BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik kronik degeneratif yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut akibat
kerusakan sel pankreas (DM tipe 1) atau defisiensi relatif akibat
penggunaan insulin yang tidak efektif (DM tipe 2) (Perkeni, 2011; ADA, 2014).
Berbagai studi epidemiologis menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa angka prevalensi penderita DM semakin bertambah di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi global
DM akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Indonesia sendiri termasuk kedalam 10 besar negara yang paling banyak menderita DM di seluruh dunia, setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil dan Rusia pada tahun 2013. Diperkirakan jumlah penyandang DM di Indonesia akan meningkat dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) dalam atlas diabetes tahun 2012 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penderita DM diperkirakan akan mengalami peningkatan sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011; IDF, 2013).
Diabetes berpotensi menimbulkan berbagai macam komplikasi akibat proses angiopati dan neuropati. Komplikasi angiopati dan neuropati tersebut dapat terjadi pada berbagai organ tubuh seperti jantung, ginjal, otak, mata, telinga, saraf tepi dan saraf pusat. Pada sistem auditori, DM menyebabkan terjadinya atrofi ganglion spiralis, degenerasi selubung myelin saraf vestibulokoklearis, berkurangnya jumlah serat-serat saraf pada lamina spiralis dan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis
(Malucelli et al., 2012).
sedangkan pada grup tanpa gangguan pendengaran sebanyak 19%. Prevalensi tuli sensorineural pada grup dengan DM sebanyak 13,1% sedangkan pada grup non DM sebesar 10,3%, dimana hal ini bermakna secara statistik. Di RS H. Adam Malik Medan, penelitian oleh Yarisman (2014) juga mendapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik terjadinya gangguan pendengaran pada penderita DM dibandingkan dengan subjek normal.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat adanya gangguan pendengaran pada penderita DM dan menunjukkan adanya korelasi positif. Penderita DM dengan komplikasi mikroangiopati mengalami
gangguan pendengaran yang memiliki ciri progresif lambat, bilateral simetris, sensorineural (lesi koklear) terutama pada frekuensi tinggi (Cullen & Cinnamond, 1993). Selain itu penelitian lebih lanjut pada hewan coba menunjukkan hubungan yang signifikan antara DM dengan kerusakan telinga bagian dalam dan kerusakan struktur sel rambut luar yang diakibatkan oleh keadaan hiperglikemia (Rust et al., 1991). Penelitian lain memperlihatkan adanya abnormalitas histologis berupa degenerasi organ korti dan sel – sel ganglion spiralis yang berkaitan dengan hiperglikemia dan obesitas (Lee et al., 2008). Penelitian histopatologis tulang temporal manusia dari pasien penderita diabetes menunjukkan adanya penebalan membrana basalis kapiler, hilangnya sel rambut luar dan sel rambut dalam, atrofi sel-sel ganglion spiralis, edema serta atrofi sel intermediet dan sel marginal pada stria vaskularis (Fukushima et al., 2006).
Gangguan pendengaran akibat DM telah digambarkan bersifat sensorineural, yang menunjukkan bahwa lesi terutama berada di koklea atau saraf vestibulokoklear, akan tetapi bukti yang cukup mengenai mekanisme kerusakan tersebut belum memadai dan masih bersifat kontradiktif. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa perubahan
ditemukan pada koklea penderita DM tetapi tidak dijumpai pada non penderita DM (Bainridge, Cheng & Cowie, 2010).
Hiperglikemia dipercaya merupakan faktor risiko utama yang berperan dalam perkembangan dan progresivitas komplikasi mikrovaskuler pada DM. Kontrol intensif terhadap terhadap kadar glukosa darah terbukti memperlambat onset dan perkembangan komplikasi mikrovaskuler tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa faktor metabolik yang berkaitan dengan hiperglikemia memicu terjadinya komplikasi mikrovaskuler. Beberapa jalur biokimia telah diteliti untuk melihat efek hiperglikemia, yaitu jalur aktivasi diacylglycerol (DAG), protein kinase C (PKC), peningkatan polyol, peningkatan stres oksidatif dan overproduksi advanced glycation end products (AGEP). Jalur-jalur biokimia tersebut berkaitan erat dengan
stres oksidatif, yang mengakibatkan kerusakan vaskuler. Beberapa penelitian membuktikan bahwa semua jalur tersebut diaktivasi oleh overproduksi ROS oleh mitokondria (Noh & King, 2007; Aronson, 2008; Giacco & Brownlee, 2010).
Gangguan pendengaran yang berkaitan dengan DM dapat berupa kerusakan metabolisme glukosa dan berhubungan dengan hiperaktivitas oksigen radikal bebas dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif ini berhubungan dengan terjadinya apoptosis pada sel neuron, yang mendasari terjadinya komplikasi neuropati akibat DM. Pada DM neuron tidak hanya rusak, tetapi juga mengalami gangguan dalam proses regenerasi, terutama neuron serat kecil. Stres oksidatif meningkat pada keadaan dimana terjadi peningkatan produksi radikal bebas dan/atau
mekanisme kerusakan antioksidan (Aladag et al., 2009).
Reactive oxygen species (ROS) merupakan spesies radikal dan non-radikal yang merupakan senyawa oksigen intermediet. ROS terdiri dari radikal bebas (superoksida, radikal hidroksil, alkoksil, dan peroksil) dan non-radikal (hidrogen peroksida dan hipoklorida). Radikal bebas adalah
molekul lain. Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas antioksidan di dalam. Jika keseimbangan tersebut terganggu akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan komponen komponen sel (Chong, Low & Pervaiz, 2014).
Superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan nitrit oksida (NO) merupakan tiga spesies radikal bebas reaktif oksigen (ROS) yang penting dalam keadaan fisiologis, tetapi dipercaya dapat mempercepat proses penuaan dan memperantarai degenerasi seluler akibat berbagai penyakit tertentu. Zat-zat tersebut dapat merusak protein, lipid dan DNA yang
berakibat pada kerusakan makromolekul seluler (Chong, Low & Pervaiz, 2014).
ROS dianggap sebagai salah satu penyebab utama di dalam proses kematian sel koklea akibat hiperglikemia. Stres jaringan akibat hiperglikemia menyebabkan pembentukan ROS berlebih sebagai produk sampingan aktivitas metabolik yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan jaringan. Penelitian oleh Aladag et.al (2010) yang meneliti status stres oksidatif dalam serum pasien DM tipe 2 mendapatkan hasil bahwa stres oksidatif kemungkinan berperan dalam proses terjadinya gangguan pendengaran pada pasien DM.
Mekanisme pertahanan lini pertama terhadap ROS adalah menghilangkan ROS atau mengubahnya menjadi radikal bebas yang
kurang toksik. Hal ini diperankan oleh enzim superoxide dismutase (SOD)
yang mampu mengubah radikal anion superoksida (O2•-) menjadi
hidrogen peroksida (H2O2) dengan proses dismutasi. Dismutasi
merupakan istilah yang mengacu kepada tipe reaksi khusus dimana 2
reaksi yang sama namun berlawanan terjadi pada 2 molekul yang
terpisah. Enzim SOD mampu mengambil 2 molekul radikal anion
superoksida (O2•-) lalu melepaskan elektron ekstra pada salah 1 molekul
dan menempatkannya pada molekul lainnya, sehingga jumlah elektron
yang dimiliki oleh salah 1 molekul menjadi berkurang lalu membentuk
ekstra. Molekul yang memiliki elektron ekstra kemudian secara cepat
mengambil 2 ion hidrogen untuk membentuk hidrogen peroksida (H2O2)
(Evans & Halliwell, 1999; Goodsell, 2007).
SOD merupakan salah satu enzim antioksidan yang dihasilkan oleh
tubuh, ditemukan hampir pada semua sel aerobik dan cairan ekstraseluler,
yang merupakan enzim antioksidan endogen terbanyak di dalam tubuh
dan sebagian besar terdapat pada organ hati. SOD termasuk ke dalam
famili enzim metalloenzyme dengan ramifikasi (percabangan) yang luas,
memiliki gugus prostetik yang berbeda-beda, lokasi intraseluler yang
bervariasi dan heterogenitas jaringan yang besar (Cayuela, 1995;
Nurhayati, Kisnanto & Syaifudin, 2011; Johnson & Giulivi, 2005).
Pengukuran kandungan enzim antioksidan SOD merupakan cara untuk
mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD
bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi terdapat pada
organ hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak,
paru-paru, usus, ovarium, dan timus. Selain itu, SOD memiliki kecepatan
efisiensi katalitik terbesar dibandingkan enzim-enzim lainnya (Halliwell &
Gutteridge, 1999).
Curcumin merupakan zat pigmen kuning yang diekstrak dari rimpang yang umumnya berasal dari spesies Curcuma longa L. (kunyit) dan Curcuma xanthorrhiza Roxb (temulawak) (Lao, et al., 2006). Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah curcuminoid (Sidik, Mulyono & Ahmad, 1995). Curcumin (diferuloylmethane) berupa senyawa fenolik alami yang biasa digunakan sebagai bumbu, aditif, dan pewarna makanan. Curcumin tercatat merupakan obat tradisional India. Senyawa ini telah dilaporkan memiliki sifat antioksidan, anti-inflamasi, antimikroba, dan antikanker dan dengan demikian memiliki efek perlindungan yang potensial terhadap berbagai macam penyakit. Curcumin telah terbukti menjadi scavenger yang dapat
dismutase (SOD), glutathione reduktase (GR), glutathione peroxidase (GPx), catalase (CAT), dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH), melindungi sel dari stres oksidatif oleh detoksifikasi karsinogen atau mengurangi stres oksidan, dan curcumin telah terbukti meningkatkan ekspresi enzim ini dengan menginduksi translokasi faktor-faktor yang berhubungan dengan nuclear factor E-2 related factor (Nrf2) (Molina-Jijón, et al., 2011).
Efek curcumin dapat disebabkan oleh sifat antioksidan secara langsung (melalui sifat scavenger ((pemulung)) dan/atau tidak langsung melalui aktivasi Nrf2. Beberapa penelitian telah menunjukkan curcumin
mampu mengurangi produksi ROS yang diinduksi oleh mitokondria dan peroksidasi lipid pada berbagai model kerusakan oksidatif. Disimpulkan bahwa curcumin memiliki potensi untuk melindungi mitokondria dari ROS akibat disfungsi mitokondria (Molina-Jijón, et al., 2011; Wongeakin, Bhattarakosol & Patumraj, 2014).
Menurut penelitian sebelumnya, curcuminoid telah terbukti dapat mencegah dan mengobati kerusakan fibroblas koklea akibat pajanan bising frekuensi 1-10 kHZ pada intensitas 100 dB SPL selama 2 jam berdasarkan penurunan ekspresi MDA dan konsentrasi H2O2 (Haryuna et
al., 2015a) serta melalui modulasi SOD dan CAT (Haryuna et al., 2015b). Pada penelitian ini, tikus digunakan sebagai hewan coba. karena prosedur perlakuan dan pemeriksaan akhir berakibat fatal. Tikus juga memiliki kemiripan struktur telinga dalam dengan manusia dan telah digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian genetik manusia dan terbukti bermanfaat dalam membantu mengidentifikasi gen yang sesuai pada manusia yang berperan dalam perkembangan sistem auditorius melalui identifikasi genetik dan sekuensnya (Gravel & Ruben, 1996).
Sampai saat ini belum ada obat yang telah terbukti dapat digunakan
curcuminoid terhadap status antioksidan akibat ROS pada Rattus norvegicus model diabetes melitus yang dilihat melalui ekspresi SOD pada fibroblas koklea.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah pemberian curcuminoid dapat mempengaruhi ekspresi superoxide dismutase (SOD) pada fibroblas koklea Rattus norvegicus model diabetes melitus?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Membuktikan curcuminoid sebagai herbal yang efektif dan aman
untuk memperbaiki kerusakan fibroblas koklea pada penderita DM ditinjau dari segi ekspresi SOD.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuktikan curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi SOD pada fibroblas koklea Rattus norvegicus model diabetes melitus.
2. Membuktikan curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari lebih baik dibandingkan dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari dalam meningkatkan ekspresi SOD pada Rattus norvegicus model diabetes melitus. 3. Membuktikan curcuminoid dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari yang
diberikan selama 10 hari lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 200 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam meningkatkan ekspresi SOD pada Rattus norvegicus model diabetes melitus.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Mendapatkan penjelasan tentang perubahan molekuler (status antioksidan) fibroblas koklea tikus model DM dari segi ekspresi SOD.
1.4.2 Mendapatkan penjelasan tentang perubahan molekuler pada fibroblas koklea akibat hiperglikemia yang diterapi dengan curcuminoid.
1.4.3 Jika pada hewan percobaan dapat dibuktikan bahwa curcuminoid mampu mencegah dan / atau mengobati kerusakan fibroblas koklea akibat DM, diharapkan curcuminoid dapat dimanfaatkan untuk