PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH
Posted on 24 November 2014by jaenullah
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Oleh: Jaenullah
1. Pendahuluan
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam Samsul Munir Amin,
mengatakan bahwa sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah[1]
Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.[2] Sejarah merupakan catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dengan belajar sejarah, dalam hal ini sejarah kebudayaan atau peradaban Islam berarti mengenal kembali segala peristiwa yang terjadi dan dialami umat Islam baik berupa perkembangan, kemajuan maupun kemundurannya. Kajiannya berarti menyangkut peristiwa-peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu (everything in the past), baik menyangkut dimensi sosial, politik, pemerintah, ekonomi, seni budaya maupun agama.[3]
Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil dan lebih tepatnya dikatakan memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk berkembang mengatasi
yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak[4]
Dengan demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat di mana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan
dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban ke arah yang lebih maju. Dinamika Islam tetap eksis dalam bentangan sejarah peradaban manusia. Secara garis besarnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800-sekarang). Periodisasi ini mendeskripsikan perjalanan panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi alur peradaban Islam sepanjang sejarah.
Menyadari hal di atas, bidang kajian pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah merupakan suatu bidang kajian yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka awal dalam makalah ini dicoba dibahas tentang pengertian perkembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran Islam dalam perspektif sejarah, dan perkembangan peradaban Islam dalam perspektif sejarah.
1. Pembahasan
2. Pengertian Perkembangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perkembangan” adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka; terbentang; menjadi besar, luas, menjadi banyak, memuai, serta menjadi bertambah sempurna
Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan The Penguin Dictionary of Psychology (1988), arti perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut. Perkembangan mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya, mengandung arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.[6]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju baik meliputi kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
2. Pengertian Pemikiran Islam
Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk
memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha
mencari penyelesaiannya secara bijaksana[7]
Pendapat lain pemikiran berasal dari bahasa Melayu asal dari kata “fikir”. Ditambah dengan imbuhan pe dan an serta ditukar huruf kepada m sehingga menjadi ‘pemikiran’. Kata perbuatannya adalah berfikir (thinking). Bahasa Inggrisnya pula ialah think (thougt).Perkataan berfikir kini digunakan secara meluas. Dasar perkataan fikir berasal dari perkataan Arab ‘fakkara’, ‘yufakkiru’, ‘tafkiran’. Sebahagian ahli bahasa mengatakannya daripada wazan ‘dharaba’ yaitu ‘fakara’, ‘fakiru’,
‘fakran’ atau ‘fikran’. Jelasnya perkataan fikir berasal daripada
perkataan ‘al-fikr’. Dalam al-Quran, perkataan fikir tidak disebut dalam bentuk kata nama. Tegasnya dalam al-Quran, perkataan fikir disebut dalam bentukfi’il madhi (perbuatan yang telah lepas)
dan mudhari’ (perbuatan yang sedang dilakukan),sighah mukhatab dan ghaib (kata ganti diri kedua dan ketiga). Misalnya fakkara dan
tatafakkarun.[8]
Dengan demikian kata pemikiran berasal dari bahasa Melayu yaitu, kata “Fikir” kemudian menjadi “berfikir” dan akhirnya menjadi
hasil berpikir.[9] Sementara itu, menurut M. Abdul Karim kata “pikir” berasal dari Bahasa Arab “fakkara” yakni amal ‘aqla fiihi, wa rattaba ba’dha ma ya’lamu, liyahshila ila al-majhul artinya mempergunakan daya akal terhadap sesuatu, mengatur sebagian yang sudah diketahui.
[10] Lebih lanjut M. Abdul Karim mengatakan bahwa pemikiran dalam pengertian yang tersebar di kalangan ilmuwan atau cendikiawan dibagi dua golongan besar. Pertama, pemikiran secara eksoteris, yaitu
pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (diluar dirinya) atau istilah falsafi pemikiran dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas, dan teliti tanpa terikat pada ajaran-ajaran ataupun dogma dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan yang nyata-nyata tentang obyek yang menjadi pemikiran. Kedua, pemikiran
secara esoteris, yaitu pemikiran yang ditujukan ke arah bagian terdalam dalam dirinya. Dalam istilah falsafi dikenal sebutan pemikiran dari
mikrokosmos terhadap esensi dirinya.[11]
Sedangkan kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab, didefinisikan dari“salima” yang berarti selamat dari bahaya
atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun Islam dalam bentuk noun atau kata benda berarti ketundukan, kepatuhan, agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.[12]
Dari kata “aslama” tersebut yang berarti “memelihara dalam keadaan yang selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang menjadi kata pokok
dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah Swt kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia.
[13]
Dr. Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasât fil fikri al
Islami mendefinisikan pemikiran Islam sebagai berikut: Pemikiran Islam adalah upaya menilai fakta dari sudut pandang Islam. Dengan demikian, pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni fakta (al-waqi’), hukum (justifikasi); dan keterkaitan fakta dengan hukum. [14]
kejadiannya serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran. Dan apabila dikaitkan dengan Islam, maka berarti bahwa kegiatan pemikiran tersbut dituntun oleh bimbingan diyakini datangnya dari Maha Pencipta kepada Nabi Muhammad Saw berupa bimbingan naluri, bimbingan inderawi, bimbingan akal, dan bimbingan agama yang tergabung dlam ajaran, kelembagaan, pranata sosial, dan ritual.[15]
Lebih lanjut M. Abdul Karim, mengatakan selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun (theologi, ibadah, politik, etika, filsafat, mistik, ekonomi, dll), berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi, maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.[16]
Dengan demikian pemikiran Islam adalah pemikiran yang berjiwa Islam, yakni pemikiran yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan Hadis adalah sabda,
perbuatan, dan ketetapan (takrir) Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.
3. Pengertian Peradaban Islam
Peradaban ialah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai untuk
menyebutkan bagian atau unsur-unsur kebudayaan yang bersifat halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan-santun, dsb. Istilah peradaban juga dipergunakan untuk menyebutkan suatu
kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, dsb. Saat ini pengertian yang umum dipakai adalah
peradaban merupakan bagian dari kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup.[17]
Secara harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-khadlarah al-Islamiyah, atau al-madaniyah al Islamiyah[18] atau al-tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga diterjemahkan dengan
Perkataan tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh Tamaddun
al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam.[19]
Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” dan “peradaban”.
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka
peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
[20] Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Dengan demikian kebudayaan Islam kebudayaan masyarakat yang menganut agama Islam. Menurut Koentjaraningrat dalam Badri Yatim, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud.
1. Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan lain-lain.
2. Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur darikebudayaan yang halus dan indah.[21]
Dalam definisi peradaban yang di maksud disini yakni Islam yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan cepat
mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.
Dengan demikian landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi Islam, tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi (non samawi). Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[22]
sikap terbaik adalah menjaga kehormatan diri dan menuruti sunnah nabi. Persahabatan sesama manusia harus dibina berdasarkan kepentingan Allah sehingga peradaban Islam merupakan bagian dari kebudayaan yang memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia di dunia dan akhirat.[23]
Dengan merujuk pada narasi di atas, maka dapat dikonsepsikan bahwa peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar terjadi dalam aspek politik, ekonomi, dan teknologi yang bersumberkan pada nilai-nilai ajaran Islam.
3. Pengertian Perspektif
Kata perspektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi. (2) pandangan, sudut pandang.[24]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah cara
melukiskan benda pada permukaan datar sebagaimana yang terlihat, dan sudut pandangan atau dengan kata lain perspektif adalah memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
4. Pengertian Sejarah
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa al-tarikh berarti ketentuan atau waktu, sedang ilmutarikh, yaitu ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa dan sebab-sebab terjadinya peristiwa
tersebut.[25]Sedangkan secara istilah al-Tarikh berarti sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[26]
Dengan demikian dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa
sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap obyek peristiwa masa lampau , yang kemudian itu disebut sejarah kebudayaan.[27]
Sedangkan secara terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah
keadaan dan peristiwa yang terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar terjadi pada individu dan masyarakat. Adapun inti pokok dari persoalan sejarah pada dasarnya selalu berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari peristiwa, dan pengertian
mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat tertentu.[28]
Dalam pengertian lain, sejarah adalah catatan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau (events in the past).[29] Dalam pengertian lain yang lebih seksama sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia.[30]
Beberapa definisi sejarah yang dikemukakan di atas lebih melihat bangunan sejarah dalam sisi luarnya, yakni bahwa sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa rekaman peristiwa ata kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama, dan
sebagainya. Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406) bahwa dalam melihat bangunan sejarah tidak hanya dari sisi luarnya tetapi yang lebih penting lagi adalah sisi dalamnya. Bila ditilik dari sisi dalamnya, maka sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu; sesuatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh karena itu sejarah berakar dalam filsafat, dan ia pantas dipandang menjadi bagian dari filsafat itu.[31]
Berdasarkan uraian teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sejarah merupakan catatan dari berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau. Sejarah mencakup perjalanan hidup manusia dalam mengisi
perkembangan dunia dari masa ke masa.
Baik pemikiran Islam maupun peradaban Islam berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits. Keduanya pada awalnya tumbuh dan berkembang pada masa dan tempat yang sama. Pemikiran dan ajaran-ajaran Islam pada periode awal adalah pemikiran Islam murni, pemikiran yang bersumber dari wahyu dan sabda Rasulullah SAW, pemikiran yang
mencoba untuk memberikan pencerahan pada pemikiran dan peradaban Jahilliyah. Peradaban Islam tumbuh bersamaan dengan kenabian
Muhammad, berada dalam kelompok yang terbatas kerabat, keluarga, dan pengikut Muhammad Saw.
Pemikiran yang tumbuh dalam kelompok Islam awal adalah common-sense yang dipandu oleh wahyu Illahi dan sunah nabi. Konsep pemikiran awal yang tumbuh adalah pelurusan kembali theologi tauhid yang telah disimpangkan oleh keturunan Ibrahim AS/Ismail AS sehingga menjadi bias dengan menyembah barhala. Pemikiran berikutnya adalah pemikiran tentang keadilan dan persamaan dalam Islam. Pemikiran Islam tentang derajat yang sama di mata Tuhan dan perlunya keadilan terhadap sesama manusia telah menumbuhkan peradaban baru yang anti perbudakan dan penghargaan terhadap perempuan. Islam melalui pemikiran telah melakukan antitesis terhadap peradaban sebelumnya, yakni peradaban jahilliyah, dengan mereposisi budak dan perempuan dalam tatanan sosial baru.
Hubungan pemikiran dan peradaban Islam juga ditandai dengan transfer pemikiran Islam ke dalam peradaban lain, sehingga terjadi proses
asimilasi dan akulturasi budaya (peradaban). Nilai-nilai Islam seperti sistem kekuasaan yang adil dan demokratis menjadi diskursus dalam sistem pemerintahan di Arab pada masa Awal pertumbuhan Islam. Di dalam struktur klan/kabilah terdapat suku-suku atau qaum terdapat pemimpin yang harus/mutlak dipatuhi. Pemimpin kaum memiliki hak yang besar. Suku Quraisy mengembangkan sistem pemerintahan oligarki atau suatu pemerintahan oleh kelompok tententu yang terdiri dari
beberapa orang saja. Pemikiran Islam tidak mengubah sistem sosial yang sudah berlaku, tetapi memberikan nilai keislaman ke dalam sistem yang telah mapan.
dapat melahirkan peradaban, sebab diskursus datang dari orang yang memiliki kekuasaan dan memiliki pemikiran kreatif.
1. Perkembangan Pemikiran Islam dalam Perspektif Sejarah 2. Periode Perkembangan Pemikiran Islam
Pada zaman Nabi Muhammad saw, pemikiran Islam masih murni karena mendasar pada Rasulullah saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan
utamanya wahyu. Jadi tidak ada pertentangan, karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada Rasulullah Saw. Sehingga Nabi Muhammad Saw menjadi sentral ilmu pengetahuan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode ini perkembangan
pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 4 periode: (1) Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan juga belum terjadi
perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis tanpa
pentakwilan atas nash-nashnya. (2) Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran A-Qur’an dan Hadits menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadits untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. (3) Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non-Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan istiţa‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain: Qadariyah, Jabariah, Khawarij, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan Mu’tazilah. (4) Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
tersebut memberikan corak baru bagi pemikiran Islam. Pemikiran Islam menghimpun atau menggabungkan dua pola pemikiran (Yunani dan Persia) menjadi satu kesatuan. Dalam prakteknya Nabi Muhammad Saw menyebarkan agama Islam, dihadapkan pada dua sikap dari kedua umat yang berbeda arah pemikirannya. Di satu pihak berhadapan dengan pemikiran yang dikembangkan oelah orang Yahudi, yang memiliki kecenderungan pola pemikiran rasional, dan dipihak lain berhadapan dengan pemikiran orang Kristiani, yang arah pemikirannya lebih banyak pada pola pemikiran kontemplatif. [32]
Secara historis, perkembangan pemikiran Islam dapat diklasifikasikan secara detail dan dijelaskan bahwa segera setelah
wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan mendesak yang dirasakan adalah bagaimana memelihara dan menyebarluaskan naskah al-Qur’an yang mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Perkembangan Islam ke negara-negara selain Arab yang memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Hal ini mendorong perkembangan ilmu fikih (hukum) yang paling penting pada saat itu. Ilmu ini memerlukan ilmu pengetahuan tentang al-Quran dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya, semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fikih tersebut dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan pemikiran Islam dalam sejarah bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai sekarang.[33]
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.[34] Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi
Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian
peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi
termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tauhid. Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya
berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Quraisy.[35]
sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai
representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo. Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses
pembentukan peradaban. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk
mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang
ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.[36] Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[37]
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan.
Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.[38]
Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.
Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah
pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang
bersangkutan. Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah
pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Nazzam, dan Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih .
1. Pemikiran Islam Pada Masa Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai
khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.[40]
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Di samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah
pemeluk-pemeluk baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.[41] Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan
Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.[42] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya. Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang
sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para
penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I.
Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[43]
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[44]
1. Pemikiran Islam pada Masa Periode Modern (1800 M – dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M – dan seterusnya) merupakan zaman
bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang
melimpah.[45]Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam
dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan
kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan di antaranya: Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam empat model gerakan sebagai berikut:
1. Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Menurut Harun Nasution[47], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah
Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi
sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais[48], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah. Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah
menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara
mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali
kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap
egalitarianisme yang diserukan gerakan ini.[49] (Amien Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).
1. Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai
dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan
menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan
sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan
ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu. Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak
bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa
lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.[50]
1. Westernisme
mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti
perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat. Oleh karena itu
menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.[51]
1. Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa
sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan
berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.[52]
Sementara itu menurut M. Ja’far Nashir, perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh, (2) Pemikiran Teologi Islam, (3) Pemikiran Filsafat Islam., dan (4) Pemikiran Islam Indonesia. Mencermati perkembangan pemikiran Islam modern, menurut M. Ja’far Nashir, setidaknya ada empat trend besar yang dominan, yaitu:
1) Islam Tekstual
Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.
2) Islam Revivalisme
Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai
Ke-Islamanya.
3) Islam Modern
Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun masih ada kendali
Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madji, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.
Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah
kepada Liberalis, Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya, artinya sudah menyatu.
[53]
Dengan demikian uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemikiran era modern terdapat empat corak pemikiran, yaitu corak pemikiran tekstual, revivalisme, modern danneo-modernis.
2. Wujud Pemikiran Islam
3. Pemikiran Ilmu Kalam/Teologi
Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 5 periode, yakni periode Rasulullah saw., Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah Bani ‘Abbas. Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam merupakan pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw, Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini
disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash- nashnya. Pada masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing- masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan
terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu.
Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin
semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar danisti ţâ‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain:
Ma’bad al-Juhaniy, Ghailân al-Dimasyqiy, dan al-Ja‘ad Ibn Dirham dikenal sebagai tokoh awal dari aliran Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial pada masa itu adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk serta kehidupan manusia dibentuk oleh manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan.
2) Jabariah
Jaham ibn Şafwân yang merupakan tokoh awal dari aliran ini. Di antara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
2. perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya
3. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi. 4. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
5. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
6. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk
ciptaan-7. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
8. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surge 9. Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
3) Khawarij
Aliran ini muncul dipenghujung abad pertama Hijriah dan dikenal
dengan pemikirannya yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah kafir. Berbagai pemikiran mereka yang lain adalah:
1. Segala perbuatan hamba mengikut kehendak Allah semata-mata. 2. Menolak ijtihad dan berpegang dengan zahir al-Quran.
3. Menolak taklif sebelum diutus Rasul. 4. Menolak adanya azab kubur.
5. Menolak sistim kekhalifahan bagi umat Islam karena tidak diperlukan
7. Pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka.
8. Tidak sah menikah dengan orang yang tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.
9. Semua orang yang menyalahi mereka adalah kafir atau musyrik. 10.Orang yang tidak berhijrah kepada mereka adalah musyrik. 11.Wajib menguji kesetiaan orang yang berhijrah kepada mereka
dengan cara menyuruh orang itu membunuh tawanan. Jika tidak sanggup bermakna munafiq dan mereka akan membunuhnya. 12.Anak-anak orang yang menyalahi mereka kekal dalam Neraka. 13.Menganggap negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri
kafir.
14.Menggugurkan hukum rajam ke atas penzina yang sudah beristeri. 15.Memotong tangan pencuri sampai ke bahu.
16.Wajib salat dan puasa atas perempuan haid.
17.Wajib qada salat atas perempuan haid sebagaimana qada puasa. 18.Mendakwa ayat 204 surah al-Baqarah khusus untuk Ali r.a.
19.Mendakwa ayat 207 surah al-Baqarah sebagai khusus untuk ‘Abd ar-Rahman Ibn Muljim (pembunuh Ali r.a.).
20.Penyokong mereka tidak akan masuk neraka Jahannam, jika
berdosa mereka akan diazab dengan azab selain neraka Jahannam. 21.Sebahagian mereka menggugurkan hukum hudud bagi peminum
arak, dan sebagian yang lain pula mengenakan hukuman yang sangat berat.
22.Melakukan dosa kecil secara berterusan adalah suatu kesyirikan bagi yang tidak menyokong mereka, tetapi bagi para penyokong mereka ia tidak pula dianggap syirik meskipun melakukan dosa besar.
23.Mengharuskan at-taqiyyah.
24.Harus menikah dengan anak perempuan cucu lelaki (cicit) dan anak perempuan anak saudara lelaki.
25.Sifat munafik itu hanya khusus bagi golongan yang disebutkan dalam al-Quran.
4) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mereka adalah teladan yang shalih yang memberikan petunjuk kepada kebenaran dan bimbingan ke jalan yang lurus.
5) Mu’tazilah.
Dipelopori oleh Washil bin Atha’. Mu’tazilah mempunyai asas dan
landasan yang disebut dengan al-Uşûl al-Khamsah (lima landasan pokok), yaitu:
1. Al-Tauhid, yakni mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah.
2. Al-‘Adl (keadilan), yakni keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah.
3. Al-Wa’du wa al-Wa’id, yakni wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya ( wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam al-jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalamal- nâr, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk
menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah. 4. Manzil bain al-Manzilatain (suatu keadaan di antara dua keadaan),
yakni keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yakni wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.[54]
6. Pemikiran Tasawuf
Keistimewaan tasawuf sebagai salah satu institusi Islam adalah penekanan pada aspek psikis spiritual dan cara hidupnya yang lebih mengutamakan aspek psikomotor dan efeksi, lebih mengutamakan
H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga
memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).
1. Pemikiran Fiqh
Perkembangan fiqh dimulai sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, pada masa ini tidak ada masalah yang berarti dimana hal tersebur dikarenakan Nabi saw langsung menjasi pembuat fiqh dan melakukan ijtihad sendiri. Pada masa Sahabat perkembangan fiqh terbagi menjadi dua, yaitu : kelompok alh an-Nash (seperti abuu huraurah & Anas), dan ahl al-Rayi (seperti Umar bin Khattab as). Setelah berakhirnya
kepemimpinan Ali bin Abi tholib perkembangan fiqh dinamakan Fiqh Tabi’in, yang mana pada masa ini fiqh terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Ahl an-Nash (para Fuqoha’ al-Saba’ah / Madinah), dan Ahl al-Ra’yi (Fuqoha’ al-Shittah / Kuffah). Lebih lanjut berikut perkembangan fiqh serta corak yang mempengaruhinya :
1) Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Madinah
Corak pemikiran banyak dipengaruhi oleh kebuadayaan syiria dan
kekuasaan Umayyah. Tokoh-tokohnya antara lain : al-Awza’i. Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-madinah adalah thesa atau dalam arti bahwa fikih ahl al-madinah masih murni yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Hadits.
2) Manhaj al-Fikr Fikih Asy-Syafi’i
Corak pemikirannya lebih banyak dipengaruhi (didominasi) al-Qur’an dan As-Sunnah. Toko-tokohnya antara lain : Asy-Syafi’i, Ibn Hambali, dan Malik Ibn Abbas / Dawud Ibn Khalaf (keduanya cenderung juga
mengarah pada penggabungan antara fikih ahl al-madinah (murni) dengan fikih ahl al-Iraq (yang sudah menggunakan rasional).
3) Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Iraq
Corak Pemikiran yang digunakan adalah dengan menggunakan analogi dan dipengaruhi oleh kekuasaan Abbasyiyah. Tokoh-tokohnya antara lain : Abu Hanifah, Asy-Syaibani (cendrung juga ke pemikiran As-Syafi’i). Sedang sifat pemikiran fikiq ahl Iraq adalah sinthesa. Pemikiran ahl al-Iraq sudah mengarah kepada penggunaan akal secara berlebihan walau tidak mengenyampingkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1. Pemikiran Filsafat Islam
Ada beberapa tokoh aliran dalam filsafat Islam, di antaranya sebagai berikuti:
1) Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M
Pokok pemikiran dari Ghozali dimuat dalam kitabnya Tahafutut al-Falasifah adalah tentang (kerancuan berfilsafat) di mana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.
2) Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M
Teori kebenaran ganda salah satu pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam berfikirnya.
1. Pemikiran Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M
Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia
hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat). Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam dan Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.
1. d) Al-Kindi (806-873 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah: Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.
1. e) Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama
(penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi.
1. f) Al-Farabi (870-950 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat,
metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian.
1. g) Ibnu Maskawih (932-1020 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa.
1. h) Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.
1. I) Ibnu Bajjah (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori
pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri).
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah: percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.
1. Perkembangan Peradaban Islam dalam Perspektif Sejarah 1. Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Bangsa Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadapan, bodoh, tidak mengenal aksara. Sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Jazirah Arab[55] yang mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi Muhammad Saw diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca tulis waktu itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian
dan kecendikiawannya.Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada tanggal 20 April 571 M. Ketetapan ini sebagaimana dikemukakan oleh berbagai sumber berita Arab, yakni pada tahun yang dikenal dengan sebutan tahun Gajah.[56] Beliau lahir dari keluarga miskin secara materi namun berdarah ningrat dan terhormat. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Dikisahkan, bahwa anak-anak Hasyim ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai penyedia dan pemberi air minum bagi para jamaah haji yang dikenal dengan sebutan Siqayah Al Hajj.[57]Sedangkan ibunda Nabi Muhammad Saw adalah Aminah binti Wahab, adalah keturunan Bani Zuhrah. Kemudian, nasab atau silsilah ayah dan ibunda Nabi bertemu pada Kilab ibn Murrah. Pada waktu lahir Nabi Muhammad Saw dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Nabi Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Nabi Muhammad Saw dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah kurang lebih dua tahun berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika usia enam tahun Nabi Muhammad Saw menjadi yatim piatu.
Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada
paling dasyat dan fenomenal adalah perubahan sosial. Suatu perubahan yang mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas manusia yang beradab. Peradaban pada masa Rasulullah Saw dilandasi dengan asas-asa yang diciptakan sendiri oleh Rasulullah Saw di bawah
bimbingan wahyu yaitu Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan Masjid Quba’
Ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah menuju Madinah, orang-orang Anshar yang tak lain adalah kaum Aus dan Khazraj menanti dengan antusias kedatangan Rasulullah Saw. Tatkala Rasulullah Saw tiba, mereka keluar rumah dan menyambutnya dengan penuh suka cita. Rasulullah Saw berhenti di Quba’ selama lima hari. Di Quba’ inilah Rasulullah SAW mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba’. Ini adalah masjid pertama yang dibangun setelah masa kenabian.
1. Pembangunan Masjid Nabawi
Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah Saw berhenti di suatu tempat. Maka Rasulullah Saw memerintahkan agar di tempat itu dibangun sebuah masjid. Rasulullah ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut. Beliau mengangkat dan memindahkan batu-batu masjid itu dengan tangannya sendiri. Saat itu kiblat dihadapkan ke Baitul
Maqdis.
1. Tegaknya Keadilan
Misi Rasulullah Saw yang utama ialah memperbaiki moral dan masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan berlandaskan keadilan yang jauh dari penindasan. Nabi ingin
menciptakan suatu masyarakat yang penuh keadilan dan penuh kasih sayang. Ketika Nabi ingin mendirikan masyarakat seperti itu beliau berhadapan dengan musuh-musuh keadilan dan musuh-musuh kasih sayang. Oleh karena itu, keterlibatan Nabi dalam politik hanyalah sejauh menentang ketidak adilan dan kezaliman.
1. Persaudaraan antara Kaum Muhajirin dan Anshar
Rasulullah SAW telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.
1. Kesepakatan untuk Saling Membantu antara Kaum Muslimin dan Non-Muslimin
Di Madinah ada tiga golongan manusia. Kaum muslimin, orang-orang Arab, serta kaum Non-Muslimin dan orang-orang Yahudi (Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah Saw melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjadinya sebuah keamanan dan kedamaian. Juga untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi di antara golongan tersebut.
1. Terbangunnya Umat Yang Berideologi Islam
Selain mereformasi keadilan, Rasulullah Saw juga mengubah masyarakat dari sistem sosial yang berdasarkan kesukaan, kekeluargaan, dan
kelompok menjadi komunitas yang berdasarkan ideologi Islam: dari perasaan kekabilahan ke sebuah sistem yang berdasarkan pada ikatan keislaman atau ukhuwwah islamiyyah. Nabi mengubah masyarakat yang diikat oleh kesetiaan kepada kelompok menjadi masyarakat yang setia kepada Islam: dari kehidupan yang berdasarkan semangat suku dan fanatisme kelompok kepada kehidupan yang didasarkan pada
persaudaraan Islam.
1. Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial
Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika di dalam negara diletakkan dasar-dasar Islam. Rasulullah Swt dengan segala usahanya telah membentuk kota Madinah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di antara anggota
masyarakatnya. Dengan demikian, berarti bahwa inilah masyarakat Islam pertama yang dibangun Rasulullah Saw dengan asas-asasnya yang abadi.
tokoh muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota sa’idah, kota Madinah. guna merundingkan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan untuk menggantikan beliau. Dengan semangat ukhuwah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar ash shiddiq lah yang terpilih untuk menjadi pemimpin menggantikan rasulullah Saw.[58]
Sepeninggal rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar- dasar tradisi dari sang guru agung bagi kemajuan islam dan ummatnya. Oleh karena itu, gelar khulafaur rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka. Para khalifah
Khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar al-Shiddiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun, yakni dari tahun 632-634 M dilanjutkan oleh Umar bin Khattab yang berkuasa selama 10 tahun, yakni dari tahun 634-644 M diteruskan oleh Usman bin Affan yang berkuasa selama 12 tahun, yaitu tahun 644-656 M dan Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama kurang lebih lima tahun, yaitu dari tahun 656-661 M. Dengan demikian, masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun.
[59] Kemajuan-kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada masa Khulafaur Rasyidin antara lain:
Ekspansi atau perluasan daulat Islamiyah yang meliputi Irak, Suriah, Damaskus, Bizantium, Mesir, Persia, dan Palestina. Meredam berbagai pemberontakan dari orang-orang murtad Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an
Penentuan kalender Islam yang bertolak dari masa hijrah Rasulullah Saw dan berdasarkan pada hitungan tanggal berdasarkan peredaran bulan (qomariyah)
Menetapkan administrasi perpajakan, pengaturan upah, dan sebagainya.[60]
Di samping itu, kemajuan lain dalam perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang
2. Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan
perbaikan pada system administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi, diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekutif, membangun system keamanan dengan dibentuk jawatan keamanan (kepolisian), dibentuk jawatan
pekerjaan umum, mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menentukan tahun hijrah. Pada masa khalifah Usman, membangun bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan pembagian air ke kota-kota, membangun jembatan-jembatan, mesjid-mesjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah, namun karya
monumental Ustman yang lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci al-Qur’an. Pada masa Ali ibn Abi Thalib, secara politik dan pemikiran muncul tiga golongan, yaitu: golonganMuawiyah, golongan Syi’ah (pengikut) Ali, dan golongan 3. Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah Nama dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kekudukan.[61] Selanjutnya, para khalifah besar dari dinasti bani Umayyah adalah Muawiyah Ibn Abi
Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik Ibn Marwan (685-705 M), al-Walid Ibn Abd. Al-Malik (705-715 M), Umar Ibn al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam Ibn Abd al-Malik (724-743 M).[62] Adapun kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada dinasti bani Umayyah ini antara lain:
Ekspansi atau perluasan wilayah yang antara lain menguasai Tunis, Khurasan, Afghanistan, kabul, Ibu kota Bizantium, Balk, Bukhara, Khawarizm, India (Balukistan, Sind, Punjab, dan Multan), al-Jazair dan Maroko, Spanyol, (Toledo, Seville, Malaga, Elvira, dan
Cordova), Perancis (Bordeao, Poitiers, dan Tours, pulau-pulau yang terdapat di laut tengah, Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia jatuh ke tangan Islam di zaman bani Umayyah.
Kemajuan bidang administrasi dan bahasa, yakni bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab
zaman inilah timbul beberapa nama seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri, dan Washil Ibn ‘Ata yang merupakan pakar dalam ilmu kalam
Kemajuan dalam bidang administrasi keuangan.
Kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Pada zaman bani Umayyah ini telah dibangun beberapa masjid di luar semenanjung Arabia. Katedral St. John di Damaskus misalnya diubah menjadi masjid.
Sementara itu, menurut Philip K. Hitti warisan peradaban Islam masa Dinasti Umayyah di antaranya:
1. Kehidupan intelektual di Bashrah dan Kufah 2. Perkembangan gerakan keagamaan
3. Tradisi Literer pada periode Umayyah
4. Perkembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan 5. Perkembangan arsitetur
6. Perkembangan seni rupa dan musik[63]
4. Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Bani Abbasiyah Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Rasulullah Saw, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[64] Selanjutnya para Khalifah bani Abbas yang terkenal antara lain Abu al-Abbas (750-754 M), al-Mansur (754-775 M), al-Mahdi (775-785 M), Harun al-Rasyid (785-809 M), al-Makmun, 813-833 M), Mu’tasim (833-842 M), Wathiq (842-847 M),
al-Mutawakkil (847-861 M), dan al-Musta’sim (1242-1258 M).[65] Sejarah mencatat, bahwa di zaman bani Abbasiyah ini, Islam mencapai puncak kejayaan, di antara kemajuan peradaban Islam tersebut sebagai berikut:
Kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Kemajuan dalam bidang ekonomi.
Kemajuan dalam bidang kesehatan, di zaman Harun al-Rasyid didirikan rumah sakit, menyelenggarakan pendidikan dokter, dan farmasi.
Untuk kegiatan ilmiah ini, khalifah Makmun mendirikan Bait al-Hikmah. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
diutamakan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran, astronomi, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, sejarah, filsafat, dan agama. Ahli dalam bidang kedokteran, antara lain Ibn Sina (980-1037 M); bidang astronomi, antara lain al-Fazari (abad VIII); bidang optika, antara lain Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haytham (abad X);
bidang kimia, antara lain Jabir Ibn al-Hayyam (Bapak Kimia) dan Abu Bakar Zakaria al-Razi (865-925 M); bidang fisika, antara lain Abu Raihan Muhammad al-Baituni (973-1048 M); bidang geografi, antara lain Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud; bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Selanjutnya dalam bidang agama terdapat nama Bukhari dan Muslim seorang ahli hadits (abad IX), dalam bidang fiqh terdapat nama-nama antara lain: Malik bin Anas, Abu Hanifah, al-Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal; bidang tafsir, terdapat nama al-Tabari (839-923 M); bidang sejarah, terdapat nama Ibn Hisyam (abad VIII) dan Ibn Sa’ad (abad IX); bidang ilmu kalam terdapat nama antara lain Washil Ibn ‘Atha, Ibn Huzail, Allaf dari kalangan Mu’tazilah dan Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi (abad IX dab X) dari kalangan ahl al-Sunnah; dalam bidang tasawwuf terdapat nama Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, dan Husan Ibn al-Mansur al-Hallaj; bidang sastra, antara lain Abu Farraj Isfahani dengan bukunya al-Aghani.[66]
Kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain didirikan Bait al-Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai universitas Islam yang terkemukan dan tertua usianya diseluruh dunia.
Kemajuan bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman Harun al-Rasyid misalnya didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung-gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi,
pertambangan, industri logam, kerajinan, perhiasan, lukisan yang indah, dan lain sebagainya.
5. Perkembangan Peradaban Islam di Andalusia
menyebutnya Andalusia. Benua Afrika, terutama Afrika utara merupakan daerah yang penting dalam kaitannya dengan Andalusia dan juga
penyebaran Islam di Eropa. Ia merupakan pintu gerbang utama
masuknya Islam ke wilayah yang selama berabad-abad lamanya di bawah kekuasaan Kristiani. Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair.[67]
Gubernur Afrika Utara saat itu – Musa bin Nushair – meminta izin kepada Khafilah Walid bin Abdul Malik untuk melakukan penyerbuan ke Spanyol, dan usul tersebut disetujui oleh khalifah.[68] Maka pada tahun 91 H / 710 M, dikirimlah tim ekspedisi beranggotakan 500 personil pasukan yang dipimpin oleh Tharif bin Malik. Tim ekspedisi tersebut tidak menemukan perlawanan yang berarti sehingga Tharif bin Malik dan pasukannya kembali dengan kemenangan dan rampasan perang.[69]
Sukses ini mendorong Musa bin Nushair untuk mengirim pasukan dengan jumlah yang lebih besar. Maka pada tahun 92 H / 711 M
dikirimlah 7000 personil pasukan di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Pasukan ini menyeberangi selat yang memisahkan antara Afrika Utara dan Spanyol dengan kapal-kapal yang dipinjamkan oleh Julian dan berhenti di sebuah tempat bernama Jazirah al-Khadra, yang kemudian dikenal dengan nama Jabal Thariq (Gibratal). Disanalah Thariq bin Ziyad mempersiapkan rencana dan siasat untuk menaklukkan Spanyol.[70]
Kedatangan pasukan Islam disambut oleh Roderik, raja Visigoth dengan 100.000 tentara. Thariq meminta tambahan bantuan 5000 pasukan kepada Musa bin Nushair. Kekuatan tampak tidak seimbang, namun dengan semangat jihad yang tinggi dari pasukan Islam, pasukan Roderik dapat dikalahkan, bahkan Roderik pun tewas dalam pertempuran. Hal ini sehingga melemahkan semangat orang-orang Spanyol dan memudahkan Thariq untuk menaklukkan mereka. Thariq terus maju dan dapat
menaklukkan kota Cordoba, Granada dan Toledo yang merupakan ibukota Visigoth.[71]
bertemu dengan Thariq di Toledo. Pasukan mereka menuju ke utara dan dapat menaklukkan kota Zaragosa, Barcelona, Aragon dan Castilia, kemudian menuju ke Timur laut sampai ke pegunungan Pyrenia. Penaklukan mereka terhenti karena Khalifah Walid bin Abdul Malik memanggil mereka kembali ke Damaskus.[72]
Secara umum kesuksesan pasukan Islam memiliki semangat juang yang tinggi dan dipimpin oleh panglima yang handal dalam strategi dan siasat perang. Disamping sikap toleran yang diperlihatkan pasukan Islam
mendatangkan simpati dari bangsa Spanyol yang ketika itu mayoritas beragama Yahudi. Berbeda dengan pasukan Spanyol yang kebanyakan adalah tawanan dan budak yang dipaksa untuk berperang, sehingga mereka berperang tanpa semangat.
Adapun kemajuan perkembangan peradaban Islam di Andalusia antara lain adalah sebagai berikut:
1. a. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat.
Ketika Islam berjaya di Andalusia, ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ketika Islam lahir, sebagai agama pemersatu dan agama peradaban, bangsa Yunani sedang
tenggelam dalam kekuasaan pemerintah yang kejam, sedang dunia Islam mulai menyingsingkan fajar kebebasan, terutama bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan oleh penguasa Muslim ketika itu, sehingga para ilmuwan dan filsof kenamaan banyak lahir di dunia Islam, seperti Ibnu Hazm dengan karyanya al-Milal wa al-Nihal, Abu bakr Muhamad Ibnu Al-Asyik (wafat 1138) yang dikenal Ibnu Bajah, Abu Bakar Ibnu Thufael (wafat 1185) yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “Hay bin Yaqdzan”, Ibnu Rusyd (1126 – 1198 M) yang dikenal dengan sebutan Averous, karyanya antara lain Tuhafut al-Tuhafut.
1. Bidang Geografi dan Sains.
Ilmuwan di bidang geografi lahirlah nama Ibnu Jubair, seorang pengarang buku berjudul “Perlawatan ke negeri-negeri Islam”, Abu Hamid Al-Hazim dan Abu Ubaid Al-Bakry. Di bidang sains muncullah nama-nama yang ahli di bidang kedokteran, musik, matematika,