya kurs rupiah terhadap dolar AS untuk menuju keseimbangan jangka panjang adalah 1,057578. Artinya, untuk menjaga agar keuangan nasional tetap stabil, Bank sentral (BI) bersama dengan pemerintah dapat melakukan kebijakan dalam bidang perdagangan dan memberikan jaminan PMA yang didukung dan meninjau ulang kebijakan pada periode sebelumnya minimal selama 1,057578 tahun. Dilihat dari besarnya , tingkat keterbukaan ekonomi dan PMA dalam jangka pendek mampu menjelaskan proporsi keragaman kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar 59,6519 persen, sedangkan 40,3481 persennya dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam analisis jangka pendek. Dengan demikian stabilitas keuangan, neraca perdagangan serta iklim investasi akan secara bersama-sama mendongkrak kualitas pertumbuhan dan pembangunan perekonomian menuju kondisi steady state perekonomian jangka panjang.
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
a. Dari beberapa rezim kurs yang pernah berlaku di Indonesia, dengan penguatan lembaga perbankan serta kebijakan di bidang perdagangan dan investasi, rezim free floating exchange lebih relevan diimplementasikan di Indonesia. Meski dengan risiko terpengaruh adanya inflasi dan arus perdagangan serta investasi asing yang semakin besar, namun dengan kekuatan lembaga keuangan serta kebijakan yang tepat di bidang perdagangan dan investasi akan mampu menekan pengaruh tersebut.
b. Secara simultan, tingkat keterbukaan ekonomi dan besarnya investasi asing (PMA) di Indonesia terhadap stabilitas kurs rupiah terhadap dolar AS berpengaruh signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh kebijakan pemerintah didukung dengan kesehatan lembaga keuangan yang baik dalam mengatur arus perdagangan dan besarnya jaminan bagi investor asing di Indonesia serta dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap besarnya penawaran dan permintaan rupiah di pasar uang sehingga menentukan kurs rupiah terhadap dolar AS.
23 d. Kecepatan keseimbangan jangka pendek pengaruh kebijakan di bidang perdagangan dan PMA terhadap stabilitas keuangan di Indonesia untuk menuju stabilisasi keuangan jangka panjang adalah sebesar 1,058 tahun.
Dari kesimpulan tersebut, maka rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bank Indonesia sebagai bank sentral perlu mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional sebelum menetapkan kebijakan moneter, salah satunya dengan mempertahankan rezim free floating exchange dan mengeluarkan kebijakan wajib menggunakan rupiah dalam perdagangan domestik dengan terlebih dahulu mengamati kualitas pertumbuhan ekonomi nasional, bukan kuantitasnya.
b. Menguatkan payung hukum dan penerapan pemakaian uang rupiah sebagai instrumen transaksi perdagangan domestik sehingga pada waktunya dapat mengontrol nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap dolar AS agar tetap stabil.
c. Bank Indonesia hendaknya memperbesar dan memperluas jaminan terhadap investasi asing di Indonesia sehingga sentimen negatif terhadap risiko investasi mengecil dan akan meningkatkan daya tarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, misalnya kebijakan sistem bunga yang fleksibel.
d. Pemerintah hendaknya melakukan pengetatan terhadap kran ekspor dan impor, misalnya dengan perbaikan sistem check and balance volume ekspor-impor serta menguatkan regulasinya. Dengan kondisi neraca perdagangan Indonesia yang cenderung defisit, diperlukan adanya pengawasan yang ketat terhadap komoditas yang keluar dan masuk Indonesia agar daya saing perdagangan Indonesia tetap stabil sehingga pada waktunya akan menyeimbangkan stabilitas permintaan dan penawaran rupiah terhadap dolar AS. e. Diperlukan kebijakan di bidang perdagangan (ekspor-impor) serta investasi asing yang
konkret jangka pendek dan diimplementasikan setidaknya selama 1,057578 tahun dengan memperhatikan kondisi perekonomian nasional untuk menuju stabilitas keuangan nasional dalam jangka panjang.
VII. Daftar Referensi
Aini, Resi Q. 2010. “Review Rezim Keuangan Internasional” dalam Gueltom, Miranda S.,
Indonesia Under The Free Floating Exchange Rate System, Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience. Hal 12.
Ariyanti, Fiki. Desember 16, 2014. Rupiah Merosot, Pemerintah Tak Khawatir Seperti Krismon 1998. www.bisnis.liputan6.com
Atmadja, Adwin S. 2001. Free Floating Excha nge Rate System dan Penerapannya pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara yang Berperekonomian Kecil dan Terbuka. Jurnal Ekonomi Akuntansi. Hal.1, 8-29.
Daniel, Wahyu. Juni 15, 2015. US$1 = 35.000 Triliun Dolar Zimbabwe. www.finance.detik.com
Desember 21, 1998. Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi. Krisis Ekonomi 1998, Tragedi Tak Terlupakan. www.seasite.niu.edu
Firmansyah, M. 2015. Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Tingkat Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Return Saham (Studi Kasus pada PT. Semen Indonesia, Tbk. Periode 2005 – 2014). Malang: Universitas Brawijaya.
Grant, T.G. dan Lebo, Mattew J. 2015. Error Correction Methods with Political Time Series. Hal.1, 8-39.
24 Istiqomah. 2011. Pengaruh Inflasi dan Investasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah di Indonesia.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Juni 12, 2015. Zimbabwe bekukan mata uang lokal, pakai dollar AS. www.bbc.com Mankiw, N. Gregory. 2005. Macroeconomics. New York: Worth Publishers. Hal. 79-150. Praditya, Agung. 2012. Analisis Pengaruh Capital Inflow terhadap Nilai Tukar Rupiah.
Bogor: IPB.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. www.bi.go.id