• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan dan Iklim Komunikasi (Studi Deskriptif Kuantitatif tentang Peranan Pemimpin terhadap Iklim Komunikasi di KOMPAS-USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepemimpinan dan Iklim Komunikasi (Studi Deskriptif Kuantitatif tentang Peranan Pemimpin terhadap Iklim Komunikasi di KOMPAS-USU)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Komunikasi Organisasi

Dalam organisasi, komunikasi menjadi sarana untuk mengarahkan dan mengendalikan setiap kegiatan, komunikasi juga menjadi sarana untuk memahami tujuan organisasi dan mempengaruhi orang-orang untuk meyakini bahwa tujuan organisasi di masa depan merupakan hal yang berharga untuk diperjuangkan. Bagi seorang pemimpin keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi, karena merupakan hal yang mutlak untuk dikuasai secara baik. Seorang pemimpin harus mampu mengkomunikasikan visi dan misinya dengan baik kepada bawahannya, melalui perkataan maupun pesan-pesan simbolik yang muncul dari setiap perilakunya, penampilannya, dan ekspresi pribadinya.

Pemimpin tidak saja dituntut untuk mampu berbicara secara efektif, tetapi juga harus mampu menjadi pendengar yang efektif. Melalui berbagai sumber, baik internal maupun eksternal, pemimpin berusaha mendengarkan dengan empati, mencoba untuk memahami kebutuhan orang lain dari informasi yang tidak dikatakannya, dan menyadari makna-makna yang tersembunyi di dalam proses komunikasi yang dimunculkan orang lain.

Menurut Goldhaber, komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Defenisi ini mengandung tujuh konsep kunci, yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian. Masing-masing dari konsep kunci ini akan dijelaskan satu per satu secara ringkas.

a. Proses

Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan dan saling menukar pesan diantara anggotanya. Karena gejala menciptakan dan menukar informasi ini berjalan terus-menerus dan tidak ada henti-hentinya maka dikatakan sebagai suatu proses. b. Pesan

(2)

komunikasi organisasi kita mempelajari ciptaan dan pertukaran pesan dalam seluruh organisasi.

c. Jaringan

Organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya menduduki posisi atau peranan tertentu dalam organisasi. Ciptaan dan pertukaran pesan dari orang-orang ini sesamanya terjadi melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi. Hakikat dan luas jaringan ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain, hubungan peranan, arah dan arus pesan, hakikat seri dari arus pesan, dan isi dari pesan.

d. Keadaan saling tergantung

Konsep kunci komunikasi organisasi yang keempat adalah keadaan saling tergantung satu bagian dengan bagian lainnya. Hal ini telah menjadi sifat dari suatu organisasi yang merupakan suatu sistem terbuka. Bila suatu bagian dari organisasi mengalami gangguan maka akan berpengaruh kepada bagian lainnya dan mungkin juga kepada seluruh sistem organisasi. Begitu juga halnya dengan jaringan komunikasi. Implikasinya, bila pimpinan membuat suatu keputusan dia harus memperhitungkan implikasi keputusan itu terhadap organisasinya secara menyeluruh.

e. Hubungan

Karena organisasi merupakan suatu sistem terbuka, sistem kehidupan sosial maka untuk berfungsinya bagian-bagian itu terletak pada tangan manusia. Dengan kata-kata lain, jaringan melalui mana jalannya pesan dalam suatu organisasi dihubungkan oleh manusia. Oleh karena itu, hubungan manusia dalam organisasi yang memfokuskan kepada tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat dalam suatu hubungan perlu dipelajari.

f. Lingkungan

Lingkungan adalah semua totalitas secara fisik dan faktor sosial yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem. Komunikasi organisasi terutama berkenaan dengan transaksi yang terjadi dalam lingkungan internal organisasi yang terdiri dari organisasi dan kulturnya, dan antara organisasi itu dengan lingkungan eksternalnya.

g. Ketidakpastian

Ketidakpastian adalah perbedaan informasi yang tersedia dengan informasi yang diharapkan. Untuk mengurangi faktor ketidakpastian ini organisasi menciptakan dan menukar pesan di antara anggota, melakukan suatu penelitian, pengembangan organisasi, dan menghadapi tugas-tugas yang kompleks dengan integrasi yang tinggi (dalam Muhammad, 2009: 67).

2.1.2. Unsur-Unsur Organisasi

(3)

1. Anggota Organisasi

Di pusat organisasi terdapat orang-orang yang melaksanakan pekerjaan organisasi. Orang-orang yang membentuk organisasi terlibat dalam beberapa kegiatan primer. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemikiran, perasaan, self moving (kegiatan fisik) dan elektrokimia (misal : kegiatan jantung).

2. Pekerjaan dalam Organisasi

Pekerjaan yang dilakukan anggota organisasi terdiri dari tugas-tugas formal dan informal. Tugas-tugas ini menghasilkan produk dan memberikan pelayanan organisasi. Pekerjaan ini ditandai oleh tiga dimensi universal : isi (bahan,alat), keperluan (pengetahuan) dan konteks (kebu-tuhan fisik, lokasi).

3. Praktik-praktik Pengelolaan

Tujuan primer pegawai manajerial adalah menyelesaikan pekerjaan melalui usaha orang lainnya. Manajer membuat keputusan mengenai bagaimana orang-orang lainnya, biasanya bawahan mereka, menggunakan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Sebagian manajer membawahi manajer-manajer lainnya. Kegiatan seorang manajer telah dijelaskan dalam berbagai cara. Pertama, telah dicapai beberapa konsensus di sekitar gagasan bahwa para manajer melaksanakan lima fungsi utama : perencanaan, pengorganisasian, penyusunan kepegawaian, pengarahan, dan pengendalian. Kedua, beberapa bukti menyatakan bahwa manajer melaksanakan sekitar sepuluh peranan dasar yang terbagi menjadi tiga kelompok dasar :

a. Peranan antarpersona (pemimpin figur, pemimpin, penghubung)

b. Peranan yang berhubungan dengan informasi (pengawas, penyuluh, juru bicara)

c. Peranan yang memerlukan ketegasan (wiraswasta, menangani gangguan, mengalokasikan sumber daya dan melakukan perundingan). 4. Struktur Organisasi

Struktur organisasi merujuk kepada hubungan-hubungan antara “tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggota-anggota organisasi”. Struktur organisasi ditentukan oleh tiga variabel kunci: kompleksitas (diferensiasi horizontal, diferensiasi vertikal dan diferensiasi spasial), formalisasi (standarisasi dan tugas-tugas), dan sentralisasi (derajat keterkosentrasian pembuatan keputusan pada satu jabatan dalam organisasi).

5. Pedoman Organisasi

(4)

Persepsi atas kondisi-kondisi kerja, kepenyeliaan, upah, kenaikan pangkat, hubungan dengan rekan-rekan, hukum-hukum dan peraturan organisasi, praktik-praktik pengambilan keputusan, sumber daya yang tersedia, dan cara-cara memotivasi anggota organisasi semuanya membentuk suatu badan informasi yang membangun iklim komunikasi organisasi. Unsur-unsur organisasi tidak secara langsung menciptakan iklim komunikasi organisasi. Misalnya, sebuah organisasi mungkin mempunyai sejumlah hukum dan peraturan, tetapi pengaruhnya terhadap iklim komunikasi organisasi bergantung pada persepsi anggota organisasi mengenai (1) nilai hukum dan peraturan tersebut; yaitu, apakah hukum dan peraturan harus terus diterima dan ditaati ataukah beberapa hukum dan peraturan harus diabaikan? Dan (2) kegiatan-kegiatan yang dikenai hukum dan peraturan tersebut: peraturan mengenai penggunaan telepon dapat menghambat sedangkan peraturan mengenai kapan pekerjaan dimulai akan melancarkan organisasi (Pace dan Faules, 2005 : 153).

2.1.3. Fungsi Komunikasi dalam Organisasi

Secara umum, komunikasi memiliki fungsi dalam kehidupan manusia, antara lain menginformasikan, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Dalam organisasi, komunikasi juga memiliki fungsi yang dapat membantu organisasi dalam mencapai tujuannya.

(5)

terakhir yang dilakukan oleh komunikasi berhubungan dengan perannya dalam mempermuda pengambilan-keputusan. Komunikasi memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenali dan menilai pilihan-pilihan alternatif (Sunarto, 2004 : 192).

(6)

pertemuan-pertemuan pemecahan masalah, pembuatan rencana dan pada waktu rapat-rapat dengan anggota organisasi (Muhammad, 2009 : 99).

(7)

jawab saya tidak marah. Hal ini adalah pesan yang bertentangan. Biasanya dalam situasi tersebut, orang akan lebih cenderung menafsirkan pesan itu dari tingkah laku nonverbal (Muhammad, 2009 : 132).

2.1.4. Iklim Komunikasi Organisasi

2.1.4.1. Pengertian Iklim Komunikasi Organisasi

Iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atau unsur-unsur dan pengaruh unsur tersebut terhadap komunikasi. Pengaruh ini didefenisikan, disepakati, dikembangkan dan dikokohkan secara berkesinambungan melalui interaksi dengan anggota organisasi lainnya. Pengaruh ini menghasilkan pedoman bagi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan individu dan mempengaruhi pesan-pesan mengenai organisasi (Purba, Amir, dkk, 2010 : 121).

Iklim komunikasi, di pihak lain, merupakan gabungan dari persepsi-persepsi –suatu evaluasi-makro – mengenai peristiwa komunikasi, perilaku manusia, respons pegawai terhadap pegawai lainnya, harapan-harapan, konflik-konflik antarpersona, dan kesempatan bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi berbeda dengan iklim organisasi dalam arti iklim komunikasi meliputi persepsi-persepsi mengenai pesan dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan yang terjadi dalam organisasi (Pace dan Faules, 2005:147).

Iklim bukanlah sifat seorang individu, tetapi sifat yang dibentuk, dimiliki bersama, dan dipelihara oleh para anggota organisasi. Iklim suatu organisasi diungkapkan melalui isi pesan dan bentuk-bentuk simbolik yang dipergunakan dalam interaksi. Sikap-sikap kolektif diungkapkan dalam perbendaharaan kata, kiasan-kiasan, kisah-kisah, dan laporan-laporan (Pace dan Faules, 2005:166).

2.1.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Iklim Komunikasi

Pokok persoalan utama dari iklim komunikasi adalah hal-hal berikut : 1. Persepsi mengenai sumber komunikasi dan hubungannya dalam

organisasi.

a. Apakah anggota organisasi merasa puas dengan atasan, teman bekerjasama dan bawahan sebagai sumber informasi.

b. Berapa pentingnya sumber-sumber itu.

(8)

d. Apakah sumber-sumber terbuka terhadap komunikasi.

2. Persepsi mengenai tersedianya informasi bagi anggota organisasi. a. Apakah jumlah informasi yang diterima cocok atau tepat

dengan topik-topik yang penting dari sumber informasi. b. Apakah informasi itu berguna.

c. Apakah balikan informasi dikirimkan kepada sumber yang tepat.

3. Persepsi mengenai organisasi itu sendiri.

a. Berapa banyaknya anggota yang terlibat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.

b. Apakah tujuan dan objektif dipahami. c. Apakah orang diberi sokongan dan dihargai.

d. Apakah sistem terbuka terhadap input dari anggotanya (Muhammad, 2009: 86-87 ).

Berdasarkan penelitian Pace dan Peterson dengan menggunakan Inventaris Iklim Komunikasi (IIK), menunjukkan bahwa paling sedikit ada enam faktor besar yang mempengaruhi iklim komunikasi organisasi. Keenam faktor tersebut dibahas secara singkat sebagai berikut:

a. Kepercayaan

Personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas didukung oleh pernyataan dan tindakan.

b. Pembuatan keputusan bersama

Para pegawai (anggota) di semua tingkat dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai di semua tingkat harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penetuan tujuan.

c. Kejujuran

Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan”apa yang ada dalam pikiran mereka” tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat, bawahan, atau atasan.

d. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah

(9)

e. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas

Personel di setiap tingkat organisasi harus mendengarkan saran-saran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan personel di setiap tingkat bawahan dalam organisasi, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan.

f. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi

Personel di semua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah-demikian pula menunjukkan perhatian besar pada anggota organisasi lainnya (Pace dan Faules, 2005: 159-160).

2.1.5. Jaringan Komunikasi

Pesan-pesan verbal maupun nonverbal dalam organisasi berjalan melalui aliran komunikasi yang disebut jaringan komunikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi hakikat dan luasnya jaringan komunikasi, di antaranya hubungan dalam organisasi, arah dari arus pesan, hakikat seri dari arus pesan, dan isi dari pesan. Secara umum, jaringan komunikasi terbagi dua yaitu, jaringan komunikasi formal dan informal.

2.1.5.1. Jaringan Komunikasi Formal

Jaringan komunikasi formal adalah pesan mengalir melalui jalan resmi yang ditentukan oleh hirarki resmi organisasi atau oleh fungsi pekerjaan. Ada tiga bentuk utama dari arus pesan dalam jaringan komunikasi formal yang mengikuti garis komunikasi seperti yang digambarkan dalam struktur organisasi yaitu :

1. Downward communication (Komunikasi kepada bawahan)

Komunikasi ke bawah menunjukkan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pimpinan kepada bawahannya. Kebanyakan komunikasi ke bawah digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkenaan dengan tugas-tugas dan pemeliharaan.

a. Tipe Komunikasi ke Bawah

Secara umum komunikasi ke bawah dapat diklasifikasikan atas lima tipe yaitu :

1) Instruksi Tugas

(10)

perintah langsung, deskripsi tugas, prosedur manual, program latihan tertentu, alat-alat bantu melihat dan mendengar yang berisi pesan-pesan tugas dan sebagainya. Instruksi tugas yang tepat dan langsung cenderung dihubungkan dengan tugas yang sederhana yang hanya menghendaki keterampilan dan pengalaman yang minimal. Instruksi yang lebih umum biasanya digunakan bagi tugas-tugas yang kompleks, dimana karyawan diharapkan memperguanakan pertimbangannya, keterampilan dan pengalamannya.

2) Rasional

Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana kaitan aktivitas itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objektif organisasi. Kualitas dan kuantitas dari komunikasi rasional ditentukan oleh filosofi dan asumsi pimpinan mengenai bawahannya. Bila pimpinan menganggap bawahannya pemalas, atau hanya mau bekerja bila dipaksa maka pimpinan memberikan pesan yang rasional ini sedikit. Tetapi bila pimpinan menganggap bawahannya orang yang dapat memotivasi diri sendiri dan produktif, maka biasanya diberikan pesan rasional yang banyak.

3) Ideologi

Pesan mengenai ideologi ini adalah perluasan dari pesan rasional. Pada pesan rasional penekanannya ada pada penjelasan tugas dan kaitannya dengan perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan ideologi sebaliknya mencari sokongan dan antusias dari anggota organisasi guna memperkuat loyalitas, moral dan motivasi.

4) Informasi

Pesan informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan dengan praktik-praktik organisasi, peraturan-peraturan organisasi, keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak berhubungan dengan instruksi dan rasional. Misalnya buku handbook dari karyawan adalah contoh dari pesan informasi.

5) Balikan

(11)

b. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi ke Bawah

Menurut Liliweri, masalah yang dihadapi dalam komunikasi ke bawah adalah sebagai berikut.

1. Kekurangsadaran, beberapa manajer tidak tahu persis tentang tipe komunikasi atas-bawah itu lalu memberikan instruksi secara alamiah saja, banyak fungsi tidak dijelaskan dengan rinci, umpan balik yang tidak dikehendaki terjadi namun acapkali didiamkan saja.

2. Pesan yang tidak lengkap dan tidak jelas.

3. Kelebihan pesan sehingga membuat orang bingung.

4. Transmisi serial, pesan melewati banyak bagian yang tidak memiliki persepsi yang sama terhadap pesan (Liliweri, 2004 : 86).

Arus komunikasi dari atasan kepada bawahan tidaklah selalu berjalan lancar, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain sebagai berikut.

1) Keterbukaan

Kurangnya sifat terbuka di antara pimpinan dan karyawan akan menyebabkan pemblokan atau tidak mau menyampaikan pesan dan gangguan dalam pesan. Umumnya para pimpinan tidak begitu memperhatikan arus komunikasi ke bawah. Pimpinan mau memberikan informasi ke bawah bila mereka merasa bahwa pesan itu penting bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas pesan tersebut tetap dipegangnya. Misalnya seorang pimpinan akan mengirimkan pesan untuk memotivasi karyawan guna penyempurnaan produksi, tetapi tidak mau mendiskusikan kebijaksanaan baru dalam mengatasi masalah-masalah organisasi.

2) Kepercayaan pada pesan tulisan

Kebanyakan para pimpinan lebih percaya pada pesan tulisan dan metode difusi yang menggunakan alat-alat elektronik daripada pesan yang disampaikan secara lisan dengan tatap muka. Komunikasi tatap muka lebih disenangi oleh karyawan daripada media cetak. Meskipun hasil penelitian memperlihatkan hasil yang agak bertentangan dengan kepercayaan pimpinan tersebut namun kepercayaan tersebut masih ada.

3) Pesan yang berlebihan

(12)

pesan-pesan tertentu yang dianggap penting bagi dirinya dan yang lain dibiarkan saja tidak dibaca.

4) Timing

Ketepatan waktu pengiriman pesan mempengaruhi komunikasi ke bawah. Pimpinan hendaklah mempertimbangkan saat yang tepat bagi pengiriman pesan dan dampak yang potensial kepada tingkah laku karyawan. Pesan seharusnya dikirimkan ke bawah pada saat saling menguntungkan kepada kedua belah pihak yaitu pimpinan dan karyawan. Tetapi bila pesan yang dikirimkan tersebut tidak pada saat dibutuhkan oleh karyawan maka mungkin akan mempengaruhi kepada efektivitasnya. 5) Penyaringan

Pesan-pesan yang dikirimkan kepada bawahan tidaklah semuanya diterima mereka. Tetapi mereka saring mana yang mereka perlukan. Penyaringan pesan ini dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor di antaranya perbedaan persepsi di antara karyawan, jumlah mata rantai dalam jaringan komunikasi dan perasaan kurang percaya kepada supervisor. Karyawan yang kurang percaya kepada supervisor mungkin memblok pesan supervisor (Muhammad, 2009 : 110).

2. Upward Communication (Komunikasi ke Atasan)

Komunikasi ke atas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Tujuan dari komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan. Komunikasi ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dan sikap karyawan, tipe pesan ini adalah integrasi dan pembaruan.

Komunikasi ke atas merupakan sumber informasi yang penting dalam membuat keputusan, karena dengan adanya komunikasi ini pimpinan dapat mengetahui bagaimana pendapat bawahan mengenai atasan, mengenai pekerjaan mereka, mengenai teman-temannya yang sama bekerja dan mengenai organisasi (Muhammad, 2009 : 120).

a. Jenis Informasi Komunikasi ke Atas

Rue dan Byars(1980), telah mengidentifikasi jenis informasi yang sering mengalir melalui saluran-saluran komunikasi ke atas, antara lain :

(13)

2. Informasi tentang problem pekerjaan yang memerlukan bantuan dari tingkatan lebih atas dalam organisasi.

3. Ide-ide untuk perbaikan dalam aktivitas dan fungsi yang berhubungan dengan pekerjaan.

4. Informasi mengenai perasaan para bawahan tentang pekerjaan atau isu yang berhubungan dengan pekerjaan (dalam Muchlas, 2005 : 278).

Kebanyakan dari hasil-hasil analisis penelitian mengenai komunikasi ke atas mengatakan bahwa supervisor dan pimpinan haruslah mendapatkan informasi dari bawahannya mengenai hal-hal berikut :

1. Kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan. Artinya, apa yang sedang terjadi di pekerjakan, seberapa jauh pencapaiannya, apa yang masih harus dilakukan, dan masalah lain yang serupa. 2. Masalah yang berkaitan dengan pekerjaan dan pertanyaan yang

belum terjawab.

3. Berbagai gagasan untuk perubahan dan saran-saran perbaikan. 4. Perasaan yang berkaitan dengan pekerjaan mengenai

organisasi, pekerjaan itu sendiri, pekerjaan lainnya, dan masalah lain yang serupa (dalam Masmuh, 2010 : 67).

b. Fungsi Komunikasi ke Atas

Komunikasi ke atas mempunyai beberapa fungsi atau nilai tertentu. Menurut Pace, fungsinya adalah sebagai berikut :

1) Dengan adanya komunikasi ke atas supervisor dapat mengetahui kapan bawahannya siap untuk diberi informasi dari mereka dan bagaimana baiknya mereka menerima apa yang disampaikan karyawan.

2) Arus komunikasi ke atas memberikan informasi yang berharga bagi pembuatan keputusan.

3) Komunikasi ke atas memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dengan jalan memberikan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan, mengajukan ide-ide dan saran-saran tentang jalannya organisasi.

4) Komunikasi ke atas membolehkan, bahkan mendorong desas-desus muncul dan membiarkan supervisor mengetahuinya. 5) Komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan

apakah bawahan menangkap arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi yang ke bawah.

(14)

c. Cara Memperbaiki Efektivitas Komunikasi ke Atas

Fungsi komunikasi ke atas menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dari bawahan ke atasan. Kenyataannya, cara ini tidak selalu bekerja dengan baik dalam praktiknya. Beberapa kemungkinan cara untuk lebih mengefektifkan komunikasi bawahan ke atasan, antara lain :

1) Prosedur penyampaian keluhan. Pada berbagai perjanjian tawar-menawar secara kolektif, prosedur menyampaikan keluhan ini memungkinkan para karyawan membuat petisi ke atas melampaui atasan langsungnya. Hal ini dapat melindungi mereka dari tindakan kompromi dengan atasan langsungnya dan memberikan keberanian kepada mereka untuk mengomunikasikan keluhan-keluhannya.

2) Kebijaksanaan pintu terbuka. Secara harafiah, kebijaksanaan pintu terbuka bisa diartikan bahwa pintu atasan selalu terbuka untuk para bawahan atau sebagai undangan yang berkelanjutan buat para bawahan untuk datang dan membicarakan problem apapun yang menyusahkan mereka. Yang diharapkan bawahan tentunya keterbukaan dalam tindakan karena tindakan nyata lebih dihargai daripada kata-kata.

3) Konseling. Konseling ialah kuesioner tentang sikap dan interview mengenai alasan keluar dari pekerjaan.

4) Teknik-teknik partisipatif. Teknik-teknik pengambilan keputusan secara partisipatif dapat menghasilkan jumlah komunikasi yang banyak. Hal ini mungkin bisa terjadi melalui keterlibatan informal para bawahan atau melalui program-program partisipasi formal seperti penggunaan tim junior, komite manajemen dari serikat karyawan, kotak saran, dan quality circle. Penelitian menunjukkan bahwa para partisipan dalam jaringan komunikasi pada umumnya merasa lebih puas dengan pekerjaannya, lebih berkomitmen pada perusahaannya, dan lebih berprestasi kerja daripada mereka yang tidak dilibatkan dalam proses komunikasi.

(15)

3. Horizontal Communication (Komunikasi Horizontal)

Komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan di antara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di dalam organisasi. Pesan yang mengalir menurut fungsi dalam organisasi diarahkan secara horizontal. Pesan ini biasanya berhubungan dengan tugas-tugas atau tujuan kemanusiaan, seperti koordinasi, pemecahan masalah, penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi. Komunikasi horizontal mempunyai tujuan tertentu diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengkoordinasikan penugasan kerja. Para anggota bagian pelatihan dan pengembangan memiliki kegiatan pelatihan utama untuk mengatur dan menyampaikan. Mereka harus saling bertemu untuk mengkoordinasikan pembagian tugas.

b. Berbagi informasi mengenai rencana dan kegiatan. Bila gagasan dari beberapa orang menjanjikan hasil yang lebih baik daripada gagasan satu orang, komunikasi horizontal menjadi amat penting. Dalam menciptakan rancangan suatu program pelatihan atau kampanye hubungan masyarakat, anggota-anggota suatu bagian mungkin perlu berbagi informasi mengenairencana-rencana mereka dan apa yang akan mereka kerjakan.

c. Untuk memecahkan masalah. Baru-baru ini tiga mahasiswa di tempat terpencil ditugaskan di sebuah lokasi umum yang sama. Mereka bertemu untuk mengurangi jumlah perjalanan yang tidak perlu dan berbagi tumpangan kendaraan. Mereka mampu mengurangi biaya dan bekerja bersama untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi dengan kesulitan yang lebih sedikit.

d. Untuk memperoleh pemahaman bersama. Bila diusulkan perubahan-perubahan sebagai persyaratan untuk suatu bidang studi utama akademik, dosen-dosen harus bekerja bersama-sama untuk menghasilkan suatu pemahaman bersama mengenai perubahan apa yang harus dibuat. Pertemuan dan pembicaraan di antara dosen-dosen yang tingkat organisasinya sama dan di jurusan yang sama, amat penting untuk mencapai pemahaman bersama.

e. Untuk mendamaikan, berunding, dan menengahi perbedaan. Individu-individu sering mengembangkan pilihan dan prioritas yang akhirnya menimbulkan ketidaksepakatan. Bila hal ini terjadi, komunikasi horizontal prioritas dapat disesuaikan dan konflik diselesaikan.

(16)

yang sering berinteraksi, tampaknya lebih sedikit mengalami kesulitan dalam memahami satu sama lainnya. Interaksi antasejawat menghasilkan dukungan emosional dan psikologis (Masmuh, 2010 : 68).

2.1.5.2. Jaringan Komunikasi Informal

Jaringan komunikasi informal adalah bila karyawan berkomunikasi dengan yang lainnya tanpa memperhatikan posisi mereka dalam organisasi, sehingga pengarahan arus informasi bersifat pribadi. Informasi ini mengalir ke atas, ke bawah atau horizontal tanpa memperhatikan hubungan posisi, kalaupun ada mungkin sedikit. Jaringan komunikasi ini lebih dikenal dengan desas-desus (grapevine) atau kabar angin. Komunikasi informal cenderung berisi laporan rahasia mengenai orang-orang dan kejadian-kejadian yang tidak mengalir secara resmi. Informasi yang diperoleh dari desas-desus adalah yang berkenaan dengan apa yang didengar atau apa yang dikatakan orang dan bukan apa yang diumumkan oleh yang berkuasa (Muhammad, 2009 : 124).

Menurut Masmuh, untuk memperjelas pemahaman tentang komunikasi selentingan (grapevine) beberapa sifat selentingan adalah sebagai berikut.

a. Selentingan berjalan terutama melalui interaksi mulut ke mulut. b. Selentingan umumnya bebas dari kendala-kendala organisasi

dan posisi.

c. Selentingan menyebarkan informasi dengan cepat.

d. Jaringan kerja selentingan digambarkan sebagai suatu “rantai kelompok” karena setiap orang menyampaikan selentingan cenderung mengabarkannya kepada kelompok orang daripada hanya kepada satu orang saja.

e. Para peserta dalam jaringan kerja selentingan cenderung menjalankan satu dari tiga peranan berikut : penghubung, penyendiri atau pengakhir (dead-enders) – mereka yang biasanya tidak melanjutkan informasi.

f. Selentingan cenderung lebih merupakan produk suatu situasi daripada produk orang-orang dalam organisasi tersebut.

g. Semakin cepat seseorang mengetahui suatu peristiwa yang baru saja terjadi, semakin besar kemungkinan ia menceritakannya kepada orang lain.

(17)

i. Aliran utama informasi dalam selentingan cenderung terjadi dalam kelompok-kelompok fungsional daripada antara kelompok-kelompok tersebut.

j. Umumnya 75% - 90% dari rincian pesan yang disampaikan oleh selentingan adalah cermat; namun, seperti dikemukakan Keith Davis “ Orang-orang cenderung beranggapan bahwa selentingan kurang cermat daripada yang sebenarnya, karena kesalahan-kesalahannya lebih dramatik dan akibatnya lebih berkesan dalam ingatan daripada kecermatan rutin sehari-harinya. Selanjutnya, bagian-bagian yang tidak cermat seringkali lebih penting.

k. Informasi selentingan biasanya tidak lengkap, menghasilkan kesalahan interpretasi bahkan bila rinciannya cermat.

l. Selentingan cenderung mempengaruhi organisasi, apakah untuk kebaikan atau keburukan; jadi pemahaman mengenai selentingan dan bagaimana selentingan ini dapat memberi andil positif kepada organisasi merupakan hal yang penting (Masmuh, 2010 : 71).

Walaupun grapevine itu membawa informasi yang informal tetapi ada manfaatnya bagi organisasi. Grapevine memberikan balikan kepada pimpinan mengenai sentimen karyawan. Dengan adanya jaringan komunikasi informal, karyawan dapat menyalurkan ekspresi emosional dari pesan-pesan yang dapat mempercepat permusuhan dan rasa marah bila ditekan. Grapevine dapat membantu menerjemahkan pengarahan pimpinan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh karyawan. Efek dari grapevine yang negatif dapat dikontrol oleh pimpinan, dengan menjaga jaringan komunikasi formal yang bersifat terbuka, jujur, teliti dan sensitif terhadap komunikasi ke atas, ke bawah dan mendatar. Hubungan yang efektif antara atasan dan bawahan kelihatannya sangat krusial untuk mengontrol informasi informal (Muhammad, 2009 : 126).

2.1.6. Kepemimpinan

2.1.6.1. Pengertian Kepemimpinan

(18)

kepemimpinan, yaitu : pemimpin, kemampuan menggerakkan, pengikut, tujuan yang baik, dan organisasi (Iansufiie, 2010 : 3). Pemimpin berarti adanya seseorang yang berfungsi memimpin, pengikut yaitu adanya orang lain yang dipimpin, kemampuan menggerakkan yaitu adanya kegiatan menggerakkan orang lain yang dilakukan dengan mempengaruhi dan mengarahkan perasaan, pikiran, daan tingkah lakunya, tujuan yang baik yaitu adanya tujuan yang hendak dicapai, baik yang dirumuskan secara sistematis maupun bersifat seketika, organisasi yaitu berlangsung berupa proses di dalam kelompok/organisasi, baik besar dengan banyak maupun kecil dengan sedikit orang-orang yang dipimpin (Nawawi, 2004 : 15). Secara sederhana, kepemimpinan adalah proses seorang yang mampu menggerakkan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi yang baik.

Defenisi kepemimpinan secara luas meliputi proses memengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Kepemimpinan terkadang dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan memengaruhi orang. Kepemimpinan sebagai sebuah alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia melakukan sesuatu secara sukarela/sukacita. Ada beberapa faktor yang dapat menggerakkan orang yaitu karena ancaman, penghargaan, otoritas, dan bujukan (Rivai dan Mulyadi, 2012:2). Sementara, menurut Robbins dan Coulter, kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya tujuan-tujuan (dalam Ardana, dkk, 2008:89). Kepemimpinan, di sisi lain memiliki tujuan membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan, dan meningkatkan motivasi mereka.

2.1.6.2. Pengertian Pemimpin

(19)

arti orang yang melakukan pekerjaan. Pimpin berarti membimbing, mengarahkan, mempengaruhi. Dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang melakukan pekerjaan membimbing, mengarahkan, mempengaruhi.

Pemimpin adalah seseorang yang mampu menggerakkan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi. Kata pemimpin sendiri di dalam bahasa Indonesia memiliki banyak arti, misalnya pimpinan, ketua, atau komandan. Namun, dalam arti yang lebih dalam, pemimpin yang dimaksudkan di dalam ‘leadership’ harus diartikan sebagai seseorang yang memimpin sebuah organisasi atau institusi dan terlibat di dalamnya (Iensufiie, 2010 : 2). Menurut John Gage Alee, “ Leader... a

guide; a conductor; a commander”. Dengan kata-kata lain, pemimpin adalah

pemandu, penunjuk, penuntun, komandan (dalam Kartono, 2010:39).

Jadi, pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respons yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi (Liliweri, 2004: 327).

2.1.6.3. Karakteristik Pemimpin

Pemimpin sebagai orang yang dapat mempengaruhi orang lain dan dapat membantu orang lain untuk memperoleh hasil yang diinginkan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan orang lain yang bukan pemimpin. Karakteristik-karakteristik tersebut membuat pemimpin menjadi istimewa.

Secara umum, seorang pemimpin yang baik harus memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Tanggung jawab yang seimbang

Keseimbangan dimaksudkan di sini adalah antara tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang yang harus melaksanakan pekerjaan tersebut. Jika tidak seimbang, maka proses pendelegasian tanggung jawab tidak akan berjalan lancar.

2. Model peranan yang positif

(20)

oleh para pengikutnya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh pemimpin harus positif.

3. Memiliki keterampilan komunikasi yang baik

Hal yang penting bagi seorang pemimpin adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan berbagai ide, pemikiran, instruksi, dan langkah-langkah strategis kepada para pengikutnya. Dalam hal ini juga, seorang pemimpin dituntut untuk menyampaikannya secara lugas, tegas, dan jelas. Pemimpin haruslah berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti, dalam hal ini bahasa merupakan salah satu simbol kultural yang berfungsi memberikan orientasi, komunikasi, dan pengendalian diri kepada manusia.

4. Memiliki pengaruh positif

Pengaruh adalah seni menggunakan kekuasaan untuk menggerakkan atau mengubah pandangan orang lain ke arah suatu tujuan atau sudut pandang tertentu. Dalam hal ini, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memengaruhi para pengikutnya untuk melakukan sesuai dengan yang diharapkan oleh pemimpin. Bagi pemimpin sendiri, pengaruh yang telah diperolehnya seharusnya digunakan untuk hal-hal yang positif sehingga dapat menguntungkan atau dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

5. Mempunyai kemampuan untuk meyakinkan orang lain

Faktor komunikasi dan pengaruh menjadi sangat penting, tanpa komunikasi dan pengaruh yang baik, pemimpin tidak akan mampu meyakinkan para pengikutnya untuk melaksanakan tanggung jawabnya secara total dalam menyukseskan agenda-agenda organisasi.

6. Mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat

Banyak orang yang mampu mengambil keputusan, akan tetapi banyak orang yang mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

7. Memiliki mental pejuang

Mewujudkan tujuan-tujuan organisasi tentu membutuhkan perjuangan yang tidak sedikit. Seorang pemimpin tidak boleh menyerah dengan keadaan. Ia harus memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu dan memiliki jalan keluar untuk menyukseskan organisasinya, dan ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang bermental pejuang.

8. Penuh inisiatif dan kreatif

Salah satu letak keunggulan seorang pemimpin adalah pada inisiatif dan kreativitas dalam bekerja. Dalam posisi sesulit apapun, inisiatif dan kreativitas pemimpin tetap mengalir dan itulah yang menjadikan dirinya dibutuhan oleh para pengikutnya. 9. Semangat untuk mencapai tujuan

(21)

pemimpinnya tidak semangat, bagaimana mampu mengobarkan semangat para pengikutnya.

10. Penuh antusias

Dengan antusiasme yang tinggi terhadap kinerja dan peningkatan serta pengembangan organisasi, seorang pemimpin akan memberikan pelajaran berharga kepada para pengikutnya untuk selalu antusias terhadap pekerjaannya masing-masing.

11. Sederhana

Seorang pemimpin tidak perlu bersikap glamour dan mewah. Dengan kesederhanaan, seorang pemimpin justru memberikan keteladanan kepada para pengikutnya.

12. Jujur

Sikap jujur merupakan keharusan bagi seorang pemimpin. Ia jujur dengan dirinya sendiri dan jujur terhadap para pengikutnya.

13. Adil

Sikap adil akan menimbulkan kepercayaan yang tinggi kepada pemimpin. Sebaliknya, sikap tidak adil justru akan memudarkan pengaruh pemimpin terhadp pengikutnya. Adil dalam pengertian ini harus mampu bersikap proporsional, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, jadi tidak mesti sama rasa sama rata. 14. Penuh keyakinan

Yakin tehadap apa yang dikerjakan merupakan bagian dari kunci kesuksesan seorang pemimpin dalam memimpin suatu pekerjaan. Ia harus memiliki keyakinan dengan apa yang dimilikinya dan dikerjakannya. Ia juga yakin bahwa ia mampu melaksanakannya. 15. Memiliki keberanian

Keberanian harus melekat pada diri seorang pemimpin. Dengan keberaniannya itu merupakan suatu pemicu keberanian para pengikutnya. Kalau pemimpin tidak memiliki keberanian, bagaimana mungkin ia mampu memberikan contoh kepada para pengikutnya.

16. Percaya diri dan tidak sombong

Dalam proses kepemimpinan dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki tingkat kepercayaan diri lebih tinggi daripada pengikutnya. Dalam pandangan psikologi bahaya yang paling fatal bagi kabahagiaan manusia dan musuh terbesar bagi umat manusia adalah kesombongan dan percaya diri yang berlebihan. Kejengkelan orang atas perangai buruk tidak sebesar kebencian mereka atas kesombongan.

17. Bersikap objektif

Objektivitas harus dikembangkan dan menjadi budaya dalam memimpin sebuah organisasi. Dengan bersikap objektif, para pengikutnya akan merasa diperlakukan secara adil tanpa tendensi apa-apa.

18. Kematangan Intelektual Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)

(22)

(kemampuan merasakan suasana hati dan perasaan orang lain serta lingkungan, untuk pengambilan keputusan serta pembangunan mentalitas), dan potensi spiritual (kemampuan untuk memberikan makna tertinggi kehidupan) (Sholehuddin, 2008 : 29).

Sementara, Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain.

1. Kecerdasan

Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian, yang sangat menarik dari penelitian tersebut ialah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.

2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial

Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.

3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi

Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik. 4. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan

Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya. Dengan kata lain, pemimpin mempunyai perhatian atau pemimpin berorientasi pada karyawan (dalam Thoha, 2008 : 287).

2.1.6.4. Tugas dan Tanggung Jawab Pemimpin

Pada prinsipnya tugas pemimpin adalah mengusahakan terciptanya kebaikan bagi organisasi dan anggota-anggotanya. Ini berarti kepentingan organisasi harus diletakkan di atas kepentingan pribadinya. Pemimpin juga dituntut untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pengikutnya. Menurut Floyd Ruch, tiga tugas utama tiap-tiap pemimpin, yaitu :

1. Structuring the situation

(23)

keorganisasian. Tentunya dalam menentukan skala prioritas ini, kepentingan yang lebih banyak, baik tentang anggota maupun berkaitan dengan keorganisasian menjadi prioritas utama.

2. Controling group behavior

Dalam tugas ini, pemimpin mengawasi dan menyalurkan tingkah laku kelompok. Sebagai pemimpin ia harus mampu mengawasi berbagai perilaku anggotanya dan menyalurkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan peraturan-peraturan keorganisasian.

3. Spokesman of the group

Tugas pemimpin yang terakhir adalah menjadi juru bicara bagi kelompoknya. Pemimpin harus mampu menjelaskan tentang keorganisasian yang dipimpinnya kepada berbagai pihak, baik berkaitan dengan keanggotaan, visi dan misi organisasi, tujuan, rencana strategis, dan lain sebagainya ( dalam Sholehuddin, 2008 : 36).

2.1.6.5. Gaya Kepemimpinan

Keberhasilan pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam satu organisasi tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang digunakannya. Gaya kepemimpinan merupakan karakteristik atau tipe tertentu dalam melaksanakan kepemimpinan. Pendapat para ahli mengenai gaya kepemimpinan membuat konsep kepemimpinan semakin kaya karena banyaknya pendapat yang membahas gaya yang sama dengan penjelasan yang saling melengkapi antara satu dengan lain. Setiap pemimpin memiliki gayanya masing-masing dalam menjalankan fungsinya. Pengalaman, pengetahuan, pandangan, latar belakang sosial, usia, lingkungan, keinginan mempengaruhi gaya seorang pemimpin.

“....Karena para manajer selalu mencari dan membuat perubahan kebudayaan atas organisasi. Apa yang mereka kehendaki itulah yang mendorong mereka untuk mencoba melakukan sesuatu untuk mempengaruhi perilaku orang lain, perasaan orang lain, menyumbang, interaksi, dari dan dengan karyawan dalam organisasi (dalam Liliweri, 2004 : 327).

Menurut Djatmiko, para pemimpin pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi lima tipe yaitu sebagai berikut.

a. Tipe otokratik

(24)

b. Tipe paternalistik

Ciri-cirinya antara lain : mengambil keputusan cenderung menggunakan cara tersendiri tanpa melibatkan bawahan, hubungan dengan bawahan bersifat bapak-bapak, berusaha memenuhi kebuthan fisik anak buah untuk mencuri perhatian dan tanggung jawab mereka, orientasinya adalah menjaga hubungan yang baik dengan anak buah. c. Tipe karismatis

Dengan onse-ciri yang menonjol di antaranya : memelihara hubungan dengan bawahan agar pelaksanaan tugas dapat terselenggara dengan baik sekaligus memberi kesan bahwa hubungan tersebut berbasis pada relasionalitas bukan kekuasaan.

d. Tipe Laisses Faire (Free Reign)

Dengan onse-ciri : menghindari penumpukan kekuasaan dengan jalan mendelegasikan kepada bawahan, tergantung pada kelompok dalam menentukan tujuan dan penyelesaian masalah, efektif bila di lingkungan onsensual yang bermotivasi tinggi.

e. Tipe Demokratis (Partisipatif)

Yang onse-cirinya antara lain : membagi tanggung jawab pengambilan keputusan dengan kelompok, mengembangkan tanggung jawab kelompok untuk menyelesaikan tugas memakai pujian dan kritik, meski pengambilan keputusan dilimpahkan, namun tanggung jawab tetap pada pimpinan (dalam Ardana, dkk. , 2008 : 97).

Menurut Rivai dan Mulyadi, gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu : gaya kepemimpinan yang berpola pada kepentingan pelaksanaan tugas, pelaksanaan hubungan kerja sama, dan kepentingan hasil yang dicapai. Berdasarkan ketiga pola dasar tersebut terbentuk perilaku kepemimpinan yang berwujud pada kategori kepemimpinan yang terdiri dari tiga tipe pokok kepemimpinan, yaitu :

a. Tipe Kepemimpinan Otoriter

Tipe kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan kehendak pimpinan. Pimpinan memandang dirinya lebih dalam segala hal, dibandingkan dengan bawahannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah sehingga dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa diperintah.

b. Tipe Kepemimpinan Kendali Bebas

(25)

perorangan maupun kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasihat.

c. Tipe Kepemimpinan Demokratis

Tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Pemimpin memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kreativitas, inisiatif yang berbeda-beda, dan dihargai disalurkan secara wajar. Tipe pemimpin ini selalu berusaha untuk memanfaatkan setiap orang yang dipimpin. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kepemimpinan tipe ini mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 36).

Menurut Dwight D. Eisenhower, tipe kepemimpinan leadership mewakili kombinasi dari beberapa tipe, antara lain :

a. The Strongman

Ciri-cirinya adalah memimpin dengan memerintah orang lain, menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain yang sebagian besar takut, memberikan hukuman untuk yang bersalah. Sebagian besar perilaku umum tipe pemimpin ini adalah instruksi, perintah, menetapkan tujuan, ancaman, intimidasi, dan teguran. Kepemimpinan strongman dapat menciptakan respons dalam jangka pendek, sedangkan akibat jangka panjangnya dapat menghancurkan, khususnya ketika kreatifitas sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

b. The Transactor

Ciri-cirinya adalah pertukaran hubungan dengan orang lain. Pemimpin tipe ini memengaruhi melalui kemudahan penghargaan dalam pertukaran pemenuhan kebutuhan para pengikutnya. Para pengikut Transactor menanamkan pandangan pada kerja mereka bahwa: “Saya akan mengerjakan apa yang ia inginkan sepanjang ada penghargaan.”

c. The Visionary Hero

(26)

d. The Superleadership (Pemimpin Empowering)

Ciri-cirinya adalah seseorang yang memimpin orang lain untuk memimpin diri mereka sendiri. Pemimpin ini berfokus pada pengikutnya. Pemimpin menjadi “super” mempunyai kekuatan dan kebijakan dari orang-orang dengan membantu mendorong kemampuan pengikut yang mengelilingi mereka. Superleader mendorong pengikutnya untuk berinisiatif, bertanggung jawab sendiri, percaya diri, merencanakan tujuan sendiri, berpikir secara positif, dan mampu mengatasi permasalahan. Superleader memberi semangat pada orang lain untuk bertanggung jawab daripada memberi perintah. Satu bagian penting dari superleadership dalam menghadapi tantangan abad ke-21 adalah mengharuskan para pengikutnya untuk berpengetahuan dan perlu informasi untuk melatih kepemimpinan mereka sendiri (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 65).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Tobroni (2010) dalam organisasi Noble industri1

a. Kejujuran sejati

, kepemimpinan yang diperlukan adalah kepemimpinan spiritual. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Pemimpin spiritual adalah pemimpin yang mempengaruhi orang yang dipimpin dengan cara mengilhamkan, mencerahkan, menyadarkan, membangkitkan, memampukan, dan memberdayakan, lewat pendekatan spiritualitas atau nilai-nilai etis religius.

Pokok-pokok karakteristik kepemimpinan spiritual yang berbasis pada etika religius, antara lain: kejujuran sejati, fairness, pengenalan diri sendiri, fokus pada amal soleh, spiritualisme yang tidak dogmatis, bekerja lebih efisien, membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain, keterbukaan menerima perubahan, visioner tapi tetap fokus pada persoalan di depan mata, doing the right thing, disiplin tetapi tetap fleksibel, santai dan cerdas, dan

kerendahan hati.

Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran. Bahkan dalam berperang pun kejujuran tetap ditegakkan walaupun harus dilakukan taktis-diplomatis. Orang yang jujur adalah orang yang memiliki integritas dan kepribadian yang utuh sehingga

1

Noble industry(industri mulia) adalah lembaga-lembaga yang mengemban misi ganda: profit dan sosial sekaligus. Misi sosial dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga atau organisasi tersebut memiliki capital human dan social capital yang memadai, dan memiliki tingkat keefektifan yang tinggi. Itulah sebabnya, mengelola dan memimpin noble industry tidak hanya melakukan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga misi(niat) suci dan mental berlimpah. Lembaga yang dapat dikategorikan sebagai noble industry antara lain meliputi: lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, yayasan-yayasan sosial, lembaga-lembaga riset/kajian dan lembaga swadaya

(27)

dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam situasi apapun. Integritas adalah sebuah kejujuran, tidak pernah berbohong dan kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.

b. Fairness

Pemimpin spiritual mengemban misi sosial menegakkan keadilan di muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil, melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya (strategi) keberhasilan kepemimpinannya.

c. Fokus pada amal soleh

Pemimpin spiritual bekerja untuk memberikan kontribusi, dharma atau amal saleh bagi lembaga dan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berjiwa altruistik, yaitu kemauan membantu orang lain, kemauan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain tanpa mengharapkan imbalan/atau ketulus-ikhlasan membantu orang lain, tanpa preferensi apa-apa.

d. Spiritualisme yang tidak dogmatis (Membenci Formalitas dan Organized Religion)

Pemimpin spiritual lebih mengedepankan tindakan yang genuine dan substantif (esoteric). Kepuasan dan kemenangan bukan ketika mendapatkan pujian, piala, dan sejenisnya, melainkan ketika memberdayakan, memampukan, mencerahkan, dan membebaskan orang dan lembaga yang dipimpinnya. Ia puas ketika dapat memberikan sesuatu bukan ketika menerima sesuatu.

e. Bekerja lebih efisien

Pemimpin spiritual adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja, dapat bekerja secara efisien dan efektif, menghargai waktu dan berbagai sumbernya. Pemimpin spiritual tetap bisa mementingkan urusan yang penting dan tidak merasa paling penting ketika saat-saat genting karena memiliki kesadaran pribadi dan jati diri yag kokoh dan kepercayaan yang mendalam bahwa Tuhan selalu membimbingnya.

f. Membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain

Pemimpin spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati diri itu juga dilakukan terhadap orang lain terutama para kolegial, relasi dan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati, dan memperlakukan diri sendiri dan orang lain “apa adanya”.

g. Keterbukaan menerima perubahan

Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun. Lembaga yang dipimpin merupakan wahana beraktualisasi diri dan berdedikasi kehadirat Tuhan.

h. Pemimpin yang dicintai

(28)

kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata bersifat perorangan, tetapi cita kasih struktural yaitu cinta terhadap ribuan orang yang dipimpinnya.

i. Visioner tapi tetap fokus pada persoalan di depan mata

Pemimpin spiritual memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian dan kedisinian. Ia memiliki kelebihan untuk menggambarkan idealita masa depan secara mendetail dan bagaimana mencapainya kepada orang lain seakan-akan gambaran masa depan itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Ia mampu membangkitkan dan mengarahkan imajinasi seseorang kepada visinya.

j. Doing the right thing

Pemimpin spiritual memengaruhi dan menggerakkan serta untuk mencapai tujuan-tujuan yang etis (benar). Keberadaan seseorang pemimpin bukan sebagai alat bagi pemilik modal, melainkan mengemban visi dan misi kebenaran dan keanusiaan: kasih, memenangkan jiwa, mencerahkan, melayani, memberi, dan membersihkan hati. Ia tidak akan menhalalkan segala cara untuk mencapai tujuan walaupun hal itu sangat mungkin dilakukan.

k. Disiplin tetapi tetap fleksibel

Pemimpin spiritual adalah orang yang berhasil mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan, dan tindakan destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut. Kebiasaan mendisiplinkan diri menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh memegang prinsip, memiliki disiplim yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah, dan mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.

l. Kerendahan hati

Pemimpin spiritual menyadari bahwa pemujaan terhadap diri sendiri sangat melelahkan jiwa, sikap bodoh dan awal dari kebangkrutan. Dirinya hanyalah sekedar saluran, media. Allahlah sesungguhnya yang memberi kekuatan, petunjuk, pertolongan. Ia bersyukur bahwa dirinyalah yang dipilih untuk menyalurkan karunia kepemimpinannya kepada umat manusia (Tobroni, 2010: 20).

(29)

Menurut Kartono, tipe pemimpin mahasiswa dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu sebagai berikut:

a. Pembagian menurut sifat kepemimpinannya, ialah otoriter atau otoritatif, yang demokratis, dan laissez faire.

b. Pembagian menurut”status” atau kedudukan: solider atau berdasarkan prinsip pilihan dan solidaritas kelompok, yang resmi, dan pemimpin konsultan.

c. Pembagian menurut bidang interest-nya: murni ilmiah, sosial-politik, dan rekreatif.

Karakteristik tipe pemimpin mahasiswa berdasarkan penggolongan, antara lain :

1. Pemimpin mahasiswa yang otoriter, sifatnya keras tidak boleh disanggah, dan mengharuskan. Kekuasaannya berlangsung lewat kekuatan dan, penekanan/pressi kepada anggotanya. Komunikasi berlangsung satu arah, yaitu dengan perintah dan komando. Pemimpin tidak menghendaki kritik dan usul-usul. Kekuatan pemimpin itu terletak pada kemauan yang keras, ide-ide dan rencana sendiri yang dianggap cukup berhasil, kerahasiaan, dan disiplin kerja yang keras.

2. Pemimpin mahasiswa yang demokratis mendasarkan interaksinya pada kerja sama, kebebasan yang teratur, pemberian kesempatan kepada semua anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif, dan menyumbangkan ide-ide yang konstruktif. Semua keputusan direncanakan dan ditentukan bersama. Ada sesuatu yang cukup terbuka, dan komunikasi dua arah. Yang diutamakan ialah pencapaian tujuan kelompok (sasaran kolektif) dan kepuasan kerja bagi setiap anggota karena itu setiap individu diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan potensinya.

3. Pemimpin mahasiswa yang laissez faire, membiarkan semua orang bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak memberikan perintah, pengarahan atau bimbingan organisatoris. Dia tidak pernah berani mengambil keputusan dan organisasinya mirip”ular tanpa kepala”. Masing-masing individu ingin bebas, dan tidak mau dipimpin. Tim kerja, praktis tidak ada. Kegiatannya tidak teratur, motivasi berjuang tipis sekali. Persaingan dan konflik sering dibiarkan berlarut-larut. Dan semua orang dibiarkan berbuat menurut selera masing-masing,”semau gue”.

4. Pemimpin solidaritas bersikap solider (kompak, setia kawan) dan mencoba mengidentifikasinya diri dengan semangat dan harapan anggota-anggota kelompoknya. Dia dipilih dan diangkat oleh anggota-anggota kelompoknya melalui aturan-main yang telah disetujui bersama. Yang diutamakan dalam organisasi ini ialah loyalitas/kesetiaan dan kekompakan.

(30)

6. Pemimpin konsultan itu berfungsi sebagai penasihat dan pengarah, baik untuk organisasi sendiri, maupun organisasi dan lembaga-lembaga di luarnya. Tugsanya ialah mendidik, mendorong, memberikan motivasi dan nasihat, mengembangkan sikap-sikap mental, menanamkan ide-ide/ideologi dan pengetahuan baru. Contohnya ialah di kala para mahasiswa melakukan Kuliah Kerja Nyata/KKN, yang biasanya memberikan dampak-dampak langsung

7. Pemimpin murni ilmiah lebih mengkonsentrasikan diri pada prestasi ilmiah, kegiatan kurikuler, studi kelompok, eksperimen-eksperimen, dan penelitian ilmiah. Juga mengadakan studytour, karyawisata, diskusi-diskusi, menghadiri seminar dan konferensi ilmiah. Motivasi untuk maju dan mengejar ketinggalan di bidang science dan teknologi sangat diprioritaskan. Maka kegiatan-kegiatan politik dan aktivitas sosial di tengah masyarakat luas, tidak atau kurang diminati.

8. Pemimpin yang berorientasi kemasyarakatan (pada masalah sosial); di samping itu juga meminati masalah-masalah politik yang muncul di tengah masyarakat. Gejolak-gejolak politik yang aktual, penindasan terhadap rakyat, dan perilaku yang tidak adil, juga kelemahan lembaga-lembaga politik serta pemerintah dijadikan objek minat atau topik pembahasan mereka kemudian melakukan aksi-aksi tertentu.

9. Tipe pemimpin yang berorientasi pada rekreasi dan pola bersantai-santai. Anggota kelompoknya sebagian besar terdiri dari anak-anak kaum elit, orang-orang kaya, dan putera-putera pejabat yang tengah”naik daun” menduduki posisi yang basah. Karena di rumah mereka biasa dimanja, dibiarkan “berkembang” bebas, kurang dituntun ayah mereka (yang sangat sibuk karena menduduki posisi kepemimpinan resmi yang tinggi), dan mendapatkan segala fasilitas berupa uang, mobil, dan kemudahan lainnya. Maka pola hidupnya sifatnya juga relaks,”alon-alon”, istirahat, rekreatif, bersenang-senang;menikmati kehidupan dan kebebasan, serta bersantai-santai. Cara belajarnya tidak bersungguh-sungguh, motivasi dan minat belajarnya rendah, dan pola kebiasaannya berlamban-lamban. Sikap hidupnya apatis, tidak bergairah dan masa bodoh; sebab semuanya sudah disediakan/dipenuhi oleh orang tua. Studinya dibuat berlambat-lambat, sebab mereka tidak diburu-buru oleh apapun juga; sedang pekerjaan nantinya juga akan diberi atau dicarikan oleh orang tua mereka (Kartono, 2010 : 276-280).

(31)

mengubah gaya kepemimpinannya yang otokratik itu dengan gaya lain, misalnya gaya yang agak demokratik, apabila situasi tersebut menuntutnya, terutama apabila konsistensi menggunakan gaya yang otokratik dapat membahayakan kedudukannya sebagai pimpinan. Sebaliknya, demikian teori situasional mengatakan, seseorang yang biasanya menggunakan gaya kepemimpinan demokratik mungkin saja bertindak otoriter apabila situasi menghendakinya, seperti dalam hal mengenakan sanksi terhadap para pelanggar disiplin organisasi, mengoreksi penyelewengan atau sangat didesak oleh situasi krisis (Siagian, 2010 : 16).

Seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk “membaca” situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya, meski pun penyesuaian itu mungkin hanya bersifat sementara. Karena penyesuaian-penyesuaian tertentu memang merupakan kenyataan kehidupan manajerial seseorang yang menduduki jabatan pimpinan, maka perlu untuk membahas mengenai tipe-tipe kepemimpinan yang biasa digunakan sebagai penyesuaian dalam situasi yang terjadi.

Prof. Sondang Siagian menganalisis karakteristik tipe-tipe kepemimpinan dengan pendekatan kategorisasi berdasarkan : 1. persepsi seorang pimpinan tentang peranannya selaku pimpinan, 2. nilai-nilai yang dianut, 3. sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi, 4. perilaku dalam memimpin, 5. gaya kepemimpinan yang dominan. Tipe-tipe kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tipe yang Otokratik

(32)

total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan lain sebagainya.

Berdasarkan persepsi tersebut, seorang pemimpin yang otokratik cenderung menganut nilai organisasional yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya. Semua tindakan akan dinilainya benar apabila tindakan itu mempermudah tercapainya tujuan dan semua tindakan yang menjadi penghalang akan dipandangya sebagai sesuatu yang tidak baik dan dengan demikian akan disingkirkannya, apabila perlu dengan tindakan kekerasan.

Pemimpin otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan “ke-akuan-nya” antara lain :

• kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, sehingga kurang menghargai harkat dan martabat mereka,

• pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan pelaksanaan tugas dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan,

• pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja.

Perilaku pemimpin yang otoriter seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pemimpin menganggap tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya, sehingga akan memberikan kesan bahwa pemimpin tersebut memandang organisasi sebagai milik pribadi yang dapat diperlakukannya dengan sekehendak hatinya, tidak mau mendengarkan saran, pandangan dan kritik dari bawahannya karena diartikan sebagai usaha merongrong kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam prakteknya, pemimpin otokratik akan menggunakan gaya kepemimpinan sebagai berikut.

• menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya,

• dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan,

• bernada keras dalam pemberian perintah atau intruksi,

• menggunakan pendekatan punitif (bersifat hukuman) dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan.

b. Tipe yang Paternalistik

(33)

Singkatnya, legitimasi kepemimpinannya berarti penerimaan atas peranannya yang dominan dalam kehidupan organisasional.

Dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan keersamaan yang menganggap anggota organisasi adalah satu keluarga besar dan sebagainya.

Sikap seorang pemimpin paternalistik adalah sikap kebapakan yang menyebabkan hubungan atasan dengan bawahan lebih bersifat informal ketimbang hubungan formal. Hanya saja hubungan tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa para bawahan itu belum mencapai tingkat kedewasaan sedemikian rupa sehingga mereka belum dapat dibiarkan bertindak sendiri sehingga memerlukan bimbingan dan tuntunan terus-menerus. Selain itu, pemimpin juga terlalu melindungi bawahan yang mengakibatkan bawahan takut bertindak karena takut berbuat kesalahan karena menganggap pemimpinlah yang mengetahui segalanya.

Perilaku pemimpin yang terlalu melindungi mengakibatkan pemusatan pengambilan keputusan dalam diri pimpinan yang bersangkutan sedangkan para bawahannya tinggal melaksanakannya saja. Selain itu, bawahan tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide dan saran. Para bawahan tidak di dorong untuk berpikir secara inovatif dan kreatif yang sangat dibutuhkan dalam tata kehidupan organisasi modern.

Penonjolan dominasi keberadaannya dan penekanan kuat pada kebersamaan, gaya kepemimpinannya lebih bercorak pelindung, bapak, dan guru. Artinya kebersamaan bagi para anggota organisasi sedangkan pemimpin yang bersangkutan berada di atas para anggota tersebut.

c. Tipe yang Kharismatik

Tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kriteria kepemimpinan yang kharismatik itu. Memang ada karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi. Sesungguhnya sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang pemimpin kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang diikutinya. Bisa saja seorang pemimpin kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para pengikutnya tetap setia kepadanya. d. Tipe yang Laissez Faire

(34)

temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.

Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas harus diembannya. Dengan sikap organisasional ini, tidak ada alasan kuat untuk memperlakukan para bawahan sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan sebagainya. Sehingga, nilai yang tepat dalam hubungan atasan-bawahan adalah nilai yang didasarkan kepada saling mempercayai yang besar.

Sikap seorang pemimpin laissez faire adalah sikap yang permisif (bersifat mengizinkan).dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan bisikan hati nuraninya asal saja kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai. Prakarsanya dalam menyusun struktur tugas bawahan dapat dikatakan minimum. Kepentingan dan kebutuhan para bawahan itu mendapat perhatian besar karena dengan terpeliharanya kepentingan dan terpuaskannya berbagai kebutuhan para bawahan itu, mereka akan dengan sendirinya berperilaku positif dalam kehidupan organisasinya.

Perilaku seorang pemimpin yang laissez faire cenderung mengarah kepada tindak-tanduk yang memperlakukan bawahan sebagai rekan sekerja, hanya saja kehadirannya sebagai pimpinan diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi.

Gaya kepemimpinan yang digunakannya adalah sebagai berikut.

• pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif,

• pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya secara langsung,

• status quo organisasional tidak terganggu,

• penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri,

• sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum. e. Tipe yang Demokratik

(35)

perbedaan-perbedaan yang merupakan kenyataan hidup, harus terjamin kebersamaan.

Pemimpin demokratik menganut nilai-nilai yang berangkat dari filsafat hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Pemimpin demokratik memperlakukan manusia dengan cara manusiawi. Pemimpin ini juga memperlakukan organisasi sebagai wahana untuk mencapai tujuan bersama.

Sikap pemimpin demokratik dalam hubungannya dengan bawahannya, bawahan ikut berperan serta dalam organisasi karena hal tersebut dapat meningkatkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam pelaksanaan. Dalam hal menindak para bawahan yang melanggar disiplin organisasi dan etika kerja yang disepakati bersama pendekatannya adalah bersifat korektif dan edukatif dan bukan yang bersifat punitif (hukuman), meskipun cara yang punitif akan ditempuhnya apabila cara-cara lain ternyata sudah tidak ampuh lagi.

Perilaku pemimpin demokratik mendorong para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dengan sungguh-sungguh mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain, terutama para bawahannya. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan bawahan, dia akan berada di samping bawahan yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga bawahan tersebut belajar dari kesalahannya dan lebih bertanggung jawab. Pemimpin demokratik dengan cepat menunjukkan penghargaannya kepada para bawahan yang berprestasi tinggi. Dia akan sangat bangga bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuannya sendiri.

Gaya kepemimpinan yang digunakannya adalah “people centered” karena menempatkan unsur manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral. Gaya demikian biasanya mengejawantah dalam berbagai hal seperti :

• pandangan bahwa betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi;

• dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu dan bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pimpinan dan oleh karena itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang praktis dan realistik tanpa kehilangan kendali organisasional;

• para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan;

(36)

bersifat kebendaan seperti sandang, pangan dan papan, meniingkat kepada kebutuhan yang bersifat keamanan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengakuan status hingga kepada kebutuhan yang bersifat mental spiritual;

• usaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena pemilikan wewenang formal berdasarkan pengangkatannya (Siagian, 2010 :30).

2.1.6.6. Pemimpin yang Ideal

Berbagai tipe kepemimpinan dalam kehidupan menunjukkan keragaman sifat, perilaku, dan situasi yang dihadapi pemimpin. Ada pemimpin yang mengutamakan pekerjaan dan tugas, pemimpin yang mengutamakan hubungan, serta pemimpin yang mengutamakan keduanya, pekerjaan dan juga hubungan dengan bawahan. Beberapa ahli mengatakan tidak ada gaya kepemimpinan yang baik dan yang buruk, semua disesuaikan dengan keperluan organisasi. Namun, pada dasarnya, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.

1. Visi

Pemimpin memiliki visi sebagai penggerak organisasi atau komunitas yang dipimpinnya. Tujuan yang tercipta dari visi tersebut akan menjadi petunjuk ke mana arah jalannya organisasi. Seorang pemimpin yang visioner telah terlebih dahulu mengetahui apa yang menjadi kekuatan dan kelemahannya serta mengetahui apa yang harus dia kerjakan. Sang pemimpin akan akan mampu menerjemahkan visinya menjadi misi dan rencana kerja dalam bentuk yang lugas dan sederhana, sehingga visinya bukan lagi sesuatu yang masih di awang-awang. Dengan demikian, visi tersebut dapat diraih dengan cara menyatukan sinergi kekuatannya beserta kekuatan para pengikutnya. Pemimpin yang baik mampu menjelaskan visinya kepada para pengikut, sehingga mereka mengetahui dengan pasti apa yang berada di dalam benak sang pemimpin. Tahapan-tahapan yang biasanya dilalui oleh seorang pemimpin dalam meraih visinya adalah :

a. melakukan refleksi diri, b. membentuk visi,

c. menterjemahkan visi menjadi misi dan rencana kerja, d. mengkomunikasikan visi kepada pengikut,

e. mewujudkan visi bersama pengikut. 2. Spirit (Semangat)

(37)

impian belaka tanpa energi untuk mencapainya. Kegagalan terjadi jika tidak ada cukup energi yang dapat digunakan untuk menggerakkan organisasi dalam mencapai visi. Spirit seorang pemimpin dapat digambarkan sebagai nyala api, yang dapat dibagikan kepada para pengikutnya tanpa mengurangi energi di dalam diri sang pemimpin. 3. Karakter

Seorang pemimpin memiliki karakter yang melekat di dalam kepribadiannya. Karakter merupakan sifat dasar dari seseorang yang diakui oleh orang lain. Karakter seharusnya merupakan ‘aku’ yang tersembunyi di dalam kepribadian seseorang. Namun, karakter dapat dirasakan oleh orang lain, sehingga karakter juga bisa menghasilkan pengakuan. Misalnya, seseorang yang memiliki sifat jujur akan dapat dilihat dari perkataan dan perbuatannya di dalam kesehariannya. Seseorang baru dapat disebut berkarakter jujur apabila ia mendapat pengakuan dari oarang lain akan kejujurannya, sehingga sifat itu menjadi karakter yang melekat dan identik dengan orang yang bersangkutan.

4. Integritas

Integritas adalah penyatuan diri seseorang dengan apa yang diyakininya baik untuk dilakukan secara menyeluruh. Seorang profesional yang menyukai pekerjaannya akan bekerja dengan baik bukan karena upah atau karena diawasi, namun karena ia berpikir ia dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan baik. Seorang profesional yang larut dan menyatu dalam pekerjaannya berarti memiliki integritas dengan pekerjaannya. Ia akan merasa puas bila apa yang dikerjakannya dapat selesai sesuai dengan kemampuannya dan menyayangkan apabila hasil kerjanya kurang memuaskan. Integritas membuat seorang penari berusaha berlatih berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mempersembahkan tarian terbaiknya, yang mungkin disajikan kurang dari sepuluh menit. Pemimpin yang memiliki integritas akan mampu meyakinkan pengikutnya tentang apa yang diyakininya baik, karena sebelumnya ia telah memiliki keyakinan itu.

5. Kapabilitas

(38)

Menurut Prof. Sondang Siagian bahwa gaya dasar yang tepat dimiliki oleh seorang pimpinan adalah gaya yang demokratik dengan sepuluh kar

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena penggunaan QoS 2 pada MQTT dapat mengakibatkan tingkat delay yang lebih besar yang mempengaruhi jitter dibandingkan dengan HTTP yang

Tindak pidana penggelapan premi asuransi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pemberian intervensi yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa (1) gambaran klinis pasien

19 Suami saya kurang bersedia untuk bercerita mengenai berbagai macam permasalahan pekerjaan pada saat berlayar. 20 Saya merasa suami saya masih tertutup mengenai

2 Penjaminan Kekayaa" Perseroan untuk Tenjarin nutang Pereeroan 3. U;tuk setiag mata arara Rapai diberikan kesempatan untuk tanya jawab ffiuai dengan maia aoa€

• If Added : berisi informasi prosedural yang berupa suatu tindakan yang akan dikerjakan jika nilai dari slot diisi • If Needed : subslot ini digunakan pada kasus tidak ada

Then if the resulting query reduction did not succeed (i.e., we hit a predicate in the query that does not match any rule head of fact), Prolog backtracks and tries a new

In this area, the two classification methods have some differences; SOM classifies the whole area as pavement (even with different input parameters), while Bayes